Tok ... tok ... tok ....Percakapan Ezra dan Belinda terhenti. Keduanya menoleh ke arah sumber suara, di mana Poppy berdiri sambil membawa nampan. Wanita itu tersenyum, mencoba untuk bersikap biasa. Meski hatinya berkecamuk. Segera Poppy menghampiri kemudian menaruh kopi di atas meja. "Nenek," sapanya ramah. Belinda langsung berdiri kemudian memeluk Poppy. "Nenek senang kita bertemu lagi, Poppy." Dengan hati yang menghangat Poppy membalas pelukan Belinda. "Aku juga, Nek." Setelahnya mereka mengurai pelukan. "Kalau begitu aku permisi dulu, Nek." Belinda menautkan kedua alisnya. "Kenapa buru-buru sekali? Nenek masih merindukanmu." Merasa rikuh atas kejadian tadi, Poppy menoleh ke arah Ezra. Seolah paham dengan apa maksud lirikan Poppy, Ezra mengangguk. "Kau di sinilah temani Nenek. Aku harus mengurus sesuatu," ujarnya. Senyum mengembang di wajah Belinda yang sudah keriput. "Dengar bukan, kau bisa tinggal di sini." "Iya, Nek." Akhirnya Poppy menemani Belinda berbincang, sedang
Selama perjalanan pulang, Ezra sama sekali tidak mengajak Poppy bicara. Tidak … bukan selama perjalanan, tetapi sejak di kantor pria itu membisu! Tentu saja Poppy merasa rikuh. Ia tidak menyukai situasi seperti ini karena sudah terbiasa dengan Ezra yang banyak bicara.Ya … jika bisa memilih, Poppy lebih menyukai Ezra yang menyuruhnya ini dan itu. Meski sangat melelahkan, tetapi itu lebih baik daripada Ezra yang memusuhinya. “Em … Ezra.” Poppy memberanikan diri.Ezra lantas melirik Poppy sekilas kemudian kembali melihat ke depan.Mendapati respon yang seperti itu membuat Poppy urung dan memilih membuang muka. Hingga tiba-tiba Ezra menegur yang membuat Poppy kembali melihat ke arah pria itu.“Jangan setengah-setengah. Kau membuatku penasaran!” Menelan ludah kasar, keberanian yang ada tadi pagi entah pergi ke mana. “Ayo bicara!” cetus Ezra kembali. Setelah diam beberapa saat untuk mengumpulkan keberanian, Poppy pun berkata, “Stok di kulkas habis. Jika kau tidak keberatan … tolong
“Aku tahu kau sedang memikirkan pria perebut itu!” Ya, tuduhan Ezra tidak sepenuhnya salah. Karena pada kenyataannya, Poppy memang memikirkan Keenan. Lebih tepatnya memikirkan sikap Keenan yang berubah.Sebenarnya, ada apa? “Kau diam, artinya benar!” Ezra mendengus sebal kemudian dengan sengaja menginjak pedal gas dalam.Sontak Poppy langsung menoleh dengan tangan yang refleks berpegangan pada sabuk pengaman. “Ezra, pelan-pelan!” Tidak menyahut, Ezra semakin mempercepat laju mobilnya membuat wajah Poppy pias. “Ezra, kau ingin membunuhku?” Poppy memekik histeris. Masih tidak menyahut membuat Poppy ketar-ketir. Meski hidup terasa berat, tetapi ia belum ingin mati! Pada akhirnya Poppy yang frustasi karena sikap Ezra pun hanya bisa menangis sambil berdoa.“Tuhan, aku tidak ingin mati tragis.” Meski lirih, tetapi pendengaran Ezra yang tajam membuatnya bisa mendengar dengan jelas. Perlahan Ezra memperlambat laju mobilnya. Hingga akhirnya benar-benar berhenti karena mereka sudah s
