Sejak Aji tahu bahwa Haris sudah menikah, ia semakin mantap dan berani untuk melamar Brisya. Tidak ada lagi penghalang baginya. Brisya harus segera ia miliki seutuhnya, ia harus mengikatnya. Beberapa hari ini Aji sengaja meninggalkan Brisya sendiri di apartemen. Ia pamit dan beralasan akan menyelesaikan suatu hal yang penting. Aji mempersiapkan segala sesuatu untuk melamar Brisya dengan bantuan Zunita. Ia ingin momen ini menjadi kenangan yang tak terlupakan. Aji sengaja memilih sebuah cottage untuk tempatnya melamar. Nantinya Aji akan menghias taman belakang cottage sedemikian romantis dan indah untuk Brisya. "Boleh tau kenapa kamu tergila-gila pada Brisya??" Zunita memecah keheningan tiba-tiba.Aji menolehinya dan tersenyum. "Karena cuma dia yang bisa merubahku menjadi lebih baik.""Oh, ya??" Aji menolehi Zunita lagi, lalu kembali fokus dengan kemudinya. "Tumben kamu kepo?" Zunita tak menjawab, ia membuang muka. Sejak pulang dari Singapore entah mengapa perasaan Zunita tiba-tiba
Haris mengawasi kakaknya yang duduk di hadapannya dengan serius. Sepertinya ia sudah membuat kesalahan saat mabuk kemarin. Pipi kakaknya lebam, bibirnya luka sobek. Haris yakin itu karena ulahnya.Hendri pun mengawasi Haris dengan nanar, ia sudah menunggu momen ini sejak semalam, namun Haris bangun keesokan harinya usai ia mabuk. Beruntung Hendri sudah menukar jadwal prakteknya dengan dokter pengganti. Jadi ia lebih leluasa menunggu Haris bangun untuk menginterogasinya. "Jadi siapa gadis itu?"Haris membuang muka keki, ia paham alur pembicaraan kakaknya. "Gadis siapa??" tanya Haris berpura-pura.Hendri tersenyum kecut lalu menyilangkan tangan di dadanya pelan. "Gadis yang sudah membuat kamu jadi kaya gini! Brisya, ya, namanya?"Haris menolehi Hendri kaget, darimana Hendri tahu tentang Brisya? Apa Frans dan Vico memberitahunya?!"Aku mabuk bukan karena dia.""Oh, ya, tapi sepertinya nggak mungkin karena Vega, ya, kan??"Haris tak menyahut, ia tidak suka diinterogasi seperti ini."Ri
Sudah hampir 3 jam Aji menyetir mobilnya tanpa tujuan. Ia bingung harus ke mana agar bisa melupakan rasa jengkelnya atas perkataan Brisya tadi pagi. Ponsel di saku Aji tiba-tiba bergetar, ada panggilan masuk. Zunita is calling.."Ya, Zun!" sahut Aji sambil memasang airpodnya. "Ini aku on the way menjemput Brisya.""Jangan dulu!""Apa??"Aji menghembuskan nafasnya berat, ia lupa mengabari Zunita."Apa maksudmu dengan jangan dulu? EO sudah mendekor lokasi seperti yang kamu mau!""Bisa ditunda nggak?""Maksudmu??""Aku kayanya nggak jadi melamar Brisya hari ini, bagaimana kalo ditunda dua atau tiga hari lagi??""Kita cuma booking lokasi sampai besok, apa maksudmu dengan menunda sampai dua tiga hari??"Aji mengusap wajahnya kesal."Jangan membuang buang waktu dan uangmu hanya untuk hal yang tidak penting, mami bisa marah kalo tau—""Iya , okey, kamu jemput saja Brisya. Aku tunggu di cottage!"Aji memutuskan sambungan telefon dan memutar balik mobilnya. Semua sudah terlanjur bukan? Kita
