Kai terus mendongakkan wajahnya menatap Fatya dengan seksama. Fatya mengelus rambut Kai lembut dengan menampilkan senyumnya. "Ada apa, Kai?" tanya Fatya lembut.
"Muka Onty, mirip dengan Mommy," jawab Kai.
Mendengar jawaban Kai, hati Fatya terasa begitu bahagia. Apa putranya mengenalnya meskipun belum tahu jika Fatya adalah ibu kandungnya? Pikir Fatya.
"Iya kan, Dad?" Kali ini Kai mengalihkan pandangannya menatap Devan. Devan yang sedari tadi hanya diam dengan pandangan menatap lurus ke depan mengalihkan pandangannya menatap Kai, dan Fatya bergantian.
"Hm."
Ting!
Pintu lift terbuka, ketiganya langsung keluar dari dalam lift.
"Selamat siang, Pak Devan," sapa lelaki paruh baya yang berjaga di di depan pintu lift. Devan hanya menatapnya sekilas lalu mengangguk pelan.
Apartemen dibangun dengan fasilitas sebanyak dan senyaman mungkin agar para penyewa maupun penghuni di bangunan tersebut menjadi betah. Ada banyak sekali fasilitas yan
Devan keluar dari ruang kerjanya. Sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, matanya celingukan mencari keberadaan Disya. Namun, suasana kamar sepi. 'Dimana dia?' ucapnya dalam hati lalu berjalan keluar dari kamar.Saat sedang menuruni tangga, samar-samar Devan mendengar suara televisi yang menyala, juga suara beberapa orang yang tertawa."Pak Devan," sapa Disya, rupanya gadis itu sudah menyadari jika Devan sedang menuruni tangga, dan akan menuju ke arahnya."Sini-sini, kita lagi nonton film lucu loh," lanjut Disya lagi sambil mengayun-ayunkan tangan kanannya dengan tujuan agar Devan cepat-cepat menghampirinya.Devan melirik ke arah layar televisi yang menampilkan film kartun Tom & Jerry. Tayangan tanpa dialog antar pemain itu yang berhasil membuat suara tawa Disya, Kai, dan asisten rumah tanngganya terdengar cukup kencang.Devan menatap Kai yang duduk di samping Disya. Disya memegang es krim, begitu juga dengan Bu Siti, dan
Menikah dengan Devan sebenarnya adalah keberuntungan bagi Disya. Tidak banyak kan orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama, dan langsung di nikahi beberapa hari setelahnya sama si doi?Sifat dan karakter Devan memang sangat bertolak belakang dengan Disya. Keduanya pasti sangat merasa kesusahan untuk menyesuaikan, dan mengenali karakter masing-masing.Devan sudah dikenal dengan sebutan 'Dosen galak' oleh mahasiswanya. Disya tidak akan mengelak itu, memang benar suaminya itu sangat-sangat galak, bicaranya selalu terdengar menyebalkan.Banyak sekali peraturan-peraturan yang Devan buat untuk orang-orang yang tinggal di rumahnya. Contohnya, tidak ada makanan cepat saji di dapur, semuanya harus di masak dengan bahan-bahan yang sehat, higienis dan terjamin kesehatannya. Tidak boleh ada cemilan, seperti makanan-makanan ringan dan yang lainnya.Kalau Disya membuka pintu kulkas, tubuhnya mendadak lemas karena isi di dalam kulkas hanya ada sayur-sayuran, daging
Devan menundukkan wajahnya, memperhatikan kedua tangan Disya yang sedang memasangkan dasi untuknya.Suara seorang perempuan dari layar iPad terdengar, Disya mengikuti setiap instruksi yang di buat oleh si perempuan. Video tutorial itu sudah di putar berulang-ulang kali, namun Disya tetap belum selesai juga. Videonya hanya berdurasi kurang lebih tiga menit, tapi Disya sudah melakukannya lebih dari lima belas menit."Biar saya saja!" kata Devan menepis tangan Disya."Disya bisa kok," kata Disya, tangannya terus mengotak-atik dasi hitam milik Devan."Meating saya nanti telat!"Disya memanyunkan bibirnya, dia akhirnya menyerah. Devan menatap pantulan dirinya di cermin, lalu mulai menyimpul dasinya sendiri.Tadi, Disya punya inisiatif untuk memakaikan dasi di leher Devan. Supaya kaya di adegan film-film romantis yang pernah di tonton, katanya. Namun, karena tidak bisa, Disya mencari tutorial di internet. Dan tetap saja itu tidak berhasil.
