Perkataan Disya tentang Ayah dan Bundanya yang berada di rumah ini memang benar. Tadi, saat Devan datang ke rumah, dia langsung ke kamar. Karena Doni ada di halaman samping rumah, jadi Devan tidak melihatnya. Bahkan, dia tidak menyadari jika ada mobil milik Doni di parkiran. Mungkin karena Devan ingin cepat-cepat bertemu dengan Disya, jadi dia tidak terlalu memperhatikan.
Menatap manik mata Disya yang berkaca-kaca membuatnya merasa bersalah. Tapi, Devan sangat ingin memberitahukan tentang niatnya untuk menyudahi pernikahan ini kepada Disya.
"Terima kasih sudah membuat Disya bahagia," kata Doni.
Devan yang sedang memperhatikan Kai bermain dengan Disya juga Dina di gazebo langsung menatap ke arah Doni yang duduk di sampingnya. Doni yang juga sedang memperhatikan interaksi Kai, Dina, dan Disya kini menatap ke arah Devan.
Doni menampilkan senyumnya. "Saya melihatnya sendiri, kamu memperlakukan Disya dengan baik. Walaupun sangat sulit menghadapi Disya, dia san
Devan menarik bibirnya tersenyum melihat pemandangan di depannya. Seorang perempuan sedang sibuk dengan kegiatan memasaknya.Devan melangkah dengan mengendap-endap, dia ingin mengejutkan perempuan itu dengan kehadirannya."Aku tahu itu kamu, Dev," kata perempuan itu. Walaupun posisinya membelakangi Devan, tapi perempuan itu bisa menyadari bahwa Devan berada di belakangnya. Niat hati ingin mengejutkan perempuan itu gagal."Kenapa bisa tahu saya?" tanya Devan, lelaki itu dengan cepat memeluk Fatya dari belakang, menelusupkan wajahnya di ceruk leher Fatya.Fatya terkekeh, perlahan ia memutar tubuhnya untuk berhadapan dengan Devan. "Wangi tubuh kamu, aku tahu," kata Fatya mendekatkan hidungnya, lalu menghirup dalam-dalam aroma tubuh Devan.Devan menyunggingkan senyumnya.Fatya kembali berbalik membelakangi Devan. Mengambil sendok untuk mengambil sedikit sop buntut yang di buatnya, lalu menyodorkannya kepada Devan. "Cobain, udah enak belum?" kata
"Mom, aku mau pakai baju yang itu," kata Kai, menunjuk satu pakaian yang tergantung di lemarinya."Ini?" tanya Disya sambil mengambil pakaian yang di maksud oleh Kai.Kai mengangguk, lalu Disya membantu Kai untuk memakai pakaiannya."Nanti Kai jangan nakal ya, dengerin apa kata Bi Siti, Onty Nay sama Uncle Nathan, oke!""Oke!" Kai mengacungkan jari jempolnya dengan tersenyum."Mom, Daddy udah pulang ya?" tanya Kai lagi.Disya yang sedang mengancingkan baju Kai langsung terdiam. Namun, detik berikutnya ia mengangguk pelan sebagai jawaban untuk pertanyaan Kai."Aku mau ketemu Daddy," kata Kai semangat.Disya menatap Kai lembut dengan senyum manis di bibirnya. "Daddy masih tidur, Kai sarapan dulu sama Bi Siti. Nanti Mommy bangunin Daddy dulu, ya ...," ucap Disya sembari mengelus rambut Kai lembut.Bocah itu mengangguk-angguk semangat. Setelah selesai memakai pakaian dan sedikit menata penampilannya, Disya mengajak Kai untuk
"Kita mau ada acara di rumahnya Aisha," jelas Disya lagi, ini sudah yang kesekian kalinya Disya memberi tahu kepada Devan. Namun, lelaki itu tidak mau melepaskan pelukannya. "Bilang sama mereka kalau kamu tidak bisa ke sana," titah Devan. "Ya engga bisa gitu dong, Disya kan udah janji. Kemarin juga Disya engga jadi main sama temen-temen karena Pak Devan." "Kamu meninggalkan saya di rumah sendirian?" Disya selesai memakai lip blam, setelahnya kembali menatap penampilannya di cermin. "Iya, cuman sebentar kok. Disya janji," kata Disya membalikkan tubuhnya supaya berhadapan dengan Devan. Walaupun tidak rela, tetap saja Devan akhirnya mengangguk. "Saya antar ke rumah Aisha," kata Devan. Disya menggeleng cepat. "Disya nanti di jemput sama Fani kok. Bahaya banget kalau Pak Devan nganterin Disya, nanti yang harusnya jadi acara birthday party Aisha malah jadi acara interogasi Disya, kan aneh." "Kamu malu punya suami kaya saya?"
