"Merepotkan!, bahkan sangat merepotkan, jika bukan karena kontrak konyol yang telah ku tanda tangani, mana mungkin masih bersedia berkerja untuk seorang Flamboyan konyol, paranoid seperti anda." Angel ingin berteriak dengan keras, tepat di depan Anggara. Menyadarkan kesombongan, arogan dan kepercayaan diri yang parah serta sudah mencapai ambang batas, yang mungkin sulit untuk bisa di perbaiki lagi.Namun apa boleh di kata, semuanya hanya dapat ia simpan sendiri tanpa bisa di dengar oleh orang lain, khususnya sosok sombong yang senang berbangga diri di depannya saat ini."Bukannya merepotkan pak, saya takut akan menjadi sebuah masalah untuk anda." Bibir Angel menampilkan senyum selembut sutra, dan seringan kapas.Seolah di sana, pada wajah cantik miliknya, tengah menampilkan cerminan hati yang tulus memuji, dan dengan sedikit tampilan rasa khawatir."Sedangkan untuk saya....mungkin tidak banyak berpengaruh, lagi pula siapa saya
"Apa yang harus di takutkan?, bukankah hanya rumor saja." Anggara bangun dari tempat tidur, meski kepalanya masih sedikit pusing, dan rasa lemas menjalar di setiap sendi, tapi dorongan kuat dari pikiran yang menggelitik hati, membuatnya memiliki tenaga ekstra.Sementara Angel yang telah sampai di depan pintu, tangan itu perlahan terulur untuk memutar tuas kecil pengunci "klik..klik." Dua kali bunyi terdengar, Angel meraih pegangan pembuka pintu. "Cekleeek." "Nggi....?". Suara akrab terdengar di pendengaran kedua orang di sana(Anggara dan Angel).Baik Anggara, Angel bahkan juga Handoko sendiri, sejenak seperti tugu yang membisu.Terkejut, tentu saja mereka semua terkejut. Namun, dengan opsi serta pemikiran yang berbeda-beda."Nggi?." Ulangnya dalam diam.Anggara mengernyit dengan panggilan sahabatnya tersebut untuk Angel. Seolah panggilan itu, tengah menyatakan ada sebuah kedekatan yang tidak bisa di pahami sejak kapan
"Kau benar tentang dia." Handoko menyatakan persetujuannya, untuk setiap ucapan kasar Anggara di hari-hari lalu.Tentang Angel yang ceroboh, bodoh dan bahkan kurang bijak.Bagiamana mungkin semua ini terjadi jika wanita itu tidak bodoh dan ceroboh.Bagiamana ia bisa di katakan sebagai seorang yang bijak, jika bisa terjebak dan datang ke apartemen Anggara di malam hari.Mengingat perkataan penjaga apartemen di loby bawah, bahwa ada seorang wanita yang datang tadi malam dengan dua tas bawaan, Handoko berpikir wanita yang di maksudkan oleh sang penjaga, adalah sama seperti biasanya. Ia tidak pernah menyangka sosok itu akan menjadi Angel, sehingga ketika ia melihat wanita yang menjadi pembuka pintu apartemen milik Anggara, hatinya seperti jatuh ketanah dalam sekali hentakan."Mengapa ia di sana, mengapa ia yang membuka pintu, dan ada apa diantara keduanya?." Meskipun kunci rumah berada di tangannya, dan Angel tidak bisa ma
"Sepertinya aku terlalu menganggap mu tinggi, Nggi." Dalam pikiran Handoko, tidak pernah berharap bahwa wanita ini akan menjadi sosok yang bodoh, atau ceroboh seperti dalam gambaran serta perkataan kasar Anggara.Akan tetapi, melihat ia berada di sana sekarang semuanya menjadi jelas, dan tentu saja dirinya harus menyerah mengganggap Angel sebagai wanita yang pintar dan bijak.Meski demikian itu bukan berarti dirinya, memiliki pikiran buruk tentang Angel, dengan berada di sana.Handoko mengangkat kepala perlahan, melirik kearah wajah Angel yang penuh kecemasan serta malu, dan berbalik melihat sosok Anggara yang kini duduk di atas ranjang.''Ngga...jangan salahpaham dengan tindakannya, sedikit banyak ini semua karena keteledoran ku juga." Lanjut Handoko lagi.Kini kedua orang yang tadinya berbeda pikiran, mengernyit bingung dan berekspresi sama mendengar baris kalimat barusan. Bahkan mereka hampir berseru dengan kalimat yang serupa ju
