"Aku rindu kamar. Aku boleh pulang, 'kan?"
Sera memundurkan punggung, berusaha menatap Dimitri, meski pria itu memilih memalingkan wajah.
Tidak menyerah, dua tangannya memegangi rahang pria itu agar wajah mereka berada di satu garis lurus. Laki-laki itu menatap ke arah bawah.
"Dimitri." Sepenuh hati memanggil.
Akhirnya lelaki tersebut mengangkat pandangan. Akhirnya, Sera bisa melihat dua manik indah itu. Meski kali ini sinar di sana meredup.
"Jangan." Hidung Sera memerah. Tak bisa ditahannya lagi air mata itu. Tumpah untuk kesekian kali. Menggeleng kuat, ia berharap si suami paham maksudnya.
Sera sudah memikirkan semua. Kalaupun kemungkinan terburuk terjadi, terapi obat tidak berhasil, mereka bisa mengambil cara lain, jika memang sangat ingin punya anak. Mengadopsi misalnya. Atau, bayi tabung. Semua bisa diatasi. Yang perlu dilakukan sekarang adalah memberikan pengertian itu pada suaminya.
Dim
Duduk di belakang kasir karena menggantikan karyawannya yang istirahat sore, Dimitri bersedekap. Mata mengitari keadaan rumah makan yang masih lumayan ramai.Pria itu memulai lamunan dengan menghitung. Tiga bulan. Sudah tiga bulan ia menjalani terapi kesuburan dengan obat. Dan ... masih belum ada perubahan.Datang ke rumah sakit tiga kali dalam sepekan untuk mendapat suntikan, minum suplemen dan vitamin yang dokter resepkan. Mengikuti semua aturan Sera yang mendadak menjadi perawat pribadi yang mengurusi makanan dan jadwal olahraga. Semua itu sudah dilakukan. Namun, tampaknya belum ada tanda-tanda keadaannya membaik.Dokter bilang masih perlu datang, istrinya belum juga hamil.Selama ini, Dimitri selalu berusaha terlihat bersemangat. Dengan senang hati melakukan semua yang diperlukan. Namun, sebenarnya, pria itu malah semakin kehilangan asa.Katanya, terapi yang ia dapat, minimal mem
Suara tepuk tangan mengisi salah satu ruangan di panti asuhan Harapan. Pemenang lomba menggambar baru saja diumumkan.Senyum semringah terlukis di wajah Sera. Perempuan dengan gaun selutut berwarna biru itu maju ke depan dan memberikan hadiah pada si kecil Yasa. Anak lelaki berusia delapan tahun itu menerima bingkisan berisi tas, buku dan alat tulis itu dengan senyum lebar."Latihan terus gambarnya, biar makin pintar." Sera mengusap pucuk kepala Yasa. Sudah akan kembali ke kursi, tetapi lengannya ditarik.Yasa masih setia mempertontonkan deretan gigi. Menaruh hadiahnya di lantai, ia meminta wanita di hadapan untuk berjongkok.Sera menurut, meski sedikit bingung. Ketika wajah sudah sejajar dengan Yasa, anak lelaki itu memegangi pipi dan membuatnya menghadapkan pandang ke depan.Tulus, Yasa memberi satu ciuman sayang di pipi Sera. "Makasih banyak. Sayang Bu Sera banyak-banyak."
