"Coba jelaskan, Ezra! Kenapa hanya diam saja?"Poppy melipat kedua tangannya di depan dada. Menatap Ezra yang membuang muka dengan tajam."Ezra!" Wanita itu kembali menegur karena Ezra tidak kunjung menjawab pertanyaannya.Habis sudah kesabaran Poppy. Ia memilih pergi begitu saja."Poppy, kau mau ke mana?" Ezra segera menyusul dan menahan Poppy. "Lepaskan aku, Ezra!" Dengan kasar Poppy menepis tangan Ezra. Sayangnya Ezra terlalu kuat menahan. Sehingga usaha Poppy hanya sia-sia.Pria itu menggeleng. "Tidak, aku tidak akan melepaskanmu! Aku bahkan kesulitan mendapatkanmu. Untuk apa aku menyia-nyiakan kesempatan?""Kau bahkan sudah menyia-nyiakan kesempatan itu, Ezra!" balas Poppy sambil menatap mantan kekasihnya dengan sengit."Poppy ...." "Katakan yang sejujurnya, Ezra, jika malam itu ... kita tidak melakukan apapun." Karena terdesak dengan sikap Poppy yang keras, akhirnya pria itu membenarkan. "Kau benar, pada malam itu ... tidak ada yang terjadi di antara kita."Tentu saja Po
Perlahan Poppy membuka matanya. Wanita itu terhenyak saat menyadari jika dirinya sedang berada di tempat asing. "Aku di mana?" Ia memegang kepalanya yang terasa sakit. Mencoba mengingat apa yang terjadi, tetapi yang ia ingat hanya saat menunggu Ezra yang sedang membeli minum. Hingga tiba-tiba seorang pria masuk ke ruangan yang terasa pengap. Pria itu menyerangai saat melihat Poppy yang sudah sadarkan diri. "Ternyata kau sudah bangun," ujar si penculik membuat Poppy ketakutan. "Siapa kau sebenarnya?" Poppy beringsut saat si penculik mendekati. "Aku? Aku hanya pria yang mendapatkan amanat untuk menculikmu." Seringai itu begitu mengerikan. Dalam keadaan begini, hanya Ezra yang Poppy harapkan untuk datang. "Siapa yang menyuruhmu?" "Rahasia! Kau tidak perlu mengetahuinya." Semakin penasaran saja Poppy, tetapi untuk saat ini ia hanya ingin terbebas. "Berapa orang itu membayarmu?" tanyanya ragu. Si penculi tampak minat dengan pertanyaan Poppy. "Harga yang sangat mahal! Kau tidak
Ezra langsung membawa Poppy ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, pria yang arogan itu menangis. Membuat Poppy heran. "Ezra, berhentilah menangis."Lihatlah, bukankah seharusnya Ezra yang menenangkan? Lantas, kenapa jadi sebaliknya seperti ini? Bukan hanya Poppy yang heran, tetapi Kevin yang diperintahkan mengendarai mobil pun heran. Sementara si penculik sudah diserahkan kepada pihak yang berwajib. "Tidak, ini pasti sangat sakit." "Ya, aku memang sakit. Tapi ini semakin sakit karena mendengarmu menangis, Ezra!" "Benarkah?""Tentu saja! Jadi berhentilah menangis." Kelakukan Ezra benar-benar di luar nalar. Pria itu sangat berlebihan!"Ini sulit, tapi aku akan mencoba." Ezra mencoba mengendalikan diri, tetapi sulit. Air mata itu terus saja keluar. Sungguh, ini benar-benar memalukan! Beruntungnya hanya ada Poppy dan Kevin yang melihat kelakuan Ezra. Andai yang lain ... bagaimana tanggapannya? Tiba di rumah sakit Poppy langsung ditangani. Tanpa meninggalkan sejengkal pun, Ezra t
