Ezra terus menunggu Poppy yang masih belum juga bangun. Hingga akhirnya dengan perlahan mata yang setia dengan terpejam itu mulai membuka mata. Membuat Ezra yang sejak tadi menunggu, menantinya dengan penuh harap.“Baby ….” “Ezra,” ucap Poppy dengan lirih ketika hal pertama yang ia lihat itu Ezra. “Iya, Sayang. Ini aku.” Ezra menggenggam tangan Poppy dengan erat. Ia yang semua duduk langsung berdiri dengan tubuh yang condong untuk mengecup kening Poppy dengan lama. “Akhirnya kau bangun juga.” Ezra begitu lega setelah Poppy kembali bangun. Pria itu bahkan meneteskan air saking terharunya yang tanpa sengaja menetes pada pipi Poppy.“Ezra, kau menangis.” “Hemm.” Ezra menjauh kemudian membenarkan membuat Poppy terkekeh begitu lirih.“Kenapa menangis? Kau seperti anak kecil!” “Bagaimana tidak menangis, Baby? Kau baru saja selamat dari maut. Aku benar-benar takut kehilanganmu.” Genggaman tangan semakin kuat yang membuat Poppy sedikit kesakitan.Namun, wanita itu memilih untuk protes
Poppy menatap Ezra dengan serius, menunggu apa yang akan pria itu katakan. “Ezra, katakan apa yang sebenarnya terjadi?”Mendesah pelan, Ezra pun mulai cerita, “Aku merasa ada yang iri dengan hubungan kita. Karena itulah orang itu ingin mencelakaimu, Baby.”Mendengarnya tentu membuat Poppy terkejut. “Ezra, apa kau yakin?”“Tentu saja! Sekarang Kevin sedang mencari penyebab pasti yang membuat lift terjatuh. Aku yakin itu kesengajaan, karena tidak mungkin hanya sekedar kebetulan. Sedangkan tiap bulan kami rutin melakukan perawatan.” “Ezra … tapi bisa saja itu memang kebetulan. Musibah tidak ada yang tau.” Mendengarnya tentu saja membuat Ezra mendesah pelan. “Kau terlalu naif, Baby. Padahal jelas-jelas itu disengaja, masih saja berpikir positif!” “Aku hanya mencoba berpikir positif,” balas Poppy yang tidak disetujui oleh Ezra.“Tapi itu salah besar! Pokoknya aku tidak ingin kau ke perusahaan untuk sementara waktu. Kalau pun kau tidak menurut, maka kau harus menempel kepadaku. Sekalipun
Ezra menatap Kevin dengan serius. Menunggu pria itu menyampaikan apa yang ditemukan.“Benar dugaan Anda, Pak. Semua sudah dirancang oleh seseorang. Karenanya saya menemukan barang bukti berupa rekamanan cctv yang tidak dihapus.”“Sudah kuduga. Jadi siapa biang keladinya?” “Nona Chelsea, Pak.” “Wanita itu lagi?” Ezra tidak habis pikir dengan wanita satu itu.Berulang kali melakukan kejahatan, tetapi tidak pernah kapok. Padahal ia sudah memberikan pelajaran kepada wanita itu.Atau mungkin … pelajaran yang diberikannya kurang? “Sepertinya saya terlalu lembek padanya. Kau laporkan kejadian ini kepada pihak yang berwajib. Serahkan semua bukti, termasuk tentang penculikan saat itu. Entah bagaimana bisa wanita itu lolos dari hukuman sebelumnya.”“Mulai sekarang kau kawal terus. Jangan sampai lengah. Sepertinya wanita itu memiliki bekingan yang cukup kuat,” sambung Ezra dengan tangan terkepal. “Baik, Pak. Saya akan melaksanakannya sekarang juga,” ujar Kevin lantas pamit undur diri. Ia t
