Setelah seminggu aku memilih menghindari Arul. Semua terkesan biasa-biasa saja. Ada beberapa teman satu angkatan yang memberikan kode, namun aku kurang sensitif akan perasaan mereka.
"Gadis tomboi seperti dirimu, ternyata banyak yang suka juga, ya?" Ujar Oji.
Aku mendelik ke arahnya, "Memangnya kenapa?" Sewot ku.
"Tidak, hanya saja biasanya lelaki mencintai wanita yang anggun dan--"
Belum selesai Oji berbicara. Aku memotong ucapannya cepat.
"Lemah!"
"Bukan lemah. Tapi, anggun dan elegan," sanggahnya.
Aku tak peduli atas apa yang ia ucapkan. Hingga, saat aku memutar tubuh untuk mengabaikan apa yang Oji ucapkan. Tiba-tiba ada yang mencari ku di luar. Aku tak tahu siapa, dan tak begitu memperdulikannya.
"Tije, ada yang mencari," kata Sari teman sekelas ku.
"Siapa?" Tanya Oji.
"Entahlah," jawab Sari.
Aku hanya menggeleng. Bisa-bisanya Oji penasaran tentang siapa yang ingin menemui ku. Bahkan, aku saja tak memperdulikannya.
"Tissa,"
Suara lembut mendayu ditelinga ku. Suara lelaki yang aku hindari seminggu ini. Aku bergeming, tak tahu harus berbuat apa.
"Bisa bicara sebentar?"
Aku mengangguk. Padahal, dalam hatiku meronta-ronta ingin menolak. Namun, aku tak kuasa.
"Kenapa menghindari ku? Kamis kemarin juga kamu juga tak ikut kumpulan. Aku ada salah?" Tanyanya.
Ingin sekali aku berteriak padanya. Dan mengatakan atas apa yang menjadi penyebab kekesalan ku padanya. Namun, aku urungkan.
Ia mengajakku ke taman. Tempat yang biasanya dipakai untuk berdiskusi oleh anak-anak cerdas. Dan sekarang, dipakai untuk membahas masalah yang sama sekali tidak penting.
"Tidak," hanya itu yang keluar dari mulutku.
"Sungguh?"
"Iya,"
"Aku tahu kamu menyimpan sesuatu," katanya.
Aku menoleh, "Tidak. Oh iya, hari Kamis minggu lalu kakak kemana? Mengapa tidak ikut kumpulan?" Tanyaku memancing.
"Kerja kelompok di kelas. Tugas semester akhir," jawabnya.
"Oh begitu," aku manggut-manggut. Sepertinya ia sadar akan sesuatu, ia menatap dalam mata ku.
"Jangan-jangan kamu melihat aku pulang bersama Putri?" Tebaknya.
Aku mengangkat bahuku tak acuh, "Mungkin,"
"Ah, sekarang aku tahu penyebab kamu menghindari ku selama ini,"
Aku membalas tatapannya, "Apa?"
"Kamu cemburu,"
Aku menggeleng cepat, "Yang benar saja? Aku masih kecil untuk mengetahui arti cemburu," sanggah ku.
"Tapi, hatimu berdebar saat dekat denganku?"
"Tidak. Biasa saja," jawabku.
"Putri adalah temanku sedari dulu. Seperti kamu dan Oji, Dia juga tetangga ku. Maka dari itu, kita pulang bersama," jelasnya tanpa aku minta.
Saat itu, aku masih gadis empat belas tahun yang bodoh. Aku luluh dan mempercayainya. Sepertinya, ia patut dipercayai. Karena, aku dan Oji pun sering pulang bersama bahkan kita bercanda ria di dalam angkutan umum.
"Oh iya, kamu tidak memakai jam pemberian dari ku? Jelek ya?"
Aku menggeleng cepat, "Tidak. Bukan begitu, hanya saja hari ini aku lupa memakainya. Besok aku pakai kak," jawabku takut ia tersinggung.
