Amy menguji batas kesabaran Ivy dengan mengambil alih semua peran yang biasanya gadis itu lakukan.Amy melangkah masuk ke kamar Daniel tanpa memberikan kesempatan bagi Ivy untuk mengatakan apa pun. Dengan senyum yang penuh percaya diri, dia memerintahkan pelayan yang ada di sana untuk menyiapkan segala keperluan dan memperbaiki kamar, seolah dia adalah orang yang paling berhak di situ."Ambil air hangat untukku, pastikan semuanya teratur!" perintah Amy tegas. Sang pelayan, meski ragu, segera melakukan apa yang diperintahkan.Ivy berdiri beberapa langkah di belakang, merasakan ketegangan yang semakin memuncak di dadanya. Dia menatap Amy tak percaya. Amy bergerak begitu bebas, seolah dia adalah pemilik ruangan ini, sementara Ivy—sebagai istri Daniel—hanya bisa diam di sudut, menjadi orang tersisih.Amy duduk di sisi tempat tidur Daniel tanpa ragu. Dengan gerakan lembut tapi penuh kontrol, dia mulai menyeka tubuh Daniel dengan kain basah, membersihkan wajah pria itu dengan cara yang sang
Daniel terbangun dari tidurnya yang panjang dengan kepala yang berat, matanya perlahan membuka. Pandangannya samar, dan tubuhnya terasa lemah. Namun saat ia mencoba bergerak, rasa sakit mengingatkannya pada kenyataan—ia baru saja melewati waktu yang lama dalam ketidakberdayaan. Ketika matanya akhirnya menatap wajah Ivy yang ada di dekatnya, ada sedikit ketenangan dalam dirinya. Namun, rasa tenang itu hanya sesaat. Ivy, yang berdiri di samping tempat tidurnya, merasakan perubahan sikap Daniel. Biasanya, matanya akan dipenuhi dengan kehangatan dan cinta, tetapi kali ini, hanya ada kehampaan di sana. Mata Daniel yang biasanya penuh gairah kini terlihat dingin dan jauh."Ivy," suara Daniel terdengar serak, penuh kebingungan. Ia mencoba duduk, tapi tubuhnya masih lemah. "Ya!" Saking bahagianya Ivy sampai memeluk Daniel erat-erat. Lupa bahwa suaminya baru saja membuka mata. "Nyonya, Dokter di sini!" Jenna berseru sambil masuk diikuti oleh dokter dan perawat yang memang standby sewaktu Da
Saat melihat pria itu tersadar, dengan mata hijaunya yang tajam dan menatap Nicolas penuh kebencian, Ivy tanpa sadar menyentuh lengan suaminya.Dia tak tahu apa yang mungkin Daniel lakukan, pria itu bisa saja membunuh Nicolas dengan satu kalimat. Ya! Satu perintah saja, maka bodyguard di luar ruangan akan mengeroyok Nicolas.Dan Nicolas ... Ivy merasa tak mengenalnya setelah dia terluka. Dia tampak lebih berani, menyimpan sesuatu di dalam hatinya yang mungkin akan menggiring mereka ke dalam bencana."Nic ...." Ivy memberi peringatan dengan pandangan matanya. Sayangnya, hal itu membuat hati Daniel semakin panas. Kedua orang di depannya sedang bertukar isyarat, apa mereka meremehkannya karena dia baru bangun dari koma?"Apa yang kalian rencanakan?" Ivy menggigit bibir. "Tidak ada.""Aku tak bertanya padamu, Iv. Tapi dia!"Nicolas menyipitkan matanya. "Kau tentu tahu untuk apa aku kemari.""Kau ingin mengambil istriku?"Nicolas tak menjawab, tak perlu karena dia tahu Daniel hanya memas
Ivy kehilangan arah dan waktu, saat ikatan tali dan mulutnya dilepas dia sudah berada di sebuah rumah kecil di tempat terpencil. Kendaraan mereka dibawa pergi oleh rekan Nicolas. Dan rumah kayu kecil mereka dikelilingi oleh hutan."Di mana ini?" tanya Ivy cemas, membuka gorden jendela lebar-lebar. Dia bisa melihat pemandangan hijau sampai di kejauhan."Rumah kita mulai sekarang.""Kau mengurungku?" Ivy ingin meledak oleh kemarahan, tapi tetap menahan diri. Bayangan bagaimana Nicolas menikam Daniel masih terngiang jelas dalam ingatannya. "Tidak, kau bebas bergerak di rumah ini. Kau bisa memasak, membersihkan rumah, atau melakukan hobimu. Sini lihat!" Nicolas mendorong Ivy ke jendela kaca samping. "Aku sudah membuat kebun bunga untukmu. Kau bisa membaca sambil melihat pemandangan, kau juga bisa memetik bunga-bunga cantik itu untuk menghias rumah kita."Mata Ivy melebar, pemandangan di luar jendela kacanya memang sangat memukau. Aneka warna dan jenis bunga terhampar di pekarangan, dita
Ivy menjerit memilukan saat pakaiannya ditarik sampai terlepas. Nicolas seperti kesetanan, tak peduli dengan pemberontakan Ivy.Dia berubah, hati Ivy terasa tawar melihat mata pria itu dipenuhi nafsu birahi. Mereka semua sama, mereka hanya menginginkan tubuhnya. "Ini salahmu, kau membuat kami terobsesi padamu. Jangan salahkan aku, Iv. Kau yang menjerumuskanku ke dalam jurang dosa ini." Bersama kalimatnya Ivy merasa pria ini menerobos masuk, tanpa foreplay, kehangatan, atau kata manis. Sakitnya mengoyak kewarasan Ivy, ia mencakar punggung Nicolas, mendorongnya menjauh, tapi pria itu terus menekan ke dalam dirinya."Ugh. Lepas!" Ivy menggigit bibirnya menahan rasa malu dan marah. Lagi lagi dia jatuh di bawah kekuasaan mereka, tak berdaya. Kenapa dia harus terlahir sebagai wanita lemah?"I can't. I can't stop." Nicolas mencium sisi lehernya, tidak! Mengisap kuat, memberi jejak cinta di sana.Air mata Ivy mengalir membasahi seprai. Perut bawahnya terasa menyakitkan, pria itu masih berg