Cukup lama Aji dan Brisya mengobrol sambil melahap makanan yang tersaji. Bahkan Aji yang biasanya susah makan jadi lahap dan kalap saat makan malam kali ini.Entah mengapa nafsu makannya bertambah bila makan berdua dengan Brisya. Apakah selera makannya juga mencintai Brisya?? Brisya masih tak menyadari rencana Aji untuk melamarnya malam ini. Ia hanya berpikir Aji mengajaknya makan malam romantis berdua. Usai makan, Aji pamit untuk ke toilet pada Brisya. Ia mulai bersiap-siap karena rencananya akan dimulai saat hari sudah gelap. Di taman ujung hotel ia mempersiapkan segalanya, meski dibantu oleh EO namun Aji mengkonsep semua yang ia inginkan sendiri. Saat sampai di taman, Aji bertemu dengan Zunita yang memang stand by atas perintahnya. "Are you ready?" tanya Zunita begitu melihat Aji muncul. Aji tersenyum pasti dan segera mengeluarkan ponselnya. Ia menghubungi Brisya. Brisya sedang melahap buah apel yang tiba-tiba saja beberapa hari ini menjadi buah favoritnya, saat kemudian ponse
Meski berat hati, namun pada akhirnya Haris mengikuti saran Hendri untuk pindah ke kota. Kakaknya benar, selama Haris masih berada di tempat yang memberinya kenangan bersama Brisya maka ia tak akan pernah bisa melupakan gadis kesayangannya itu. Haris harus menata hidupnya lagi. Sudah terlalu banyak hal yang membuatnya terpuruk, ia harus bangkit. Frans dan Vico masih tetap bekerja untuk Haris hingga kontrak dengan beberapa klien yang selesai, namun Haris memantau pekerjaan stafnya dari kota. Ia memilih untuk tinggal di apartemen Hendri dan bersembunyi dari Vega. Vega menolak untuk diperiksa oleh Hendri dengan alasan ia sudah memiliki dokter keluarga. Bahkan Vega menolak saat Hendri menawarkan untuk USG. Vega bersikeras untuk bertemu dengan Haris namun Hendri tak memberinya ijin selama Vega tidak mau diperiksa. Entah Haris harus berterimakasih pada Hendri atau iba pada Vega. Ia bahkan tidak tau apa yang ia rasakan sejak sepeninggal Brisya. Hidupnya hampa. Setiap hari yang ia lalui han
Brisya membuka mata saat perutnya terasa mual. Semalam ia minum segelas alkohol dengan Aji hingga larut malam. Ia menyibak selimut yang menutupi tubuhnya yang telanjang bulat dan berlari ke kamar mandi. "Huekkkkk... uhukk uhukkk.. huekk!!" Brisya memuntahkan semua isi perutnya ke toilet. Aji yang terbangun saat Brisya tiba-tiba berlari ke kamar mandi lekas menyusulnya dan memijat leher Brisya pelan. Brisya mendorong Aji agar menjauh karena khawatir ia akan jijik dengan muntahannya namun Aji tak bergeming, ia tetap berjongkok di samping Brisya dan memijat lehernya perlahan. Usai mengeluarkan seluruh isi perutnya, Brisya terduduk lemas. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Aji mengambilkan tisu untuk Brisya dan membersihkan sisa muntah di bibirnya. Ia tak sekalipun jijik. "Udah??" tanya Aji ragu saat Brisya tak bergeming dari samping closet. Brisya mengangguk pelan dan berdiri dengan dibantu Aji. Aji mengambilkan bathrobe untuk Brisya dan memakaikannya. Apakah Brisya hang over?
