"Dim, aku buatkan teh manis, mau?"
Duduk di meja makan panjang di dapur, Dimitri mengangguk asal pada Maudi yang bertanya. Sepenuhnya, tatapan pria berkaus abu-abu itu tertuju pada perempuan di depan kompor, yang tengah membuatkan menu makan malam baru.
Tadinya, semangkuk gulai tahu dan tempe sudah disiapkan Sera. Namun, ia meminta dibuatkan nasi goreng untuk disantap malam nanti. Bukan bosan atau tidak suka, Dimitri hanya ingin sedikit menyusahkan pengasuhnya.
Hari itu, tepatnya sore tadi, Dante datang ke salah satu toko roti yang memang sedang Dimitri kontrol. Tak biasanya berkunjung, si adik malah membeli barang dari sana. Dua pack roti tawar dan empat botol selai rasa srikaya.
Awalnya tak peduli, pada akhirnya Dimitri kesal setelah mengetahui untuk siapa makanan itu dibelikan. Untuk Sera, karena katanya, perempuan itu sangat menyukai rasa selai srikaya yang toko Dimitri jual.
Dimitri tidak suka hal itu. Fakta bahwa
Dimitri adalah anak emas, menurut Sera. Semua sikap menyebalkan yang pria itu miliki terbentuk karena merasa menjadi poros dunia. Kelewat tidak pedulian, suka memerintah seenaknya, keras kepala, abai pada perasaan orang lain,menggampangkan segala, semua itu tercipta karena Dimitri tahu bahwa orang menganggapnya istimewa.Hal itu terbukti hari ini. Semua orang, mulai dari Mirna, Maudi, Dante dan para ART dibuat repot hanya karena Dimitri, si sulung keluarga Adinata, mengalami demam dan tidak bisa beranjak dai tempat tidur.Sera bilang, itu hanya siasat. Dimitri sengaja melebih-lebihkan sakitnya agar bisa membuat seluruh penghuni rumah kelimpungan. Seperti saat ini, entah sudah berapa orang yang membujuk, tetapi lelaki itu tak kunjung mau makan.Keadaan ini jelas membuat Sera menjadi orang yang paling kesusahan. Lima kali memasak bubur, tak ada satu pun yang dimakan. Bolak-balik membuatkan teh hangat dan susu, tidak satu pun
Berusaha menguasai diri dari rasa takut dan terkejut, Sera berlari menuju Dimitri dan Dante yang sudah berguling-guling di lantai. Saling bertukar pukulan, dimana Dimitri yang mendominasi.Sekuat tenaga perempuan itu menarik Dimitri yang memukuli wajah Dante. Seelah mereka berhasil menjauh, ia malah didorong kasar. Mata pria yang napasnya penuh kemarahan itu menatap nyalang."Berhenti," cicit Sera.Dimitri mengusap wajah kasar. Ia tertawa hambar. "Berhenti? Maumu saya tidak memukuli dia? Lalu, beri saran apa yang harus saya lakukan!"Teriakan barusan membuat Sera mundur satu langkah. Menyeramkan melihat pria itu semarah sekarang."Sera!" Dimitri menumpahkan semua kesal dan amarahnya. Nyeri di tubuh atau kepala yang pusing akibat demam yang belum turun ia abaikan.Dante yang kesusahan berdiri angkat suara. Sisa-sisa rasa terkejut masih bisa dilihat di wajahnya yang penuh lebam. Dimitri tak pernah seperti in
Terjadi sesuatu yang lucu di kediaman Adinata. Majikan dan pelayannya serempak, kompak mengalami demam. Sejak pagi hingga sore ini, Sera dan Dimitri tidak keluar dari kamar masing-masing, asyik menikmati sakit.Dimitri yang lebih dulu flu lalai istirahat dan meminum obat, karenaya bukannya sembuh, malah semakin parah. Sedangkan Sera, karena insiden menjatuhkan diri ke kolam renang kemarin, akhirnya ikut-ikutan tumbang.Satu orang saja yang sakit, Mirna sudah cemas. Ditambah Sera, yang notabene selalu menjadi orang yang diandalkan mengurusi Dimitri. Alhasil, wanita itu kelimpungan, terutama untuk merawat si sulung yang semakin keras kepala. Tak hanya menolak makan, lelaki juga mengurung diri di kamar, tidak membiarkan satu orang pun masuk.Saat Mirna dan Maudi sedang duduk di ruang tamu karena sudah lelah mengetuk-ngetuk pintu kamar Dimitri yang sialnya tidak punya kunci cadangan, si anak malah menampakkan diri.
