"Naya benaran mau balik lagi ke Lampung?" tanya Diky menatap Devan yang masih berkutat dengan laptop di depannya. Yang dibalas dengan anggukkan pelan dari lawan bicaranya.
"Kenapa?""Naya ngga bilang sama saya alasannya apa. Waktu saya tanya kenapa harus kembali ke Lampung dan jawaban dia 'hanya ingin' katanya."Diky mengernyit bingung. "Saya masih heran kenapa dengan tiba-tiba Naya membuat keputusan yang menggeparkan seluruh keluarga besar karena secara sepihak memutuskan hubungannya dengan Nathan, dan memilih langsung pergi ke Lampung. Apa tidak curiga ada sesuatu hal?"Devan yang sedari tadi berkutat dengan laptop dan pekerjaannya bahkan sampai menghentikan kegiatannya mendengar perkataan Diky. "Maksudmu?""Ya... apa coba alasan Naya mutusin hubungannya dengan Nathan secara sepihak gitu? Bosan katanya? Kalau pun bosan atau ada lelaki lain yang membuat Naya jatuh cinta dan berani meninggalkan Nathan. Mana lelaki itu sekarang? Apa Naya pernah menjalin hubungan dengan seseorang setelah hubungannya dengan Nathan kandas. Bahkan apa coba yang dilakukan Naya di Lampung, sibuk dengan toko bunga Omanya. Apa tidak merasa jika tiga tahun ini Naya banyak berubah?" jelas Diky yang mengeluarkan semua kebingungan di kepalanya selama ini.Walaupun Diky selama ini tinggal di Lombok dia tidak pernah ketinggalan berita keluarga Ganendra sedikit pun. Sekedar informasi saja, jika tepatnya kemarin Diky dan Syiren baru tiba di kota ini. Syiren sedang mengandung, usia kandungannya sudah memasuki bulan ke-7, dan perempuan itu mengidam ingin sekali memakan telur gulung yang dijual oleh ibu paruh baya yang selalu berjualan di depan salah satu sekolah dasar di dekat butiknya. Akhirnya mereka berada di kota ini untuk beberapa hari. Diky adalah tipikal suami yang sangat bucin dan tentu saja, apapun yang Syiren inginkan maka Diky akan berusaha menurutinya kalau memangg dia masih mampu.Walaupun Devan dibuat geli sendiri sebenarnya setelah mendengar alasan pasangan suami istri ini rela datang ke kota ini hanya karena acara mengidam Syiren yang ingin memakan telur gulung yang dijual di depan sekolah dasar itu."Bukankah kamu terlalu berlebihan?" tanya Devan.Diky diam untuk beberapa detik, namun setelahnya mengambil sebuah majalah dan melemparnya ke arah Devan, beruntungnya Devan dengan cepat bisa menangkap majalah itu sebelum mengenai wajahnya. "Dasar tidak sopan!" ketus Devan menatap Diky.Diky balas menatap Devan dengan tatapan tidak bersahabat. "Bekerja denganmu beberapa tahun ini membuat saya sudah seperti seorang detektif saja. Ini semua salahmu, itulah kenapa saya selalu berpikir keras tentang kemungkinan-kemungkinan dari masalah hidup seseorang," kata Diky ketus yang berhasil membuat Devan tertawa pelan."Sudahlah lupakan! Jadi, bagaimana kamu dengan Disya?" tanya Diky lagi yang berhasil membuat Devan merubah mimik wajahnya sendu."Bagaimana apanya?"Diky menghembuskan napasnya kasar. "Saya dulu padahal tidak perduli kalau Pak Devan menjadikan Disya sebagai ajang balas dendam saja. Terlalu banyak rahasia yang saya tahu dari kehidupan Pak Devan, harusnya saya melarang Pak Devan untuk menikahi Disya waktu itu. Saya... tidak berani waktu itu, saya cukup tahu dan tidak ingin ikut campur dengan semuanya. Saya hanya mengikuti apa yang Pak Devan suruh dan apa yang Pak Devan pinta." Diky berbicara sembari pikirannya kembali berkelana mengingat awal mula permasalah cinta Devan ini terjadi. Bagaimana pun Diky hanyalah seseoran yang menjadi tangan kanan Devan, tugasnya tentu saja bekerja dengan lelaki itu."Dan kamu sekarang, sudah berani tidak sopan sama saya!"Diky menyunggingkan senyumnya, begitu juga