Ia tersenyum, "Nanti, jika aku punya banyak uang. Akan aku belikan yang lebih bagus dan mahal,"
"Tak usah kak. Ini saja sudah cukup, terimakasih ya,"
"Sama-sama. Sekarang, kamu tidak marah lagi 'kan?"
"Aku memang tidak marah,"
"Ya, tapi kamu cemburu,"
###
"Kamu percaya begitu saja?" Tanya Oji.
Aku mengangguk, "Ya lah. Rasanya tidak adil jika aku tidak mempercayai dirinya. Kita juga sering bukan pulang bersama sambil tertawa lepas?"
"Bukan begitu. Aku tidak yakin dengan Arul,"
"Kenapa?"
"Aku takut dia menyakitimu. Dan kamu, tidak mau merasakan jatuh cinta lagi," jelasnya.
Aku mendengus. Ayolah. Saat itu aku masih terlalu kecil untuk merasakan jatuh cinta yang sebenarnya. Oji terlalu memikirkan apa yang aku katakan padanya Minggu lalu.
"Aku kan memberikannya kesempatan. Jika ia menyakitiku, aku akan berhenti untuk menyukainya,"
"Apa yang kau suka darinya?" Tanya Oji serius.
"Dia baik,"
"Sebatas itu?"
"Apa hak kamu bertanya seperti itu?" Kesal ku.
Ia terdiam, sesaat ia kembali bersuara.
"Aku 'kan sahabat kamu," jawabnya.
"Kalau kamu sahabat aku. Kamu senang jika aku senang. Siapa lagi lelaki yang mau mendekatiku? Gadis dekil nan sangar,"
"Banyak yang menyukai dan mencoba mendekatimu jika kamu lupa. Kamu saja yang selalu kurang percaya diri, dan kurang sensitif dengan perasaan orang lain,"
Oji pergi, aku tahu kenapa. Yang jelas, dia orang pertama yang mengatakan bahwa Arul menyukai ku. Dan sekarang, ia juga yang kentara terlihat tak menyukainya.
Oji, memang sangat membingungkan.
###
Pembagian raport kenaikan kelas adalah hal yang sangat Oji nanti-nantikan. Pasalnya, ia belajar dengan keras untuk mendapatkan hasil yang ia inginkan.
Sekarang, tibalah pengumuman dari wali kelas kami. Bu Yeni berdiri di depan, Oji berharap-harap cemas. Sedangkan aku, tak mengharapkan apapun selain harus naik kelas.
"Peringkat pertama, Lia Aprilia. Peringkat kedua, Rina Ahmad. Peringkat ketiga, Armadeo Jingga,--"
Mendengar itu, aku melirik Oji lalu tersenyum sambil bertepuk tangan pelan. Ia membalasnya dengan senyuman.
Bu Yeni masih meneruskan pembacaan peringkat kelas itu. Hingga, saat peringkat sepuluh. Namaku, disebut.
"Peringkat sepuluh, Tissa Jenaka. Itulah, sepuluh siswa berprestasi dikelas ini. Semoga ini bisa mengapresiasi sekaligus dijadikan motivasi agar lebih baik kedepannya," jelas beliau.
Aku rasa, Oji terkejut. Pasalnya, aku yang malas ini bisa masuk jajaran sepuluh siswa berprestasi. Terlebih, sekolah kami ini adalah sekolah favorit. Dan, hanya siswa berprestasi yang beruntung bisa masuk.
Aku lebih terkejut dari Oji. Dulu, aku mengira bahwa aku bisa masuk sekolah ini karena faktor keberuntungan. Ya, meski tak memungkiri aku pernah beberapa kali masuk tiga besar bahkan dua kali rangking satu saat sekolah dasar dulu.
Setelah acara pembagian raport selesai. Oji langsung buru-buru menghampiriku.
"Kamu masuk sepuluh besar 'kan tadi?" Tanyanya terus terang.
Aku mengangguk, "Faktor keberuntungan mungkin,"
Dia menggeleng, "Itu artinya, kamu pintar! Tanpa belajar pun kamu bisa masuk sepuluh besar, Tije!"