*Dwi Haris Bibrata, usia 30 tahun, lulusan Arsitek Universitas Negeri Mesir, magang 5 tahun di mesir dan kembali ke Indonesia 4 bulan yang lalu. Menikah sebulan yang lalu dengan tunangannya, Vega Haw Lyn,*Aji membaca pesan whatsapp dari Zunita dengan kesal, bukan info ini yang Aji inginkan. "Aji, ayo, sarapan!" Aji tersentak dan reflek menyembunyikan ponselnya cepat saat Brisya tiba-tiba muncul di hadapannya. Brisya mengernyitkan keningnya bingung, apa yang Aji sembunyikan darinya??"Ada apa?" tanya Brisya ragu.Aji menggeleng dan lekas berdiri, ia masih menyembunyikan ponselnya di balik tubuhnya. "Yuk, sarapan." Aji mendorong Brisya ke meja makan.Brisya masih penasaran namun ia lebih memilih untuk mengisi perutnya lebih dulu. Ia sudah kelaparan. "Hari ini jadi fitting gaunmu, kan??" tanya Aji mengalihkan suasana yang tiba-tiba dingin.Brisya mengangguk dan melahap makanannya. Tak terasa hari H-nya sudah tinggal menghitung hari. Entah mengapa Aji begitu terburu-buru ingin segera
Hari yang Aji tunggu akhirnya tiba, sehari sebelum acara Brisya dan Aji menginap di tempat yang berbeda. Brisya tidur dirumah Aji sementara Aji menginap di resort tempat ia melangsungkan acara besok. Pagi sebelum acara saat Brisya mandi, ia kembali menangis mengingat Haris. Sengaja Brisya berlama-lama di kamar mandi hanya untuk melampiaskan rasa sedihnya. Ini kali terakhir Brisya menangisi Haris, setelah ini ia tak akan mengingat lagi tentangnya. Saat di rias oleh MUA, mata Brisya kedapatan bengkak. Namun MUA itu membuat sembapnya lenyap secara ajaib. Brisya bersyukur bisa menutupinya. "Oh, yatuhannn, cantik sekali calon istri putraku!" seru Sofia saat masuk ke dalam kamar Aji yang ditempati Brisya. Brisya tersenyum malu, ia bahkan diperlakukan dengan sangat baik oleh keluarga Aji. "Terima kasih, Nak, untuk tetap bersama Aji hingga detik ini," lanjut Sofia seraya menghampiri Brisya dan memeluknya."Mulai hari ini, panggil aku Mama, karena kamu juga anak kami." Brisya mengangguk
Sejak satu jam yang lalu, Aji berdiri dengan gelisah di pintu menuju altar yang akan menjadi tempatnya mengucapkan sumpah pada Tuhan. Pernikahan yang tak terencana dan dipersiapkan dalam tempo waktu singkat membuat acara itu tak semewah seharusnya. Tak apa, Aji tak lagi menginginkan pernikahan mewah namun berakhir di tengah jalan seperti pernikahannya yang terdahulu. Stevany pun demikian, ia bukan tipe wanita ribet yang terlalu mementingkan detail. Baginya, inti dari pernikahan adalah janji yang diucapkan pada Tuhan, bukan gaun, dekorasi, catering dan lain-lain. Ia hanya membeli gaun seadanya di desainer langganan Mama Aji, bukan gaun custom seperti milik Brisya dulu. Semua keluarga di Sydney dan Melbourne datang untuk menyaksikan pernikahan sederhana itu. Pun Bu Shila dan orang tua Brisya tak luput dari undangan Aji. Ia ingin momen indahnya kali ini disaksikan oleh semua orang yang berharga dihidupnya. Lantunan musik terdengar saat Stevany datang digandeng oleh Thomas. Aji yang men
"Kamu mencintaiku?" tanya Aji lirih di telinga Stevany yang sedang terpejam di ranjangnya. Semalam, mereka berdua melampiaskan kerinduan yang selama ini tertahan. Aji tak membiarkan Stevany beristirahat barang sedetikpun, seolah tubuhnya yang tak sempat beristirahat seharian kemarin tak pernah lelah menjelajahi tiap jengkal tubuh gadisnya. Aji seperti kesetanan, memiliki Stevany yang merupakan perempuan pertama yang ia tiduri dalam keadaan perawan seolah anugerah yang tak akan pernah ia sia-siakan lagi. Stevany menggeliat di balik selimut tebal yang menutupi tubuh mereka berdua. Tanpa sadar sesuatu yang sedang tegang di bawah sana tersenggol hingga membuat Stevany terbelalak. Ia menoleh cepat pada Aji yang sedang tersenyum nakal menatapnya. "Aku menginginkannya lagi, Stev. Tolong aku," rengek Aji seraya merapatkan tubuhnya pada Stevany hingga junior yang mulai aktif itu menggesek di antara pahanya.Stevany memejamkan matanya gugup. Padahal semalam ia sudah seperti wanita binal, tap
