Toni dan Nita sudah selesai belanja ada banyak belanjaan yang dibawa mereka Langsung meluncur ke ke panti asuhan tempat kelima adik Toni berada.
“Ada apa? Mau ikut turun?” tanya Toni.
“Ayo!” Toni mengangguk. Mereka mendekati gerbang panti.
“Assalamualaikum.” Toni mengucapkan salam kepada ada Pak penjaga di depan.
“Oh mas Toni, Kenapa nggak bawa masuk mobilnya? Mau jenguk si Lina?” Toni putar balik untuk memasukkan mobilnya. Dia memarkirkan mobilnya kemudian mendekati Pak Penjaga dan Anita.
“Pak, sudah selesai mengaji?” tanya Toni.
“Paling lagi mandi, mungkin, Mas. Kalau jam segini. Silakan, silakan masuk.” Lelaki paruh baya itu mempersilakan Toni dan juga Anita untuk masuk.
“Assalamualaikum, Bu Safira.” Bu Safira yang terlihat sedan
“Kamu yakin? Kalau adik-adikmu?” Anita mengira bahwa keputusan tinggal di panti adalah keputisan sepihak dari Lina.“Aku juga sudah tawarkan, mereka setuju.” Anita mengangguk. Memang lebih baik mereka ada yang mengawasi. Usia mereka sedang menentukan jati diri. Kalau tidak hati-hati, akan mudah tersakiti.“Ya sudah kalau memang kalian tetap kekeh tidak mau tinggal di rumah Kakak.”“Kak, dari tadi ngobrol tapi tidak mau ngenalin sama aku. Siapa kakak yang cantik itu?” tanya Lina.“Melihat kalian akrab, kakak jadi lupa. Oh ya, ini namanya Anita.” Bayu menoleh ke arah Anita, dan Anita mengangguk.“Aku sudah kenal kamu. Kakakmu sering cerita. Kamu pasti Lina ya?” Anita memegang tangan Lina.“Iya saya Lina dan ini adik-adik saya.” Setelah mendapa
“Nita kau mau menikah denganku?” Seketika jantung wanita mau keluar dari pengaitnya apakah ini sebuah lamaran? Kira-klira Anita jawab apa ya?“Apakah jawabannya harus sekarang?” Dalam hati Anita bersorak. Namun tentu saja dia memiliki malu sebagai seorang wanita, agar tidak terkesan murahan.“Sepertinya begitu atau mungkin kamu ingin lamaran itu yang lebih romantis?” Toni menawarkan“Setiap wanita menginginkan hal itu.” Sepertinya memang sebuah “Baiklah kalau kau menginginkan lamaran yang romantis aku akan melakukannya.” Detak jantung mereka berdua demikian terpompa dalam posisi yang sangat dekat seperti ini. Dengan sigap, Toni memegang tengkuk Anita, kemudian menempelkan bibirnya ke bibir wanita. Darah mulai berdesir dari ujung kepala ke ujung kaki. Wanita itu tidak membalas tetapi tidak juga melepaskan. Dia h
“Aku masuk ya? Hati-hati di jalan.” Tidak tahu seperti apa, tapi hal itu membuatnya sangat Bahagia. Anita tidak berhenti tersenyum dan memegang bibir dan dadanya bergantian. Dia mengintip dari balik tiarai, kepergian Toni.“Aku sudah gila.” Anita menggelengkan kepalanya sendiri.*** Meyyis ***“Ada apa? Toni aku Aku perhatikan dari tadi kamu banyak salah. Hati-hati, loh yang kamu lakukan itu barang enggak kelihatan ‘kan kau salah bisa fatal.” Bayu mengingatkan dan pura-pura tidak tahu. Padahal dia sudah tahu bahwa ada Anita disampingnya, sehingga tidak konsentrasi.“Hem … Boleh nggak aku pulang lebih awal?” Toni memohon.“Hari ini, boleh saja. Kenapa enggak?” Bayu tersenyum karena tahu tujuan dari Toni pulang awal.“Terima kasih, Bos. Sama Anita, ya?” 