"Jangan membuatku besar kepala. Nanti, aku semakin malas belajar," jawabku.
"Ya sudah. Kamu malas, kamu bodoh!"
Aku menoleh cepat, "Maksud kamu apa?!"
"Aku ingin memotivasi kamu lewat cacian. Katanya, saat aku puji kamu nanti semakin malas," jawabnya.
Dasar. Pintar-pintar bodoh.
###
Setelah libur yang cukup panjang. Akhirnya, aku kembali ke sekolah sebagai anak murid kelas delapan. Memperhatikan para senior yang sedang proses pengenalan diri. Namun, ada satu yang memperhatikan Oji.
Gadis muda itu nampak tersenyum malu-malu. Oji terlihat sebagai kakak kelas yang tampan dan ramah senyum saat itu. Aku masih ingat, banyak yang berbisik tentangnya.
"Kak, OSIS bukan? Boleh tidak minta tanda tangannya?"
Aku menahan tawa. Bisa-bisanya ada murid baru yang meminta tanda tangan aku dan Oji. Terlihat sangat kentara, Oji bingung harus berbicara apa.
"Maaf dek. Kita bukan OSIS," jawab Oji pada akhirnya.
"Oh,bukan ya," ia nampak malu sambil menggaruk tengkuknya.
"Tapi, kalau mau tanda tangan Oji boleh kok," aku berujar sambil menahan tawa.
Oji mencubit tanganku, ia tersenyum canggung. Gadis itu nampak senang, dan kembali menyodorkan bukunya.
"Boleh kak?" Tanyanya lugu.
Aku mengangguk, memukul bahu Oji agar memberikan tanda tangannya. Akhirnya, dengan sedikit paksaan Oji mau memberikan tanda tangannya dan gadis manis itu pun pergi.
"Cantik, putih, ramah juga," ujar ku menilai, "sepertinya dia menyukaimu,"
"Aku tahu aku tampan. Tapi tidak semua orang bisa mencintaiku hanya dalam hitungan menit," sanggahnya.
"Kita lihat saja,"
###
Aku semakin rajin ikut kumpulan bulu tangkis. Arul juga semakin rajin mendekatiku. Bahkan, ia sempat mengajak aku berpacaran. Tapi, aku tolak. Sekolah kami ketat mengenai aturan itu, dan aku tak mau membuat guruku kecewa.
Saat ini itu aku masih ingat. Ia mengatakan pada Oji bahwa Arul menyatakan perasaannya lewat pesan singkat. Namun, Oji malah mengangkat bahunya tak acuh.
"Gitu doang responnya?" Kesal ku.
Ia mengangguk, "Lantas, aku harus apa? Berteriak sambil jingkrak-jingkrak karena ada lelaki yang menyatakan perasaannya padamu?"
"Setidaknya, ada eskpresi yang lebih baik dari pada wajah datar sambil mengangkat bahu tak acuh seperti itu,"
Ia membuang nafas lelahnya, "Dasar wanita. Aku yakin, setelah itu Arul akan meninggalkanmu dan berpacaran dengan gadis yang lebih dewasa," jawabnya.
"Kok gitu sih? Kamu kayaknya gak seneng banget aku dekat sama kak Arul!"
"Bukan begitu. Hanya saja, jelas sekali kamu masih tahap seleksi. Kamu ingin disakiti olehnya?"
"Kenapa kamu bisa bicara seperti itu?"
"Karena aku sahabatmu. Aku tahu, mana yang terbaik untukmu. Dan Arul, dia akan menyakitimu," jawabnya.
"Tapi, dia telah menyatakan perasaannya!" Sanggah ku.
"Itu bukan berarti kamu satu-satunya! Kita tak pernah tahu berapa banyak wanita yang ada dalam hatinya,"
Aku tak menjawab. Lantas aku pergi sambil menggerutu. Sepertinya, Oji iri padaku. Mengapa ia tak mencoba untuk berpacaran saja? Lagi pula, banyak kakak dan adik kelas yang terang-terangan menyukainya.