"Bukankah begitu Nggi?." Lanjutnya lagi.Ketika perkataan tersebut meluncur ringan dari bibir Handoko, Angel dan Anggara secara reflek memutar mata secara bersamaan.Seolah keduanya berseru secara keras "Bodoh" untuk pria tersebut.Akan tetapi kapan Anggara akan menahan apa yang ada dalam pikirkan, tanpa merasa canggung ataupun sungkan bibirnya meletuskan sebuah kata sarkas untuk Handoko. "Sok tahu."Sebenarnya itu 11:13 dengan pendapat Angel, namun melihat kepercayaan dan penjelasan Handoko, yang bermakna memberi pembelaan secara membabi buta untuk diri sendiri, kemarahan dan kekecewaan dalam hati yang mulai tumbuh, langsung menghilang secara tuntas.Berubah menjadi sebuah kehangatan hati menyeruak dengan lembut. Dalam tatapannya untuk sosok itu Angel berpikir, membiarkan kesalahpahaman berlanjut, dan mungkin ini adalah yang terbaik.Sejauh yang di pahami, jika masalah kehadirannya di sana di jelaskan, mungkin justru akan mengundang banyak pertanyaan yang lain.Dan tidak mungkin juga,
Anggara menatap Angel dan berkata dengan intonasi seperti seorang atasan, yang seolah merangkap sebagai kekasih. "Mandilah dan berganti pakaian di kamar sebelah, kita akan berangkat bersama." Di tengah rasa tak nyaman dalam hati, hanya itu yang bisa di lakukan olehnya.Jujur Anggara tak habis pikir, jika itu menyangkut perihal Angel, kemungkinan untuk bisa tenang dan merasa nyaman hampir nihil.Terlebih lagi ketika menyadari bahwa keakraban Handoko dan Angel saat ini, yang berkembang semakin baik. Ada rasa tidak terima, kesal, sekaligus cemas dalam hatinya."Mengapa?, dan kenapa perasaan itu harus dimilikinya?." Pertanyaan itu telah membayangi pikiran Anggara, setidaknya beberapa hari terakhir ini.Siapa yang tidak mengenal seorang Anggara Aditama, pembisnis muda yang di takuti serta di segani semua kalangan. Lalu mengapa wanita yang sering di panggilnya sebagai Alien ini, lebih peduli dan ramah kepada sahabatnya tersebut?, apa yang kurang dari dirinya?, dan apa kelebihan Handoko yang
"Dasar topeng beku.""Hei...sedang apa?, menunggu seseorang?." Rista di kejutkan dengan sapaan Angel yang juga hendak menggunakan lift menuju lantai atas.......................Angel yang segera turun dari mobil, mengabaikan kedua pria di dalam mobil hanya dengan satu baris pendek ucapan terimakasih, begitu mobil berhenti.Wanita tersebut, seperti sedang menghindari sesuatu yang mungkin akan segera memburu, dan melumatnya menjadi abu.Angel masuk kedalam gedung perkantoran, tanpa menoleh lagi kearah belakang, meskipun ia memahami bahwa tindakannya termasuk dalam kategori kurang sopan, apa yang bisa dilakukannya?. Semua demi kenyamanan dan ketenangan setidaknya untuk beberapa tahun kedepan nanti.Kurang sopan, atau di anggap tidak memiliki rasa terimakasih, serta di anggap sebagai wanita bodoh tidak lagi membuatnya perduli. Demi menghindari kesalahpahaman, serta menimbulkan masalah untuknya, semua harus tetap di lakukan.
"Wanita inilah kelak yang akan menjadi calon istri Presdir di masa mendatang."Pemikiran yang datang secara tiba-tiba tersebut, ibarat sebuah gemuruh yang terbungkus lapisan tipis tanah, yang siap menyembur keluar hanya dengan satu hentakan kaki.Terlebih lagi, dengan saksi mata hidup yang kini terperangah dan jelas menunjukkan sisi antusias tinggi, untuk sosok yang baru saja melintas di depan mata keduanya.Namun, mengingat apa yang menjadi topik utama dan siapa pemerannya, seberapa besar dentuman dan getaran dalam pikiran tersebut, akankah keduanya berani membuka bibir serta berkicau.Para penjaga yang berdiri di depan pintu masih termangu, bahkan setelah tubuh langsing Angel menghilang di balik balik pintu lift gedung, serta berganti menjadi sosok keduanya lah yang berada di bawah tatapan Handoko serta Anggara, satu diantara keduanya masih menatap lekat kearah menghilangnya punggung Angel, melalui kaca bening tembus pandang gedung tersebut.