dengan Devan yang melihat Diky tersenyum ikut menyunggingkan senyumnya. Saya sudah menjadi menantu keluarga Ganendra, kalau Pak Devan lupa!"Keduanya kembali terkekeh pelan. Devan berdiri dari duduknya, lalu berjalan menuju sofa yang juga ditempati oleh Diky sedari tadi."Saya benar-benar menyesal, Diky."Diky mengangguk, menatap Devan dengan tatapan kasihan. "Kalau tahu Pak Devan nantinya akan sejatuh cinta ini dengan Disya, dulu mungkin saya akan melarang Pak Devan melakukan itu.""Penyesalan memang selalu datang di akhir."Diky mengangguk, lalu menepuk pelan bahu Devan dengan tujuan untuk memberikan semangat juga mencoba memahami apa yang lelaki itu rasakan saat ini. "Jadi apa yang akan Pak Devan lakukan?" tanya Diky pada akhirnya."Saya sangat-sangat ingin kembali dengan Disya. Tapi saya juga sadar diri kalau kesalahan saya dulu memang sangat-sangat fatal. Saya merasa tidak pantas untuk Disya.""Jadi selama tiga tahun ini tidak ada usaha Pak Devan untuk mendapatkan Disya kembali?" Diky tercengang."Saya bertemu dengan Disya hanya sesekali itupun sekilas, jika memang Disya menjemput Kai ke rumah, atau sebaliknya, saya yang menjemput Kai dari rumah Disya setelah mereka selesai bermain. Samudra sepertinya sangat amat posesif dan protektif kalau Disya berhubungan dengan saya. Kalau saja tidak ada Kai, mungkin kita benar-benar tidak akan pernah bertemu lagi."Diky semakin meringis kasihan."Apa ada solusi lain selain saya menyerah tentang Disya?"Diky membolakkan matanya. "Dan Pak Devan memilih untuk tetap sendiri seumur hidup?""Saya hanya mencintai Disya saat ini, dan mungkin sampai kapanpun.""Hidup sendirian itu menyedihkan kau tahu!" gertak Diky."Sudah tiga tahun kan? Tidak ingin kembali dengan Disya?" Tidak, ini bukan suara Diky maupun Devan, tapi suara perempuan yang sedari tadi sudah berdiri di dekat pintu masuk ruangan milik Devan."Fatya?" serempak kedua lelaki itu menyebut nama perempuan yang kini sudah berjalan ke arah mereka."Naisya, namaku Naisya!" protes perempuan itu."Mau apa?" tanya Diky to the point saat melihat Naisya sudah ikut duduk di sofa.Naisya merogoh tasnya, mengambil dua buah undangan berwarna baby blue lalu menyimpannya di atas meja. "Datang ya."Diky mengambil undangan itu lalu membaca aksara yang berada di bagian depan undangan, lelaki itu tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya tentu saja ketika melihat nama Naisya ada di kertas itu."Biasa aja kali mukanya. Iya aku mau nikah. Kalian berdua jangan lupa datang ya nanti.""Selamat Naisya," kata Devan.Naisya mengangguk lalu menampilkan senyumnya. "Kamu benar Dev, tentang akan ada seseorang yang terbaik yang menjadi pasangan hidupku. Dan... dia sama sekali tidak pernah mempermasalahkan masa laluku.""Syukurlah, kamu sudah menemukannya."Lagi-lagi Naisya mengangguk. "Kamu harus datang, ajak Kai juga ya."Devan mengangguk. "Tentu saya aku akan mengajak Kai juga."Kailash, tidak pernah tahu siapa ibu kandungnya. Naisya yang memintanya untuk tidak memberi tahu kebenarannya. Perempuan itu memang kembali ke London untuk tinggal di sana, kali ini ia pergi ke sana tentu saja dengan restu kedua orangtuanya dan juga keluarga. Sesuai apa yang telah dikatakannya, Naisya akan menikah dengan seorang lelaki kelahiran Solo yang ditemuinya di London."Kamu dan Disya gimana?"Devan hanya mengangkat bahunya pasrah."Sudah tiga tahun kan? Tidak ingin kembali dengan Disya? Setidaknya kembali perkenalkan dirimu seolah-olah kau adalah orang baru—seorang Devano dengan versi yang lebih baik. Masuk ke dalam kehidupannya lagi dengan perlahan-lahan dan hati-hati, yakinkan hati Disya kembali untuk bisa bersamamu. Dulu, jalanmu