“Yes!” Hampir saja aku berteriak. Untung masih bisa mengendalikan diri. “Ah, terima kasih. Semoga kabar baik yang aku dengar.” Dengan seluruh kebahagiaan, sudah terbayang setiap hari akan bersamanya.
***Meyyis***
POV SHASHA
Malam ini terasa sangat dingin dari biasanya. Mengapa aku tiba-tiba merindukan Davin. Sudah lima tahun kami tidak bertemu. Ah, salah Kurang beberapa bulan lagi. aku menutup jendela yang sudah mulai digoyangkan angin. Sepertinya, akan turun hujan.
“Sha, tidur lebih awal. Temani mama. Kamu penasaran apa pekerjaan mama dulu sehingga bisa ketemu papa? Kau akan mendapatkan hari ini,” ucap Mama. Aku menoleh, mengunci jendela dan menuruti mama ke kamarnya. Mama sudah lebih baik walau masih sangat pucat. Ya Allah, semoga cepat sembuh. Hanya dia yang aku miliki.
“Ma, kita bersama begini, jangan pikirkan papa lagi,” pintak
“Terima saja, Sayang. Mama akan mengajarkan bagaimana menjadi sekretaris yang baik. Agar, kamu tidak diremehkan. Walau sudah kenal dengan CEO-nya.” Aku tersenyum. Awal yang baik, ah tapi ijazahku belum keluar. Mungkin, boleh kali, ya? Menggunakan surat keterangan lulus.***Meyyis***POV SHASHAPagi ini aku akan berjuang. Walau yang menjadi pimpinan adalah sahabatku, jangan sampai dikira nepotisme sehingga semua teman akan menjuluki aku mengandalkan tampang dan koneksi doang. Naik MRT lebih cepat sampai. Gedung menjulang tinggi terlihat di depan mata. “GNE, aku datang!” teriakku sambil mengangkat kedua tangan, sehingga orang yang ada di sekitar memperhatikan. Aku meminta maaf karena sudah membuat heboh dan mengganggu mereka.Langkah kaki ini menuju ke ruang yang sudah tersedia. Aku membaca peta ruangan, ternyata ada di lantai Sembilan. Di sana sudah ada beberapa orang. Satu, du
“Apa aku bilang, jadi jangan kecewa kalau tidak diterima.” Aku mengembuskan napas berat. Duh, aku lupa kasih tahu mama kalau merebus air untuk minum. Mama kutelepon juga tidak diangkat, reflek kaki lari dan bug … menabarak Davin.“Maaf, Pak!” Aku meninggalkannya setelah menunduk untuk menghormat dan meminta maaf. Bodoh amat! Mau dia marah juga biarin.***Meyyis***POV DAVINBagaimana aku menghadapi Shasha besok? Ash, Devan apa maksudnya? Aku mati-matian melupakannya dan meninggalkannya? Dia malah akan mendekatkanku.“Vin, terima Shasha apa pun kualifikasinya,” tutur Devan. Dia datang dengan secangkir kopi hitam.“Aku tidak janji, tidak mampu ya berarti out. Kamu tahu ‘kan? Aku paling tidak suka dengan adanya koneksi?” Devan mengangguk.“Aku yakin kamu pasti akan berubah pikiran kalau ta
“Tidak ada apa-apa, Sha. Kebetulan hampir ujian. Kamu balik ke kelas saja. Ini ada jajan, kamu makan, ya?” Shasha membuang jajan yang kuberikan, berlari keluar dari kelas. Tangannya seperti mengusap pipi, aku tahu dia menangis.“Bukankah begitu, Vin?” Aku tergagap dari lamunan mendengar suara Om Irwan. Apa yang dia katakana? Ah, pikiranku sangat kacau sekarang.***Meyyis***POV SHASHAIni sesi sulit, duh mengapa harus Davin, sih? Dia menjadi sosok yang menakutkan terlihat bagiku. Garis matanya tajam dan pandnagannya menusuk. Kok, rasanya panas ruangan ini, ya? Darahku mengalir deras, diikuti dengan keringat mengucur.“Nona Daniela Felisha, lulusan S1 Universitas Indonesia,” lelaki paruh baya mulai menanyakan.“Benar, Tuan.” Aku menyembunyikan seluruh kegugupan agar jadi kekuatan.“Apa
“Apa salahku? Davin sangat tega,” lirihku. Aku menjauh dari Davin sekitar beberapa meter. Harus memiliki tenaga juga ‘kan? Untuk bertarung melawannya. Walau nanti berakhir kalah, setidaknya aku akan menunjukkan pada mata dan pikiran Davin. Shasha tidak selemah itu. Kalau dia memilih menjadi musuhku? Akan aku berikan. Aku akan menjadi duri dalam daging setiap hari untuknya. Aku harus diterima. ***Meyyis***POV DAVIN“Ya Tuhan, aku sangat gugup. Ini menyikasa. Demi apa pun, aku tidak tega menindasnya. Tapi, aku takut cintaku akan muncul sehingga melukai Devan. Aku tidak mau persaudaraan kami pecah karena memiliki selera wanita yang sama,” batinku. Baiklah, siap beraksi. Biarkan Shasha membenciku selamanya. Giliranku sekarang. “Baik, pertanyaan terakhir ….” Dag-dig-dug, pertanyaan terakhir Davin yang menanyakan.&l