Tangan Dante menggantung di udara. Setelah memutuskan memberi jeda pada kemarahan Sera akibat tindakannya di rooftop ini beberapa hari lalu, sore ini Dante memtuskan menemui perempuan itu. Keberanian sudah dikumpulkan kesempatan meminta maaf. Sera marah. Itu jelas. Siapa yang tidak akan marah bila diperlakukan tidak senonoh begitu. Hampir dua hari perempuan itu terus mendiamkannya. Membuat jarak saat berpapasan, tidak menoleh atau menyahut saat dipanggil, bahkan kabur ketika Dante nekat mengajak bicara kemarin malam. Saat ini pun, Sera juga hendak melakukan hal yang sama--kabur. Beruntung Dante bisa memegangi daun pintu, mencegahnya ditutup Sera. "Saya perlu bicara sama kamu, Sera. Sebentar saja, hmm?" Memiringkan kepala, menampilkan raut mengiba, pria itu mengganjal pintu yang sudah ditarik Sera dengan kakinya. "Ini sudah hampir tiga hari. Marah pada seseorang lebih dari tiga hari itu d
Akhirnya punya waktu olahraga, sore ini Dimitri berhasil memutari komplek perumahan sebanyak dua kali. SeperSera datang, meletakkan segelas air dingin di meja. Dimitri melirik sekilas, mulai sibuk dengan ponsel.Sebenarnya, hubungan mereka masih biasa saja. Masih jarang ada konversasi panjang. Namun, setidaknya, Dimitri sudah jarang melihat Sera menatap benci. Yang sering perempuan itu lakukan sekarang adalah kabur, melarikan diri saat obrolan mulai terasa serius."Biarkan saja. Saya yang akan menyimpan sepatu dan mencuci kaus kaki itu."Menghabiskan air dingin, Dimitri mencegah Sera membawa sepatu olahraganya. Perempuan itu mengerling kesal."Biar saya aja, Pak. Nanti, Bapak malah menaruhnya di bawah tempat tidur lagi, lalu membusuk di sana." Sera mengingatkan apa yang bosnya lakukan minggu lalu. Berdalih ingin mencuci sendiri, kaus kaki itu nyatanya berada di kolong tempat tidur, nyaris membusuk.