“Cie cie yang mau jadian? Jangan lupa pajaknya.” Temannya Mona meledek mereka.“Diem, loh.” Jonas di sebelah terkekeh melihat Toni melotot. Iya, hari ini rencananya Toni memang akan melamar wanitanya tersebut secara romantis sebelum nanti resmi melamar ke orang tuanya.“Aku penasaran, deh, Mas. Sebenarnya mau ngapain, sih kita?” Anita akhirnya angkat bicara.“Namanya bukan kejutan, dong? Katanya pengen diromantisin? Gimana, sih?” Toni tersenyum kepada wanitanya itu.“Iya, deh. Nurut aja.” Tony menepikan mobilnya ke sebuah restoran Italia. Kali ini dia sudah mempersiapkan makan malam romantic.“Tutup dulu matanya ya?” Toni menutup mata Anita sebelum sampai ke dalam restoran tersebut.“Telah sampai.” Maka Tony membuka tangannya yang ada di mata Anit
“Tentu saja, Mas. Selama mereka mau tinggal bersama kita.”“Tunggu, Anita. Aku akan segera melamar ke orang tuamu.” Anita tersenyum dan bahagia mendengarnya.***Meyyis***Alunan lagu cinta terdengar dari gesekan biola para pemain biola sangat menyentuh hati dan telinga. Rasanya, Anita ingin membekukan malam ini agar tidak akan mencair. Dia sesekali tersenyum saat memotong daging yang tersedia. Hingga tanpa focus, daging itu loncat mendarat di atas kepala pemain biola.Anita menutup mulutnya karena kecerobohannya itu. “Aduh, Mas. Maaf, ya?” Anita memberikan tisu pada lelaki itu. Toni ingin tertawa tapi takut Anita tersinggung, hingga hanya mengusap wajahnya saja sambil menahan tawa.“Tak masalah Mbak.” Saking totalitasnya, lelaki itu masih terus memainkan biolanya. Anita tidak melanjutkan makannya. Dia sangat malu.&ldqu
“Maaf ya, Mas. Mereka memang suka usil dan kepo.” Anita masih tersenyum malu-malu.“Nggak apa-apa. Biarkan saja. Kalau teman mah, biasanya begitu. Sudah malam habiskan makanmu, kita pulang.” Toni kemudian memotong daging lebih banyak untuk diletakkan di piring Anita.Mereka sudah selesai makan malam, maka Toni mengajaknya pulang. Sesuai treatment dari Bayu, Toni memanjakan Anita dengan membukakan pintu. Mobil berjalan demikian lambat.“Anita, apakah kamu menyukai apa yang aku lakukan malam ini? Seperti yang aku katakan tadi, aku tidak bisa romantic.” Toni mulai pembicaraan, walau sepertinya dia masih kaku. Sebab, orang macam dia yang jarang bergaul memang tidak memiliki cara untuk membuat diri orang lain nyaman di sisinya.“Itu sudah lebih dari cukup, Mas. Semua itu membuat aku melayang.” Toni tersenyum sumringah. Dia menjadi besar kepala karena A
“Ya, Pak Toni. Silakan masuk. Beliau sudah menunggu. Makasih, ya, Mbak. Itu nasinya dimasukin dulu ke mulut.” Toni tersenyum. Memang Toni ke kantor Bayu saat makan siang. Duh malunya Sasa ternyata dia celemotan saat makan.“Selamat siang, Pak. Permisi.” Bayu yang sedang sibuk dengan komputernya meluruskan pandangan.“Woi, masuk.” Maka Toni masuk.“Boleh duduk, enggak, Bos?” Toni menggaruk tengkuknya.“Iya, duduklah masa mau berdiri? Gempor entar. Tapi kalau mau, ya silakan berdiri. Boleh, kok.” Bayu terkekeh.“Ck, si Bos ini ngeri amat dulu aku berdiri.” Toni ikut terkekeh.. “Ngomong-ngomong ada apa? Tumben nyamperin sini? Nggak sabar sampai nanti sore.” Toni memang biasanya ke rumah kalau ada apa-apa.“Itu, Bos. Aku, aku ….&r