Apa kalian pikir seseorang seperti Devan tidak punya rasa malu? Kalau berpikir seperti itu, kalian salah besar! Hanya karena muka lempengnya saja, jadi raut malunya tidak terlalu kentara sekali.Devan sangat malu tadi, adik dan sepupunya memergokinya saat sedang bersama Disya.Wajah malu Disya juga pipinya yang bersemu merah, selalu berhasil membuat Devan gemas. Devan lelaki normal, dia tidak akan tahan jika tidak menyentuh Disya, apalagi Disya sudah berstatus sebagai istrinya. Devan boleh melakukan apapun kepadanya, bukan?Kejadian tadi bukan yang pertama kalinya, Devan pernah melakukan itu sebelum-sebelumnya."Pak Devan ... udah!" kata-kata Disya selalu memaksa kegiatan Devan untuk tidak melanjutkannya terlalu jauh.Walaupun tidak berbicara, dan berterus terang. Tapi, Devan mengerti jika istrinya itu memang tidak mau melakukan itu—ah lebih tepatnya belum mau melakukan hal yang lebih 'intim'Devan harus lebih banyak bersabar sep
Disya membuka aplikasi microsoft word di laptopnya. Tidak ada yang sedang ia kerjakan, hanya mengetik random.Sesekali matanya melirik suaminya yang sedang duduk di kursi kerja dengan jemari-jemarinya yang bergerak di atas keyboard, ada banyak sekali kertas-kertas dan buku-buku yang bertebaran di atas meja. Pandangannya juga tetap fokus menatap layar monitor di depannya.Kali ini Disya membuka aplikasi YouTube, mengklik salah satu video yang berada di urutan paling atas yang ada di berandanya. Ia sengaja menambah volumenya."Kamu tidak tuli, 'kan?" sindir Devan.Disya semakin memanyunkan bibirnya, ia mendelik menatap suaminya, lalu menekan tombol pause, sehingga tayangan video terhenti. Sudah berbagai kode ia lakukan untuk mencari perhatian, namun hal itu tidak di gubris oleh Devan."Pak Devan ...." rengek Disya."Hm." Devan hanya berdehem, matanya masih terus fokus menatap laptopnya."Disya bosen banget!""Tidur saja kalau beg
Hari ini tiba, entah ini kebetulan atau bagaimana. Devan akan bertemu dengan keluarga besar Disya, setelah kemarin lusa Disya bertemu dengan keluarga besar Devan di acara pertunangan Syiren dan Diky.Sekali lagi, helaan napas berat Disya hembuskan. Devan melepaskan safety belt, lalu melirik Disya yang ada di sampingnya. "Ayo!"Devan keluar dari mobil, begitu juga dengan Disya yang tidak lama menyusul.Devan menyerahkan kunci mobil kepada seorang lelaki untuk memarkirkan mobilnya. Tempat ini sudah sangat ramai banyak orang.Devan menarik pundak Disya agar gadis itu sejajar dengannya. Disya mendongakkan wajahnya menatap Devan dengan tatapan muram.Lelaki itu tersenyum, mendekatkan keningnya dengan kening Disya. "Wajah muram itu tidak cocok denganmu," kata Devan pelan.Disya membalas senyuman suaminya. Lalu keduanya berjalan masuk. Disya bisa merasakan jika banyak sekali pasang mata yang menatap ke arahnya juga Devan. Orang-orangnya tentu lebih
"Ini hasil ulangan kalian Minggu lalu," kata Devan. Menatap Alif, seolah mengerti Alif berdiri dari duduknya dan menghampiri Devan untuk mengambil tumpukan kertas itu yang akan dibagikan kepada teman-temannya."Mana punyaku," kata Disya semangat, menyodorkan tangannya untuk menerima kertas hasil ulangannya. Mata Disya berbinar menatap nilai yang ada di kertas itu.Sembilan puluh dua, menakjubkan!Senyumnya langsung mengembang, gadis itu menggerak-gerakkan kakinya bahagia."Waw! Kenapa engga dari dulu Sya, kamu kaya gini," kata Fani yang ikut mengintip hasil nilai ulangan milik Disya.Disya menatap Fani lalu terkekeh. Setelahnya ia menggeser pandangannya menatap Devan yang juga sedang menatapnya, jangan lupakan senyum bahagia yang terus merekah dari bibirnya."Bahagia banget," sindir Alya.Disya memutuskan kontak matanya dengan Devan, lalu melirik Alya. "Iya dong!"Pembelajaran sudah berakhir, ada beberapa mahasiswa yang sudah k