"Honey, aku membutuhkan penjelasanmu." Poppy menatap Ezra yang kini nampak pias. Pria itu tersenyum untuk menutupi kegugupannya kemudian kembali duduk. Tangannya terulur menyentuh lembut pipi Poppy lalu mengusapnya dengan sayang."Penjelasan seperti apa yang kau butuhkan, hemm?" Ezra malah balik bertanya yang membuat Poppy mendengus. "Tentu saja soal ucap yang terakhir kau lontarkan! Sejak dulu aku yang menjadi penyemangat hidupmu. Kau bicara seolah-olah akan mati." Poppy mendelik ketika Ezra malah terkekeh setelah ia selesai bicara. "Aku serius, Ezra!" cetus Poppy merasa kesal karena Ezra tidak menanggapinya dengan serius. Berdeham pelan, Ezra menatap Poppy sambil mengulum senyum agar tidak lagi tertawa. "Aku juga serius! Tapi ucapanmu tadi membuatku tidak bisa berhenti tertawa." "Ck!" "Apa yang kau pikirkan sehingga mengatakan hal mengerikan begitu?"Poppy memilih bungkam, dan menatap Ezra dengan jengah. Karenanya Ezra mulai bicara serius."Baiklah, kau tahu sendiri bagaimana
Ezra menatap Poppy dengan penuh damba. Sementara yang ditatap tampak gugup. Wanita itu menelan ludahnya kasar saat Ezra membingkai wajahnya dengan jari telunjuk. Hingga gerakan pria itu terhenti tepat di bibir Poppy yang begitu menggoda. Kali ini giliran Ezra yang menelan ludahnya kasar. Diusapnya dengan lembut yang memiliki porsi kecil, tetapi cukup tebal. Benda kenyal yang menjadi favorit Ezra. Perlahan pria itu menekan tengkung Poppy bersamaan dengan wajahnya yang semakin maju. Namun, tinggal beberapa centi lagi tiba-tiba Poppy berkata, “Ezra, kepalaku pusing lagi.”Tentu saja ucapan yang diiringi dengan ringisan itu berhasil membuat Ezra berhenti bergerak. Pria itu menatap Poppy khawatir kemudian tanpa diduga malah menariknya ke dalam pelukan. “Ezra—” “Aku tahu kamu berbohong, Baby. Tapi aku tetap menghargai usahamu,” sela Ezra membuat Poppy tertegun. Wanita itu mendorong Ezra agak ia bisa menatap wajah kekasihnya dengan jelas. “Kau tahu, tapi tidak marah?” “Hemm.” Ezra
Poppy melirik ke arah Ezra yang menatapnya tajam. Setelahnya ia kembali melihat ke arah si penjaga yang tengah menunggu jawabannya. Mendesah pelan, Poppy menggeleng lalu berkata, "Aku merasa tidak masalah jika hanya menggunakan pakaian pasien. Yang terpenting bagiku sekarang, aku segera menikah dengan pria yang kucintai." Tentu saja jawaban Poppy membuat hidung Ezra kembang kempis. Pria itu tersenyum lebar ke arah si panjaga yang hanya mampu melongo.Baginya, jarang sekali ada wanita yang mau menikah tanpa gaun pengantin! Padahal itu merupakan hal umum. "Kau dengar sendiri jika pengantinku tidak membutuhkan itu. Yang terpenting baginya bisa hidup bahagia bersamaku," ujar Ezra yang tidak bisa menahan untuk tidak terus tersenyum. Puas, pria itu begitu puas dengan jawaban Poppy. Hanya saja ... senyum itu tidak bertahan lama ketika rungunya mendengar tuduhan si penjaga kepadanya. "Nona, kau harus jujur jika pria itu sudah menekanmu." Sontak Poppy melebarkan matanya, tetapi beberapa
Ezra dan Poppy saling pandang. Keduanya kembali mengalihkan perhatiannya ke arah wanita tua yang tengah bedecak pinggang sambil meringis kecil. Siapa lagi kalau bukan Belinda! Wanita tua itu mendapatkan laporan dari salah satu staf rumah sakit yang mengatakan jika Ezra membawa Poppy kabur. Ya ... tadi para tenaga medis tidak bisa berbuat apa-apa saat berhadapan dengan Ezra. Sehingga satu-satu jalan yang bisa mereka tempuh hanyalah melaporkan kelakuan Ezra kepada neneknya! Bagaimanapun mereka mengkhawatirkan kondisi Poppy yang belum pulih. Sebagai tenaga medis tentu mereka bertanggung jawab atas hal itu, meski tentunya merasa was-was dengan Ezra yang berkuasa. "Nenek---" "Katakan, Ezra!" sela Belinda membuat Ezra diam beberapa saat. Pria itu membiarkan Belinda melampiaskan kekesalannya. "Jangan banyak alasan. Katakan kau membawa Poppy ke mana?" "Aku membawa Poppy ke tempat ibadah," ujar Ezra membuat Belinda bingung. "Untuk apa? Poppy belum pulih! Tidak seharusnya kau melakukan
