"Makan, Mas," ujar Santi bertepatan dengan aku keluar kamar.
"Ya." Aku mengangguk sambil melipat separuh lengan kemeja. Tampak kusut. Sejak kepergian Safira, tidak ada yang mengurus pakaian apalagi menyetrika. Biar sajalah. Tidak ada gunanya tampil memesona. Separuh jiwa telah pergi, semangat lumpuh karena ketidakhadirannya.
"Mas mau kemana?" tanyanya. Tampak sekali rasa ingin tahu terpancar dari matanya.
"Mau jenguk Emyr," jawabku singkat.
"Ehem .... Emyr apa Mbak Fira?" Dia tersenyum menggoda. Aku mengerling tajam.
Emyr atau Safira? Rindu untuk keduanya telah membaur. Tidak bisa dijawab pertanyaan lebih rindu kepada siapa?
Safira. Tentu saja aku sangat merindukannya. Sangat. Bahkan setiap tarikan napas, benak selalu mengukir bayangnya. Namun, aku sadar diri untuk tidak berharap lebih. Siapalah aku, lelaki lemah yang menggantungkan kehidupan keluarga padanya
Menghabiskan waktu bersama Emyr cukup membuatku terhibur dan merasa masih memiliki mereka."Enak?" tanyaku sambil menyuapinya es krim pilihannya. Dia mengangguk beberapa kali. Senang. Kami sedang duduk di salah satu kursi taman kota."Setelah ini mau main?" tanyaku. Ada banyak arena permainan anak-anak di sini. Perosotan. Ayunan. Odong-odong dengan aneka bentuk, kereta api, mobil, pesawat, dan kuda-kudaan."Mau," jawabnya cepat."Mau main apa?" tanyaku lembut sambil mengusap lembut pucuk kepalanya."Naik pesawat," sahutnya lagi."Oke. Habiskan dulu. Nanti baik pesawat," ucapku. Dia memang sangat menyukai pesawat.Anak itu mengangguk semangat. Kuperhatikan haru wajah tak berdosanya. Tak seharusnya dia menanggung beban atas kesalahanku.***"Mama ...." Dia berlari turun dari sepeda motor setelah kam
“Besok sosialisasi perkuliahan, aku antar untuk tunjukkan tempatnya.” Pesan dari Haykal.“Selama kamu sosialisasi, biar Emyr sama aku saja.” Pesan berikutnya.“Pertemuan? Hari minggu?” tanyaku.“Iya. Kebijakan pihak UPBJJ-UT sini. Karena sebagian besar mahasiswanya bekerja, jadi sengaja pilih hari minggu.”“Jam berapa?”“Sembilan. Tapi Ibu minta kamu mampir ke rumah.”“Siap. Terima kasih informasinya. Tapi kita bawa motor masing-masing saja, ya,” balasku.“Oke,” balasnya.“Apa ada yang harus dibawa?”“Bawa diri saja yang lengkap,” tulisnya diikuti emoticon tertawa.Hmm, laki-laki ini memang begini. Di chatt seperti banyak bicara, supel. Setelah bertemu di dun
Sepeda motorku berlalu beberapa meter. Dari balik spion, kulirik Mas Harsa yang terus memperhatikan kami. Rautnya tampak sendu. Jujur, ada sedikit rasa bersalah karena aku lupa mengabarinya sejak awal.Akan tetapi, biarlah. Masih ada lain minggu di mana aku akan sibuk dengan kuliah. Jadi dia akan leluasa menghabiskan waktu bersama Emyr."Masuk, Ra." Haykal segera menyilakan ketika motor yang kami kendarai memasuki pekarangan rumahnya."Iya." Aku mengangguk sembari melepas helm, lalu mengikuti langkahnya dari belakang. Sementara Emyr dengan manja menggelayut dalam gendongannya."Sepi?" tanyaku ketika tidak kulihat Bu Mun menyambut kedatangan kami. Jangankan menemukan sosok wanita berwajah penuh kasih itu, suara lembutnya pun tidak kudengar."Ibu ada di dalam. Duduklah, aku panggilkan Ibu," sahut Haykal setelah kami tiba diruang tamu. Laki-laki itu segera berlalu, meninggalkanku sendirian sebab Emyr tetap turut bersamanya, tidak mau lepas.Sed
Pertemuan tidak terlalu lama. Hanya sampai siang. Benar kata Haykal, pertemuan hanya membahas masalah teknis, bagaimana sistem pembelajaran, tugas-tugas, sistem penilaian, jumlah pertemuan, dan batas ketidakhadiran yang diperbolehkan."Emyr rewel, Kal?" Begitu keluar ruang pertemuan, aku segera menghubungi Haykal. Sebenarnya sejak tadi ada rasa tidak tenang meninggalkannya. Dia memang suka dengan Haykal, tetapi khawatir dia akan rewel jika ditinggalkan dalam waktu cukup lama."Enggak. Dia happy, kok. Kamu sudah selesai?""Sudah. Bentar lagi aku jemput Emyr.""Sepertinya dia masih mau main, Ra. Kamu ke sini lagi aja.""Tapi aku ada keperluan, Kal.""Kalau begitu selesaikan saja urusan kamu. Emyr nanti aku antar pulang.""Gak merepotkan?""Enggak ....""Ya, sudah. Terima kasih, Kal."