Hari ini sang surya begitu cerah menyinari bumi sampai terasa terik di ubun-ubun. Cerahnya sang mentari secerah hati Toni yang akan melamar sang pujaan hati. Dia bercermin di depan kamar mandi dan menautkan wajah gantengnya. Dia tersenyum dengan penampilannya sendiri. Rambutnya yang sudah klimis. Dengan kemeja warna putih yang menjadi ciri dia.Demikian juga dengan Anita. Anita sudah lebih dulu pulang ke Solo untuk mempersiapkan segalanya. Anita sudah pamit kemarin sore dan Toni mengantarkannya ke bandara.“Cie … sudah siap, Pak Toni.” Mona seperti biasa yang meledek.“Harus dong, Mon.” Toni menyisir Kembali.”Tenang saja, Ton? Kamu enggak usah gugup seperti itu.” Bayu menepuk pundak Toni. Di samping Toni berkaca, terlihat beberapa seserahan sudah ada di depan mata. Kotak pertama berisi kain brokat yang nantinya akan digunakan untuk kebaya
“Lihatlah Davin melongo,” bisik Rania. Apa ada yang salah? Apakah dia tahu jika belakang gaun ini terdapat banyak peneliti aku tiba-tiba tidak percaya diri.POV Davin“Ada apa?” tanyaku. Penasaran masih juga menggerayangi jiwaku. Aku tahu kekasihku itu hanya meggodaku. Ia memang membuat aku sangat gemas kepadanya. “Dilarang bertanya,” katanya. “Biar aku yang menyetir. Matamu begitu merah, kamu boleh tidur,” ucapnya. Aku tahu ia adalah kekasihku yang super pengertian. Jika tidak begitu, mana mungkin aku tergila-gila padanya. Biar aku lihat lagi, ada apa sebenarnya di matanya? Ia selalu membuatku tidak dapat berpaling darinya.“Tidak,” ucapku. Aku laki-laki, kalau hanya bertahan sebenatar sampai kantor, masa tidak bisa? Ah, Dia keras kepala. Punggungku didorong ke arah kursi penumpang di samping kemudi. Setelah itu ia segera berlari memutar untuk masuk ke ruang kemudi.“Hari ini aku yang akan menjadi sopirmu. Itu kejutan pertamanya.” Ia tersenyum sambil mengenakan sabuk pengaman. Bib
“Maafkan aku, Cinta. Ini yang aku takutkan. Aku lelaki dewasa dan membutuhkan ini.” Aku kembali membungkus tubuhnya dengan selimut walau sejujurnya aku ingin melanjutkan. “Kuharap kamu mengerti. Tolong ….” Aku pergi meninggalkannya yang meringkuk di dalam selimut.***Meyyis***POV Shasha Jam dinding berbentuk kepala kelinci sudah menunjukkan pukul 04.00 pagi aku segera bersih-bersih untuk melaksanakan salat malam yang tinggal beberapa menit lagi waktunya, menuju ke subuh. Setelah salat malam dan sedikit dzikir mulai terdengar suara azan. Aku melaksanakan salat dua rakaat dan keluar dari kamar untuk sekedar olahraga pagi. Davin sudah siap di taman belakang, melakukan pemanasan tanpa banyak bicara. Aku menyusulnya dan melakukan pemanasan juga. “Mau cobain kita jogging di trek taman depan?” tanyanya.“Yuk, aku ingin membeli sarapan,” ucapku.“Pingin sarapan apa?” tanyanya. “Bubur ayam di tepian itu sepertinya enak.” Davin mengangguk.“Baiklah, sebentar aku ambil dompet dulu.” Lelakiku