Saat Poppy akan bertanya lebih mengenai maksud ucapan Belinda, tiba-tiba Ezra kembali bersama dokter yang menanganinya. Sehingga tidak ada kesempatan bagi Poppy untuk menanyakan hal itu. "Dokter, tolong periksa cucu menantu saya. Saya tidak ingin terjadi sesuatu yang membahayakannya setelah tadi dibawa kabur oleh pria nakal itu!" ujar Belinda melirik sinis ke arah Ezra yang sama sekali tidak menunjukan penyesalan. Pria itu malah dengan santainya tersenyum. Seperti ada sesautu yang menganggu otaknya. Ya, sepertinya memang ada. Dan itu sebuah virus yang namanya cinta! Sehingga apapun itu, Ezra akan dibuat melayang-layar. Terlebih jika memikirkan malam pertama yang akan mereka lewati .... "Berhenti senyum-senyum, Ezra! Aku muak melihatnya," cetus Belinda, tetapi tidak membuat Ezra sakit hati.Pria itu malah semakin tersenyum lalu berkata, "Aku kesulitan mengontrol bibir, Nenek." Mendengus sebal, Belinda memilih untuk tidak menanggapi ocehan Ezra. "Dokter, periksalah.""Baik, Nyonya.
Tidak bisa memutuskan begitu saja, Sesil diam. Sehingga Keenan kembali menocba meyakinkan. "Sesil, aku benar-benar lajang." "Meski begitu, kita bahkan tidak saling mengenal.""Kita bisa belajar mengenal satu sama lain lebih dulu jika begitu." "Lantas jika aku tidak merasa cocok denganmu, bagaimana?" tanya Sesil menatap Keenan dengan tajam."Kita tetap harus menikah."Tentu saja keputusan Keenan membuat Sesil mendengus sebal. "Jika keputusannya sama, untuk apa melakukan pendekatan?"Keenan terkekeh kecil dengan tangan yang mengusap ujung kepada Alice. "Karena aku yakin kau akan merasa cocok denganku." Begitu percaya dirinya Keenan mengatakan itu, sehingga membuat Sesil lagi-lagi mendengus. "Kau terlalu percaya diri!" cetus Sesil."Kau akan merasakannya jika sudah menjalani." "Sayangnya aku tidak mau," ujar Sesil masih teguh dengan pendirian. Mendensah pelan, Keenan menatap Sesil dengan serius. "Sesil, pertimbangkan baik-baik. Ini demi Alice. Lagipula ... apa yang mampu membiay
Kali ini Sesil yang mengerutkan kening. Apa maksudnya Keenan mengatakannya bodoh? "Dari pada bingung, lebih baik kau ikut denganku!" ujar Keenan lantas mengajak Sesil untuk kembali ke restoran tempat ia berkumpul dengan teman-temannya.Tentu dengan tidak semerta-merta Sesil mau ikut. Wanita itu menggeleng lalu berkata, "Untuk apa aku ikut denganmu? Aku bahkan tidak memiliki kepentingan hingga harus mendengarkan penjelasanmu!" Mengusap wajahnya dengan kasar. Tentu Keenan sadar jika ini tidak akan mudah. Terlebih ia dan Sesil yang bahkan hanya berhungan ketika malam itu saja. "Tentu saja kita memiliki kepentingan! Apa kau tidak lihat Alice merindukanku? Merindukan papa kandungannya!" Menggeleng dengan cepat, Sesil menyangkal itu semua. "Tidak, Alice tidak merindukanmu." "Benarkah?" Keenan lantas menoleh ke arah Alice yang sekarang berada dalam gendongannya. "Alice, apa kau tidak merindukan papa?" Tentu Alice yang masih polos tidak mengerti jik mamanya tengah menghindari pria ya