“Ezra, malam ini mau makan apa?” tanya Poppy mencoba mencairkan suasana.Sudah hampir dua minggu dari kejadian mereka makan bersama di rumah Belinda. Selama itu pula sikap Ezra kepada Poppy begitu dingin.Jelas hal itu membuat Poppy menyadari jika diabaikan itu tidak enak. Sehingga ia mencoba untuk mengakrabkan diri kembali.Sayangnya, Ezra seolah tidak memberikan kesempatan itu! “Terserah kau saja!” cetus Ezra ketus. Memang Poppy sudah terbiasa dengan sikap ketus Ezra. Namun, pria itu kini jadi jarang bicara padanya. “Kalau aku membuatkan sop iga, apa kau mau?” Ezra yang sedang fokus menyetir menoleh dan menatap Poppy dengan jengah. “Sudah kukatakan terserah padamu. Apa kau tidak paham?” Poppy mengembuskan napas gusar. “Baiklah,” balasnya. Tiba di apartemen Poppy langsung menyiapkan air dan pakaian untuk Ezra. “Air hangatnya sudah siap.” “Hemm.” Dengan cueknya Ezra melenggang ke kamar mandi.Padahal sebelum-sebelumnya pria itu akan menggoda Poppy dengan berbagai cara. Melih
“Jangan lupa bawa semua keperluanku, Poppy.” Ezra mewanti-wanti Poppy yang sedang menyiapkan segala keperluan Ezra selama di luar kota.“Memang akan berapa hari?” “Rencananya tiga hari.”“Baiklah.”Poppy kemudian memasukkan semua barang yang mungkin dibutuhkan. Sementara Ezra nampak santai menunggu Poppy selesai.Ting-tong …. Buru-buru Poppy membukkan pintu. Hingga tampaklah Kevin yang berdiri tegap. “Selamat pagi, Nona.” Kevin sedikit membungkukkan tubuhnya–memberi hormat kepada Poppy, membuat wanita itu tidak enak.“Kevin, kau jangan seperti itu. Aku bahkan hanya office girl, bukan nonamu.” Poppy mencoba memberikan penjelasan yang langsung disangkal Kevin.“Tidak, Nona. Anda wanita yang dicintai Pak Eza, jadi—” “Kau sedang apa berdiri di sana? Cepat siapkan semuanya!”Perintah Ezra memutus ucapan Kevin yang berniat menerangkan.Mendengarnya membuat Poppy meringis. “Aku harus menyiapkan keperluan Ezra, kau masuklah.”“Baik, Nona.” Setelah Poppy ke kamar, Ezra yang berdiri de
Poppy mengerutkan keningnya ketika tidak mendapati sofa di kamar yang Ezra sewa. “Kenapa?” tanya Ezra seolah tidak mengerti. “Sebenarnya kau menyewa kamar kelas apa?” “Maksudmu?” Ezra masih saja pura-pura. Padahal ini semua ulahnya! “Aku tidak menemukan sofa, Ezra.” Mata Ezra membola–seolah baru menyadari hal itu. “Ah, kau benar! Padahal aku menyewa kamar kelas VVIP. Bagaimana bisa tidak ada sofa?” “Kenapa kau malah balik bertanya? Lebih baik kau hubungi pihak hotel! Barangkali mereka salah memberikan kunci.” Ezra menggeleng kemudian berkata, “Aku rasa tidak perlu, Poppy. Aku sangat lelah.” “Kalau begitu biar aku yang menghubungi.”Tanpa menunggu persetujuan dari Ezra, Poppy langsung menghubungi pihak hotel. “Bagaimana?” tanya Ezra yang kini sedang rebahan dengan berbantalkan kedua lengannya. yang dilipat ke belakang.Poppy menatap Ezra tajam. “Aku tahu ini pasti ulahmu,” cetusnya. Satu alis Ezra terangkat. Sepertinya pria itu masih mempertahankan perannya.“Apa maksudmu m
“Kenapa dia lama sekali?” Ezra yang berniat membiarkan Poppy pergi dengan diikuti oleh pengawalnya malah dibuat ketar-ketir karena Poppy tidak kunjung kembali. Karenanya pria itu langsung menghubungi orang suruhannya. “Apa yang sedang calon istriku lakukan? Kenapa dia belum kembali?”“Mohon maaf, Pak. Sekarang Nona Poppy sedang bersama seorang pria.” Dada Ezra tiba-tiba terasa panas. Mendengar Poppy bersama seorang pria saja sudah membuatnya menggeram. Apalagi kalau melihat secara langsung? “Apa maksudmu?” tanya Ezra tidak sabaran.“Nona Poppy sedang berbincang dengan seorang pria, Pak. Tetapi saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan,” ujar Seseorang dari seberang sana.“Kenapa kau tidak bilang dari tadi!” “Karena Anda hanya menyuruh saya untuk mengikuti Nona Poppy, bukan melaporkan apa yang dilakukan Nona Poppy.” Demi apapun Ezra dibuat kesal dengan orang suruhannya ini! Ia benar-benar menyesal karena sudah mempercayakan Poppy kepada orang suruhnya. Dan tadi apa dia bilang