terlalu gampang untuk bersama Disya, mungkin kali ini Tuhan ingin kamu lebih berusaha untuk mendapatkan Disya kembali, supaya kamu akan berpikir beberapa kali jika ingin membuatnya menangis."Devan yang sedari tadi diam, kini kembali menatap Naisya. "Apa Disya mau kembali?""Kalian memang saling mencintai. Bang Sam yang sepertinya susah untuk menerima," jelas Naisya yang semakin membuat Devan mendesah frustasi.Kembali dengan Disya seperti sangat semakin mustahil saja."Setidaknya kamu mencoba, sifat manusia itu bisa berubah-ubah, begitu juga dengan Bang Sam. Buktikan juga kepada lelaki itu kamu pantas kembali memiliki Disya.""Setuju!" kata Diky semangat. "Mana Pak Devan yang saya kenal pantang menyerah itu, huh?!"Naisya mengangguk menanggapi ucapan Diky sambil tersenyum menatap Devan mencoba meyakinkan lelaki itu. "Aku mendukungmu! Selagi kamu mendekati Disya, harus dibarengi juga dengan mengambil restu Bang Sam. Kau boleh meminta tips dan trik dari Mas Nando soal mengambil hati Bang Sam."Devan merasa kepercayaan dirinya kembali. Bukan pilihan yan tepat jika dia hanya tetap diam tanpa berusaha melakukan apapun. Bukankah cinta meman harus diperjuangkan?***Langkah kakinya terhenti, menatap lurus ke depan dengan tatapan sendu, beberapa orang terduduk di depan gundukan tanah basah. Suara isak tangis, juga suasana berduka menyelimuti keluarga itu. Dengan pelan, Devan melangkahkan kakinya menghampiri salah satu perempuan yang masih menangis dengan tangan yanga terus menggenggam tangan putranya."Daddy...." Kai, bocah itu orang pertama yang menyadari kehadiran Devan. Membuat atensi keluarga itu tertuju kepada Devan. Devan mengangguk pelan, menyapa mereka.Kai bangun dari duduknya mengulurkan tangan kepada Devan, yang langsung dibalas oleh lelaki itu. "Daddy, Aunty Ais sudah pergi," kata Kai dengan mata sembab, juga pipi yang basah karena menangis.Devan mengangguk, lalu beralih menatap perempuan yang kini juga menatapnya persis seperti Kai dengan mata merah dan kedua pipi basah karena menangis. Devan tahu, Disya pasti terluka dan bersedih karena kematian Kakaknya.Tangan kanan Devan yang bebas, terulur untuk mengusap kedua pipi Disya lembut
Disya membuka apron yang dipakainya, keluar dari kitchen room setelah sebelumnya mengambil selembar tissue untuk mengelap kedua telapak tangannya. Perempuan itu berjalan menghampiri salah satu meja di ruang display yang terdapat seorang perempuan yang sedang duduk sembari menatap keluar jendela besar yang langsung memperlihatkan area luar store."Hei, padahal ngga papa kalau kamu langsung ke kitchen room, Nay."Naya mengalihkan pandangannya menatap Disya yang sudah duduk tepat di hadapannya. "Aku merasa tidak enak, karena mengganggumu, Sya."Disya terkekeh pelan. "Tidak papa, aku senang kamu datang berkunjung!"Naya ikut terkekeh. "Jadi, aku bisa memakan semua kuemu dengan gratis kan?" perempuan itu menaik turunkan alisnya menggoda Disya."Boleh dong!"Naya melihat kesekeliling, memperhatikan store milik Disya. "Sangat cantik dan minimalis, siapapun pasti akan betah berlama-lama di sini," kata Naya berkomentar."Ya... tadinya aku mau buka store di Jogja, tapi Ayah sama Bang Sam ngga n