"Buk, mau tidur?"Sera yang hampir terlelap di sofa mau tak mau membuka mata mendengar tanya itu. Dilihatnya Bu Ima berdiri di dekat meja. Sebagai jawaban, perempuan itu mengangguk pelan."Enggak makan dulu? Belum makan siang, 'kan?" Wanita itu melirik ke jam di dinding. Pukul empat, sudah amat terlambat untuk makan siang.Yang ditanyai tersenyum tanda terima kasih, mata mulai terpejam lagi. "Aku ngantuk, Buk. Enggak selera juga. Capek banget, padahal enggak melakukan apa-apa."Bu Ima mengangguk, meski raut cemas masih terpatri di wajah. Sebelum pergi, ia memakaikan selimut pada Sera.Suasana tenang membuat kantuk semakin menyerang. Namun, Sera masih harus menunda tidur karena ponsel di atas meja bergetar.Sebuah pesan gambar dari nomor tak dikenal datang. Berkedip beberapa kali untuk menjernihkan penglihatan, Sera mengetuk layar. Tak lama sebuah foto muncul.Gambar itu berisi Dimitri dan seorang perempuan. Sedang berdiri bersisian da
Hati-hati memikirkan sesuatu. Karena, terkadang, apa yang terus-terusan kamu pikirkan bisa menjadi kenyataan.Pikirkan hal buruk sejarang mungkin. Selalulah berpikiran soal hal baik dan positif.Dimitri menyesal. Entah sudah berapa kali mulut pria itu mengumpati diri sendiri di dalam mobil yang dilajukan secepat mungkin.Beberapa saat lalu, lelaki itu sedang berada di salah satu kantor pengacara. Berkonsultasi dengan Bimo, salah satu pengacara kenalan keluarganya. Bukan untuk urusan bisnis, kali ini Dimitri ingin membicarakan perihal perceraian.Memang kepala batu. Meski sudah diberi tamparan, pria itu masih kukuh untuk menyudahi pernikahan tampaknya. Membicarakan perceraian dengan seorang pengacara, itu salah satu bentuk keseriusan.Ia sudah sempat bicara sedikit dengan Bimo di kantor pengacara itu, sampai sebuah telepon dari nomor Sera masuk.Ketika dijawab, yang menyapa bukan Sera. Melainkan seora
Suara derap langkah kaki yang menuruni tangga sampai ke telinga Dimitri yang tengah meneguk air dingin di depan meja makan. Berikutnya, suara si nyonya rumah terdengar."Bu Ima, Dimitri udah pergi?""Belum, Buk." Bu Ima yang sedang mencuci piring menyahut.Menaruh botol di atas meja, saat mulut masih menampung air, Dimitri menoleh ke asal suara. Kontan, air mancur buatan keluar dari mulut pria itu. Dia tersedak kemudian."Kenapa aku enggak dibangunkan?" Mendapati suaminya di sana, Sera berkacak pinggang. Dahinya berlipat tak senang. Ini sudah pukul sepuluh dan ia baru saja terjaga.Biasanya sudah bangun pukul enam. Menyiapkan sarapan, pakaian Dimitri, terkadang ikut suaminya lari pagi. Namun, hari ini semua aktivitas itu absen dilakukan.Ini yang ketiga kali dalam dua bulan terakhir Sera bangun kesiangan. Semua ini tentu saja karena ulah Dimitri. Pria itu membuatnya
Langkah Sera tergesa menuju kamar. Menyusul suaminya yang sudah lebih dulu masuk ke sana. Mereka baru saja pulang dari jalan-jalan ke stadion olahraga di kampus Dimitri dulu.Mencapai pintu, suara orang muntah langsung mengisi telinga. Dari arah kamar mandi di ruangan itu, yang saat ini dihuni Dimitri.Berdiri di belakang tubuh lelaki yang membungkuk di depan wastafel, Sera mengusap-usap punggung itu. Dahinya ikut mengernyit tak nyaman."Perasaan enggak terlambat makan. Asam lambungnya kambuh?" Tangan Sera berpindah ke tengkuk Dimitri. Memberi pijatan pelan di sana. Pria itu terus muntah, tetapi tidak keluar apa-apa dari mulut kecuali liur.Yang ditanyai menggeleng. Tak tahu dan juga heran. Setibanya di rumah, perut tiba-tiba bergejolak, seolah ada yang mendesak ingin dikeluarkan. Namun, tidak ada apa pun kecuali air.Gejolak itu kembali datang, Dimitri menjulurkan lidah. Tangannya
Sore ini Sera sedang berada di rumah Mirna. Bersama Dimitri dan beberapa anggota keluarga lainnnya. Ada acara makan dan bakar-bakar bersama. Tidak ada perayaan apa-apa, si ibu mertua hanya ingin merasakan hangatnya suasana saat seluruh keluarga berkumpul. Dimitri sedang ada di halaman belakang bersama sepupu-sepupunya mempersiapkan panggangan, ikan dan daging, si istri tengah duduk di ruang tamu bersama Mirna. Mertua dan menantu tersebut berangkulan di sofa, dengan Mirna yang memijat pelan punggung Sera. "Jangan capek makanya." Mirna menduga pegal yang istri anaknya itu rasakan di pinggang dan punggung adalah akibat dari terlalu memaksakan diri mengerjakan pekerjaan rumah. "Kalau orang lain lihat, disangkanya Sera yang anak Mama, sedang Dimitri yang menantu." Inka yang baru turun setelah memberi makan Erza tersenyum melihat kedekatan Mirna dan Sera.