"Lihat aja, kalau Pak Devan terbukti punya perempuan lain di belakang kamu, aku orang pertama yang akan ngehajar dia!" murka Yumna dengan wajah yang menyiratkan kebencian.Alya, dan Fani saling menatap dalam diam. Sedangkan Disya, gadis itu juga sedang dalam mood tidak baik. Otaknya terus memikirkan siapa perempuan yang bersama Devan di foto."Mungkin itu bukan Pak Devan," kata Disya menatap Yumna yang duduk di sampingnya. Lebih tepatnya, dia meyakinkan dirinya sendiri jika lelaki di foto itu bukan Devan."Really? Walaupun foto itu engga nampakkin mukanya Pak Devan, tapi tetep aja postur tubuhnya kaya Pak Devan 'kan?" ujar Yumna lagi.Ya, Disya mengakui itu. Postur tubuhnya memang persis seperti Devan."Kayanya banyak banget deh orang-orang yang memang postur tubuhnya mirip," kata Fani yang duduk di samping Alya."Kamu lagi ngebela dia?" tanya Yumna.Fani merubah posisi duduknya, kepalanya menengok ke belakang menatap Yumna dan Disya
Suara nada dering panggilan dari ponsel yang berada di atas nakas membuat tidur si pemiliknya terusik. Kedua matanya perlahan mengerjap, menyesuaikan cahaya yang masuk.Fokusnya langsung tertuju kepada gadis yang sedang terlelap di pelukannya. Senyum Devan mengembang, tangan kanannya bergerak untuk merapihkan rambut Disya yang menutupi sebagian wajahnya sembari mengingat kejadian tadi malam, ya ... mereka kembali melakukannya. Ini yang kedua kalinya, tapi benar-benar selalu menakjubkan bagi Devan.Nada dering panggilan kembali berbunyi, ini yang kedua kalinya. Devan langsung mengulurkan tangan untuk melihat siapa gerangan yang meneleponnya pagi-pagi seperti ini.Air mukanya langsung berubah seketika saat melihat nama seseorang yang meneleponnya. Devan melirik ke arah Disya yang masih tertidur lelap, lalu mengangkat telepon itu."Hallo.""Dev, aku lagi ada di lift, sebentar lagi mau nyampe unit apartemen. Kamu di rumah?"Jantung Devan seketik
Naisya Queensa Fatyavia—nama lengkap gadis itu. Keluarga dan teman-temannya memanggilnya dengan sebutan Naisya. Sedangkan untuk sebutan Fatya—hanya Devan yang memanggilnya seperti itu.Ya ... Fatya adalah kekasih Devan, Fatya adalah anak dari Doni dan Gina, dan merupakan adik dari Samudra."Ada hubungan apa kamu dengan Devan?"Jantung Naisya seperti berhenti berdetak beberapa detik saat Samudra menanyakan hal itu. Apa iya Samudra sudah mengetahui hubungannya dengan Devan? Sejauh mana Samudra mengetahui rahasia tentangnya?Naisya mencoba mengabaikan pertanyaan Samudra, gadis itu kembali melangkah untuk menaiki tangga."Berhenti, Naisya!" teriak Samudra.Naisya menelan ludahnya, suara teriakan Samudra membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Samudra melangkah lebar, dan berdiri di hadapan Naisya."Aku dan Devan saling mencintai, Bang," katanya menatap Samudra dengan tatapan sendu."Aku tahu ini salah, Devan sudah mem
Mengetahui Disya adalah adiknya membuat Naisya syok tentu saja. Namun, jangan harap Naisya akan merasa kasihan dan memutuskan hubungannya dengan Devan setelah mengetahui semua itu. Justru fakta tersebut membuat Naisya semakin ingin memiliki Devan dan Kai seutuhnya.Menurut Naisya, perselingkuhannya dengan Devan bukan hal yang salah. Justru Disya yang memang harusnya pergi karena telah merebut hakknya.Devan mencintainya, itu yang Naisya tahu.Devan menuruni mobil dengan menenteng jas hitam yang sebelumnya dia pakai. Sebelum membuka pintu kayu dengan ukiran yang cantik di depannya, lelaki itu menengok ke kanan dan ke kiri seolah memperhatikan sekitar.Wajahnya tampak lesu, kancing bagian atas kemeja putihnya sudah terbuka beberapa, juga beberapa bagian kemejanya tampak sudah kusut.Seorang perempuan yang sedang duduk di depan televisi yang menyala langsung menengok saat mendengar suara pintu di buka. "Dev!" panggilnya dengan wajah yang berseri-seri.