Tiga puluh menit berlalu, Dimitri sudah mengubah posisi. Duduk di depan pintu dengan menekuk lutut. Kepalanya tertunduk, sesekali memejam karena suara-suara yang Sera buat dari dalam kamar.Entah berapa banyak obat di dalam air mineral itu hingga bisa membuat Sera yang biasanya diam jadi gemar meracau seperti sekarang."AC-nya nyala, saya udah lepas hoodie. Kenapa masih panas, Pak?"Perempuan itu bertanya dengan nada frustrasi, Dimitri lebih frustrasi lagi. Selama ini mati-matian menjaga jarak, sekarang keadaan Sera seolah sedang mengejeknya."Dimitri, panas!""Itu karena obat. Aku bisa apa? Kamu mau aku melakukan apa?" Dimitri berteriak pada pintu di depan mata.Entah kapan pagi datang. Dimitri sangsi ia akan bisa bertahan dalam kewarasan sampai matahari terbit. Sera yang hanya diam saja mampu membuatnya berimajinasi yang aneh-aneh. Konon saat begini. Perem
Menapaki lantai ruang tamu sepulang bekerja sore itu, Dimitri disambut banyak orang. Mirna ternyata tidak bohong saat menelepon dan berkata ada ayah dan ibu Maudi di rumah mereka."Sore, Om, Tante." Menyalami mereka, Dimitri menyapa sekenanya. Otak mulai mengatur segala hal untuk kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja hadir.Pertemuan keluarga inti begini, biasanya untuk sesuatu yang serius."Pantas Maudi betah di sini. Sulungmu ini tampan sekali, Mir," puji ibunya Maudi.Demi sopan santun dan pencitraan, Dimitri mendudukkan diri di sofa yang sama dengan Maudi. Gadis itu melempar senyum malu padanya, dibalas anggukkan kaku.Para orang tua di sana bertukar kabar dan cerita sebentar, Dimitri menanti inti bahasan dengan tak sabar. Dua lengan di atas paha, jemarinya bertaut. Sesekali menjawab pertanyaan Handoko--ayah Maudi-- atau ikut tersenyum saat diberi candaan."Saya seben
Melepas embusan napas kasar dari mulut, Dimitri yang duduk di sudut toko memutar bola mata saat melihat nama yang muncul pada layar ponsel yang bergetar. Tampaknya, Maudi adalah orang yang gigih. Panggilan-panggilan sebelumnya diabaikan, gadis itu masih tak mau menyerah.Memang sedang istirahat, lelaki itu memutuskan menggeser tombol hijau di layar."Kamu sibuk, ya?" Suara dari seberang terdengar antusias dan lega."Iya." Dimitri membawa pandangan berkeliling. Mengamati karyawan yang bertugas, juga para pelanggan yang menyempatkan diri melempar senyum ke arahnya."Untuk pertunangan kita, aku jadi pakai EO, ya? Kata Tante, nanti kalau kita yang tangani, takutnya keteter."Si pria memijat pangkal hidung. Baru sehari sejak perbincangan soal pertunangan. Tanggal saja belum ditentukan dan Maudi sudah merepotkan diri soal acara dan segala macamnya."Kita masih harus membicarakan
Dimitri berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Berulang kali pria itu melirik arloji yang masih bertengger di lengan. Kemeja kerjanya saja belum diganti, demi menanti seseorang.Raut sedikit gugup mampir di parasnya yang semakin matang. Pepatah makin tua makin menjadi, cocok pria 41 tahun itu sandang.Ini hari Selasa. Dimitri pulang bekerja lebih awal, pukul satu. Harusnya, lelaki itu ingin bolos saja. Namun, seseorang itu masih saja menolak ditemani. Padahal, usianya masih tujuh tahun dan harusnya datang ke sekolah bersama orang tua.Keras kepala tampaknya turun-temurun. Di mana-mana, semua anak itu ingin ditemani ayah atau ibu mereka mengambil rapor. Tidak demikian dengan yang satu itu.Anak itu ingin mengambil rapor sendiri. Masalah konsultasi antara orang tua dan guru, bisa dilakukan di lain hari, saat dirinya tidak ikut katanya. Sungguh membingungkan dan memaksakan kehendak. Sama seperti Dimitri dulu.