Bar-bar. Itu yang saat ini terbersit di pikiran Dimitri jika ada yang bertanya mengenai pengalaman menjadi suami dari istri yang sedang mengandung. Sepagi ini, Sera sudah berulah. Sesaat setelah bangun, perempuan yang perutnya sudah sedikit bundar itu langsung menyuarakan keinginan tidak realistis dan super konyol. "Aku punya tiga hal yang harus kamu lakukan hari ini. Pertama, peluk Dante dan Kak Brian di depan aku." Hah! Habis kata untuk mendebat, Dimitri memberi gelengan sebagai respon. Sudah gila memangnya? Memeluk Dante dan Brian? Untuk apa? Gunanya apa? Keinginannya--Sera bilang keinginan bayi--tidak dipenuhi, perempuan itu berbaring di karpet ruang tamu. Berkata akan terus di sana sampai si suami mau melakukan hal yang diminta. Bar-bar. Dimitri tiba-tiba-tiba saja menyesal karena selama ini Sera selalu bersikap baik. Harusnya, perempuan itu bersikap aneh-aneh saja sejak dulu. Jadi, saat hamil b
Dimitri berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Berulang kali pria itu melirik arloji yang masih bertengger di lengan. Kemeja kerjanya saja belum diganti, demi menanti seseorang.Raut sedikit gugup mampir di parasnya yang semakin matang. Pepatah makin tua makin menjadi, cocok pria 41 tahun itu sandang.Ini hari Selasa. Dimitri pulang bekerja lebih awal, pukul satu. Harusnya, lelaki itu ingin bolos saja. Namun, seseorang itu masih saja menolak ditemani. Padahal, usianya masih tujuh tahun dan harusnya datang ke sekolah bersama orang tua.Keras kepala tampaknya turun-temurun. Di mana-mana, semua anak itu ingin ditemani ayah atau ibu mereka mengambil rapor. Tidak demikian dengan yang satu itu.Anak itu ingin mengambil rapor sendiri. Masalah konsultasi antara orang tua dan guru, bisa dilakukan di lain hari, saat dirinya tidak ikut katanya. Sungguh membingungkan dan memaksakan kehendak. Sama seperti Dimitri dulu.