Disya melepas kepergian mobil milik Devan dan juga Naya dengan wajah yang masih terlihat tidak senang, sorot matanya masih terlihat muram."Sya...."Disya melirik sekilas lelaki jangkung di sampingnya, mengabaikan lelaki itu dan memilih kembali masuk ke dalam store miliknya.Samudra—lelaki itu mengusap wajahnya frustasi, namun tetap mengekori Disya ke dalam ruangan. Mendapati Disya sedang duduk di sofa dengan tangan kanan yang memegangi keningnya, perasaan perempuan itu pasti sedang sangat kacau."Sya... maafin Abang," kata Samudra memecah kesunyian di ruangan itu.Disya menatap manik mata Samudra. "Kenapa minta maaf? Kalian melakukannya sama-sama sedang dalam kondisi sadar kan? Sama-sama mau?"Samudra menutup rapat mulutnya, menundukkan pandangannya."Tapi... kenapa Naya, Bang? Kalian—" Disya sampai tidak bisa melanjutkan kalimatnya."Dari mana kalian kenal sebelumnya? Apa kalian kenal sudah lama? Apa ini alasan Naya memutuskan secara sepihak hubungannya dengan Nathan? Karena Bang Sa
Devan menatap cermin sembari mengusap-usap rambutnya yang basah dengan handuk agar kering. Sebuah senyuman kecil tercetak begitu saja ketika kembali mengingat pertemuannya dengan Disya tadi. Tentu saja Devan merasa sangat senang ketika melihat dilayar ponsel tertera nama Disya yang menghubunginya.Sedikit terkejut ketika melihat ada Naya bahkan Samudra saat Devan sampai di store.Canggunng.Itu yang Devan rasakan, sepertinya Disya juga—bahkan mantan istrinya terlihat sangat canggung, dan seperti sedang mengalami perasaan yang tidak baik. Apa bertemu dengan Devan berdampak buruk untuk hati Disya? Sepintas pemikiran itu melintas di kepalanya. Namun dia mencoba menepisnya, ya bagaimanapun Disya sendiri yang menghubunginya dan memintanya untuk datang ke store. Tapi, mungkin itu hanya akal-akalan Naya saja, meyuruh Disya untuk menghubunginya—itulah alasan wajah Disya tampak muram? Devan terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya, membuang jauh pemikiran-pemikiran yang ada di kepalanya.Keluar
"Mau buat apa?" tanya Disya menatap Devan yang masih berdiri di dekat tangga.Kai sudah pergi ke kamarnya untuk berganti pakaian, meninggalkan Disya dan Devan di ruang tengah."Hanya nasi goreng," jawab Devan seadanya.Disya mengangguk."Kai mau sama kamu. Jadi, saya membuat nasi goreng untuk sarapan. Setidaknya kami sarapan bersama-sama sebelum Kai pergi ke rumah kamu, Sya."Disya bangun dari duduknya, berjalan menuju ke arah dapur yang tentu dibuntuti oleh Devan. Menatap isi dapur yang luar biasa berantakan, Disya tentu saja menganga melihatnya. "Ya ampun, berantakan banget," komentar Disya tanpa mengalihkan pandangan ke arah Devan, matanya masih menatap keadaan dapur.Devan menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. "Ya... saya buruk dalam memasak sepertinya."Disya menghela napasnya, menatap Devan dengan tatapan kesal. "Ya buruk sekali."Devan mengulum bibirnya, menatap Disya dengan tatapan bersalah. Disya yang melihat Devan seperti itu tidak bisa menyembunyikan senyumnya
Kai tertunduk dalam, enggan menatap wajah Devan yang ada di hadapannya. Kedua lelaki berbeda usia itu sedang duduk berhadapan di ruang kerja Devan. Beberapa menit yang lalu, Disya beserta teman-teman Kai sudah pergi meninggalkan rumah."Kenapa menunduk, Kai? Merasa melakukan kesalahan?" tanya Devan menatap putranya dengan tatapan yang sebenarnya menurut Devan sendiri tatapan biasa—namun tidak menurut Kai. Tatapan Devan sangat amat serius.Kai memberanikan diri, mengangkat wajahnya, menatap Devan. "Tidak!" Kai menggeleng berucap dengan tegas."Jawab dengan jujur pertanyaan Daddy, oke!"Lagi-lagi Kai mengangguk."Kamu tidak merasa melakukan kesalahan?" "Tentang apa, Dad?"Devan terlihat menghela napasnya pelan. "Tentang hari ini."Kai menatap Devan dengan wajah merajuk. "Tentang apa? Tentang aku yang minta Mommy datang ke sini? Tentang aku yang mengajak Mommy jogging sama kita? Atau tentang teman-temanku yang datang ke rumah untuk memakan kue buatan Mommy?"See, Kai bahkan menyebutkan s
