Tidak bisa memutuskan begitu saja, Sesil diam. Sehingga Keenan kembali menocba meyakinkan. "Sesil, aku benar-benar lajang." "Meski begitu, kita bahkan tidak saling mengenal.""Kita bisa belajar mengenal satu sama lain lebih dulu jika begitu." "Lantas jika aku tidak merasa cocok denganmu, bagaimana?" tanya Sesil menatap Keenan dengan tajam."Kita tetap harus menikah."Tentu saja keputusan Keenan membuat Sesil mendengus sebal. "Jika keputusannya sama, untuk apa melakukan pendekatan?"Keenan terkekeh kecil dengan tangan yang mengusap ujung kepada Alice. "Karena aku yakin kau akan merasa cocok denganku." Begitu percaya dirinya Keenan mengatakan itu, sehingga membuat Sesil lagi-lagi mendengus. "Kau terlalu percaya diri!" cetus Sesil."Kau akan merasakannya jika sudah menjalani." "Sayangnya aku tidak mau," ujar Sesil masih teguh dengan pendirian. Mendensah pelan, Keenan menatap Sesil dengan serius. "Sesil, pertimbangkan baik-baik. Ini demi Alice. Lagipula ... apa yang mampu membiay
“Coba jelaskan apa ini!”Bersamaan dengan teriakan sang suami yang baru pulang kerja, secarik kertas mengenai wajah Poppy. Hal ini membuat wanita hamil itu kebingungan. Tak biasanya Keenan bersikap kasar….“Apa ini, Mas?” tanya Poppy sembari mengambil kertas tersebut. “Kau tidak buta huruf, kan?” sarkas Keenan. Menyadari suaminya enggan menjawab, Poppy pun gegas membaca isi kertas yang ternyata hasil laboratorium itu. Memang, perempuan itu baru saja melakukan tes darah karena diwajibkan oleh rumah sakit untuk mengecek hemoglobin, seperti yang dilakukan ibu-ibu hamil lainnya. Awalnya, tak ada masalah, sampai mata Poppy berhenti di bagian agak bawah.[ HIV: Positive ]Tangan wanita itu bergetar hebat. “Bagaimana bisa?” lirih Poppy, bingung.Keenan hanya tersenyum jijik. “Jangan bertanya padaku karena aku tidak pernah bermain dengan perempuan manapun, selain denganmu!”“Aku juga sama, Mas. Kenapa–”“Ck! Tak usah sak polos, Poppy. Aku ini dokter dan aku tahu bahwa kau tidak pernah di
“Bersihkan semua area, jangan sampai ada kotor sedikit pun jika kalian tidak ingin mendapatkan hukuman!” seru kepala kebersihan pada para cleaning service.Poppy yang baru seminggu bekerja di sana sontak merasa heran karena teman satu profesinya terlihat sibuk lebih dari biasanya. “Rexi, sebenarnya ada apa?”“Kau tidak tahu? Aku dengar Pak Erza hari ini kembali dari luar negeri.”“Pak Erza … dia bos kita?” tebak Poppy yang langsung dibalas anggukan oleh Rexi, teman satu profesinya. “Kau sudah mendengar bukan jika Pak Ezra merupakan pria yang cerewet? Segalanya harus bersih dan sempurna.”“Ya … aku sudah mendengarnya dari yang lain.”“Maka dari itu kau harus melakukan pekerjaan dengan baik.”Poppy yang akhirnya mengerti pun mengangguk paham. “Baiklah, aku akan berusaha melakukan yang terbaik.”Ia lantas mengerjakan pekerjaannya sebaik mungkin karena tidak ingin mendapatkan masalah. Meski hanya sebagai cleaning service, ini adalah pekerjaan terbaik yang ia bisa lakukan karena semua do