"Ngambek!" Teriaknya menyindir.
"Bodo!" Jawabku.
Patah hati pertama kali. Rasanya, sangat tidak menyenangkan dan menganggu.Saat itu, aku masih sangat kekanak-kanakan dalam menghadapi perasaan ku sendiri. Setelah perdebatan dengan Oji. Akhirnya, aku mendiamkannya satu Minggu. Dan menyebalkan, ia hanya membujukku satu kali.Terkadang, mengingat kejadian saat aku baru beranjak remaja dulu sangat menggelitik.Bisa-bisanya setelah marah itu, aku dan Oji biasa-biasa saja dan kembali melakukan aktivitas seperti biasanya tanpa ada kata maaf dan baikan."Kemarin aku melihat kak Arul sedang bercanda berdua dengan kak Resti," Helma membuka topik pembicaraan.Aku terdiam. Oji nampak tenang sambil menikmati makanan yang baru saja kami beli. Ekspresinya menyatakan seperti sudah tahu saja, sangat menyebalkan."Terus?"Helma melanjutkan ceritanya, "Ya, kayaknya kak Arul deketin banyak cewek deh,"Oji menyunggingkan senyumnya,"Sudah aku tebak," ujarnya santai."Oh iya, Ayu juga
Hari itu, tepat sepuluh hari aku hanya main mata saja dengan Oji."Tiga hari aja gak baikan, udah dosa. Kalian ini udah sepuluh hari, masih aja cuman main mata," ujar Helma.Tak ada yang menjawab. Oji diam, aku pun. Helma meninggalkan kami. Mungkin, ia lelah menghadapi aku dan Oji yang sama sekali tak membuka mulut.Tugas hari ini cukup banyak. Tugas matematika, latihan soal. Dan tugas bahasa Indonesia, yaitu membuat puisi.Biasanya, jika aku dan Oji sedang baik-baik saja. Aku akan meminta bantuannya untuk mengerjakan angka-angka sialan itu. Dan ia, akan meminta bantuan ku untuk membuat puisi yang aku yakin ia pasti kerepotan untuk memilah-milah kata dengan diksi yang indah.Aku dan Oji saling tatap. Sepertinya, aku ataupun ia tak ingin memulai duluan. Gengsi kami sama tingginya."Soal matematikanya susah banget," aku berujar dengan ekor mata yang melir
Kelasku dan kelas Ajar heboh hari ini. Entah siapa yang menyebarkan berita bahwa aku dan dirinya memiliki hubungan spesial. Semua teman sekelas ku bertanya, apakah benar dengan gosip itu?Aku tebak. Arul penyebab semua ini. Ajar menitipkan pesan pada Oji, bahwa ia ingin bertemu denganku. Namun, aku menolaknya.Masalahnya, semua teman laki-laki dikelasnya kerap kali meledekku. Katanya, kenapa tidak salah satu dari mereka yang aku pilih?.Rasanya, aku ingin meledak saat itu juga. Namun, aku tak bisa jika melabrak Arul dan memakinya. Lebih baik, aku diam saja siapa tahu gosip ini segera berlalu."Sudahlah, biarkan saja. Nanti juga mereka lelah membicarakan mu," ujar Oji.Aku melipat kedua tanganku di atas meja, lalu menyembunyikan wajahku disana. Aku sangat tak suka memiliki perasaan seperti ini. Rasa yang amat berat untuk aku tutupi dengan senyuman."Sudah ku b
Oji akhirnya menceritakan semuanya padaku. Katanya, ia sedang menjalani hubungan atau bisa disebut pacaran. Dan, benar saja dugaan ku ia berpacaran dengan siswa sekolah lain.Mereka saling mengenal karena sebuah event pramuka. Gadis yang Oji ceritakan ini menarik, dan saat itu aku langsung memiliki pin BB nya. Oji jatuh cinta padanya karena ia gadis yang asik, menarik, lucu, dan mungil.Aku bernafas lega untuk itu. Dan, tak butuh waktu lama untuk aku mengenalnya. Sosok gadis yang selama ini Oji ceritakan, bisa dengan mudahnya akrab denganku.Namanya, Cia Saputri . Dan lebih akrab dengan nama panggilan Ciput. Memang unik sekali panggilannya seperti orangnya.Dan, beberapa kesempatan Oji mengajakku untuk memperkenalkan aku. Atau istilahnya, kita bermain bersama.Apa yang dibayangkan dari jalinan cinta anak SMP? Terlebih, Oji bukan tipikal cowok romantis. Tidak ada pegangan tangan, apal