"Kau harus makan yang banyak, Poppy." Dengan telaten Ezra menyuapi Poppy. "Aku bisa makan sendiri, Ezra.""Tidak, tanganmu sedang terluka. Kau tidak diizinkan untuk melakukan apapun tanpa aku."Wanita itu mengembuskan napas kasar. Sikap Ezra yang posesif sedikitnya membuat ia kurang nyaman. "Setelah ini aku harus ke kantor polisi, kau tunggulah dengan sabar." "Ya, aku akan menunggunya dengan sabar.""Aku tahu kau berat berjauhan dariku, tapi mau bagaimana lagi? Jika tidak begini, masalah tidak akan cepat terselelsaikan." Lihatlah bagaimana Ezra begitu pintar memutar balikan fakta!Poppy menatap Ezra dengan jengah. "Bukankah harusnya itu kau katakan pada dirimu sendiri, Ezra?" "Apa maksudmu?" Ezra bersikap seolah-seolah dirinya itu bodoh. "Ck! Aku tahu, sebenarnya kau yang tidak ingin jauh dariku 'kan?" Sial! Apa raut wajahnya begitu jujur? Ezra meringis pelan lalu berkata, "Ya, aku tidak bisa mengelak. Bagaimanapun kita baru saja jadian, jadi aku ingin selalu berada dekat de
Pada akhirnya Ezra berhasil membuat Si penculik buka suara berkat ancamannya. Pria itu menyeringai."Ck! Wanita sialan itu. Sepertinya memang sudah bosan untuk hidup," ujar Ezra geram.Si penculik menelan ludahnya kasar. Ia langsung menciut saat menatap mata tajam Ezra.Sepertinya ia menyesali perbuatannya. "Seperti yang Anda janjikan, Anda tidak akan menganggu keluarga saya." "Kau tenang saja! Aku bukan pria yang akan mengingkari janji."Ya, Ezra memang berjanji tidak akan melakukan apa-apa kepada si penculik. Namun, bukan berarti ia akan diam saja kepada si pelaku 'kan? "Terima kasih," ucap Si penculik menunduk hormat.Tidak menyahut, Ezra bangkit kemudian menemui Kevin yang menunggunya di luar. "Aku serahkan padamu," ucapnya yang bisa langsung dipahami."Baik, Pak. Kami akan memberikan hukuman paling berat kepadanya." "Hemm." Ezra memilih kembali ke kantor, tanpa mendengarkan teriakan si penculik yang tiba-tiba minta tolong. Salah siapa sudah mengusiknya? "Bagaimana?" tanya E
"Tentu saja masa depan kita! Aku sudah tidak sabar untuk menikah dan mendapatkan anak darimu." Renyah sekali Ezra mengatakannya, tanpa menyadari raut wajah Poppy yang tidak nyaman karenanya. "Poppy, kau ingin punya anak berapa? Satu atau dua? Atau bahkan kembar tiga sekaligus!" Mata Poppy melebar mendengarnya. "Apa yang kau katakan! Mana bisa dapat kembar kalau kita saja tidak memiliki faktor genetiknya." "Tentu saja aku memilikinya!"Wanita itu tanpak bingung. "Maksudmu?" "Sebenarnya Nenek itu memiliki kembaran!"Tentu saja Poppy terkejut. "Kau tidak mengarang sebuah cerita 'kan?" Ezra mendengus. "Kau pikir aku ini apa? Tentu saja yang kutakan itu benar!" "Kalau begitu, di mana kembaran Nenek?" "Beliau sudah meninggal."Poppy manggut-manggut saja. "Namanya Belina, beliau memiliki satu anak yang sekarang tinggal di luar negeri." "Sudah berkeluarga?" "Belum. Usianya bahkan tidak jauh berbeda denganku.""Oh." Wanita itu memilih untuk tidak terlalu banyak bertanya karena aka
Seharian di apartemen Ezra terus menempel pada Poppy. Sehingga ketika akan berangkat bekerja, pria itu menjadi pemalas. "Apa kita diam saja di apartemen?" "Tidak, kau harus bekerja! Jangan memberikan contoh yang tidak baik bagi karyawanmu. Lagi pula kau memiliki tanggung jawab." "Aku bisa menyerahkanya kepada Kevin. Rasanya begitu berat, aku hanya ingin terus berduaan bersamamu." Ezra benar-benar berlebihan! Poppy memutar bola matanya. "Di kantor pun kita masih bisa berdua, Ezra." "Itu berbeda, mereka akan menganggu kita. Aku jadi tidak bebas," ujar Ezra memberi alasan. "Memang apa yang akan kau lakukan padaku? Aku tidak ingin melakukan apapun, Ezra!" Wanita itu membuang muka, karena sudah berpikir yang tidak-tidak. Tentu saja Ezra ketar-ketir. "Bukan begitu, aku tidak akan melakukan apapu padamu. Hanya sekedar ciuman bukankah itu wajar?" "Tidak, aku harap kau tidak melakukannya lagi." "Tapi---" "Kalau kau masih melakukannya, lebih baik kita putus!" Skakmat! Poppy memiliki