“Boleh pergi,” lanjutnya.Mendengar itu, Poppy tampak heran. Tadi Ezra begitu menggebu, tetapi sekarang nampak tenang?Meski demikian, Poppy tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk segera pergi dari hadapan Ezra. “Aneh sekali…."Ia segera pergi dan kembali ke ruangan cleaning service.“Bagaimana? Apa Pak Ezra meminta dibuatkan kopi yang baru?” tanya sang atasan begitu Poppy tiba di sana.Wanita itu sontak menggeleng. “Tidak, Pak Ezra meminumnya.”“Benarkah?” Sean masih tidak percaya karena sudah menjadi kebiasaan jika Ezra akan minta dibuatkan kembali kopi. Paling tidak, mereka harus melakukannya tiga kali dalam sekali Ezra ingin ngopi.Poppy mengangguk membenarkan. Melihatnya semakin membuat Sean tidak percaya. “Ini di luar nalar! Bagaimana bisa Pak Ezra langsung cocok dengan kopinya? Apa kamu….” Sean menatap Poppy penuh selidik, membuat wanita itu jadi gugup.“Saya tidak tahu,” balas Poppy cepat lalu membuang muka. “Ya sudah, karena kau tidak memiliki pekerjaan. Coba bersihkan r
“Poppy, kudengar kau menumpahkan kopi di baju Pak Ezra. Apa itu benar?” tanya Rexi penasaran.Dengan lemas, Poppy mengangguk. Terang saja hal itu membuat Rexi menutup mulutnya yang terbuka secara spontan. “Ini gila! Apa yang kau pikirkan sehingga berani melakukan itu?”“Itu bukan sebuah kesengajaan, Rexi.”“Ya … aku percaya padamu, mana ada yang berani melakukan hal kurang ajar seperti itu kepada Pak Ezra jika tidak ingin mati.”Poppy mengembuskan napas berat karena memikirkan nasibnya ke depan. “Apa setelah ini aku akan dipecat?”“Aku tidak bisa menjawabnya, tapi memang bisanya Pak Ezra akan memecat karyawan yang melakukan kesalahan fatal. Dan kau, sudah melakukannya.” Mendengar itu, Poppy semakin pusing. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?”Bersamaan dengan itu, Sean tiba-tiba menghampirinya. “Poppy, kau dipanggil Pak Ezra ke ruangannya.”“Apa? A-ada apa?” tanya Poppy tergagap.“Aku tidak tahu, lebih baik kau segera temui beliau agar mengetahui alasannya.” “Tamat riwayatku,” li
Lama, Poppy berlutut di kepada Ezra yang kini menatapnya dengan puas. Pria itu bahkan tersenyum miring. “Kau berdirilah.” Mendengarnya, Poppy lantas bangkit dengan perlahan. Namun, tubuhnya malah oleng karena kakinya kesemutan. Ia tidak kuat menahan bobotnya sendiri. Refleks, Ezra menangkap tubuh Poppy agar tidak terjatuh.Beberapa saat keduanya tertegun saat menyadari posisi yang begitu dekat. Sayangnya, itu tidak bertahan lama karena Ezra dengan kasar melepaskan. Buk!Tubuh Poppy yang belum sempat tegap pun terjatuh.“Aduh,” keluh Poppy meringis sambil mengusap pantatnya yang ngilu.“Ck! Jangan melakukan hal konyol, aku tidak akan terpengaruh.” “Memang apa yang kau pikirkan? Kakiku benar-benar lemas.”Ezra menatap Poppy tajam karena berani menyahuti ucapannya. “Sudah kukatakan untuk bersikap sopan, aku atasanmu sekarang.”“Siapa juga yang mengatakan jika kau ini bawahanku,” gumam Poppy yang masih dapat didengar oleh Ezra.“Kau … dasar jalang! Berani-beraninya bicara tidak sop
Untungnya, Poppy bisa mengendalikan diri!Sudah dua jam, perempuan itu memijat Ezra.Hal itu jelas membuat kakinya pegal dan kesemutan.Ia pun menggerakan kepala ke kiri dan ke kanan sambil memegang tengkuk untuk meregangkan lehernya yang sekarang terasa pegal. Hanya saja, Ezra yang merasa tak ada pijatan pun menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik.“Apa yang kau lakukan? Lanjutkan,” perintah Ezra dengan dingin.Buru-buru wanita itu kembali memijat pundak Ezra. “Aku tidak merasakan apa pun dari pijatanmu. Sebenarnya kau bisa melakukannya atau tidak?”“Maaf, Pak. Jika diizinkan saya ingin minum,” ujar Poppy mencoba menawar.“Tidak ada, aku saja tidak minum sejak tadi.”Poppy hanya bisa pasrah melakukan perintah Ezra. Wanita itu beberapa kali melihat jam pada monitor yang ada di depannya. Ia kembali mendesah karena jam pulang kantor sudah satu jam berlalu, tetapi Ezra belum menyuruhnya untuk berhenti.“Kau sedang apa? Jangan coba-coba untuk mengintip dan menyabotase proyek y
