Seharian itu, Nathan tidak tenang. Ia tampak sangat gelisah memikirkan peristiwa di mana Daisy tidur di atas ranjangnya sambil ia memeluk wanita itu. Nathan merasa bersalah terhadap Mary, kekasihnya karena telah mengkhianati wanita itu. Kini, Nathan dihadapkan pada sebuah dilema. Apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus jujur kepada Mary, meski itu berisiko membuat wanita itu marah dan mungkin meninggalkannya? Atau sebaiknya ia diam saja, bersikap seperti biasa, dan berusaha melupakan kejadian itu? Nathan benar-benar bingung.Di sisi lain, setelah Daisy pergi, rasa penasaran Nathan semakin menggelayuti pikirannya. Ia ingin tahu bagaimana bisa Daisy terpaksa tidur bersamanya. Akhirnya, Nathan memutuskan untuk memeriksa rekaman CCTV yang ada di kamarnya.Setelah melihat rekaman tersebut, Nathan menghela napas berat. Ternyata, memang Daisy telah berusaha menolak, tetapi tetap tidak berdaya.Satu fakta yang sangat mengejutkan baginya adalah ia telah mencium Daisy dengan sangat bruta
“Maaf, aku tutup dulu ya teleponnya. Aku mau mandi sebentar,” ucap Mary, lantas menjauhkan ponsel dari telinga dan memutuskan panggilan dengan Nathan secara sepihak.Mary memperhatikan layar ponselnya sejenak sebelum terisak. Ia memeluk kakinya yang tertekuk, menundukkan wajah di atas lutut.Sesak dadanya membayangkan perpisahan yang akan datang dengan Nathan. Hatinya tidak rela, namun tetap dipaksakan.Meskipun seandainya Nathan bersedia menerima dirinya apa adanya setelah mengetahui apa yang terjadi antara dirinya dan Victor, Mary tetap akan menolak.Mary merasa semakin Nathan berbesar hati menerima kekurangannya, semakin ia merasa tidak berharga di mata pria itu. Kepercayaan dirinya telah hilang saat berhadapan dengan Nathan.Bagaimana mungkin pria sebaik Nathan mendapatkan wanita yang telah ternoda seperti dirinya?***“Mary, sangat menyesal telah bersikap seperti itu kemarin padamu. Aku tidak memaksamu untuk mengerti, karena mungkin perasaan cintamu padaku tidak sebesar yang aku
*** Di dalam sebuah kamar, beberapa helai pakaian pria, mulai dari kaos kasual hingga celana jeans yang tampak lusuh, berserakan di lantai. Di sisi lain, pakaian wanita terlihat lebih beragam. Namun, yang paling mencolok adalah sejumlah pakaian dalam wanita yang tergeletak di lantai. Bra berenda berwarna merah muda dan celana dalam. Setiap potongan pakaian tersebut seolah menyimpan cerita malam yang penuh gairah dan emosi, tetapi kini hanya tergeletak tak berarti. Di atas ranjang king size, dua sosok berbeda jenis kelamin terlelap, hanya dibalut selimut putih yang melindungi mereka. Dalam tatapan sekilas, tampak bahwa keduanya mungkin telanjang di bawah selimut itu. Sang wanita terbaring miring, sementara sang pria memeluknya hangat dari belakang. Pemandangan ini tampak manis dan romantis, seolah mereka adalah pasangan suami istri yang sangat bahagia. Kaki mereka menyembul dari balik selimut, memperlihatkan betis atas, dengan kaki sang pria melilit kaki mulus wanitanya. Gamb
Berbagai macam pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Mary. Lantas, ia pun bangkit dari duduknya dan pergi menemui bosnya untuk meminta izin pulang. Mary memanfaatkan kondisinya yang kurang fit sebagai alasan saat meminta izin kepada Bosnya. Setelah mendapat izin, ia segera bersiap-siap dan keluar untuk menemui Nathan. Benar saja, pria itu menunggunya di depan. Mary segera masuk ke dalam mobil. “Bukankah kita sudah sepakat untuk bertemu besok? Karena aku libur,” ucap Mary menatap wajah dingin Nathan. "Kamu mau kita ke mana sekarang? Ke apartemenmu atau apartemenku?" Bukannya menanggapi ucapan Mary sebelumnya, Nathan justru bertanya hal lain. Mary terdiam sejenak, menatap lekat pada Nathan. Dia bingung ada apa dengan pria itu dan apa yang terjadi sehingga membuatnya terlihat begitu dingin. Raut wajahnya dan suara Nathan jauh dari kata hangat, sangat berbeda dari biasanya. Mary menyadari perubahan itu pada kekasihnya. "Ke apartemenku saja," jawab Mary, lalu menarik pandangannya dari N