Armadeo Jingga adalah nama lengkapnya. Namun, aku lebih senang memanggilnya OjiOji adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Kami bersahabat sejak sekolah menengah pertama. Saat itu, aku masih ingat ia bermain dengan beberapa teman wanita sekelas kami, tanpa rasa canggung sedikit pun.Jika kalian bertanya, mengapa bisa aku bersahabat dengannya?Jadi, begini ceritanya.Sukabumi, enam tahun yang lalu.Saat itu, aku dan Oji masih kelas satu SMP. Biarpun kemayu, Oji ini aktif sekali mengikuti ekstrakurikuler. Beda halnya dengan aku yang malas. Hingga, saat wali kelas ku meminta semua siswa dikelas kami untuk memiliki ekstrakurikuler, Oji adalah penyelamat bagiku.Awalnya, aku tak sedekat seperti sekarang dengan Oji. Banyak teman wanita yang lebih dekat dengannya. Apalagi, Kania dan Tsakila.Namun, karena keinginan wali kelas. Akhi
Oji akhirnya menceritakan semuanya padaku. Katanya, ia sedang menjalani hubungan atau bisa disebut pacaran. Dan, benar saja dugaan ku ia berpacaran dengan siswa sekolah lain.Mereka saling mengenal karena sebuah event pramuka. Gadis yang Oji ceritakan ini menarik, dan saat itu aku langsung memiliki pin BB nya. Oji jatuh cinta padanya karena ia gadis yang asik, menarik, lucu, dan mungil.Aku bernafas lega untuk itu. Dan, tak butuh waktu lama untuk aku mengenalnya. Sosok gadis yang selama ini Oji ceritakan, bisa dengan mudahnya akrab denganku.Namanya, Cia Saputri . Dan lebih akrab dengan nama panggilan Ciput. Memang unik sekali panggilannya seperti orangnya.Dan, beberapa kesempatan Oji mengajakku untuk memperkenalkan aku. Atau istilahnya, kita bermain bersama.Apa yang dibayangkan dari jalinan cinta anak SMP? Terlebih, Oji bukan tipikal cowok romantis. Tidak ada pegangan tangan, apal
Kelasku dan kelas Ajar heboh hari ini. Entah siapa yang menyebarkan berita bahwa aku dan dirinya memiliki hubungan spesial. Semua teman sekelas ku bertanya, apakah benar dengan gosip itu?Aku tebak. Arul penyebab semua ini. Ajar menitipkan pesan pada Oji, bahwa ia ingin bertemu denganku. Namun, aku menolaknya.Masalahnya, semua teman laki-laki dikelasnya kerap kali meledekku. Katanya, kenapa tidak salah satu dari mereka yang aku pilih?.Rasanya, aku ingin meledak saat itu juga. Namun, aku tak bisa jika melabrak Arul dan memakinya. Lebih baik, aku diam saja siapa tahu gosip ini segera berlalu."Sudahlah, biarkan saja. Nanti juga mereka lelah membicarakan mu," ujar Oji.Aku melipat kedua tanganku di atas meja, lalu menyembunyikan wajahku disana. Aku sangat tak suka memiliki perasaan seperti ini. Rasa yang amat berat untuk aku tutupi dengan senyuman."Sudah ku b