"Naya tidak jadi kembali ke Lampung?"Maya mengangguk, tersenyum menjawab pertanyaan putra sulungnya. "Mamah seneng banget, Dev...."Devan juga tidak kalah senang mendengar berita itu. Setelah selesai mengantar Kai ke sekolah, Devan langsung mengunjungi rumah kedua orang tuanya, apalagi ketika mengetahui jika adiknya memutuskan untuk kembali tinggal di rumah."Naya di kamar?"Maya menggeleng. "Nay ada di halaman samping."Wajah Maya yang jelas sekali perubahannya itu menimbulkan tanda tanya di kepala Devan ketika berbicara soal Naya. "Kenapa, Mah?"Maya menatap Devan. "Mamah rasa Naya benar-benar berubah, Dev."Devan mengernyit masih berusaha memahami kenapa Mamahnya bisa berpikiran seperti itu."Naya memang masih ceria seperti dulu saat mengobrol bersama Mamah, Papah. Tapi... kadang Mamah merasa keceriaannya seperti dibuat-buat. Naya lebih suka menghabiskan waktunya sendirian di kamar. Kamu tahu sendiri kan dulu Naya sangat suka main dan berkumpul dengan teman-temannya, teman Naya se
"Bunda...." Disya menyembulkan wajahnya dibalik pintu kamar, setelah sebelumnya mengetuk pintu."Ada apa sayang... sini masuk!"Disya melengkah masuk, dan duduk di tepi kasur tepat di samping Dina."Sedang apa, Bunda?"Dina terkekeh, perempuan itu menunjukkan layar ponselnya kepada Disya. "Kamu ingat Anton? Anak panti yang pernah kamu bilang menyebalkan dan sedikit tidak pintar itu—""Anton yang bodoh itu?""Sya?" Dina menatap putrinya memperingati, padahal ia sudah menggunakan bahasa yang lebih enak di dengar, tapi Disya malah berbicara seperti itu."Iya maaf... kenapa Anton?""Dia dapat nilai seratus di ulangan matematikanya, lihat dia meminjam handphone Mba Kanti buat kirim fotonya ke Bunda," jelas Dina menunjukkan foto yang dikirim oleh seseorang yang sedang dibicarakan.Disya menyunggingkan senyumnya. "Sepertinya ia sangat bekerja keras."Dina mengangguk. "Oh iya, ada apa sayang? Butuh sesuatu?" Dina bertanya tentang tujuan Disya yang datang ke kamarnya."Disya ijin pergi hari in
Devan tidak berhenti memperhatikan wajah istrinya yang sudah terlelap tidur setengah jam yang lalu, mengusap sisa peluh yang membasahi kening istrinya dengan lembut—entah itu karena kegiatan bercinta sebelumnya, atau memang suhu di ruangan yang memang cukup panas karena pendingin ruangan di dalam sini tidak terlalu berfungsi. Devan juga kegerahan sebenarnya, sedari tadi matanya tidak kunjung mau terpejam. Menyunggingkan senyum ketika mengingat kegiatan keduanya, mereka belum pernah bercinta menggunakan alat kontrasepsi, pengalaman baru, dan itu berakhir begitu saja, baik Devan dan Disya setuju tidak menyukainya. Segala sesuatu tentang Disya selalu membuat Devan candu—semuanya, tidak akan pernah membuatnya bosan. Devan begitu sangat mencintai istri kecilnya itu. Mencium kening Disya untuk beberapa saat sebelum dia beranjak dari atas kasur, lelaki itu memutuskan untuk ke luar dari kamar, berniat mencari udara segar karena demi Tuhan di dalam kamar menurutnya sumpek sekali. "B
Hening Mungkin bisa menggambarkan situasi di dalam mobil saat ini, tidak ada yang mengeluarkan suara seolah keempatnya punya dunia masing-masing—sebenarnya Disya dan Naya yang merasa tidak nyaman dengan situasi canggung ini, keduanya sudah mencoba mencairkan suasana, beberapa kali mencari topik obrolan, tetapi kedua lelaki di sana tidak terlalu menanggapi, yang satu sibuk dengan kemudinya, yang satu sibuk dengan i-Pad di tangannya. "Mumpung lagi lewat sini, ayo kita ke caffe Rainbow, aku kangen cakenya...," rengek Naya menyentuh lengan suaminya manja. "Sudah jam segini, nanti kamu pulang kemaleman. Abang kan sudah bilang kamu menginap saja di rumah untuk malam ini, tidak usah langsung berangkat ke Bandung." Devan yang menjawab, tidak memperbolehkan untuk mengunjungi caffe yang tadi disebut oleh adiknya. Naya terlihat memanyunkan bibirnya. "Kita aja nurutin kemauannya Bang Devan yang mau makan di restonya Bu Eliza ya!" "Kalian kan masih bingung ingin makan di mana, saya hanya meny