“Aku senang ternyata kau memiliki perasaan yang sama, Sayang.”Tidak henti-hentinya Ezra memandang Poppy dengan tatapan penuh cinta. Sementara Poppy yang ditatap mulai merasa salah tingkah.“Ezra, jangan menatapku seperti itu!” Dengan pelan Ezra menggeleng. “Tidak, aku akan menatapmu terus dengan tatapan seperti ini. Dan kau … harus mulai membiasakan diri!” “Jika boleh tahu, untuk apa kau melakukannya?” tanya Poppy membalas tatapan Ezra dengan intens. “Agar kau menyadari jika aku begitu mencintaimu. Setiap harinya … perasaan cintaku akan bertambah untukmu.”Sama seperti wanita pada umumnya, Poppy meleleh saat mendapatkan gombalan seperti itu. Namun, ia tidak menunjukkannya dengan jelas. “Kau sangat berlebihan, Ezra!”Ezra menggeleng kemudian berkata, “Aku mengatakan yang sebenarnya. Maka dari itu, ayo kita menikah!” Seharusnya Ezra jangan dulu membahas hal itu. Karena kini wajah Poppy berubah masam.Tidak sadarkah jika waktu itu Poppy memutuskan hubungan karena Ezra yang mengaja
Tidak bisa memutuskan begitu saja, Sesil diam. Sehingga Keenan kembali menocba meyakinkan. "Sesil, aku benar-benar lajang." "Meski begitu, kita bahkan tidak saling mengenal.""Kita bisa belajar mengenal satu sama lain lebih dulu jika begitu." "Lantas jika aku tidak merasa cocok denganmu, bagaimana?" tanya Sesil menatap Keenan dengan tajam."Kita tetap harus menikah."Tentu saja keputusan Keenan membuat Sesil mendengus sebal. "Jika keputusannya sama, untuk apa melakukan pendekatan?"Keenan terkekeh kecil dengan tangan yang mengusap ujung kepada Alice. "Karena aku yakin kau akan merasa cocok denganku." Begitu percaya dirinya Keenan mengatakan itu, sehingga membuat Sesil lagi-lagi mendengus. "Kau terlalu percaya diri!" cetus Sesil."Kau akan merasakannya jika sudah menjalani." "Sayangnya aku tidak mau," ujar Sesil masih teguh dengan pendirian. Mendensah pelan, Keenan menatap Sesil dengan serius. "Sesil, pertimbangkan baik-baik. Ini demi Alice. Lagipula ... apa yang mampu membiay
Kali ini Sesil yang mengerutkan kening. Apa maksudnya Keenan mengatakannya bodoh? "Dari pada bingung, lebih baik kau ikut denganku!" ujar Keenan lantas mengajak Sesil untuk kembali ke restoran tempat ia berkumpul dengan teman-temannya.Tentu dengan tidak semerta-merta Sesil mau ikut. Wanita itu menggeleng lalu berkata, "Untuk apa aku ikut denganmu? Aku bahkan tidak memiliki kepentingan hingga harus mendengarkan penjelasanmu!" Mengusap wajahnya dengan kasar. Tentu Keenan sadar jika ini tidak akan mudah. Terlebih ia dan Sesil yang bahkan hanya berhungan ketika malam itu saja. "Tentu saja kita memiliki kepentingan! Apa kau tidak lihat Alice merindukanku? Merindukan papa kandungannya!" Menggeleng dengan cepat, Sesil menyangkal itu semua. "Tidak, Alice tidak merindukanmu." "Benarkah?" Keenan lantas menoleh ke arah Alice yang sekarang berada dalam gendongannya. "Alice, apa kau tidak merindukan papa?" Tentu Alice yang masih polos tidak mengerti jik mamanya tengah menghindari pria ya