"Maa..maaf pak." Dengan secepat kilat ia kembali menarik tangan dari tatakan cangkir, Wajah cantiknya memerah dengan rasa hangat yang seolah merambat di sekujur tubuhnya. 'Benar-benar memalukan.' Teriaknya dalam hati.Di awal ia berpikir bahwa teh tersebut untuknya, pasalnya di dalam ruangan tersebut hanya ada mereka berdua saja, jadi dengan tanpa ragu Angel menerima cangkir yang di sodorkan ke arahnya. Namun dengan tindakan sang bos yang masih mempertahankan cangkir tersebut, wanita itu sadar bahwa pemahamannya salah. "Ya tuhan...." Jeritnya lagi dalam hati. Angel kembali merasa malu, mungkin dia harus mengingat tanggal dan bulan hari ini, agar bisa di tetapkan sebagai hari malu nasional baginya, ataukah dirinya memang lebih bodoh dari keledai. Belum juga hilang rasa malu sebelumnya, dan kini sudah membuat kesalahan lain. Ada rasa
"Jangan lakukan itu lagi", terutama di depan orang lain. Ucap Anggara ringan, dengan baris kalimat diakhir tidak di utarakan. Jika Angel tidak kembali menunduk, mungkin ia bisa menangkap sekilas ragu pada tampilan wajah Anggara di depannya. "Baik." Sahut Angel cepat, secepat menundukkan kepala.Ada rasa malu yang tak terukur dalam benak, benar saja bagaimana mungkin seorang sekertaris dari Aditama bisa membuat kesalahan konyol seperti barusan. "Maaf pak, saya berjanji tidak akan ada lain kali." Sambung Angel lirih. 'Tentu saja tidak akan lagi, bagaimana mungkin akan melakukan kesalahan yang memalukan seperti ini?, apa dia lebih bodoh dari keledai.' Lanjut Angel dalam pikiran. Anggara merasa ada yang salah dengan perkataan Angel barusan, namun di pikir berapa kali pun tidak tah
"Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t
" Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan."Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dan sontak ruangan menjadi hening, bahkan Angel yang beberapa saat lalu hendak mencari lubang sembunyi, ikut terkejut serta merasa gugup. "Maaf tuan, saya sudah lancang." Jawab sang pelayan dengan rau
"Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret
"Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel
"Jangan khawatir di jamin bapak akan kembali bugar, dan tenaga yang terkuras akan terisi kembali." Ucap Angel ringan. Tak ada maksud apapun dari perkataan yang meluncur, ia hanya ingin menyampaikan kepedulian secara transparan apa adanya, tentu saja tulus perduli sebagai seorang sekertaris pribadi. Namun dalam penerimaan Anggara jelas sangat berbeda, pria tersebut diam sejenak berusaha untuk mencari penjabaran baik dari inti perkataan barusan. Akan tetapi semakin di cermati kalimat tersebut, semakin jelas kekesalan hatinya. "Apa wanita ini sedang meragukan kemampuanku?", Kurang lebih demikian pemikiran Anggara. Ia menatap wanita di depannya dengan tajam sembari bertanya. "Apa maksudmu?". "Apa ini lelucon?." Sambungnya dalam hati. Seolah tidak mendengar, Angel tidak menjawab dan masih fokus pada dasi di lehernya. "Sudah pak." Ucap wanita itu setelah selesai membantu memakaikan dasi. "Apa menurutmu aku lemah?." Tanya Anggara lagi dengan nada dalam, serta wajah yang se
"Sudah berapa lama kau berkerja seperti ini?." Anggara membuka pembicaraan. Namun, hanya baris kalimat." Sudah berapa lama?yang keluar dari bibir, baris yang lain di rasa tidak perlu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Eva sudah bisa mengerti, memahami arah pembicaraan serta pertanyaan Anggara. "2 tahun." Jawabnya singkat. Eva kembali meneguk minuman dalam gelas, namun kali ini ia tidak langsung menghabiskannya. Wanita itu memutar-mutar gelas pelan seraya kembali melanjutkan perkataan. "Aku pernah beberapa kali kerja di tempat lain, tapi karena status sia*an ini semua tak bertahan lama." Anggara menatap mata jernih sosok di sampingnya, seakan mencoba menelisik lebih jauh dengan apa yang di dengar barusan. "Ada apa dengan itu?, bagaimana status janda bisa mempengaruhi pekerjaan?." Anggara berdiri dari duduk, membayangkan sosok janda lain dan berjalan menuju meja kecil untuk mengambil gelas satu lagi. Sejenak Anggara menatap gelas tersebut dengan tatapan lembut yang tak bisa di paha
Dan benar saja, kurang dari 2 menit dari waktu yang di janjikan, pintu kamar hotel di ketuk dari luar."Evangeline." Ucap sosok sang wanita, ketika pintu terbuka.Ia sengaja menyebut "Evangeline", untuk memperkenalkan diri seperti yang biasa ia lakukan.Anggara memperhatikan sosok di sana sejenak, sebelum berbalik masuk dan membiarkan wanita itu mengikuti.Ia sudah menebak bahwa sosok di sana adalah teman kencannya kali ini."Evangeline, Angeline." Nama itu berputar sejenak di pikiran, ketika melangkah masuk ruangan.Ada senyum sinis singkat tercetak pada bibir Anggara.Ia tak habis pikir mengapa harus memilih wanita itu dalam kencan singkatnya kali ini, padahal banyak pilihan lain yang jauh lebih baik. Anggara berjalan menuju lemari pendingin kecil, yang berada di sudut ruangan sejajar dengan tempat tidur, mengeluarkan sebuah botol minuman serta mengambil gelas kecil tak jauh dari lemari pendingin, seolah tidak memperdulikan