Mengusap kepala belakangnya gusar, Dimitri tampak berjalan pelan menuju mobil yang terparkir di bawah sebuah pohon. Lelaki itu mengambil napas dalam, sebelum akhirnya menarik pintu dan masuk ke dalam. Sore yang lumayan menguras tenaga. Padahal, niat awalnya ialah mengajak sang istri jalan-jalan. Sekadar menghilangkan penat, terlebih si ibu hamil tampak cemberut sejak pagi hari. Namun, tidak sengaja pertengkaran tejadi. Ada ketidaksepahaman antara mereka tadi. Soal Hares. Sera kukuh ingin adiknya itu berhenti mengambil kerja sampingan di bengkel temannya Dimit. Sera tak ingin Hares kelelahan dan kuliahnya terganggu. Namun, Dimitri punya pendapat lain. Dimitri yakin Hares bisa membagi waktu. Pun, selama ini adik iparnya itu terlihat sangat bertanggungjawab atas pilihan yang dibuat. Semester lalu saja, nilai Hares lebih dari memuaskan. Perbedaan pendapat ini makin keruh karena Dimitri menolak meminta Hares berhenti bek
Bar-bar. Itu yang saat ini terbersit di pikiran Dimitri jika ada yang bertanya mengenai pengalaman menjadi suami dari istri yang sedang mengandung. Sepagi ini, Sera sudah berulah. Sesaat setelah bangun, perempuan yang perutnya sudah sedikit bundar itu langsung menyuarakan keinginan tidak realistis dan super konyol. "Aku punya tiga hal yang harus kamu lakukan hari ini. Pertama, peluk Dante dan Kak Brian di depan aku." Hah! Habis kata untuk mendebat, Dimitri memberi gelengan sebagai respon. Sudah gila memangnya? Memeluk Dante dan Brian? Untuk apa? Gunanya apa? Keinginannya--Sera bilang keinginan bayi--tidak dipenuhi, perempuan itu berbaring di karpet ruang tamu. Berkata akan terus di sana sampai si suami mau melakukan hal yang diminta. Bar-bar. Dimitri tiba-tiba-tiba saja menyesal karena selama ini Sera selalu bersikap baik. Harusnya, perempuan itu bersikap aneh-aneh saja sejak dulu. Jadi, saat hamil b
Sore ini Sera sedang berada di rumah Mirna. Bersama Dimitri dan beberapa anggota keluarga lainnnya. Ada acara makan dan bakar-bakar bersama. Tidak ada perayaan apa-apa, si ibu mertua hanya ingin merasakan hangatnya suasana saat seluruh keluarga berkumpul. Dimitri sedang ada di halaman belakang bersama sepupu-sepupunya mempersiapkan panggangan, ikan dan daging, si istri tengah duduk di ruang tamu bersama Mirna. Mertua dan menantu tersebut berangkulan di sofa, dengan Mirna yang memijat pelan punggung Sera. "Jangan capek makanya." Mirna menduga pegal yang istri anaknya itu rasakan di pinggang dan punggung adalah akibat dari terlalu memaksakan diri mengerjakan pekerjaan rumah. "Kalau orang lain lihat, disangkanya Sera yang anak Mama, sedang Dimitri yang menantu." Inka yang baru turun setelah memberi makan Erza tersenyum melihat kedekatan Mirna dan Sera.
Langkah Sera tergesa menuju kamar. Menyusul suaminya yang sudah lebih dulu masuk ke sana. Mereka baru saja pulang dari jalan-jalan ke stadion olahraga di kampus Dimitri dulu.Mencapai pintu, suara orang muntah langsung mengisi telinga. Dari arah kamar mandi di ruangan itu, yang saat ini dihuni Dimitri.Berdiri di belakang tubuh lelaki yang membungkuk di depan wastafel, Sera mengusap-usap punggung itu. Dahinya ikut mengernyit tak nyaman."Perasaan enggak terlambat makan. Asam lambungnya kambuh?" Tangan Sera berpindah ke tengkuk Dimitri. Memberi pijatan pelan di sana. Pria itu terus muntah, tetapi tidak keluar apa-apa dari mulut kecuali liur.Yang ditanyai menggeleng. Tak tahu dan juga heran. Setibanya di rumah, perut tiba-tiba bergejolak, seolah ada yang mendesak ingin dikeluarkan. Namun, tidak ada apa pun kecuali air.Gejolak itu kembali datang, Dimitri menjulurkan lidah. Tangannya