"Yakin tidak papa jika saya berangkat kerja, sayang?" tanya Devan, ini adalah pertanyaan kesekian yang lelaki itu berikan kepada istrinya. Yang semulanya Disya menjawab 'Tidak papa' perempuan itu kini menatap Devan dengan bibir yang ditekuk sembari menampilkan puppy eyesnya. "Kamu ingin saya tidak berangkat kerja?" Kali ini Disya mengangguk, merentangkan kedua tangannya meminta pelukan dari sang suami. Devan menyunggingkan senyum, menyimpan jasnya di atas sofa, lalu melangkah untuk duduk di tepi kasur, setelahnya memberikan pelukan kepada istrinya. "Manja sekali, sedang datang bulan, hm?" Disya menggeleng pelan dalam dekapan suaminya, lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya, bahkan mengusap rambut Disya lembut. Sedari tadi Disya belum menuruni kasur, perempuan itu sudah bangun tetapi memilih berdiam di kasur lengkap dengan selimut yang masih menutupi tubuhnya. Devan sudah bertanya apakah dia boleh berangkat kerja, atau Disya ingin dirinya tetap di rumah menemani istrinya
Alif menjelaskan bahwa dia bertemu dengan Layla di salah satu club malam, keduanya tertarik secara fisik satu sama lain sehingga terjadihal hal yang tidak diinginkan, apalagi keduanya dalam pengaruh alkohol malam itu, nafsu benar-benar menguasai mereka. Disya percaya? Tidak— Yang benar saja? Bisa jadi Alif hanya ingin menutupi kesalahan Samudra. Tidak masuk ke dalam apartemen yang ditinggali Layla, Disya memilih untuk pergi dari sana setelah Alif menjelaskan tentang Layla dan bayinya. Hatinya masih gundah. "Maaf menunggu lama sayang," kata Devan yang baru saja memasuki ruang kerjanya, tersenyum menatap sang istri, lalu melangkah menghampiri Disya yang sedang duduk di sofa seorang diri. Disya menatap Devan, memanyunkan bibirnya, bahkan maniknya sudah berkaca sekarang. "Kenapa, hm?" Perempuan itu menggeleng pelan, kedua tangannya terulur untuk meminta pelukan dari suaminya yang baru tiba setelah menyelesaikan meeting dengan beberapa pekerjanya. Disya memilih untuk me
Sekali lagi Devan memperhatikan wajah Disya, keningnya mengernyit seolah sedang menelisik wajah cantik itu yang tampak terlihat sendu—mendung, seperti cuaca di luar pagi ini. "Sya, kamu benar tidak apa-apa?" Kembali mengajukan pertanyaan yang jelas mendapatkan jawaban yang sama dari Disya— "Aku ngga papa, Pak Devan." Disya mendongak untuk menatap suaminya sambil tersenyum manis, lalu detik berikutnya kembali fokus pada kegiatannya yang sedang memasangkan dasi di leher sang suami. "Selesai!" ucap Disya menatap puas hasil tangannya, mengusap bagian pundak Devan dengan lembut. "Semoga hal-hal baik selalu menyertai Pak Devan, dan semua urusan Pak Devan hari ini dilancarkan." "Terimakasih sayang," balas Devan mengusap bagian atas kepala Disya, lalu memeluk tubuh perempuan itu. "Kamu berjanji akan menceritakan apapun yang kamu rasakan kepada saya, jangan memendamnya sendiri ya." Disya terkekeh pelan. "Pak Devan, Disya beneran ngga papa kok," jawabnya, perempuan itu tahu ini masih tentan