'Aku mencintai kamu'Kata itu, dan semacamnya tidak pernah keluar dari mulut Devan. Walaupun begitu, sifat Devan lambat laun sudah berubah—maksudnya lelaki itu tidak sedingin dulu. Kadang dia juga selalu tersenyum kecil, terkekeh, dan juga tertawa jika Disya melakukan sesuatu hal yang lucu atau bertingkah menggemaskan.Tapi ... saat menjadi dosen, tetap saja dia galak!"Saya harus profesional," kata Devan saat itu.Jangan kira punya suami dosen macam Pak Devan itu, selalu dapat nilai A. Makalah, jurnal, dan sejenisnya tidak di revisi."Kamu mahasiswi saya di kampus, kenapa harus di beda-bedakan?" tanya Devan, kepada Disya yang sedang merajuk karena di suruh merevisi jurnalnya saat itu.Walaupun begitu, Devan memberikan bocoran materi apa yang akan diajarkannya di kelas, kepada Disya saat malam harinya. Setidaknya Disya bisa mempelajari itu terlebih dahulu daripada teman-temannya, dan selain itu Devan memiliki banyak sekali buku-buku ya
Hai teman-teman pembaca novel Om Duda! Waw! Akhirnya aku bisa menyelesaikan novel ini. Makasih buat teman-teman yang udah selalu baca novel ini dari chapter awal sampe akhir, aku juga selalu buat kalian nunggu beberapa hari untuk update. Maaf ya, aku belum bisa konsisten buat nulis. Terutama permintaan maaf dan makasih buat teman-teman yang udah ngikutin novel ini dari awal, novel yang pertama kali aku update di bulan Juni, dan selesai di bulan Maret—8 bulan, waktu yang cukup lama. Makasih loh kalian udah setia dan enggak kabur karena aku jarang update, hehehe .... Lagi-lagi ucapan makasih buat teman-teman yang udah ngasih review, trus komentar di setiap babnya, dan makasih sudah ngasih vote yaa ... walaupun aku jarang balas komentar kalian, tapi aku tetep baca kok, baca komentar kalian itu seruu! Kalau suka sama novel ini, ayo bantu kasih review-nya. Dari chapter satu sampai chapter akhir, kalian lebih suka chapter berapa? Kalian boleh kasih pendapat tentang
Katanya tidak perlu khawatir tentang jodoh. Sejauh apapun ia berada, pasti akan mencari jalannya sendiri untuk bertemu.Walaupun awalnya memang Devan tidak baik-baik saja karena perceraiannya dengan Disya, tapi Mamahnya selalu menasihatinya."Biarkan Disya pergi dulu, ia perlu menyembuhkan lukanya. Kalaupun kalian memang ditakdirkan berjodoh, Disya akan kembali, Tuhan akan mempersatukan kalian kembali."Devan seperti menemukan kembali harapannya.Terkadang memang ada kisah yang harus usai, meski rasa belum juga selesai. Devan sudah melukai hati Disya, lelaki itu akan membiarkan Disya pergi untuk menyembuhkan lukanya, jika memang Tuhan mentakdirkan mereka berjodoh, Devan yakin Disya akan kembali, sesuai apa yang dikatakan oleh Mamahnya.Dear Queen ....Saat saya pertama melihat kamu, saya cukup terkejut melihat wajah kamu seperti Ibu kandung Kai, netra berwarna coklat, bibir juga hidung mungil, serta kulit putih—semua bagian wajahnya te