Sakit, tentu saja. Hatinya hancur, jangan tanyakan lagi. Begitu pedih semua kalimat yang dilontarkan oleh Nathan kepada Mary. Pria yang sangat dicintainya ternyata adalah orang yang menoreh luka paling dalam di hatinya. Hinaan Nathan terhadap dirinya melekat kuat dalam ingatan. Bahkan segar sampai sekarang. Apakah Mary sakit hati? Jawabannya tentu saja ya! Mungkinkah Mary akan menyimpan dendam terhadap Nathan? Oh, itu mustahil terjadi. Mary sangat mencintai pria itu. Meskipun hatinya dibuat hancur, sampai kapan pun Mary tak akan bisa membencinya. Lantas bagaimana dengan Jihan? Seperti apa sekarang sosok itu di mata Mary, setelah Nathan membandingkan dirinya dengan wanita itu sedemikian rupa? Bagi Mary, Jihan tetaplah satu-satunya sahabat baiknya. Tidak peduli dunia mau berkata apa tentang Jihan, Mary akan tetap menyayangi wanita itu. Hanya saja, apa yang telah menimpa dirinya akan membuat Mary terlihat berbeda ke depannya. Mungkin dia akan lebih merasa insecure saat berhadapan d
Sesaat berkutat sejenak dengan perangkat canggihnya, ia membuka aplikasi berlogo telepon berwarna hijau. Tiba-tiba, sebuah pesan masuk dari kontak Jihan. Sahabatnya itu mengirim pesan. Mary segera membuka pesan itu untuk dibaca. Kira-kira, Jihan mengirim pesan apa? [Hai! Tumben jam segini pegang hp! Club lagi sepi ya, Mar?] Ah, ternyata Jihan bertanya tentang itu. Ya, wajar saja, karena Mary bekerja di sebuah club, dan saat ini adalah waktu dia bekerja. Dalam beberapa saat, Mary terpaku, lalu Ibu jarinya mulai bergerak di atas layar untuk membalas pesan dari Jihan. [Malam ini tidak begitu padat, Han.] Lantas, Mary mengirim pesan tersebut. Pandangannya tetap terpaku pada layar, melihat Jihan sedang mengetik. [Oh, pantas saja. Tapi baguslah biar kamu bisa istirahat sebentar. Jangan lupa makan, Mary. Aku tidak mau kamu sakit.] Jihan memang sebaik itu. Sangat perhatian padanya. Wajar jika Nathan sangat mengaguminya. Mary tersenyum miris. [Iya, tadi aku sudah makan. Kamu juga, ja
“Hai, Olso,” seru seorang wanita baru saja turun dari mobil mewah miliknya dan menyapa Olso. Bibir tebalnya membentuk senyum ramah, meskipun pria yang disapanya terlihat menghela napas. Dari raut wajahnya, jelas bahwa pria itu tidak menyukai kehadirannya. Olso terpaksa mengulas senyum, meskipun wajahnya terasa kaku. 'Apa yang mau dilakukan gundik ini?' batinnya. Kylie, wanita berusia 28 tahun, adalah putri dari salah satu Mafia berpengaruh di kota ini. Ayahnya memiliki hubungan kerja yang erat dengan Victor, dan pengaruhnya sangat besar dalam kesuksesan Victor mengembangkan bisnis Dominic di kota ini. “Victor ada di dalam?” tanya Kylie. Padahal ia bisa melihat mobil pria itu terparkir di depan rumah, yang artinya Victor berada di sana. “Ya, dia ada di dalam, Kylie. Silakan masuk. Maaf, aku tidak bisa menemanimu karena ada urusan penting. Aku harus pergi,” jawab Olso.Ia terpaksa bersikap ramah kepada Kylie karena tahu siapa Ayah wanita itu. Olso tidak ingin membuatnya tersin