Mengusap kepala belakangnya gusar, Dimitri tampak berjalan pelan menuju mobil yang terparkir di bawah sebuah pohon. Lelaki itu mengambil napas dalam, sebelum akhirnya menarik pintu dan masuk ke dalam. Sore yang lumayan menguras tenaga. Padahal, niat awalnya ialah mengajak sang istri jalan-jalan. Sekadar menghilangkan penat, terlebih si ibu hamil tampak cemberut sejak pagi hari. Namun, tidak sengaja pertengkaran tejadi. Ada ketidaksepahaman antara mereka tadi. Soal Hares. Sera kukuh ingin adiknya itu berhenti mengambil kerja sampingan di bengkel temannya Dimit. Sera tak ingin Hares kelelahan dan kuliahnya terganggu. Namun, Dimitri punya pendapat lain. Dimitri yakin Hares bisa membagi waktu. Pun, selama ini adik iparnya itu terlihat sangat bertanggungjawab atas pilihan yang dibuat. Semester lalu saja, nilai Hares lebih dari memuaskan. Perbedaan pendapat ini makin keruh karena Dimitri menolak meminta Hares berhenti bek
Bar-bar. Itu yang saat ini terbersit di pikiran Dimitri jika ada yang bertanya mengenai pengalaman menjadi suami dari istri yang sedang mengandung. Sepagi ini, Sera sudah berulah. Sesaat setelah bangun, perempuan yang perutnya sudah sedikit bundar itu langsung menyuarakan keinginan tidak realistis dan super konyol. "Aku punya tiga hal yang harus kamu lakukan hari ini. Pertama, peluk Dante dan Kak Brian di depan aku." Hah! Habis kata untuk mendebat, Dimitri memberi gelengan sebagai respon. Sudah gila memangnya? Memeluk Dante dan Brian? Untuk apa? Gunanya apa? Keinginannya--Sera bilang keinginan bayi--tidak dipenuhi, perempuan itu berbaring di karpet ruang tamu. Berkata akan terus di sana sampai si suami mau melakukan hal yang diminta. Bar-bar. Dimitri tiba-tiba-tiba saja menyesal karena selama ini Sera selalu bersikap baik. Harusnya, perempuan itu bersikap aneh-aneh saja sejak dulu. Jadi, saat hamil b
Sore ini Sera sedang berada di rumah Mirna. Bersama Dimitri dan beberapa anggota keluarga lainnnya. Ada acara makan dan bakar-bakar bersama. Tidak ada perayaan apa-apa, si ibu mertua hanya ingin merasakan hangatnya suasana saat seluruh keluarga berkumpul. Dimitri sedang ada di halaman belakang bersama sepupu-sepupunya mempersiapkan panggangan, ikan dan daging, si istri tengah duduk di ruang tamu bersama Mirna. Mertua dan menantu tersebut berangkulan di sofa, dengan Mirna yang memijat pelan punggung Sera. "Jangan capek makanya." Mirna menduga pegal yang istri anaknya itu rasakan di pinggang dan punggung adalah akibat dari terlalu memaksakan diri mengerjakan pekerjaan rumah. "Kalau orang lain lihat, disangkanya Sera yang anak Mama, sedang Dimitri yang menantu." Inka yang baru turun setelah memberi makan Erza tersenyum melihat kedekatan Mirna dan Sera.
Langkah Sera tergesa menuju kamar. Menyusul suaminya yang sudah lebih dulu masuk ke sana. Mereka baru saja pulang dari jalan-jalan ke stadion olahraga di kampus Dimitri dulu.Mencapai pintu, suara orang muntah langsung mengisi telinga. Dari arah kamar mandi di ruangan itu, yang saat ini dihuni Dimitri.Berdiri di belakang tubuh lelaki yang membungkuk di depan wastafel, Sera mengusap-usap punggung itu. Dahinya ikut mengernyit tak nyaman."Perasaan enggak terlambat makan. Asam lambungnya kambuh?" Tangan Sera berpindah ke tengkuk Dimitri. Memberi pijatan pelan di sana. Pria itu terus muntah, tetapi tidak keluar apa-apa dari mulut kecuali liur.Yang ditanyai menggeleng. Tak tahu dan juga heran. Setibanya di rumah, perut tiba-tiba bergejolak, seolah ada yang mendesak ingin dikeluarkan. Namun, tidak ada apa pun kecuali air.Gejolak itu kembali datang, Dimitri menjulurkan lidah. Tangannya