"Jangan harap hukuman tadi sudah cukup, Sayang. Aku masih belum puas menghukummu." ujar Ezra sambil merangkul Poppy.Tentu saja pamandangan itu membuat para karyawan yang melihatnya iri. Meski dari mereka ada juga yang merasa kagum karena Poppy si office girl ... berhasil membuat Ezra bertekuk lutut."Seharusnya aku dulu melamar untuk jadi Office girl saja! Mungkin sekarang aku yang ada di posisi, Poppy.""Kau yang benar saja! Aku rasa Pak Ezra tetap tidak akan mau padamu.""Bagaimana bisa kau mengatakan itu? Aku bahkan lebih cantik dari Poppy!" Ya, beberapa percakapan dari para karyawan menggelitik indera pendengaran Ezra maupun Poppy. Pria itu menoleh ke arah Poppy kemudian tersenyum lebar. "Kenapa kau senyum-senyum?" tanya Poppy heran."Ck! Kau dengar bukan percakapan mereka? Kau jadi sangat populer karena aku," ujar Ezra dengan bangganya. Poppy membalas tatapan Ezra dengan jenuh. "Tidak ada yang perlu dibanggakan, terkenal karena dekat denganmu. Itu bukan sebuah prestasi!" "
Tidak bisa memutuskan begitu saja, Sesil diam. Sehingga Keenan kembali menocba meyakinkan. "Sesil, aku benar-benar lajang." "Meski begitu, kita bahkan tidak saling mengenal.""Kita bisa belajar mengenal satu sama lain lebih dulu jika begitu." "Lantas jika aku tidak merasa cocok denganmu, bagaimana?" tanya Sesil menatap Keenan dengan tajam."Kita tetap harus menikah."Tentu saja keputusan Keenan membuat Sesil mendengus sebal. "Jika keputusannya sama, untuk apa melakukan pendekatan?"Keenan terkekeh kecil dengan tangan yang mengusap ujung kepada Alice. "Karena aku yakin kau akan merasa cocok denganku." Begitu percaya dirinya Keenan mengatakan itu, sehingga membuat Sesil lagi-lagi mendengus. "Kau terlalu percaya diri!" cetus Sesil."Kau akan merasakannya jika sudah menjalani." "Sayangnya aku tidak mau," ujar Sesil masih teguh dengan pendirian. Mendensah pelan, Keenan menatap Sesil dengan serius. "Sesil, pertimbangkan baik-baik. Ini demi Alice. Lagipula ... apa yang mampu membiay
Kali ini Sesil yang mengerutkan kening. Apa maksudnya Keenan mengatakannya bodoh? "Dari pada bingung, lebih baik kau ikut denganku!" ujar Keenan lantas mengajak Sesil untuk kembali ke restoran tempat ia berkumpul dengan teman-temannya.Tentu dengan tidak semerta-merta Sesil mau ikut. Wanita itu menggeleng lalu berkata, "Untuk apa aku ikut denganmu? Aku bahkan tidak memiliki kepentingan hingga harus mendengarkan penjelasanmu!" Mengusap wajahnya dengan kasar. Tentu Keenan sadar jika ini tidak akan mudah. Terlebih ia dan Sesil yang bahkan hanya berhungan ketika malam itu saja. "Tentu saja kita memiliki kepentingan! Apa kau tidak lihat Alice merindukanku? Merindukan papa kandungannya!" Menggeleng dengan cepat, Sesil menyangkal itu semua. "Tidak, Alice tidak merindukanmu." "Benarkah?" Keenan lantas menoleh ke arah Alice yang sekarang berada dalam gendongannya. "Alice, apa kau tidak merindukan papa?" Tentu Alice yang masih polos tidak mengerti jik mamanya tengah menghindari pria ya