Sesil dan Alice langsung menoleh ketika mendengar nama mereka dipanggil. Keduanya tampak terkejut ketika mengetahui yang memanggil mereka adalah Keenan. Hanya saja mereka memiliki reaksi yang berbeda. Jika Sesil langsung pucat. Sangat bertolak berlakang dengan Alice yang sangat bahagia. Gadis kecil itu bahkan langsung memanggil Keenan sambil melambaikan tangan. "Papa!" Keenan membalas lambaian tangan Alice kemudian berjalan mendekat. Membuat Sesil yang menyadari itu lekas pergi dari sana.Sesil berbalik sambil menarik Alice sedikit kasar karena takut akan kehadiran Keenan yang semakin mendekat. "Alice, ayo kita pergi!""Tidak! Aku ingin bertemu Papa." Alice menahan sekuat tenaga, tetapi tenaganya sangat jauh dari sang mama. Alhasil Alice terseret yang membuat Keenan yang melihat itu tidak terima. Keenan berlari, mempercepat langkahnya untuk mengejar Sesil. Sehingga kakinya yang panjang berhasil menyusul. "Tunggu!" seru Keenan seraya menghadang jalan Sesil sambil merentangkan kedu
Tiba di rumah, Sesil langsung memasukkan semua pakaiannya ke koper. Wanita itu tidak bisa diam saja karena takut jika Keenan akan merebut Alice darinya.Tidak, Sesil tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi! Ia yang mengandung dan melahirkannya. Sesil juga yang merawatnya sampai sekarang. Jadi yang berhak atas Alice adalah dirinya. "Mama, kita mau ke mana?" tanya Alice ketika Sesil selesai mengemasi pakaiannya, dan mengajak Alice untuk pergi. "Kita ke rumah nenek, Alice. Kau tau, Nenek sudah merindukan kita!" Dengan cepat Alice menggeleng. "Tidak! Aku akan tetap tinggal di sini," cetusnya."Alice---" "Papa sudah berjanji akan pulang, jadi aku akan menunggunya!" Sesil mendesah frustasi. Lagi-lagi anaknya itu bersikap keras kepala dalam keadaan genting seperti ini. Sehingga membuat Sesil semakin terpojok. "Kita bisa beritahu papa, biarkan papa menyusul nanti. Hemm?" Sekuat tenaga Sesil menahan dirinya untuk tidak marah kepada Alice. Karena bagaimanapun Alice tidaklah salah.
"Mohon maaf sebelumnya, tapi bisakah Anda tidak mengaku-ngaku sebagai papa dari anak saya?" Sesil menatap Keenan dengan tajam.Sementara Keenan tampak lebih tenang dari sebelum-sebelumnya. Banyak pelajaran yang pria itu ambil dari kejadian beberapa tahun terakhir. Sehingga ia bersikap lebih tenang. "Maafkan saya jika memang perbuatan saya tadi membuatmu tidak nyaman. Saya hanya ingin menyenangkan Alice," ucap Keenan begitu tenang.Sesil mendesah pelan lalu berkata, "Tetapi perbuatan Anda akan membuat Alice menjadi ketergantungan. Alice anak yang kadang keras kepala, jadi saya khawatir jika nanti Alice akan benar-benar menganggap Anda sebagai papanya." "Jika memang demikian ... saya tidak keberatan," ujar Keenan lagi-lagi membuat Sesil merasa pening. Seharusnya Keenan melakukan penolakan. Terlebih bagaimana jika istri dari pria itu salah paham andai melihat Alice yang memanggilnya dengan sebutan papa? Oh, ayolah! Sesil tidak tahu saja jika Keenan sudah menduda selama lima tahun ini
"Pak Keenan," tegur Gigi ketika melihat Keenan yang malah melamun. Sontak hal itu membuat Keenan terperanjat. Sehingga cangkir yang dipegangnya terjatuh. Prang! Pecahan kaca itu berserakan, membuat Keenan refleks menghindar. Pria itu mendesah sambil menunduk, menatap pecahan kaca tersebut dengan datar. “Dokter, tidak apa-apa?” tanya Gigi panik.“Hemm. Tolong panggilkan petugas kebersihan,” ujar Keenan sambil berlalu. Setelahnya Keenan mengembuskan napasnya dengan kasar. Entah kenapa senyum Alice terus menari-nari dalam pikirannya. Hingga dadanya berdebar-debar, seolah merasakan kerinduan yang mendalam. Padahal ia baru sekali bertemu dengan anak gadis itu! Sementara di tempat lain, lebih tepatnya di rumah Sesil. Wanita itu menghempaskan tubuhnya di sofa, lalu memejamkan mata. Pertemuannya dengan Keenan jelas membuat Sesil terganggu. Wanita itu bahkan menjadi teringat dengan malam panas bersama Keenan.“Mama,” panggilan dari Alice lantas menyadarkan Sesil. Buru-buru ia menggele