“Kamu sangat … please jangan seperti ini. Aku bisa mati penasaran.” Aku menggoyangkan telunjukku tanda memberinya kode bahwa dia tidak akan mendapatkan jawabannya sekarang. Ia terlihat kesal, akan tetapi menurut. Sebenarnya, aku sedikit merasa kasihan tetapi juga merasa senang, bisa sekali-kali ngerjain dia.***Meyyis***POV DAVINSetelah pesta usai, kami tentu pulang ke Indonesia. Kami beraktifitas seperti biasanya, akan tetapi akhir-akhir ini Sasha membuatku jengkel. Apa ia sudah tidak cinta lagi? sepertinya berubah, hal itu menjadi sering uring-uringan karena takut kehilangan dia. Leboh baik aku menghindar saja, biar ia merasa. Kalau tidak merasa juga, berarti memang sudah tidak mencintaiku. Apakah ada orang lain? Tidak mungkin … ia mencintaiku. Aku menghempaskan pikiran jahat yang menguasaiku.Dia memegang tangan, aku tahu itu trik untuk mengelabuhi, lebih baik aku menghempaskan tangannya saja. Tapi aku rindu memeluk tubuhnya, harum tubuhnya terutama bibirnya yang membuatku mabuk
“Kamu mau mengatakannya atau mendapatkan hukuman dariku.” Davin akan menciumku kembali, akan tetapi aku dorong. “Tidak malam ini. Aku tidak akan mengalah padamu. Kalau kamu memberi hukuman, berarti tidak akan aku beritahu apa yang aku persiapkan.” Aku tahu ia sangat kesal. Biarkan saja.***Meyyis***POV Shasha“Kamu memang benar-benar,” tutur Davin. Ia merasa sangat kesal dengan sang keksih, tapi juga gemas.“Oke, kali ini kamu harus kalah, dan harus mengalah aku ….” Kedua lengaku, lepas dari leher Davin, dan berhasil kabur darinya. “Biarkan saja ia kesal. Makanya jadi orang jangan suka ngambil kesimpulan cepat.” Aku menutup pintu kamar dan menguncinya. Suara tutukan sepatu terdengar menjauh dari kamarku. Aku yakin lelakiku itu akan berpikir sepanjang malam dan tidak bisa tidur. Biarkan saja, aku sangat suka menggodanya seperti itu.Esok hari, telah tiba sebelum ayam berkokok. Davin sudah mengetuk pintu kamarku. Aku yang baru saja bangun tidur bahkan belum sempat mencuci wajah, m
Tepuk tangan menggema di taman itu. Setelah sesi tukar cincin, maka selanjutnya mereka berjalan turun dari pelaminan untuk menemui tamu. Aku sudah siap dengan keranjang kalau mawar untuk ditaburi sepanjang jalan. Sampai di ujung karpet, Elsa melempar buket bunga. Kami berdesakan agar mendapatkan buket itu.***Meyyis***POV ShashaSetelah pesta berlangsung aku dan Davin pulang ke Indonesia. Kami beraktifitas seperti biasanya, akan tetapi akhir-akhir ini Davin menjadi sering uring-uringan. Aku tidak tahu kenapa? Bahkan hari ini dia dua kali marah. Davin memang berbeda dengan orang lain, dia kalau marah lebih suka diam. Ditanya diam dan menghindar. Aku mengingat-ingat salah apa hari ini, tetapi tidak juga menemukan kesalahanku. Kami sudah memasuki mobil untuk pulang ke rumah. Aku bermaksud untuk mengajaknya bicara sekarang, karena kami dalam wilayah santai sehingga akan sangat mudah berbicara dengannya.Aku memegang tangannya, akan tetapi Davin menghempaskan tanganku. Aku memilih untuk t
Aku tahu papa juga terharu melihat putri pertamanya sudah melangkah ke jenjang selanjutnya. Meskipun Papa menginginkan ini, aku yakin sebagai seorang ayah lelaki itu merasa dirampok ketika putrinya akan dinikahi oleh lelaki mana pun. Bisa dibilang, hati dan cintanya akan direbut oleh lelaki lain walaupun dalam konotasi yang berbeda.***Meyyis***POV ShashaPapa adalah orang Jawa tulen. Meskipun sekarang berada di Singapura, ia menghendaki suara gamelan, alih-alih lagu romantic. Maka saat Elsa keluar, walaupun menggunakan gaun bertema internasional, akan tetapi suara gamelan mulai terdengar. Hatiku ikut merasa tersenyum mendengar suara music pentatonic itu. Betapa indahnya, sebuah musik yang menjadi ciri khas Nusantara tersebut yang telah mengakar pada budaya kita.Aku menjadi pengiring pengantin mengikuti langkah pengantin dari belakang. Setelah sampai ke pelaminan, Papa menyerahkan tangan pada Arya yang sudah berdiri di atas pelaminan dengan jas putih yang menawan. Rambutnya tertata