“Ck! Sebenarnya rencana apa lagi kali ini? Aku harap tidak menyusahkanku.” Poppy menggerutu sambil berjalan menuju unit apartemen milik Ezra. Menoleh ke kanan dan ke kiri ketika ia melewati beberapa pintu untuk memastikan agar tidak terlewat. Hingga akhirnya ia menemukan unit yang dimaksud."Kenapa lama sekali?" Wanita itu mengeluh karena sudah menekan bel beberapa kali, tetapi Ezra tidak kunjung membukanya. “Apa dia sedang mengerjaiku?” Lagi-lagi Poppy mengeluh karena kakinya mulai pegal menunggu tanpa kepastian. Hampir satu jam Poppy berada di sana sampai orang-orang yang kebetulan lewat menatapnya heran.Malu? Sudah jelas. Hanya saja rasa kesal lebih mendominasi. "Bilangnya jangan terlambat. Tapi lihatlah, dia malah membuang-buang waktuku!" Tidak ingin menunggu lebih lama lagi, Poppy putuskan untuk pergi. Namun, saat ia akan melangkah tiba-tiba pintu dibuka membuat Poppy mengurungkan niatnya. Wanita itu kembali berbalik dan menatap Ezra yang menguap dengan jengah.“Kau beri
Tidak bisa memutuskan begitu saja, Sesil diam. Sehingga Keenan kembali menocba meyakinkan. "Sesil, aku benar-benar lajang." "Meski begitu, kita bahkan tidak saling mengenal.""Kita bisa belajar mengenal satu sama lain lebih dulu jika begitu." "Lantas jika aku tidak merasa cocok denganmu, bagaimana?" tanya Sesil menatap Keenan dengan tajam."Kita tetap harus menikah."Tentu saja keputusan Keenan membuat Sesil mendengus sebal. "Jika keputusannya sama, untuk apa melakukan pendekatan?"Keenan terkekeh kecil dengan tangan yang mengusap ujung kepada Alice. "Karena aku yakin kau akan merasa cocok denganku." Begitu percaya dirinya Keenan mengatakan itu, sehingga membuat Sesil lagi-lagi mendengus. "Kau terlalu percaya diri!" cetus Sesil."Kau akan merasakannya jika sudah menjalani." "Sayangnya aku tidak mau," ujar Sesil masih teguh dengan pendirian. Mendensah pelan, Keenan menatap Sesil dengan serius. "Sesil, pertimbangkan baik-baik. Ini demi Alice. Lagipula ... apa yang mampu membiay
Kali ini Sesil yang mengerutkan kening. Apa maksudnya Keenan mengatakannya bodoh? "Dari pada bingung, lebih baik kau ikut denganku!" ujar Keenan lantas mengajak Sesil untuk kembali ke restoran tempat ia berkumpul dengan teman-temannya.Tentu dengan tidak semerta-merta Sesil mau ikut. Wanita itu menggeleng lalu berkata, "Untuk apa aku ikut denganmu? Aku bahkan tidak memiliki kepentingan hingga harus mendengarkan penjelasanmu!" Mengusap wajahnya dengan kasar. Tentu Keenan sadar jika ini tidak akan mudah. Terlebih ia dan Sesil yang bahkan hanya berhungan ketika malam itu saja. "Tentu saja kita memiliki kepentingan! Apa kau tidak lihat Alice merindukanku? Merindukan papa kandungannya!" Menggeleng dengan cepat, Sesil menyangkal itu semua. "Tidak, Alice tidak merindukanmu." "Benarkah?" Keenan lantas menoleh ke arah Alice yang sekarang berada dalam gendongannya. "Alice, apa kau tidak merindukan papa?" Tentu Alice yang masih polos tidak mengerti jik mamanya tengah menghindari pria ya