Tanpa pikir panjang Alice langsung mengangguk dengan cepat. Gadis kecil itu tampak tidak sabar ingin segera memakan cokelat yang diberikan Keenan. Karenanya ia langsung membuka bungkusnya kemudian membuang sembarangan.Tentu saja hal itu membuat Keenan yang selalu ingin bersih dan rapih melebarkan mata saat melihatnya. Namun, dengan segera ia mengubah raut wajahnya karena yang dihadapannya ini adalah seorang anak kecil."Hei, gadi kecil! Kau harus membiasakan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan." Meringis kecil, Alice yang menyadari kesalahannya hanya mampu berkata, "Maaf, Doktel! Alice lupa."Keenan tersenyum kecil lalu mengangguk saja. Hingga Sesil yang sejak tadi melihat interaksi keduanya pun segera mengajak Alice pulang."Alice, kita pulang.""Tapi Alice masih betah di sini. Doktelnya baik, Mom!"Mendesah pelan, Sesil kebingungan harus membujuk Alice bagaimana. "Sayang, Dokternya mau kerja. Jangan diganggu," ujarnya masih berusaha membujuk.Namun, gadis kecil itu tidak
Keenan melebarkan matanya saat melihatmu wanita yang ada di depannya. Wanita yang sama dengan malam yang pernah ia lewati dulu. Iya, Keenan masih ingat betul pada sosok Sesil yang menghabiskan malam bersamanya saat ia mabuk waktu itu. Begitu juga dengan Sesil, wanita itu masih hafal dengan wajah dan .... "Huwaaaa ... Dokternya jahat," tangis Alice menyadarkan Sesil maupun Keenan dari rasa terkejut mereka.Sesil lantas menarik Alice agar menjauh dari Keenan. "Sudah, Alice. Jangan menangis," ujarnya mencoba menenangkan anaknya.Namun, tangis anak bernama Alice itu tidak berhenti dan cenderung lebih keras. Membuat Sesil kebingungan harus melalukan apa. Hingga tiba-tiba .... "Hei anak girl, menangislah yang puas." Keenan mendekat dengan posisi yang masih berjongkok--mensejajarkan diri dengan tubuh Alice yang kecil.Tentu saja Sesil melebarkan mata mendengar ucapan Keenan. Padahal dirinya sedang kesulitan untuk menghentikan tangis Alice yang tidak kunjung berhenti dan mengganggu sekitar
Sudah lima tahun berlalu dari Keenan meninggalkan hiruk-pikuk kota tempat asalnya tinggal. Mengabdi pada salah satu rumah sakit yang berada di desa pinggir kota membuat Keenan mulai menata hidupnya yang berantakan karena kesalahannya di masa lalu.Meski begitu, Keenan masih belum bisa sepenuhnya melupakan cinta pertama sekaligus mantan kekasihnya--Poppy yang ia dengar sudah memiliki seorang anak.Karenanya Keenan selalu menyibukan diri dengan bekerja meski itu di hari liburnya. Seperti sekarang ini, pria itu baru saja tiba di rumah sakit yang membuat para pekerja di sana menyapa."Dokter Keenan, kau kembali bekerja. Padahal ini hari liburmu. Apa kau tidak ingin menikmati hari libur dengan bersantai di rumah saja?" Keenan tersenyum mendengarnya lantas menjawab, "Tidak ada yang spesial di hari libur. Saya lebih menyukai tinggal di sini.""Dokter, kau memang idaman! Tidak hanya tampan dan jenius, tapi kau juga rajin. Beruntung sekali yang akan menjadi istrimu nanti." Sontak Keenan t