Suara derap langkah kaki yang menuruni tangga sampai ke telinga Dimitri yang tengah meneguk air dingin di depan meja makan. Berikutnya, suara si nyonya rumah terdengar."Bu Ima, Dimitri udah pergi?""Belum, Buk." Bu Ima yang sedang mencuci piring menyahut.Menaruh botol di atas meja, saat mulut masih menampung air, Dimitri menoleh ke asal suara. Kontan, air mancur buatan keluar dari mulut pria itu. Dia tersedak kemudian."Kenapa aku enggak dibangunkan?" Mendapati suaminya di sana, Sera berkacak pinggang. Dahinya berlipat tak senang. Ini sudah pukul sepuluh dan ia baru saja terjaga.Biasanya sudah bangun pukul enam. Menyiapkan sarapan, pakaian Dimitri, terkadang ikut suaminya lari pagi. Namun, hari ini semua aktivitas itu absen dilakukan.Ini yang ketiga kali dalam dua bulan terakhir Sera bangun kesiangan. Semua ini tentu saja karena ulah Dimitri. Pria itu membuatnya
Hati-hati memikirkan sesuatu. Karena, terkadang, apa yang terus-terusan kamu pikirkan bisa menjadi kenyataan.Pikirkan hal buruk sejarang mungkin. Selalulah berpikiran soal hal baik dan positif.Dimitri menyesal. Entah sudah berapa kali mulut pria itu mengumpati diri sendiri di dalam mobil yang dilajukan secepat mungkin.Beberapa saat lalu, lelaki itu sedang berada di salah satu kantor pengacara. Berkonsultasi dengan Bimo, salah satu pengacara kenalan keluarganya. Bukan untuk urusan bisnis, kali ini Dimitri ingin membicarakan perihal perceraian.Memang kepala batu. Meski sudah diberi tamparan, pria itu masih kukuh untuk menyudahi pernikahan tampaknya. Membicarakan perceraian dengan seorang pengacara, itu salah satu bentuk keseriusan.Ia sudah sempat bicara sedikit dengan Bimo di kantor pengacara itu, sampai sebuah telepon dari nomor Sera masuk.Ketika dijawab, yang menyapa bukan Sera. Melainkan seora
"Buk, mau tidur?"Sera yang hampir terlelap di sofa mau tak mau membuka mata mendengar tanya itu. Dilihatnya Bu Ima berdiri di dekat meja. Sebagai jawaban, perempuan itu mengangguk pelan."Enggak makan dulu? Belum makan siang, 'kan?" Wanita itu melirik ke jam di dinding. Pukul empat, sudah amat terlambat untuk makan siang.Yang ditanyai tersenyum tanda terima kasih, mata mulai terpejam lagi. "Aku ngantuk, Buk. Enggak selera juga. Capek banget, padahal enggak melakukan apa-apa."Bu Ima mengangguk, meski raut cemas masih terpatri di wajah. Sebelum pergi, ia memakaikan selimut pada Sera.Suasana tenang membuat kantuk semakin menyerang. Namun, Sera masih harus menunda tidur karena ponsel di atas meja bergetar.Sebuah pesan gambar dari nomor tak dikenal datang. Berkedip beberapa kali untuk menjernihkan penglihatan, Sera mengetuk layar. Tak lama sebuah foto muncul.Gambar itu berisi Dimitri dan seorang perempuan. Sedang berdiri bersisian da
Suara tepuk tangan mengisi salah satu ruangan di panti asuhan Harapan. Pemenang lomba menggambar baru saja diumumkan.Senyum semringah terlukis di wajah Sera. Perempuan dengan gaun selutut berwarna biru itu maju ke depan dan memberikan hadiah pada si kecil Yasa. Anak lelaki berusia delapan tahun itu menerima bingkisan berisi tas, buku dan alat tulis itu dengan senyum lebar."Latihan terus gambarnya, biar makin pintar." Sera mengusap pucuk kepala Yasa. Sudah akan kembali ke kursi, tetapi lengannya ditarik.Yasa masih setia mempertontonkan deretan gigi. Menaruh hadiahnya di lantai, ia meminta wanita di hadapan untuk berjongkok.Sera menurut, meski sedikit bingung. Ketika wajah sudah sejajar dengan Yasa, anak lelaki itu memegangi pipi dan membuatnya menghadapkan pandang ke depan.Tulus, Yasa memberi satu ciuman sayang di pipi Sera. "Makasih banyak. Sayang Bu Sera banyak-banyak."