"Gimana hotel di Lombok?" tanya Devan mencoba bangun dari baringannya dengan susah payah."Oke, tidak ada problem," jawab Diky membantu Devan untuk duduk bersender di kasurnya.Devan mengangguk pelan, terdengar hembusan napas dari lelaki itu, kedua matanya sengaja dia pejamkan, menahan sakit di semua bagian tubuhnya."Ayo, saya antar ke rumah sakit," kata Diky untuk yang kesekian kalinya mengajak Devan untuk pergi ke rumah sakit."Tidak perlu, ini hanya sakit biasa.""Saya akan panggilkan dokter kalau begitu.""Tidak usah! Ini saya kurang istirahat saja," kata Devan. "Kai, ada?" tanya Devan. Sudah tiga hari ini, Devan tidak bertemu dengan putranya."Masih di rumah Disya, katanya hari ini akan di antar pulang ke sini."Devan mengangguk sekilas. Lalu kembali memejamkan matanya dengan kepala yang bersandar di kepala ranjang.Diky menatap wajah Devan dengan seksama. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya lemas. Sudah tiga hari ini De
Disya menghela napasnya pelan, ia sudah berada di depan pintu ruang HCU. Naisya yang berada di samping Disya mengulurkan tangannya kepada Disya. Disya menatap tangan Naisya lalu menatap wajah perempuan itu."Ayo!" kata Naisya tersenyum.Disya tersenyum kecil lalu membalas uluran tangan Naisya. Keduanya melangkah memasuki ruangan HCU.Samudra yang ada di dalam ruangan langsung menatap ke arah keduanya. Semulanya wajahnya terkejut melihat kedatangan mereka. Namun, saat matanya melirik tangan keduanya yang saling bergandengan membuat senyum merekah di bibir Samudra."Kalian?"Disya menatap Samudra lalu mengulas senyum kecil di bibirnya, begitu juga dengan Naisya."Pah, lihat siapa yang datang," kata Samudra excited."Queen ...," sapa Doni dengan suara lirihnya.Naisya menatap Disya, lalu mengangguk pelan, menyuruh Disya untuk menemui Doni.Tautan tangan Disya dan Naisya terlepas. Kaki Disya melangkah perlahan menghampiri br
Disya menatap lekat-lekat wajah Devan. Tangannya terulur untuk mengelus pipi suaminya lembut. Memang benar apa kata Bundanya, penampilan Devan berubah, tubuhnya kurusan, rambutnya gondrong, tumbuh berewok di sekitaran dagunya."Pak Devan enggak pernah cukuran ya?" tanya Disya lirih.Devan masih tertidur pulas, itu kenapa Disya berani menyentuh wajah Devan. Bohong jika Disya mengatakan ia tidak merindukan Devan—Disya sangat merindukan suaminya."Pak Devan kelihatan aneh kalau berewokan. Kalau Pak Devan brewokan kelihatan kaya om-om beneran," kata Disya masih tetap menyentuh pipi Devan. "Disya lebih suka Pak Devan yang klimis, ganteng banget tahu ...."Disya kembali memperhatikan wajah Devan, hidung bangirnya, alis tebal, juga bulu matanya yang panjang—Disya merindukannya."Pak Devan kok kurusan? Memang di rumah kekurangan makanan, huh?""Penampilan Pak Devan benar-benar beda dari biasanya. Aneh, waktu Disya pertama kali lihat Pak
Disya sedang bergelung dipelukan Bundanya. Gadis itu sudah menceritakan semuanya tentang kejadian tadi siang.Devan, lelaki itu sedang mengobrol dengan Kakek dan Nenek Disya di teras. Satu jam yang lalu mereka baru saja selesai makan malam bersama.Kakek, Nenek, dan Dina menyambut hangat kedatangan Devan. Bersikap seolah tidak terjadi apapun. Bukan tidak marah kepada Devan, tapi mereka sudah memaafkan lelaki itu. Nasi sudah menjadi bubur, masa lalu tidak bisa diubah. Mereka menyerahkan semuanya kepada Disya. Walaupun nanti akhirnya mereka berpisah, tapi silaturahmi tetap harus dijaga bukan?"Disya harus gimana Bunda?" tanya Disya lirih."Kamu masih mencintai Devan?" tanya Dina mengelus sayang rambut putrinya. Disya memanyunkan bibirnya, sepertinya pertanyaan itu tidak perlu Disya jawab pun, Bundanya sudah mengetahui kalau Disya masih mencintai Devan."Bunda tidak perlu mendikte apa yang harus kamu lakukan, kamu sudah dewasa sekarang, kamu bisa meni