“Aku bawa ke rumah Davin. Di rumahnya akan banyak kesedihan jika ia melihat kamar mama.” Aku tahu karena kekasihku itu sudah bicara sebelumnya. Aku tersenyum dengan interaksi kedua orang itu. Setelah mengetahui yang dibicarakan Arya, aku memilih hengkang dari tempatku mengintip.***Meyyis***POV ShashaIni adalah pernikahan yang diimpikan oleh Elsa setelah banyak rintangan dengan Arya. Hari ini saatnya kedua sejoli itu melangkah ke jenjang selanjutnya, mengikat janji suci dalam ikatan pernikahan. Bunga-bunga bernuansa putih sudah menghiasi nuansa taman golf tersebut.Pernikahannya dilakukan di Singapura karena mama dan papa berada di sini. Wanita yang menjadi kakakku dari ibu yang berbeda itu, kini sudah mengenakan gaun putih dengan hiasan kepala yang menjuntai. Dia sangat cantik dan menawan. Lekuk tubuhnya yang indah, tinggi badannya yang menjulang dan semampai membuatnya bak model.“Kak, kamu sangat cantik.” Aku memandang lekat ke mata indah kakakku itu. “Benarkah? Aku masih tidak
Aku ke dapur untuk membuat yang kupikirkan itu. Setelah dua sendok sereal masuk ke gelas, dua sendok susu coklat masuk juga. Air panas segera meluncur untuk menyatukan keduanya. Aroma khas coklat semakin memperparah rasa laparku. Aku mulai meniup makanan itu, menyendoknya mengarahkan ke mulut. Hmmm … ini lebih nikmat. Sesuap demi suap makanan itu tandas meluncur ke perutku. Ini lebih dari cukup.***Meyyis***POV DAVINTeleponku berbunyi. Aku tersenyum saat di layar terlihat Sayangku memanggil. Langsung saja tombol terima aku usap.“Iya, Sayang.” Sapaan terakhir tidak akan pernah lupa agar wanitaku itu merasakan bahwa aku memang sangat menggilainya.“Bagaimana korbannya?” tanyanya. Aku tahu, hanya alasan saja bertanya tentang korban kecelakaan yang sedang kami urus. Akan tetapi aku paham bahwa sebenarnya ia sangat ingin bersamaku.“Kamu kangen sama aku?” Langsung saja aku tembak dengan perkataan begitu agar ia makin berbunga-bunga. Aku yakin saat ini perutnya penuh dengan taman bunga y
“Aku melihat korban penuh darah, Sha. Bagaimana keadaannya. Ia kasihan banget. Seandainya kita satu mobil saat itu, Arya akan lebih tenang memandangku. Aku yang salah.” Aku ingin tertawa rasanya. Bagaimana bisa Arya menyetir sambil memandang Elsa. Pantas saja kecelakaan.***Meyyis***POV Shasha“Kamu kok malah ketawa?” Elsa menghapus air matanya.“Maaf … aku tertawa karena itu lucu, Kak. Arya benar-benar mencintaimu. Aku akan cari tahu untukmu bagaimana keadaan dari korban.” Aku mengelus pundak Elsa. Setelahnya, menelepon Davin untuk mengetahui keadaan sang korban.“Iya, Sayang.” Suara Davin memang selalu bikin baper.“Bagaimana korbannya?” tanyaku.“Kamu kangen sama aku?” ‘Kan? Dia memang selalu begitu. Tapi … sebenarnya kangen juga, sih?“Jangan mengalihkan perhatian. Bagaimana keadaannya. Elsa masih ketakutan.” Davin terdengar tertawa sedikit.“Dia sudah ditangani. Bilang sama kakakmu tenang saja. Arya sedang diintrogasi. Tim legal dari kantornya juga sudah datang untuk membebaska