"Tokcer juga ya Pak Devan," ucap Fani menatap lembaran hasil USG milik Disya dengan senyuman lebar menghiasi bibirnya. "Iyalah tokcer! Kamu ngga lihat Pak Devan tuh aura-auranya hyper—" "Al!" Yumna menyenggol lengan Alya, memperingati agar ia berhati-hati dengan ucapannya. Tidak masalah jika hanya mereka berempat di sana, tetapi ini ada Bundanya Disya. Mengulum bibirnya, Alya menatap Dina lalu menampilkan cengiran tanpa dosa. "Maksud aku, Pak Devan auranya ganteng banget, Bun... hehehe." Dina menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, lalu mengacak bagian atas rambut Alya dengan gemas. "Jadi, kalian mau langsung pulang atau bagaimana?" tanya Dina mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Masa langsung pulang sih, Bun. Makan dulu yuk!" ajak Fani. Alya, Yumna, dan Fani tadinya berniat untuk berkunjung ke rumah Disya, tetapi Disya memberi tahu jika ia sedang tidak ada di rumah, tanpa sengaja juga ia memberikan informasi jika sedang berada di salah satu rumah sakit—mereka yang jelas khawat
Tidak ada acara honeymoon dan sejenisnya. Disya menolak ketika Devan memberi pernyataan seperti ini—"Saya tidak masalah dengan tempat honeymoon yang akan kita kunjungi, terserah ke mana kamu ingin pergi, satu hal yang pasti, kita akan lebih banyak menghabiskan waktu di kasur nantinya." Disya menggeleng pelan mendengar jawaban Devan ketika ia bertanya tentang tujuan dan rencana keduanya untuk honeymoon sesuai saran dari kedua orangtuanya waktu itu. Toh belum ada tempat yang ingin Disya kunjungi, untuk saat ini memulai hidup baru dengan Devan saja sudah cukup baginya. Bangun pagi dengan posisi berada dalam pelukan Devan, lalu memasak untuk sarapan bersama, suaminya yang mengantarnya ke store sebelum berangkat bekerja, lalu pulang ke rumah bersama, memasak untuk makan malam, lalu berbagi cerita sebelum tidur—walaupun sebelumnya pasti akan melakukan hal 'itu' terlebih dahulu sebelum benar-benar tertidur, Disya tidak mengira Devan akan seperti seorang hyper, jangan mengira hanya sekali d
Disya mengerjapkan matanya perlahan, menatap jam yang sudah menunjukkan pukul satu siang, bukannya bangun dari tidurnya Disya malah semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Devan, semakin menyamankan posisi tidurnya. "Sudah siang sayang," ucap Devan mengecup bagian atas rambut Disya. "Disya lapar, tapi males bangun." "Delivery makanan, lagi?" "Boleh....." "Jangan junkfood ya, Sya. Kemarin kan sudah, jangan terlalu sering makan makanan seperti itu." Devan tetaplah Devan dengan ke-antiannya memakan junkfood—bukan anti sih, tetapi sangat menjaga pola makannya, masih sering memperingati Disya untuk mengurangi makanan yang tidak sehat. "Iya Pak Devan." Devan mengambil handphonenya yang berada di atas nakas, membuka salah satu aplikasi untuk memesan makanan secara online. Selama tiga hari ini, kedua pasangan pengantin baru itu sama sekali tidak meninggalkan rumah, bahkan lebih sering menghabiskan waktunya di kamar. Membeli makan secara online, Disya bahkan belum menyentuh are
"Untuk yang terakhir, say happy wedding!" "Happy Wedding!" Serempak semuanya menuruti perintah si fotografer diakhiri dengan foto gaya bebas. Pelaminan yang cukup panjang dan lebar itu rupanya tidak bisa menampung keseluruhan anggota kedua keluarga mempelai, ada beberapa anak muda yang berdiri di depan pelaminan untuk ikut masuk ke dalam foto keluarga. "Thankyou guys!" Selesai. Acara resepsi sudah selesai, para tamu undangan sudah meninggalkan area venue, menyisakkan keluarga besar kedua mempelai juga crew wedding yang akan membereskan area venue. "Capek, Sya?" tanya Dina menghampiri Disya yang sedang duduk di pelaminan, mencoba melepaskan heels yang dipakainya. Disya mendongak menatap Dina lalu menggeleng pelan dengan senyuman manis menghiasi bibirnya. "Saya kan sudah bilang lepas saja heelsnya kalau memang tidak nyaman...," ucap Devan yang sudah berlutut membantu Disya melepaskan heels yang sedaritadi dipakainya selama acara resepsi. "Padahal saya sudah menyuruh Sasya untuk me