Disya beneran enggak suka duduk di kantin kampus. Pak Devan tahu karena apa? Mahasiswi di sana selalu aja ngomongin Pak Devan, muji-muji Pak Devan, bahkan ada yang ngaku-ngaku kalau dia istri Pak Devan katanya. Ih, nyebelin kan?!Terus juga kenapa sekretaris Pak Devan harus punya bodi kaya gitar spanyol? Kenapa enggak nyari sekretaris yang laki-laki aja? Pak Devan tahu, Disya beneran enggak suka lihat Pak Devan sama Bu Sasya. Disya minder, Bu Sasya kelihatan lebih cocok kalau jalan beriringan sama Pak Devan dibanding sama Disya. Kenapa sih orang-orang selalu ngira kalau Disya itu adik Pak Devan? Karena Disya pendek, gitu? Tinggi Disya juga enggak sampai pundak Pak Devan. Ah! Enggak pokonya ini salah Pak Devan, karena Pak Devan yang ketinggian!Terus Pak Devan kenapa sih ganteng banget, huh? Bisa enggak sih gantengnya cuman bisa dilihat sama Disya aja, trus kalau Pak Devan ketemu orang-orang mukanya di jelek-jelekin aja gitu, biar yang naksir Pak Devan cuman Disya doang
Pak Devan tahu enggak sih, Disya tuh rasanya pengen banget nanyain sama Mamah Maya, bener enggak sih Pak Devan anak kandung Mamah Maya sama Papah Husein? Pak Devan tuh enggak humoris kaya Mamah, Papah sama Naya. Jangan-jangan Pak Devan anak pungut lagi! Pak Devan tuh jutek, dingin, trus kalau bicara irit banget. Bicara panjang lebar kalo lagi marahin Disya aja, trus Pak Devan selalu aja pakai istilah-istilah dan kata-kata yang kadang Disya harus loading dulu buat paham. Huh! Nyebelin.Pak Devan juga selalu ngelarang Disya sama Kai buat makan cokelat, es krim, ciki-cikian, junk food, pokonya semua makanan enak deh. Pak Devan tuh manusia ter-aneh yang pernah Disya temuin tahu! Mana ada manusia yang enggak suka makanan enak banget kaya gitu ... Aish, aneh!Devan menyunggingkan senyumnya setelah selesai membaca tulisan tangan Disya yang ada di kertas berwarna merah muda itu. "Apa saya perlu tes DNA untuk membuktikan saya anak kandung Mamah dan Papah? Dan, makanan seperti i
Tepat pukul satu siang Disya terbangun. Dina yang selalu berada di samping Disya, menemani putrinya. Saat siuman, Disya langsung khawatir tentang keberangkatannya ke Yogyakarta yang harus dibatalkan karena Disya berada di rumah sakit sekarang."Hari ini kita harus pergi, Bunda ...," kata Disya lagi.Dina menggeleng. "Kamu harus pulih dulu, sayang," jawab Dina sembari mengelus pucuk kepala Disya lembut."Disya baik-baik aja kok! Disya cuman kecapean aja, enggak perlu dirawat juga," kata Disya.Sebenarnya itu tidak benar. Disya merasakan keram di bagian perutnya. Namun, dia harus berbohong karena gadis itu benar-benar ingin cepat pergi dari kota itu."Kamu harus tetap di sini, sayang."Disya memanyunkan bibirnya."Ayo makan dulu," ucap Dina. Mengambil makanan yang sudah disediakan. Disya menerima suapan yang disodorkan oleh Bundanya. Dina terus memperhatikan gerak-gerik Disya yang selalu menatap pintu yang tertutup rapat, wajah pu