Seorang wanita berpakaian kemeja lusuh memasuki sebuah gedung. Tak seperti biasanya ramnut sebahunya ia buat terurai dengan berberapa polesan pada wajahnya menambah keanggunan dan keelokan paras. Beberapa karyawan saling berpandangan begitu melihat wanita asing itu memasuki gedung perusahaan mereka. "Apa aku aneh?" gumam wanita itu mendadak kehilangan kepercayaan dirinya. Tapi ia tetap memasuki pintu masih dan berdiam diri di depan lobi."Permisi, Mbak, ada yang bisa saya bantu?" sapa seorang resepsionis bertanya ramah.Nirmala yang masih berdiri kaku hanya bisa membalas senyuman kaku. "Maaf, Mbak saya sedang menunggu—""Oh kau sudah sampai?" tanya Bhaskara dengan lantang. Lelaki itu baru saja keluar dari ruang keamanan yang ada di sisi lobi.Wanita itu sejenak tertegun melihat penampilan Bhaskara yang tak biasa. Ia mengenakan jas dengan dasi melingkar di lehernya. Ia nampak berwibawa mencerminkan posisinya sebagai direktur dan ... menawan."Oh—eh iya baru aja," balas Nirmala mendad
"Bhaskara, gimana?"Lelaki itu yang tadinya sibuk berkutat dengan layar laptop menodongak. Seketika itu juga ia dibuat ternganga, rahangnya bahkan hampir terjatuh melihat pintu kamar mandi yang terbuka lebar dengan seorang wanita berdiri diambang pintu.Seorang wanita yang sudah sangat familiar, namun kini terlihat begitu asing. Penampilannya berubah 180° hanya karena berpakaian setelan jas yang melekat pas pada tubuhnya. Tatanan rambut sebahu yang ia biarkan terurai membuat auranya berubah mahal, begitu dewasa sekaligus anggun tanpa menanggalkan kesan formal."Wo—WOW!" Lelaki itu tanpa sadar bangkit dan berjalan mendekat. "Apa ini sungguh Nirmala yang aku kenal?" ungkapnya menatap dari ujung kaki sampai ujung kepala kagum.Nirmala yang ditatap memuja seketika merona. Ia menjadi salah tingkah sendiri. "Nggak usah berlebihan!" serunya menahan senyuman lebar yang meronta ingin terbit. Wanita itu memukul lengan Bhaskara yang tak henti-hentinya memandangnya terperangah. "Biasa aja, Kara
Bhaskara secepat kilat menoleh pada Nirmala. Ia tak menyangka Nirmala akan menjelaskan hal itu secara gamblang. "Apa? Jadi tak ada Keluarga Wahyatma yang memberi tahumu?" ujar Gergio terkejut."Bahkan sebenarnya selama ini saya bekerja sebagai OG di Rajya Corp, Pak. Jika Pak Gergio tidak percaya bisa melihat datanya di perusahaan saya menjadi OG sejak beberapa tahun lalu sebelum kemarin kontrak saya diputus sepihak oleh Pak Raja karena saya mengetahui kebenarannya," jelas Nirmala dengan santainya. Sepertinya rasa sakit hati yang sempat mendiami hatinya telah mengerak hingga tak lagi terasa sakit, hanya terasa miris. Terlihat Gergio menatap Nirmala iba. Bhaskara yang menyadari rencana brilian Nirmala dalam mengundang rasa simpati Gergio mengembangkan senyum lega. "Apa alasannya menyembunyikan hal itu?" Nirmala mengendikkan bahu. Ia rasa tindakannya sudah cukup membuat Gergio skeptis terhadap Raja, ia tak perlu menjelaskannya lebih lanjut. Melihat tatapan mengiba yang Gergio sorot
Di kediaman Wahyatma saat itu tengah lengang seperti biasa. Veda tengah berkutat di dapur mempersiapkan menu sarapan hari ini. Sedangkan Maharaja masih bersiap mengenakan kemeja dan dasi sebelum melakukan ritual sarapan bersama. "Baladewa mau kemana? Kita sarapan dulu!" seru Veda melihat anak semata wayangnya terburu-buru menenteng jas abu.Baladewa yang merasa terpanggil menoleh. "Kayaknya dewa sarapan dikantor papa aja deh, Nda.""Ini Bunda masak Nasi goreng seafood loh," ucap Veda memamerkan sepiring nasi goreng dengan beberapa seafood di atasnya.Mata hitam Baladewa berbinar. Ia secepat kilat mendekat ke meja makan kemudian menanggalkan jasnya pada kursi. "Yummy, mana bisa dewa nolak!" ucap Baladew girang menerima sepiring nasi goreng buatan mamanya.Veda mengamati perubahan ekspresi Baladewa dengan senang. Mengingat akhir-akhir ini sang anak mengalami berbagai hari yang pelik, ia berinisiatif membuatkan makanan kesukaan anaknya. Ia tak begitu mengerti dengan urusan bisnis, jadi