Aku mengusap wajah, mengingat semuanya. Saat Devan dengan sangat gembira mengatakan bahwa dirinya mencintai Shasha, sejak saat itu aku bertekat menghapus perasaanku. Tapi mengapa sangat sulit? Semakin berpisah dengannya, semakin tidak dapat mengubah perasaan ini. Devan kini malah menjebakku untuk dekat dengannya.Aku menjambak rambutku sendiri. Devan datang menghampiriku. “Ada apa? Shasha makin cantik ‘kan?” tanya Devan. Aku tidak menolak juga tidak mengiyakan ucapan saudara kembarku itu.***Meyyis***POV DAVIN“Kamu gila! Apa alasanmu menjebakku harus menerimanya? Aku ….” Devan menepuk pundakku.“Jangan idealislah, dia yang paling cocock menjadi sekretarismu. Aku tahu standarmu sangat aneh. Lagi pula, ingin lebih dekat dengannya. Walau dia tidak mungkin aku miliki, tapi setidaknya melihat sudah cukup,” tutur Davin.
“Vin, kamu akan dibenci banyak karyawan,” tuturnya.“Biarkan! Bisnis tidak memandang bulu. Aku lebih suka dibenci tapi mereka becus bekerja, dari pada disukai oleh para penjilat. Kamu juga kembali kerja! Kamu yang menyeretku ke sini, jadi biarkan aku melakukan tugas,” pungkasku.***Meyyis***POV SHASHAAku pulang setelah selesai melakukan sesi wawancara dan dinyatakan selesai prosesnya. Kali ini tidak memasak karena sudah sangat sore. Hanya membeli makanan saja. Demi Allah, dadaku mau meledak menghadapi Davin. Aku malah berdoa tidak diterima. Mengerikan harus jadi sekretaris dia. Davin sekarang sangat killer, melebihi dosen akuntansi di kampus. Menyebalkan.“Aku pulang, Ma.” Terlihat ada sepatu di rak depan. Sepertinya ada … sudah bad mood, tambah lagi ini.“Sha, sudah selesai? Bagaimana wawancaranya?” ta
“Gila memang, pantesan saja narsis dan … ck, tidak bisa membayangkan kerja sama dia. Tapi aku harus semangat. Jangan sampai membuat Devan kecewa. Tapi … ck, mengapa sulit.” Aku tengkurap untuk menetralkan perasaan. Saat gundah, cara ini selalu berhasil menennagkanku. Setelah tenang, aku memilih duduk dan kembali belajar, tugas dan tanggung jawab sekretaris.***Meyyis***POV SHASHAIni awal bencana untukku. Aku diterima, tapi merasa tidak senang. Harus menjadi sekretaris Davin? Mengapa harus Davin? Dia sang penggila kerja, bisa aus aku. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak boleh mengecewakan Devan. Pagi ini, sudah datang setengah jam lebih dahulu. Menata ruangan Pak Bos, sudah. Berkas yang akan ditandatangani sudah urut, kopi … masih samakah kesukaannya? Aku coba. Cappuccino low sugar, dulu dia sangat suka itu. Aku membuatkan seperti itu. Dia sudah datang. Aku meletakkan cangkir tersebut di
“Kenapa bengong? Sambut tamu kita ke depan!” Baiklah, harus menyambut tamu. Aku bangkit dan menyambut seorang lelaki dan perempuan, sepertinya mereka bule. Aku harus menunjukkan performaku dalam berbahasa Inggris. POV DAVIN“Selamat pagi, Pak.” Dia menyapa. Hampir saja runtuh aku membuka kedok. Tidak, kalau aku baik sama dia, bukan tidak mungkin dia juga akan jatuh cinta padaku. Lebih baik dia menganggapku bos galak dan menyebalkan, hingga cintanya beralih kepada Devan. Atau mungkin memang sudah beralih? Karena beberapa kali aku melihat mereka sangat akrab. Tunggu! Aku tidak boleh cemburu.“Apa jadwalku hari ini?” tanyaku. Dadaku masih berdebar berhadapan dengannya seperti ini.“Hari ini,a da rapat direksi pagi, setelahnya makan siang dengan klien di restoran yang sudah disepakati, kemudian memeriksa berkas,” ucapnya. Aku tidak kuasa menahan,&nbs