Disya sudah seperti mayat hidup belakangan ini. Gadis itu kurang makan, kurang tidur, bahkan waktunya selalu di sibukkan di depan laptop, lembaran kertas, juga buku-buku tebal yang bertumpuk. Devan menyuruh Disya untuk mengambil waktu sidang paling dekat, yaitu hari Sabtu, yang seharusnya dilakukan hari Senin.Disya berjalan lunglai dengan membawa laptop menuju ruang kerja Devan. Disya menangkap sosok Devan yang sedang duduk di kursi kerjanya, dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Disya tahu, suaminya itu menyadari jika ia masuk, tapi karena terlalu fokus dengan laptop di depannya lelaki itu seolah tidak peduli.Ini sudah pukul sebelas lebih lima menit, tapi Devan tidak mengijinkan Disya untuk tidur sebelum ia selesai merevisi skripsinya."Pak Devan, benar-benar dosen galak!" Tidak tahu, sudah berapa kali kata-kata seperti itu muncul dari mulut Disya belakangan ini.Disya melangkah mendekati sofa panjang lalu merebahkan tubuhnya di sana, d
Hai teman-teman pembaca novel Om Duda! Waw! Akhirnya aku bisa menyelesaikan novel ini. Makasih buat teman-teman yang udah selalu baca novel ini dari chapter awal sampe akhir, aku juga selalu buat kalian nunggu beberapa hari untuk update. Maaf ya, aku belum bisa konsisten buat nulis. Terutama permintaan maaf dan makasih buat teman-teman yang udah ngikutin novel ini dari awal, novel yang pertama kali aku update di bulan Juni, dan selesai di bulan Maret—8 bulan, waktu yang cukup lama. Makasih loh kalian udah setia dan enggak kabur karena aku jarang update, hehehe .... Lagi-lagi ucapan makasih buat teman-teman yang udah ngasih review, trus komentar di setiap babnya, dan makasih sudah ngasih vote yaa ... walaupun aku jarang balas komentar kalian, tapi aku tetep baca kok, baca komentar kalian itu seruu! Kalau suka sama novel ini, ayo bantu kasih review-nya. Dari chapter satu sampai chapter akhir, kalian lebih suka chapter berapa? Kalian boleh kasih pendapat tentang
Katanya tidak perlu khawatir tentang jodoh. Sejauh apapun ia berada, pasti akan mencari jalannya sendiri untuk bertemu.Walaupun awalnya memang Devan tidak baik-baik saja karena perceraiannya dengan Disya, tapi Mamahnya selalu menasihatinya."Biarkan Disya pergi dulu, ia perlu menyembuhkan lukanya. Kalaupun kalian memang ditakdirkan berjodoh, Disya akan kembali, Tuhan akan mempersatukan kalian kembali."Devan seperti menemukan kembali harapannya.Terkadang memang ada kisah yang harus usai, meski rasa belum juga selesai. Devan sudah melukai hati Disya, lelaki itu akan membiarkan Disya pergi untuk menyembuhkan lukanya, jika memang Tuhan mentakdirkan mereka berjodoh, Devan yakin Disya akan kembali, sesuai apa yang dikatakan oleh Mamahnya.Dear Queen ....Saat saya pertama melihat kamu, saya cukup terkejut melihat wajah kamu seperti Ibu kandung Kai, netra berwarna coklat, bibir juga hidung mungil, serta kulit putih—semua bagian wajahnya te