Aji mendapatkan penerbangan pagi di keesokan harinya. Ia benar-benar lupa bila hari ini adalah hari besar Zunita. Beruntung Mamanya menelefon semalam, bila tidak, mungkin Aji akan kembali sibuk membantu Freya di kantor Ekspedisi. Jam 4 sore, pesawat yang ditumpangi Aji baru saja landing. Ia lebih dulu pulang ke apartemen untuk mandi dan berganti pakaian. Saat akan berangkat, ia lupa bila mobilnya ada di rumah papa dan mamanya. Alhasil, Aji datang ke acara Zunita dengan mengendarai taksi. Sepanjang perjalanan, suasana hatinya yang sempat memburuk selama di Sydney jadi semakin kacau balau. Ia pasti akan bertemu Brisya dan Haris di acara resepsi itu. Sudah lama sekali sejak ia bertemu mereka terakhir kali, entahlah apakah Aji akan sanggup melihat wanita yang pernah sangat ia cintai itu lagi. "Stop, Pak. Terima kasih!" Aji menyodorkan selembar uang seratus ribuan pada supir taksi dan bergegas membuka pintu. Ia keluar dan merapikan jasnya tanpa memperhatikan sosok yang berdiri mematung
Usai menulis surat untuk Stevany, Aji bergegas turun dan bersiap untuk pergi. Tak lupa ia mengirimkan pesan pada gadis itu untuk berpamitan dan langsung memblokir nomornya dari daftar kontak. Setidaknya hanya hal ini yang nantinya akan menjadi kenangan terakhir untuk Stevany, gadis itu harus melupakannya agar bisa kembali bangkit. Harus. Dengan hati hancur, Aji menarik kopernya keluar dari rumah Nenek Chloe. Ia tak memiliki tujuan, kembali ke Sydney mungkin adalah satu-satunya pilihan. Saat sedang berjalan sambil merenung, ponsel di saku celananya bergetar. Dengan lemas, Aji merogohnya dan membaca nama yang tertera di layar. Freya is calling ..."Halo," sapa Aji suntuk."Aji, aku sedang dalam perjalanan menuju bandara. Aku akan pulang duluan ke Sydney, apa kamu masih lama berada di Melbourne?" cerocos Freya tanpa jeda.Aji tersenyum lega. "Aku juga sedang perjalanan menuju bandara, Frey. Baiklah, sampai jumpa di rumah Nenek!" janjinya."Oke, baiklah. Sampai jumpa!"Tit. Aji memasuk
Hari minggu pun tiba, semalam Stevany mendapat surat undangan yang dikirim melalui chat oleh Brisya. Acara pernikahan Hendri dan Zunita, diadakan di hotel berbintang di Jakarta. Sejak pagi, Stevany sudah berada di Jakarta. Ia berencana membeli gaun terlebih dahulu lantas ke salon untuk dirias. Acaranya jam 3 sore, jadi masih ada banyak waktu untuk bersiap-siap. Stevany bahkan lupa bila ia pernah trauma untuk datang ke acara pernikahan, namun kini ia malah sangat antusias. Ia ingin tampil secantik mungkin di acara itu. Brisya memberi tahunya bila Aji pasti muncul karena pernikahan ini adalah acara spesial asisten pribadi Mamanya yang sudah dianggap keluarga sendiri oleh mereka. Diam-diam Stevany menjadi sangat penasaran seperti apa keluarga Aji, apakah nanti mereka akan memperlakukan Stevany dengan baik bila mengenalnya?? Stevany sudah kenal dengan Oma Donita yang sangat ramah dan gaul seperti Nenek Chloe. Semoga saja keluarga di Jakarta juga sebaik keluarga di Sydney, Stevany memba