Sesil dan Alice langsung menoleh ketika mendengar nama mereka dipanggil. Keduanya tampak terkejut ketika mengetahui yang memanggil mereka adalah Keenan. Hanya saja mereka memiliki reaksi yang berbeda. Jika Sesil langsung pucat. Sangat bertolak berlakang dengan Alice yang sangat bahagia. Gadis kecil itu bahkan langsung memanggil Keenan sambil melambaikan tangan. "Papa!" Keenan membalas lambaian tangan Alice kemudian berjalan mendekat. Membuat Sesil yang menyadari itu lekas pergi dari sana.Sesil berbalik sambil menarik Alice sedikit kasar karena takut akan kehadiran Keenan yang semakin mendekat. "Alice, ayo kita pergi!""Tidak! Aku ingin bertemu Papa." Alice menahan sekuat tenaga, tetapi tenaganya sangat jauh dari sang mama. Alhasil Alice terseret yang membuat Keenan yang melihat itu tidak terima. Keenan berlari, mempercepat langkahnya untuk mengejar Sesil. Sehingga kakinya yang panjang berhasil menyusul. "Tunggu!" seru Keenan seraya menghadang jalan Sesil sambil merentangkan kedu
Tiba di rumah, Sesil langsung memasukkan semua pakaiannya ke koper. Wanita itu tidak bisa diam saja karena takut jika Keenan akan merebut Alice darinya.Tidak, Sesil tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi! Ia yang mengandung dan melahirkannya. Sesil juga yang merawatnya sampai sekarang. Jadi yang berhak atas Alice adalah dirinya. "Mama, kita mau ke mana?" tanya Alice ketika Sesil selesai mengemasi pakaiannya, dan mengajak Alice untuk pergi. "Kita ke rumah nenek, Alice. Kau tau, Nenek sudah merindukan kita!" Dengan cepat Alice menggeleng. "Tidak! Aku akan tetap tinggal di sini," cetusnya."Alice---" "Papa sudah berjanji akan pulang, jadi aku akan menunggunya!" Sesil mendesah frustasi. Lagi-lagi anaknya itu bersikap keras kepala dalam keadaan genting seperti ini. Sehingga membuat Sesil semakin terpojok. "Kita bisa beritahu papa, biarkan papa menyusul nanti. Hemm?" Sekuat tenaga Sesil menahan dirinya untuk tidak marah kepada Alice. Karena bagaimanapun Alice tidaklah salah.
"Mohon maaf sebelumnya, tapi bisakah Anda tidak mengaku-ngaku sebagai papa dari anak saya?" Sesil menatap Keenan dengan tajam.Sementara Keenan tampak lebih tenang dari sebelum-sebelumnya. Banyak pelajaran yang pria itu ambil dari kejadian beberapa tahun terakhir. Sehingga ia bersikap lebih tenang. "Maafkan saya jika memang perbuatan saya tadi membuatmu tidak nyaman. Saya hanya ingin menyenangkan Alice," ucap Keenan begitu tenang.Sesil mendesah pelan lalu berkata, "Tetapi perbuatan Anda akan membuat Alice menjadi ketergantungan. Alice anak yang kadang keras kepala, jadi saya khawatir jika nanti Alice akan benar-benar menganggap Anda sebagai papanya." "Jika memang demikian ... saya tidak keberatan," ujar Keenan lagi-lagi membuat Sesil merasa pening. Seharusnya Keenan melakukan penolakan. Terlebih bagaimana jika istri dari pria itu salah paham andai melihat Alice yang memanggilnya dengan sebutan papa? Oh, ayolah! Sesil tidak tahu saja jika Keenan sudah menduda selama lima tahun ini
"Pak Keenan," tegur Gigi ketika melihat Keenan yang malah melamun. Sontak hal itu membuat Keenan terperanjat. Sehingga cangkir yang dipegangnya terjatuh. Prang! Pecahan kaca itu berserakan, membuat Keenan refleks menghindar. Pria itu mendesah sambil menunduk, menatap pecahan kaca tersebut dengan datar. “Dokter, tidak apa-apa?” tanya Gigi panik.“Hemm. Tolong panggilkan petugas kebersihan,” ujar Keenan sambil berlalu. Setelahnya Keenan mengembuskan napasnya dengan kasar. Entah kenapa senyum Alice terus menari-nari dalam pikirannya. Hingga dadanya berdebar-debar, seolah merasakan kerinduan yang mendalam. Padahal ia baru sekali bertemu dengan anak gadis itu! Sementara di tempat lain, lebih tepatnya di rumah Sesil. Wanita itu menghempaskan tubuhnya di sofa, lalu memejamkan mata. Pertemuannya dengan Keenan jelas membuat Sesil terganggu. Wanita itu bahkan menjadi teringat dengan malam panas bersama Keenan.“Mama,” panggilan dari Alice lantas menyadarkan Sesil. Buru-buru ia menggele