Sesil dan Alice langsung menoleh ketika mendengar nama mereka dipanggil. Keduanya tampak terkejut ketika mengetahui yang memanggil mereka adalah Keenan. Hanya saja mereka memiliki reaksi yang berbeda. Jika Sesil langsung pucat. Sangat bertolak berlakang dengan Alice yang sangat bahagia. Gadis kecil itu bahkan langsung memanggil Keenan sambil melambaikan tangan. "Papa!" Keenan membalas lambaian tangan Alice kemudian berjalan mendekat. Membuat Sesil yang menyadari itu lekas pergi dari sana.Sesil berbalik sambil menarik Alice sedikit kasar karena takut akan kehadiran Keenan yang semakin mendekat. "Alice, ayo kita pergi!""Tidak! Aku ingin bertemu Papa." Alice menahan sekuat tenaga, tetapi tenaganya sangat jauh dari sang mama. Alhasil Alice terseret yang membuat Keenan yang melihat itu tidak terima. Keenan berlari, mempercepat langkahnya untuk mengejar Sesil. Sehingga kakinya yang panjang berhasil menyusul. "Tunggu!" seru Keenan seraya menghadang jalan Sesil sambil merentangkan kedu
Tiba di rumah, Sesil langsung memasukkan semua pakaiannya ke koper. Wanita itu tidak bisa diam saja karena takut jika Keenan akan merebut Alice darinya.Tidak, Sesil tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi! Ia yang mengandung dan melahirkannya. Sesil juga yang merawatnya sampai sekarang. Jadi yang berhak atas Alice adalah dirinya. "Mama, kita mau ke mana?" tanya Alice ketika Sesil selesai mengemasi pakaiannya, dan mengajak Alice untuk pergi. "Kita ke rumah nenek, Alice. Kau tau, Nenek sudah merindukan kita!" Dengan cepat Alice menggeleng. "Tidak! Aku akan tetap tinggal di sini," cetusnya."Alice---" "Papa sudah berjanji akan pulang, jadi aku akan menunggunya!" Sesil mendesah frustasi. Lagi-lagi anaknya itu bersikap keras kepala dalam keadaan genting seperti ini. Sehingga membuat Sesil semakin terpojok. "Kita bisa beritahu papa, biarkan papa menyusul nanti. Hemm?" Sekuat tenaga Sesil menahan dirinya untuk tidak marah kepada Alice. Karena bagaimanapun Alice tidaklah salah.
"Mohon maaf sebelumnya, tapi bisakah Anda tidak mengaku-ngaku sebagai papa dari anak saya?" Sesil menatap Keenan dengan tajam.Sementara Keenan tampak lebih tenang dari sebelum-sebelumnya. Banyak pelajaran yang pria itu ambil dari kejadian beberapa tahun terakhir. Sehingga ia bersikap lebih tenang. "Maafkan saya jika memang perbuatan saya tadi membuatmu tidak nyaman. Saya hanya ingin menyenangkan Alice," ucap Keenan begitu tenang.Sesil mendesah pelan lalu berkata, "Tetapi perbuatan Anda akan membuat Alice menjadi ketergantungan. Alice anak yang kadang keras kepala, jadi saya khawatir jika nanti Alice akan benar-benar menganggap Anda sebagai papanya." "Jika memang demikian ... saya tidak keberatan," ujar Keenan lagi-lagi membuat Sesil merasa pening. Seharusnya Keenan melakukan penolakan. Terlebih bagaimana jika istri dari pria itu salah paham andai melihat Alice yang memanggilnya dengan sebutan papa? Oh, ayolah! Sesil tidak tahu saja jika Keenan sudah menduda selama lima tahun ini
"Pak Keenan," tegur Gigi ketika melihat Keenan yang malah melamun. Sontak hal itu membuat Keenan terperanjat. Sehingga cangkir yang dipegangnya terjatuh. Prang! Pecahan kaca itu berserakan, membuat Keenan refleks menghindar. Pria itu mendesah sambil menunduk, menatap pecahan kaca tersebut dengan datar. “Dokter, tidak apa-apa?” tanya Gigi panik.“Hemm. Tolong panggilkan petugas kebersihan,” ujar Keenan sambil berlalu. Setelahnya Keenan mengembuskan napasnya dengan kasar. Entah kenapa senyum Alice terus menari-nari dalam pikirannya. Hingga dadanya berdebar-debar, seolah merasakan kerinduan yang mendalam. Padahal ia baru sekali bertemu dengan anak gadis itu! Sementara di tempat lain, lebih tepatnya di rumah Sesil. Wanita itu menghempaskan tubuhnya di sofa, lalu memejamkan mata. Pertemuannya dengan Keenan jelas membuat Sesil terganggu. Wanita itu bahkan menjadi teringat dengan malam panas bersama Keenan.“Mama,” panggilan dari Alice lantas menyadarkan Sesil. Buru-buru ia menggele