Di dalam pesawat menuju Jogja, Stevany sedang berpikir keras. Perkataan Brisya kemarin selalu saja terngiang-ngiang di telinganya. "Kalo kamu mau ketemu Aji, datanglah hari minggu esok lusa. Aku akan memberimu alamatnya. Berdandanlah yang cantik. Aku yakin Aji akan datang di hari itu!" Ia memang akan berada di Indonesia selama seminggu kedepan. Bahkan mungkin bisa saja lebih lama bila ia tak kunjung bertemu dengan Aji. Kemarin Brisya memberi alamat dan nomor ponsel Mama Aji pada Stevany. Hanya untuk berjaga-jaga semisal nantinya Aji tak muncul di hari minggu esok lusa. Pesawat pun akhirnya landing di Bandara Udara Adisutjipto dengan selamat. Stevany lekas mengambil kopernya begitu melihatnya keluar dari bagasi. Sedikit terburu-buru karena ia sudah sangat tak sabar untuk bertemu Papa dan Maminya hari ini. Stevany sudah sangat rindu pada keduanya. Dari Bandara, ia bertolak ke kediaman kedua orang tuanya dengan menaiki taksi. Sepanjang jalan, Stevany tak hentinya tersenyum menyaksika
Bandar Udara Internasional Soekarno–Hatta. Stevany tiba di Indonesia tepat jam 1 siang. Ia lekas menarik kopernya dan mencegat taksi di luar. Dua hari yang lalu, Stevany berusaha mencari keberadaan dan kontak Brisya. Ia mencari di medsos manapun, dan beruntung bisa menemukan akun Instagramnya. Brisya masih mengingat Stevany, sempat mengobrol berbasa-basi di DM hingga akhirnya hari ini sudah membuat janji untuk bertemu. Stevany melarang Nenek Chloe memberi tahu Papanya bila ia berkunjung ke Indonesia, ia berencana akan memberi suprise pada mereka besok. Hari ini Stev sudah memiliki jadwal untuk menyelesaikan urusannya dengan Brisya. Namun lebih dulu, Stevany cek in di hotel yang sudah ia booking sejak kemarin.Usai beristirahat sebentar di hotel, Stevany bersiap-siap untuk pergi menemui Brisya di jam 4 sore. Mereka berdua sudah setuju untuk bertemu di Cafe yang berada tak jauh dari rumah Brisya. Cafe Lovable. Stevany tiba lebih dulu, suasana Cafe yang syahdu dengan musik mengalun
Sudah hari keenam sejak Aji pergi dan Stevany kehilangan jejak. Ponselnya masih tak aktif dan tidak ada yang tahu ke mana Aji pergi. Bahkan Oma Donita dan Tante Wilma sekalipun. Aji seperti lenyap ditelan bumi. Hari ini Nenek Chloe pulang, Stevany menjemputnya ke bandara. Selama di Melbourne, ia jarang sekali mengendarai mobil sedan klasik milik Papanya semasa muda. Hanya untuk keperluan mendesak saja Stevany membawanya, selebihnya ia kerapkali menaiki angkutan umum ke manapun pergi. "Apa kamu sudah bertemu dengan Aji?" tanya Nenek Chloe. Mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang dari bandara. "Belum, Nek. Sepertinya dia memang sengaja pergi dan tak ingin melihatku lagi.""Kenapa begitu? Bukannya kalian dulu pernah bekerja di tempat yang sama?""Dia mantan Bosku, Nek. Aku yang bekerja padanya." Stevany menyela dan menoleh pada Nenek Chloe sekilas.Nenek Chloe manggut-manggut seraya berpikir sejenak. "Apa dulu kalian juga sempat berpacaran? Tatapannya terlihat berbeda padamu, Ste
Suasana hati Stevany yang tadinya riang usai menghabiskan makan siang kiriman Jared, kini mendadak suram setelah membaca pesan dari Aji. Seketika itu dadanya terasa sakit, jadi Aji akan benar-benar pergi setelah semalam ia mengusirnya? Ada sedikit rasa sesal di hati Stevany, sejujurnya ia masih ingin menikmati waktu lebih lama bersama Aji. Bukankah sekarang mantan bosnya itu sudah sendiri? Ia bukan lagi pria beristri, kan? Jadi mengapa begitu terburu-buru dan malah menuruti perkataannya yang sedang dirundung emosi! Stevany memencet icon telefon pada sudut atas pesan chat itu. Tersambung, namun tak diangkat. Tiga kali Stevany mencoba, namun tetap tak diangkat oleh Aji. "Hiiih!" Stevany menggeram. Ia mengawasi layar ponselnya yang masih menyambungkan panggilan ke nomor Aji. Stevany bangkit dari kursi dan berjalan mondar-mandir sembari memijat keningnya yang kini berdenyut pusing. Debaran di dadanya masih terasa hingga kini, perutnya pun seketika jadi mulas. "Angkat, dong! Ck," deca