"Gimana hotel di Lombok?" tanya Devan mencoba bangun dari baringannya dengan susah payah."Oke, tidak ada problem," jawab Diky membantu Devan untuk duduk bersender di kasurnya.Devan mengangguk pelan, terdengar hembusan napas dari lelaki itu, kedua matanya sengaja dia pejamkan, menahan sakit di semua bagian tubuhnya."Ayo, saya antar ke rumah sakit," kata Diky untuk yang kesekian kalinya mengajak Devan untuk pergi ke rumah sakit."Tidak perlu, ini hanya sakit biasa.""Saya akan panggilkan dokter kalau begitu.""Tidak usah! Ini saya kurang istirahat saja," kata Devan. "Kai, ada?" tanya Devan. Sudah tiga hari ini, Devan tidak bertemu dengan putranya."Masih di rumah Disya, katanya hari ini akan di antar pulang ke sini."Devan mengangguk sekilas. Lalu kembali memejamkan matanya dengan kepala yang bersandar di kepala ranjang.Diky menatap wajah Devan dengan seksama. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya lemas. Sudah tiga hari ini De
Disya menghela napasnya pelan, ia sudah berada di depan pintu ruang HCU. Naisya yang berada di samping Disya mengulurkan tangannya kepada Disya. Disya menatap tangan Naisya lalu menatap wajah perempuan itu."Ayo!" kata Naisya tersenyum.Disya tersenyum kecil lalu membalas uluran tangan Naisya. Keduanya melangkah memasuki ruangan HCU.Samudra yang ada di dalam ruangan langsung menatap ke arah keduanya. Semulanya wajahnya terkejut melihat kedatangan mereka. Namun, saat matanya melirik tangan keduanya yang saling bergandengan membuat senyum merekah di bibir Samudra."Kalian?"Disya menatap Samudra lalu mengulas senyum kecil di bibirnya, begitu juga dengan Naisya."Pah, lihat siapa yang datang," kata Samudra excited."Queen ...," sapa Doni dengan suara lirihnya.Naisya menatap Disya, lalu mengangguk pelan, menyuruh Disya untuk menemui Doni.Tautan tangan Disya dan Naisya terlepas. Kaki Disya melangkah perlahan menghampiri br
Disya menatap lekat-lekat wajah Devan. Tangannya terulur untuk mengelus pipi suaminya lembut. Memang benar apa kata Bundanya, penampilan Devan berubah, tubuhnya kurusan, rambutnya gondrong, tumbuh berewok di sekitaran dagunya."Pak Devan enggak pernah cukuran ya?" tanya Disya lirih.Devan masih tertidur pulas, itu kenapa Disya berani menyentuh wajah Devan. Bohong jika Disya mengatakan ia tidak merindukan Devan—Disya sangat merindukan suaminya."Pak Devan kelihatan aneh kalau berewokan. Kalau Pak Devan brewokan kelihatan kaya om-om beneran," kata Disya masih tetap menyentuh pipi Devan. "Disya lebih suka Pak Devan yang klimis, ganteng banget tahu ...."Disya kembali memperhatikan wajah Devan, hidung bangirnya, alis tebal, juga bulu matanya yang panjang—Disya merindukannya."Pak Devan kok kurusan? Memang di rumah kekurangan makanan, huh?""Penampilan Pak Devan benar-benar beda dari biasanya. Aneh, waktu Disya pertama kali lihat Pak
Disya sedang bergelung dipelukan Bundanya. Gadis itu sudah menceritakan semuanya tentang kejadian tadi siang.Devan, lelaki itu sedang mengobrol dengan Kakek dan Nenek Disya di teras. Satu jam yang lalu mereka baru saja selesai makan malam bersama.Kakek, Nenek, dan Dina menyambut hangat kedatangan Devan. Bersikap seolah tidak terjadi apapun. Bukan tidak marah kepada Devan, tapi mereka sudah memaafkan lelaki itu. Nasi sudah menjadi bubur, masa lalu tidak bisa diubah. Mereka menyerahkan semuanya kepada Disya. Walaupun nanti akhirnya mereka berpisah, tapi silaturahmi tetap harus dijaga bukan?"Disya harus gimana Bunda?" tanya Disya lirih."Kamu masih mencintai Devan?" tanya Dina mengelus sayang rambut putrinya. Disya memanyunkan bibirnya, sepertinya pertanyaan itu tidak perlu Disya jawab pun, Bundanya sudah mengetahui kalau Disya masih mencintai Devan."Bunda tidak perlu mendikte apa yang harus kamu lakukan, kamu sudah dewasa sekarang, kamu bisa meni