Tanpa pikir panjang Alice langsung mengangguk dengan cepat. Gadis kecil itu tampak tidak sabar ingin segera memakan cokelat yang diberikan Keenan. Karenanya ia langsung membuka bungkusnya kemudian membuang sembarangan.Tentu saja hal itu membuat Keenan yang selalu ingin bersih dan rapih melebarkan mata saat melihatnya. Namun, dengan segera ia mengubah raut wajahnya karena yang dihadapannya ini adalah seorang anak kecil."Hei, gadi kecil! Kau harus membiasakan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan." Meringis kecil, Alice yang menyadari kesalahannya hanya mampu berkata, "Maaf, Doktel! Alice lupa."Keenan tersenyum kecil lalu mengangguk saja. Hingga Sesil yang sejak tadi melihat interaksi keduanya pun segera mengajak Alice pulang."Alice, kita pulang.""Tapi Alice masih betah di sini. Doktelnya baik, Mom!"Mendesah pelan, Sesil kebingungan harus membujuk Alice bagaimana. "Sayang, Dokternya mau kerja. Jangan diganggu," ujarnya masih berusaha membujuk.Namun, gadis kecil itu tidak
Keenan melebarkan matanya saat melihatmu wanita yang ada di depannya. Wanita yang sama dengan malam yang pernah ia lewati dulu. Iya, Keenan masih ingat betul pada sosok Sesil yang menghabiskan malam bersamanya saat ia mabuk waktu itu. Begitu juga dengan Sesil, wanita itu masih hafal dengan wajah dan .... "Huwaaaa ... Dokternya jahat," tangis Alice menyadarkan Sesil maupun Keenan dari rasa terkejut mereka.Sesil lantas menarik Alice agar menjauh dari Keenan. "Sudah, Alice. Jangan menangis," ujarnya mencoba menenangkan anaknya.Namun, tangis anak bernama Alice itu tidak berhenti dan cenderung lebih keras. Membuat Sesil kebingungan harus melalukan apa. Hingga tiba-tiba .... "Hei anak girl, menangislah yang puas." Keenan mendekat dengan posisi yang masih berjongkok--mensejajarkan diri dengan tubuh Alice yang kecil.Tentu saja Sesil melebarkan mata mendengar ucapan Keenan. Padahal dirinya sedang kesulitan untuk menghentikan tangis Alice yang tidak kunjung berhenti dan mengganggu sekitar
Sudah lima tahun berlalu dari Keenan meninggalkan hiruk-pikuk kota tempat asalnya tinggal. Mengabdi pada salah satu rumah sakit yang berada di desa pinggir kota membuat Keenan mulai menata hidupnya yang berantakan karena kesalahannya di masa lalu.Meski begitu, Keenan masih belum bisa sepenuhnya melupakan cinta pertama sekaligus mantan kekasihnya--Poppy yang ia dengar sudah memiliki seorang anak.Karenanya Keenan selalu menyibukan diri dengan bekerja meski itu di hari liburnya. Seperti sekarang ini, pria itu baru saja tiba di rumah sakit yang membuat para pekerja di sana menyapa."Dokter Keenan, kau kembali bekerja. Padahal ini hari liburmu. Apa kau tidak ingin menikmati hari libur dengan bersantai di rumah saja?" Keenan tersenyum mendengarnya lantas menjawab, "Tidak ada yang spesial di hari libur. Saya lebih menyukai tinggal di sini.""Dokter, kau memang idaman! Tidak hanya tampan dan jenius, tapi kau juga rajin. Beruntung sekali yang akan menjadi istrimu nanti." Sontak Keenan t