Suara derap langkah kaki yang menuruni tangga sampai ke telinga Dimitri yang tengah meneguk air dingin di depan meja makan. Berikutnya, suara si nyonya rumah terdengar."Bu Ima, Dimitri udah pergi?""Belum, Buk." Bu Ima yang sedang mencuci piring menyahut.Menaruh botol di atas meja, saat mulut masih menampung air, Dimitri menoleh ke asal suara. Kontan, air mancur buatan keluar dari mulut pria itu. Dia tersedak kemudian."Kenapa aku enggak dibangunkan?" Mendapati suaminya di sana, Sera berkacak pinggang. Dahinya berlipat tak senang. Ini sudah pukul sepuluh dan ia baru saja terjaga.Biasanya sudah bangun pukul enam. Menyiapkan sarapan, pakaian Dimitri, terkadang ikut suaminya lari pagi. Namun, hari ini semua aktivitas itu absen dilakukan.Ini yang ketiga kali dalam dua bulan terakhir Sera bangun kesiangan. Semua ini tentu saja karena ulah Dimitri. Pria itu membuatnya
Hati-hati memikirkan sesuatu. Karena, terkadang, apa yang terus-terusan kamu pikirkan bisa menjadi kenyataan.Pikirkan hal buruk sejarang mungkin. Selalulah berpikiran soal hal baik dan positif.Dimitri menyesal. Entah sudah berapa kali mulut pria itu mengumpati diri sendiri di dalam mobil yang dilajukan secepat mungkin.Beberapa saat lalu, lelaki itu sedang berada di salah satu kantor pengacara. Berkonsultasi dengan Bimo, salah satu pengacara kenalan keluarganya. Bukan untuk urusan bisnis, kali ini Dimitri ingin membicarakan perihal perceraian.Memang kepala batu. Meski sudah diberi tamparan, pria itu masih kukuh untuk menyudahi pernikahan tampaknya. Membicarakan perceraian dengan seorang pengacara, itu salah satu bentuk keseriusan.Ia sudah sempat bicara sedikit dengan Bimo di kantor pengacara itu, sampai sebuah telepon dari nomor Sera masuk.Ketika dijawab, yang menyapa bukan Sera. Melainkan seora
"Buk, mau tidur?"Sera yang hampir terlelap di sofa mau tak mau membuka mata mendengar tanya itu. Dilihatnya Bu Ima berdiri di dekat meja. Sebagai jawaban, perempuan itu mengangguk pelan."Enggak makan dulu? Belum makan siang, 'kan?" Wanita itu melirik ke jam di dinding. Pukul empat, sudah amat terlambat untuk makan siang.Yang ditanyai tersenyum tanda terima kasih, mata mulai terpejam lagi. "Aku ngantuk, Buk. Enggak selera juga. Capek banget, padahal enggak melakukan apa-apa."Bu Ima mengangguk, meski raut cemas masih terpatri di wajah. Sebelum pergi, ia memakaikan selimut pada Sera.Suasana tenang membuat kantuk semakin menyerang. Namun, Sera masih harus menunda tidur karena ponsel di atas meja bergetar.Sebuah pesan gambar dari nomor tak dikenal datang. Berkedip beberapa kali untuk menjernihkan penglihatan, Sera mengetuk layar. Tak lama sebuah foto muncul.Gambar itu berisi Dimitri dan seorang perempuan. Sedang berdiri bersisian da
Suara tepuk tangan mengisi salah satu ruangan di panti asuhan Harapan. Pemenang lomba menggambar baru saja diumumkan.Senyum semringah terlukis di wajah Sera. Perempuan dengan gaun selutut berwarna biru itu maju ke depan dan memberikan hadiah pada si kecil Yasa. Anak lelaki berusia delapan tahun itu menerima bingkisan berisi tas, buku dan alat tulis itu dengan senyum lebar."Latihan terus gambarnya, biar makin pintar." Sera mengusap pucuk kepala Yasa. Sudah akan kembali ke kursi, tetapi lengannya ditarik.Yasa masih setia mempertontonkan deretan gigi. Menaruh hadiahnya di lantai, ia meminta wanita di hadapan untuk berjongkok.Sera menurut, meski sedikit bingung. Ketika wajah sudah sejajar dengan Yasa, anak lelaki itu memegangi pipi dan membuatnya menghadapkan pandang ke depan.Tulus, Yasa memberi satu ciuman sayang di pipi Sera. "Makasih banyak. Sayang Bu Sera banyak-banyak."