Gawaiku berdering kembali. Kali ini nomor baru. Tidak ada foto profil yang tampak pada layar.Kubiarkan panggilan berakhir. Aku bukan tipe orang yang leluasa menerima panggilan, kecuali dari orang terdekat.Sebuah notifikasi pesan masuk, "Safira, angkat," tulis nomor itu. Dahiku mengernyit. Berarti dia mengenalku.Kembali dering panggilan berbunyi. Penuh tanya kuangkat juga."Safira," sapa suara dari seberang.Aku mengamati sosok itu, "Ada apa, Mbak?" tanyaku dengan firasat tidak enak."Sekedar ingin menyapa, mengucapkan selamat malam sebelum tidur," jawabnya terkekeh. Antara sinis dan mengejek."Oh." Aku berusaha tetap bersikap santai."Tahu dari mana nomorku?""Itu perkara gampang," jawabnya enteng. Ekspresinya meremehkan."Mbak mau apa sebenarnya?" Aku benar-benar ingin tah
Ninik cukup cerdik dalam hal ini. Dia menggunakan akun fake dan sudah mengirim pertemanan dengan friends list-ku. Sepertinya dia sudah merencanakan semua ini sejak lama.Komentar bermacam-macam, ada yang membela dan masih bisa berpikir waras. Namun, banyak yang langsung menghujat."Gak nyangka. Asli. Kukira dia perempuan baik-baik.""Perempuan gak bersyukur!""Cari apa lagi, sih?""Yakin itu ayah tiri bakal sayang sama anaknya?""Berjilbab, tapi kelakuan!""Nanti juga bakal nyesel!""Aku kenal cewek ini, gak nyangka!""Gak mungkin. Yang kutahu dia perempuan baik-baik. Hoax, nih!""Tabayyun dulu, siapa tahu fitnah."Masih ada ratusan komentar lagi, mungkin sebentar lagi akan menjadi ribuan.Aku
Aku melangkah enggan memasuki rumah. Dalam kondisi seperti ini, rasanya bukan waktu yang tepat untuk bertemu dengan keluarga Mas Harsa. Apalagi merekalah pangkal semua masalah ini. Andai mereka tidak membawa Ninik di tengah pernikahan kami.Di karpet ruang tamu, aku tertegun menatap dua wanita yang sedang bercengkrama hangat dengan Emyr. Ibu mertua tampak sedang menyuapi Emyr sesuatu. Terlihat penuh kasih sayang, tidak seperti biasa. Sedangkan Santi mengulurkan potongan puzzle kepada Emyr, karena bocah itu makan sambil menyusun puzzle.Ketika langkahku mendekat, keduanya menoleh bersamaan. Ibu menatap sendu."Safira ....""Mbak Fira ...."Mereka menyapa, lagi, nyaris bersamaan."Ibu ...." Kuraih tangan tua itu. Sesakit apa pun hatiku padanya, tidak boleh melupakan tata krama dari seorang muda kepada yang lebih tua."Saya kira Ibu sama Bap
"Banyak yang membatalkan pesanan, Ra," ucap Nur ketika Ibu dan Santi sudah pulang. Aku sedang menyantap sarapan yang telah menjadi dingin."Alasannya?""Mereka gak kasih alasan. Tapi kayaknya karena kasusmu ini, deh."Aku menjeda suapanku."Terus banyak reseller setia yang minta konfirmasi," lanjutnya."Konfirmasi apa?""Ya tentang berita itu, benar apa tidak? Katanya sangat disayangkan jika benar.""Lantas?""Sepertinya mereka juga bakal berhenti jadi reseller di sini."Aku terdiam."Balas saja, nanti malam aku akan melakukan klarifikasi di akunku. Teruskan juga informasinya kepada mereka yang membatalkan pesanan tadi," ucapku. Nur mengangguk.Huft ....Aku mengembuskan napas panjang.Ninik ....