Sesil dan Alice langsung menoleh ketika mendengar nama mereka dipanggil. Keduanya tampak terkejut ketika mengetahui yang memanggil mereka adalah Keenan. Hanya saja mereka memiliki reaksi yang berbeda. Jika Sesil langsung pucat. Sangat bertolak berlakang dengan Alice yang sangat bahagia. Gadis kecil itu bahkan langsung memanggil Keenan sambil melambaikan tangan. "Papa!" Keenan membalas lambaian tangan Alice kemudian berjalan mendekat. Membuat Sesil yang menyadari itu lekas pergi dari sana.Sesil berbalik sambil menarik Alice sedikit kasar karena takut akan kehadiran Keenan yang semakin mendekat. "Alice, ayo kita pergi!""Tidak! Aku ingin bertemu Papa." Alice menahan sekuat tenaga, tetapi tenaganya sangat jauh dari sang mama. Alhasil Alice terseret yang membuat Keenan yang melihat itu tidak terima. Keenan berlari, mempercepat langkahnya untuk mengejar Sesil. Sehingga kakinya yang panjang berhasil menyusul. "Tunggu!" seru Keenan seraya menghadang jalan Sesil sambil merentangkan kedu
Tiba di rumah, Sesil langsung memasukkan semua pakaiannya ke koper. Wanita itu tidak bisa diam saja karena takut jika Keenan akan merebut Alice darinya.Tidak, Sesil tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi! Ia yang mengandung dan melahirkannya. Sesil juga yang merawatnya sampai sekarang. Jadi yang berhak atas Alice adalah dirinya. "Mama, kita mau ke mana?" tanya Alice ketika Sesil selesai mengemasi pakaiannya, dan mengajak Alice untuk pergi. "Kita ke rumah nenek, Alice. Kau tau, Nenek sudah merindukan kita!" Dengan cepat Alice menggeleng. "Tidak! Aku akan tetap tinggal di sini," cetusnya."Alice---" "Papa sudah berjanji akan pulang, jadi aku akan menunggunya!" Sesil mendesah frustasi. Lagi-lagi anaknya itu bersikap keras kepala dalam keadaan genting seperti ini. Sehingga membuat Sesil semakin terpojok. "Kita bisa beritahu papa, biarkan papa menyusul nanti. Hemm?" Sekuat tenaga Sesil menahan dirinya untuk tidak marah kepada Alice. Karena bagaimanapun Alice tidaklah salah.
"Mohon maaf sebelumnya, tapi bisakah Anda tidak mengaku-ngaku sebagai papa dari anak saya?" Sesil menatap Keenan dengan tajam.Sementara Keenan tampak lebih tenang dari sebelum-sebelumnya. Banyak pelajaran yang pria itu ambil dari kejadian beberapa tahun terakhir. Sehingga ia bersikap lebih tenang. "Maafkan saya jika memang perbuatan saya tadi membuatmu tidak nyaman. Saya hanya ingin menyenangkan Alice," ucap Keenan begitu tenang.Sesil mendesah pelan lalu berkata, "Tetapi perbuatan Anda akan membuat Alice menjadi ketergantungan. Alice anak yang kadang keras kepala, jadi saya khawatir jika nanti Alice akan benar-benar menganggap Anda sebagai papanya." "Jika memang demikian ... saya tidak keberatan," ujar Keenan lagi-lagi membuat Sesil merasa pening. Seharusnya Keenan melakukan penolakan. Terlebih bagaimana jika istri dari pria itu salah paham andai melihat Alice yang memanggilnya dengan sebutan papa? Oh, ayolah! Sesil tidak tahu saja jika Keenan sudah menduda selama lima tahun ini
"Pak Keenan," tegur Gigi ketika melihat Keenan yang malah melamun. Sontak hal itu membuat Keenan terperanjat. Sehingga cangkir yang dipegangnya terjatuh. Prang! Pecahan kaca itu berserakan, membuat Keenan refleks menghindar. Pria itu mendesah sambil menunduk, menatap pecahan kaca tersebut dengan datar. “Dokter, tidak apa-apa?” tanya Gigi panik.“Hemm. Tolong panggilkan petugas kebersihan,” ujar Keenan sambil berlalu. Setelahnya Keenan mengembuskan napasnya dengan kasar. Entah kenapa senyum Alice terus menari-nari dalam pikirannya. Hingga dadanya berdebar-debar, seolah merasakan kerinduan yang mendalam. Padahal ia baru sekali bertemu dengan anak gadis itu! Sementara di tempat lain, lebih tepatnya di rumah Sesil. Wanita itu menghempaskan tubuhnya di sofa, lalu memejamkan mata. Pertemuannya dengan Keenan jelas membuat Sesil terganggu. Wanita itu bahkan menjadi teringat dengan malam panas bersama Keenan.“Mama,” panggilan dari Alice lantas menyadarkan Sesil. Buru-buru ia menggele