Hari itu, tepat sepuluh hari aku hanya main mata saja dengan Oji."Tiga hari aja gak baikan, udah dosa. Kalian ini udah sepuluh hari, masih aja cuman main mata," ujar Helma.Tak ada yang menjawab. Oji diam, aku pun. Helma meninggalkan kami. Mungkin, ia lelah menghadapi aku dan Oji yang sama sekali tak membuka mulut.Tugas hari ini cukup banyak. Tugas matematika, latihan soal. Dan tugas bahasa Indonesia, yaitu membuat puisi.Biasanya, jika aku dan Oji sedang baik-baik saja. Aku akan meminta bantuannya untuk mengerjakan angka-angka sialan itu. Dan ia, akan meminta bantuan ku untuk membuat puisi yang aku yakin ia pasti kerepotan untuk memilah-milah kata dengan diksi yang indah.Aku dan Oji saling tatap. Sepertinya, aku ataupun ia tak ingin memulai duluan. Gengsi kami sama tingginya."Soal matematikanya susah banget," aku berujar dengan ekor mata yang melir
Patah hati pertama kali. Rasanya, sangat tidak menyenangkan dan menganggu.Saat itu, aku masih sangat kekanak-kanakan dalam menghadapi perasaan ku sendiri. Setelah perdebatan dengan Oji. Akhirnya, aku mendiamkannya satu Minggu. Dan menyebalkan, ia hanya membujukku satu kali.Terkadang, mengingat kejadian saat aku baru beranjak remaja dulu sangat menggelitik.Bisa-bisanya setelah marah itu, aku dan Oji biasa-biasa saja dan kembali melakukan aktivitas seperti biasanya tanpa ada kata maaf dan baikan."Kemarin aku melihat kak Arul sedang bercanda berdua dengan kak Resti," Helma membuka topik pembicaraan.Aku terdiam. Oji nampak tenang sambil menikmati makanan yang baru saja kami beli. Ekspresinya menyatakan seperti sudah tahu saja, sangat menyebalkan."Terus?"Helma melanjutkan ceritanya, "Ya, kayaknya kak Arul deketin banyak cewek deh,"Oji menyunggingkan senyumnya,"Sudah aku tebak," ujarnya santai."Oh iya, Ayu juga
Setelah seminggu aku memilih menghindari Arul. Semua terkesan biasa-biasa saja. Ada beberapa teman satu angkatan yang memberikan kode, namun aku kurang sensitif akan perasaan mereka."Gadis tomboi seperti dirimu, ternyata banyak yang suka juga, ya?" Ujar Oji.Aku mendelik ke arahnya, "Memangnya kenapa?" Sewot ku."Tidak, hanya saja biasanya lelaki mencintai wanita yang anggun dan--"Belum selesai Oji berbicara. Aku memotong ucapannya cepat."Lemah!""Bukan lemah. Tapi, anggun dan elegan," sanggahnya.Aku tak peduli atas apa yang ia ucapkan. Hingga, saat aku memutar tubuh untuk mengabaikan apa yang Oji ucapkan. Tiba-tiba ada yang mencari ku di luar. Aku tak tahu siapa, dan tak begitu memperdulikannya."Tije, ada yang mencari," kata Sari teman sekelas ku."Siapa?" Tanya Oji.
Armadeo Jingga adalah nama lengkapnya. Namun, aku lebih senang memanggilnya OjiOji adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Kami bersahabat sejak sekolah menengah pertama. Saat itu, aku masih ingat ia bermain dengan beberapa teman wanita sekelas kami, tanpa rasa canggung sedikit pun.Jika kalian bertanya, mengapa bisa aku bersahabat dengannya?Jadi, begini ceritanya.Sukabumi, enam tahun yang lalu.Saat itu, aku dan Oji masih kelas satu SMP. Biarpun kemayu, Oji ini aktif sekali mengikuti ekstrakurikuler. Beda halnya dengan aku yang malas. Hingga, saat wali kelas ku meminta semua siswa dikelas kami untuk memiliki ekstrakurikuler, Oji adalah penyelamat bagiku.Awalnya, aku tak sedekat seperti sekarang dengan Oji. Banyak teman wanita yang lebih dekat dengannya. Apalagi, Kania dan Tsakila.Namun, karena keinginan wali kelas. Akhi