Disya beneran enggak suka duduk di kantin kampus. Pak Devan tahu karena apa? Mahasiswi di sana selalu aja ngomongin Pak Devan, muji-muji Pak Devan, bahkan ada yang ngaku-ngaku kalau dia istri Pak Devan katanya. Ih, nyebelin kan?!Terus juga kenapa sekretaris Pak Devan harus punya bodi kaya gitar spanyol? Kenapa enggak nyari sekretaris yang laki-laki aja? Pak Devan tahu, Disya beneran enggak suka lihat Pak Devan sama Bu Sasya. Disya minder, Bu Sasya kelihatan lebih cocok kalau jalan beriringan sama Pak Devan dibanding sama Disya. Kenapa sih orang-orang selalu ngira kalau Disya itu adik Pak Devan? Karena Disya pendek, gitu? Tinggi Disya juga enggak sampai pundak Pak Devan. Ah! Enggak pokonya ini salah Pak Devan, karena Pak Devan yang ketinggian!Terus Pak Devan kenapa sih ganteng banget, huh? Bisa enggak sih gantengnya cuman bisa dilihat sama Disya aja, trus kalau Pak Devan ketemu orang-orang mukanya di jelek-jelekin aja gitu, biar yang naksir Pak Devan cuman Disya doang
Pak Devan tahu enggak sih, Disya tuh rasanya pengen banget nanyain sama Mamah Maya, bener enggak sih Pak Devan anak kandung Mamah Maya sama Papah Husein? Pak Devan tuh enggak humoris kaya Mamah, Papah sama Naya. Jangan-jangan Pak Devan anak pungut lagi! Pak Devan tuh jutek, dingin, trus kalau bicara irit banget. Bicara panjang lebar kalo lagi marahin Disya aja, trus Pak Devan selalu aja pakai istilah-istilah dan kata-kata yang kadang Disya harus loading dulu buat paham. Huh! Nyebelin.Pak Devan juga selalu ngelarang Disya sama Kai buat makan cokelat, es krim, ciki-cikian, junk food, pokonya semua makanan enak deh. Pak Devan tuh manusia ter-aneh yang pernah Disya temuin tahu! Mana ada manusia yang enggak suka makanan enak banget kaya gitu ... Aish, aneh!Devan menyunggingkan senyumnya setelah selesai membaca tulisan tangan Disya yang ada di kertas berwarna merah muda itu. "Apa saya perlu tes DNA untuk membuktikan saya anak kandung Mamah dan Papah? Dan, makanan seperti i
Tepat pukul satu siang Disya terbangun. Dina yang selalu berada di samping Disya, menemani putrinya. Saat siuman, Disya langsung khawatir tentang keberangkatannya ke Yogyakarta yang harus dibatalkan karena Disya berada di rumah sakit sekarang."Hari ini kita harus pergi, Bunda ...," kata Disya lagi.Dina menggeleng. "Kamu harus pulih dulu, sayang," jawab Dina sembari mengelus pucuk kepala Disya lembut."Disya baik-baik aja kok! Disya cuman kecapean aja, enggak perlu dirawat juga," kata Disya.Sebenarnya itu tidak benar. Disya merasakan keram di bagian perutnya. Namun, dia harus berbohong karena gadis itu benar-benar ingin cepat pergi dari kota itu."Kamu harus tetap di sini, sayang."Disya memanyunkan bibirnya."Ayo makan dulu," ucap Dina. Mengambil makanan yang sudah disediakan. Disya menerima suapan yang disodorkan oleh Bundanya. Dina terus memperhatikan gerak-gerik Disya yang selalu menatap pintu yang tertutup rapat, wajah pu