"Tadi aku sudah izin pada Olso, Victor," jawab Kylie dengan suara bergetar. "Dia Olso, bukan aku! Yang berhak memberi mengizinkan masuk ke dalam rumah ini adalah aku, Victor Marson, bukan Olso!" "Kamu kenapa jadi marah-marah?" Kylie tiba-tiba bertanya, merasa heran dengan perubahan sikap pria itu. Kemarin-kemarin, Victor tidak pernah begini padanya. "Apa kamu ada masalah sehingga kamu marah-marah seperti ini padaku?" Victor terdiam menatap datar pada Kylie. 'Sepertinya wanita ini akan merepotkanku ke depannya,' bisik Victor dalam hati setelah menerawang jauh akan seperti apa sosok Kylie nanti dalam kehidupannya. "Keluarlah, aku tidak ingin diganggu," usir Victor. "Kamu mengusirku? Kamu serius, Victor?" tanya Kylie, masih tidak percaya. "Yeah! Aku mengusirmu. Apakah kau tuli?" sarkas Victor dengan nada tajam. Kylie menatap lekat wajah tampan itu, merasa sangat kecewa dengan perlakuan Victor kali ini. Dia sakit hati. Lantas, apakah dia harus mengadukan semua ini kepada Papanya da
*** Hari itu penuh dengan aktivitas seru. Mereka menjelajahi jalur hiking pendek yang mudah untuk anak-anak, melewati hutan mangrove yang teduh. Zack bersama Calvin dan Valentin tampak kagum melihat kepiting kecil di sela-sela akar pohon, sementara Katty dan Cassandra sibuk mengumpulkan daun-daun u
*** Setibanya di lokasi camping, keluarga Victor dan Mary langsung terpukau oleh keindahan alam yang terbentang di hadapan mereka. Taman itu memiliki pemandangan yang memanjakan mata: pepohonan mangrove yang rimbun, udara segar dengan aroma laut yang khas, dan suara burung-burung yang berkicau merd
*** "Katty sudah dibantu oleh Daddy, Mom," jawab Zack sambil menunjuk ke arah luar rumah. Mary hanya mengangguk pelan, merasa lega mendengar semua sudah terkendali. Sementara itu, di halaman depan, Katty yang berusia tiga tahun tampak bersemangat membantu Victor memuat barang-barang ke dalam mobil
*** Empat Tahun Kemudian… Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Sudah lima tahun usia pernikahan Mary dan Victor. Kehidupan mereka dipenuhi kebahagiaan, berkat cinta yang terus tumbuh dan keluarga kecil yang mereka bina bersama. Dari pernikahan mereka, Tuhan menganugerahi dua buah hati yang menj
*** Victor kemudian menegakkan tubuh, berdiri menjulang di hadapan Mary yang tengah terengah-engah. Kedua tangannya bergerak menurunkan celana serta boxer, kemudian berlanjut dengan kaos hitam yang melapisi tubuh atletisnya. Hingga kini, Victor berdiri dengan tubuh polos tanpa sehelai benang yang m
*** "Victor!" pekik Mary terkejut, tubuhnya memantul ringan saat ditempatkan di permukaan kayu yang dingin. Refleks, tangannya mencengkeram bahu kokoh suaminya, mencari keseimbangan. Victor menatapnya lekat, wajahnya begitu dekat hingga Mary bisa merasakan hangat napasnya. Ada intensitas di matany
*** Mary mengalihkan pandangannya ke dinding kamar, memperhatikan jam besar di sana. Jarum jam menunjukkan waktu yang sudah cukup larut. Ia menghela napas, menyadari suaminya masih saja sibuk di ruang kerja. "Sudah jam segini, tapi dia masih bekerja," gumamnya pelan, nada suaranya seperti protes ke
*** Langit Miami, Florida, kini telah diselimuti kegelapan malam. Mary, baru saja menyelesaikan ritual malamnya setelah menidurkan putra kecilnya, Zack. Anak lelaki itu telah lelap di kamarnya, meninggalkan keheningan di rumah mereka. Mary melangkah masuk ke dalam kamar mandi, membasuh wajahnya d
Dominic menghela napas panjang, seolah beban berat terangkat dari pundaknya. “Syukurlah,” gumamnya, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. Namun, matanya melirik sekilas ke arah Michael, seolah ingin memastikan reaksi menantunya. Michael, yang sedari tadi memperhatikan dengan seksama, memicing