Tanpa pikir panjang Alice langsung mengangguk dengan cepat. Gadis kecil itu tampak tidak sabar ingin segera memakan cokelat yang diberikan Keenan. Karenanya ia langsung membuka bungkusnya kemudian membuang sembarangan.Tentu saja hal itu membuat Keenan yang selalu ingin bersih dan rapih melebarkan mata saat melihatnya. Namun, dengan segera ia mengubah raut wajahnya karena yang dihadapannya ini adalah seorang anak kecil."Hei, gadi kecil! Kau harus membiasakan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan." Meringis kecil, Alice yang menyadari kesalahannya hanya mampu berkata, "Maaf, Doktel! Alice lupa."Keenan tersenyum kecil lalu mengangguk saja. Hingga Sesil yang sejak tadi melihat interaksi keduanya pun segera mengajak Alice pulang."Alice, kita pulang.""Tapi Alice masih betah di sini. Doktelnya baik, Mom!"Mendesah pelan, Sesil kebingungan harus membujuk Alice bagaimana. "Sayang, Dokternya mau kerja. Jangan diganggu," ujarnya masih berusaha membujuk.Namun, gadis kecil itu tidak
Keenan melebarkan matanya saat melihatmu wanita yang ada di depannya. Wanita yang sama dengan malam yang pernah ia lewati dulu. Iya, Keenan masih ingat betul pada sosok Sesil yang menghabiskan malam bersamanya saat ia mabuk waktu itu. Begitu juga dengan Sesil, wanita itu masih hafal dengan wajah dan .... "Huwaaaa ... Dokternya jahat," tangis Alice menyadarkan Sesil maupun Keenan dari rasa terkejut mereka.Sesil lantas menarik Alice agar menjauh dari Keenan. "Sudah, Alice. Jangan menangis," ujarnya mencoba menenangkan anaknya.Namun, tangis anak bernama Alice itu tidak berhenti dan cenderung lebih keras. Membuat Sesil kebingungan harus melalukan apa. Hingga tiba-tiba .... "Hei anak girl, menangislah yang puas." Keenan mendekat dengan posisi yang masih berjongkok--mensejajarkan diri dengan tubuh Alice yang kecil.Tentu saja Sesil melebarkan mata mendengar ucapan Keenan. Padahal dirinya sedang kesulitan untuk menghentikan tangis Alice yang tidak kunjung berhenti dan mengganggu sekitar
Sudah lima tahun berlalu dari Keenan meninggalkan hiruk-pikuk kota tempat asalnya tinggal. Mengabdi pada salah satu rumah sakit yang berada di desa pinggir kota membuat Keenan mulai menata hidupnya yang berantakan karena kesalahannya di masa lalu.Meski begitu, Keenan masih belum bisa sepenuhnya melupakan cinta pertama sekaligus mantan kekasihnya--Poppy yang ia dengar sudah memiliki seorang anak.Karenanya Keenan selalu menyibukan diri dengan bekerja meski itu di hari liburnya. Seperti sekarang ini, pria itu baru saja tiba di rumah sakit yang membuat para pekerja di sana menyapa."Dokter Keenan, kau kembali bekerja. Padahal ini hari liburmu. Apa kau tidak ingin menikmati hari libur dengan bersantai di rumah saja?" Keenan tersenyum mendengarnya lantas menjawab, "Tidak ada yang spesial di hari libur. Saya lebih menyukai tinggal di sini.""Dokter, kau memang idaman! Tidak hanya tampan dan jenius, tapi kau juga rajin. Beruntung sekali yang akan menjadi istrimu nanti." Sontak Keenan t