Tanpa pikir panjang Alice langsung mengangguk dengan cepat. Gadis kecil itu tampak tidak sabar ingin segera memakan cokelat yang diberikan Keenan. Karenanya ia langsung membuka bungkusnya kemudian membuang sembarangan.Tentu saja hal itu membuat Keenan yang selalu ingin bersih dan rapih melebarkan mata saat melihatnya. Namun, dengan segera ia mengubah raut wajahnya karena yang dihadapannya ini adalah seorang anak kecil."Hei, gadi kecil! Kau harus membiasakan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan." Meringis kecil, Alice yang menyadari kesalahannya hanya mampu berkata, "Maaf, Doktel! Alice lupa."Keenan tersenyum kecil lalu mengangguk saja. Hingga Sesil yang sejak tadi melihat interaksi keduanya pun segera mengajak Alice pulang."Alice, kita pulang.""Tapi Alice masih betah di sini. Doktelnya baik, Mom!"Mendesah pelan, Sesil kebingungan harus membujuk Alice bagaimana. "Sayang, Dokternya mau kerja. Jangan diganggu," ujarnya masih berusaha membujuk.Namun, gadis kecil itu tidak
Keenan melebarkan matanya saat melihatmu wanita yang ada di depannya. Wanita yang sama dengan malam yang pernah ia lewati dulu. Iya, Keenan masih ingat betul pada sosok Sesil yang menghabiskan malam bersamanya saat ia mabuk waktu itu. Begitu juga dengan Sesil, wanita itu masih hafal dengan wajah dan .... "Huwaaaa ... Dokternya jahat," tangis Alice menyadarkan Sesil maupun Keenan dari rasa terkejut mereka.Sesil lantas menarik Alice agar menjauh dari Keenan. "Sudah, Alice. Jangan menangis," ujarnya mencoba menenangkan anaknya.Namun, tangis anak bernama Alice itu tidak berhenti dan cenderung lebih keras. Membuat Sesil kebingungan harus melalukan apa. Hingga tiba-tiba .... "Hei anak girl, menangislah yang puas." Keenan mendekat dengan posisi yang masih berjongkok--mensejajarkan diri dengan tubuh Alice yang kecil.Tentu saja Sesil melebarkan mata mendengar ucapan Keenan. Padahal dirinya sedang kesulitan untuk menghentikan tangis Alice yang tidak kunjung berhenti dan mengganggu sekitar
Sudah lima tahun berlalu dari Keenan meninggalkan hiruk-pikuk kota tempat asalnya tinggal. Mengabdi pada salah satu rumah sakit yang berada di desa pinggir kota membuat Keenan mulai menata hidupnya yang berantakan karena kesalahannya di masa lalu.Meski begitu, Keenan masih belum bisa sepenuhnya melupakan cinta pertama sekaligus mantan kekasihnya--Poppy yang ia dengar sudah memiliki seorang anak.Karenanya Keenan selalu menyibukan diri dengan bekerja meski itu di hari liburnya. Seperti sekarang ini, pria itu baru saja tiba di rumah sakit yang membuat para pekerja di sana menyapa."Dokter Keenan, kau kembali bekerja. Padahal ini hari liburmu. Apa kau tidak ingin menikmati hari libur dengan bersantai di rumah saja?" Keenan tersenyum mendengarnya lantas menjawab, "Tidak ada yang spesial di hari libur. Saya lebih menyukai tinggal di sini.""Dokter, kau memang idaman! Tidak hanya tampan dan jenius, tapi kau juga rajin. Beruntung sekali yang akan menjadi istrimu nanti." Sontak Keenan t