"Jika kau mampu meyakinkanku akan skillmu, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk bergabung dalam kubumu."Ucapan Gergio tempo lalu membuat pikiran Nirmala hampir pecah. Ia terus-terusan mencari cara bagaimana agar dirinya mau berkembang. Selama ini ia hanya bertugas membersihkan berbagai ruangan kotor, tak mungkin kan kini harus belajar menjadi seorang pemimpin sebuah kantor?"Argh!!!""Astaga! Kakak, ngagetin ajaa!"Ganesha hampir dibuat terjungkal, ia tak menyadari keberadaan kakaknya yang rupanga telah duduk di belakangnya. Nirma melirik adiknya sekilas, kemudian kembali menghela napas lirih. "Ada apa, Kak? Dua hari ini Anes liat Kak Nirmala sering melamun." Adiknya itu duduk merapatkan diri di sebelah kakaknya yang sedang bergulat dengan pikirannya sendiri.Lagi-lagi ia menghela napas pelan. "Menurutmu apa mungkin kakak bisa mengemban apa yang ayah turunkan?"Ganesha yang mengenakan seragam putih biru itu bertopang dagu menatap kakaknya yang masih kalut dalam keraguan. "Menuru
"Apa yang harus aku tulis?"Gerutuan Nirmala terdengar nyaring di pendengaran Bhaskara. Namun lelaki itu nampak tak peduli, ia begitu acuh dengan Nirmala yang tengah mumet memikirkan tugas yang diberikannya satu jam lalu.Nirmala berdecih menatap Bhaskara yang duduk tak jauh darinya dengan pandangan tak bersahabat. "Ishhh katanya kalau yang pura-pura budeg, bakal budeg beneran," sindirnya secara halus namun bermakna tajam.Seketika itu juga Bhaskara melirik tajam. "Selesaikan tugasmu, Nirmala. Hanya menyusun beberapa kata saja kau selama ini? Bagaimana mau menghadapi banyak kata yang karyawanmu ucapkan," balas Bhaskara dengan sindiran tak kalah menohok.Wanita itu hanya menggerutu kian kesal."Jangankan visi seorang pemimpin, buat visi wawancara OSIS aja gak lolos," gumamnya menekan keyboard komputernya asal.Lama ia terdiam memandangi sebidang kertas putih yang nampak dilayar laptop, hingga sebuah ide tiba-tiba melintas."AHA!!" teriaknya lantang.Bhaskara sampai berjengit saking te
Seorang pria berkutat dengan peralatan dapur yang begitu berantakan. Dapur yang semula bersih dan tertata rapih, dalam waktu 15 menit telah berubah bak kapal pecah. Banyak tepung dan potongan sayuran berserakan. Tak lupa juga piring, panci bahkan wajan menggunung ditempat cuci piring."Akhirnya jadi juga omelet sehat," gumam pria itu membawa piring berisi telur ceplok berwarna-warni. "Walaupun sedikit gosong," lanjutnya begitu melihat bagian bawah makanan yang ia sebut omelet yang full hitam. Sepertinya bukan lagi sedikit, tapi memang sudah gosong.Ia mendudukkan dirinya di sofa sembari mencoba mahakarya makanan yang ia buat sendiri itu.Pahit!Satu kata yang menggambarkan omelet bikinannya. Entah mengapa ia tak menemukan rasa lain selain pahit, sepertinya karena ia melewatkan penggunaan garam dan micin dalam omeletnya membuat rasanya kacau balau."Aishhh padahal cuma kelewatan garam, tapi kenapa rasanya jadi amburadul. Definisi bahan yang diremehkan namun berdampak krusial dalam mas
Baladewa berjalan luntang-lantung menuju apartemennya. Jika dilihat pria itu seperti tak memiliki semangat hidup lagi. Pandangannya kosong dan wajahnya kentara nelangsa."Selamat siang, Tuan Baladewa, baru pulang dari kantor, ya?" sapa seorang security yang nampak akrab dengan Baladewa.Oh iya apartemen yang Baladewa tempati sejatinya milik ayahnya, sehingga jangan heran jika pegawai di sini mengenalnya dengan baik.Karena pikirannya sedang melanglang buana, ia hanya melambai tanpa menjawab. Wajahnya pun hanya menampilkan raut datar. Ceklek.Usai memasukkan beberapa pin, ia membuka pintu apartemen itu kemudian segera menutupnya. Ia mendongak menatap seluruh ruangan kemudian menghela napas berat. "Aku tidak bisa meminta pendapat bunda sekarang. Sepertinya aku butuh hiburan lain," gumamnya segera membanting tubuhnya lunglai.Pria itu merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan ponsel berlogo apel tergigit itu. Satu-satu hiburan yang bisa ia lakukan untuk mengembalikan moodnya hanyala