Suasana di dalam mansion Forrester terasa sangat mencekam. Setiap ruangan tampak kosong dan sunyi, kecuali untuk suara langkah kaki pelayan yang bergerak cepat di sepanjang lorong yang gelap. Di ruang utama, Daniel duduk terdiam di sofa, botol whisky hampir kosong di tangan kanan, matanya yang dulunya penuh percaya diri kini tampak tak fokus, penuh kekosongan. Keringat dingin membasahi pelipisnya, rambutnya yang kusut menambah kesan kacau dalam dirinya.Ivy ... ia harus berada di sini. Bagaimana bisa dia hilang begitu saja? Batin Daniel.Prang!Barang dilempar oleh Daniel saat dia mendapat kabar terbaru dari kepala bodyguardnya."Kenapa kalian bisa memasukkan Nicolas ke dalam mansionku?"Kepala pengawal menunduk dalam, kakinya tampak pincang, lantai sudah berceceran tetes darah."Temukan Ivy atau kalian semua akan menerima akibatnya!" teriak Daniel penuh amarah.Kepala pengawal mengangguk patuh, lalu meninggalkan ruangan Daniel.Tak lama kemudian pintu kembali terbuka, kali ini Amy ma
Daniel tak pernah berniat mengkhianati Ivy, tak sedikit pun terbesit dalam hatinya ketika ia sudah jatuh cinta dengan wanita cantik itu.Namun sayangnya, tubuh pria itu mengkhianatinya. Daniel terangsang ketika Amy menciumnya, mencumbuinya, dan juga mencengkeram keperkasaannya.Sakit. Hasrat. Liar. Hal-hal yang membuat Daniel kecanduan selama bertahun-tahun. Dia tak bisa melepaskan diri meskipun ingin. Apalagi kenyataan bahwa Ivy tak bisa memenuhi keinginannya karena sedang hamil. Hari lepas hari keinginan terpendamnya semakin kuat, membuat emosi Daniel semakin tak terkontrol. Layaknya kecanduan obat-obatan terlarang, Daniel tak bisa melepaskan diri begitu saja.Dan sekarang, saat Amy menawarkan tubuhnya. Daniel seperti musafir di tengah oase, menemukan kesejukan dan dahaga yang terpenuhi.Entah sejak kapan dia kehilangan kendali, membalik tubuh Amy dan mulai mendominasi wanita itu.Alkohol sudah mengaburkan logika, dan kecanduan membuat instingnya bereaksi secara refleks. Daniel men
Ivy mengejapkan matanya, tersadar dari tidur panjang. Di tangannya dipasangi infus. Seseorang berjalan cepat membawa sesuatu, terkesiap saat menyadari Ivy sudah terbangun."Menantuku." Mr. Jacob menghampiri Ivy dengan raut khawatir."Ayah ...," panggil Ivy lemah. Ia merasa tubuhnya menjeritkan protes saat dia ingin duduk."Jangan bangun dulu. Tidur. Tidur. Kau harus banyak istirahat." Pria paruh baya itu mendorong tubuhnya kembali ke tempat tidur. Ivy menitikkan air mata tanpa sadar, ingatan menakutkan kemarin kembali hadir dalam benak."Jangan menangis, Nak. Ayah akan menghajar Nicolas untukmu."Ivy menggeleng kuat. Ia ingat Nicolas pernah mengatakan kalau mertuanya memiliki penyakit jantung. Dia tak ingin membebani Mr. Jacob."Nicolas sangat menyesal. Dia langsung menelepon ayah, meminta ayah datang mengurusmu. Menantuku, ayah merasa bersalah padamu." Ia menyentuh lengan Ivy lembut. "Ini bukan salah Ayah, Ayah tak perlu meminta maaf." Nicolas yang bersalah. Jika bisa, Ivy tak ingi
Cinta, benci, kecewa, marah, semua berpadu dalam hormoni bernama rumah tangga. Ivy sudah merasakan semua itu. Setiap orang bisa mengatakan bahwa dia bodoh. Ya! Dia bodoh, dia sangat bodoh karena ingin kembali bersama pria yang sudah mengkhianatinya. Tak hanya sekali, tidak ... berkali-kali.Namun, satu hal juga yang Ivy pahami, dia juga sang pendosa. Apa haknya menghakimi Daniel. Dia juga berkhianat walaupun bukan inginnya. Bersama Nicolas selama beberapa waktu membuatnya merasa nyaman. Bukankah itu juga bentuk pengkhianatan? Ketika suaminya mencarinya setengah mati, dia malah menikmati hidup.Jika Ivy hanya melihat dari perspektifnya, tentu saja ego yang akan berbicara. Ya. Bagaimana dia bisa bersama pria yang sudah membuahi wanita lain. Bahkan mereka sudah memiliki anak.Akan tetapi, hidup dalam kesendirian membuat Ivy menjadi pengamat. Dia selalu menempatkan dirinya di belakang, melihat melalui kacamata orang lain. Hal terakhir yang bisa wanita baik itu lakukan adalah menghakimi o
Mobil Christian sampai di puri. Kepala pelayan yang mengenali pria itu langsung mempersilakannya untuk masuk.Amy duduk di sofa mewahnya, mengenakan gaun satin berwarna merah anggur. Di tangannya, secangkir teh hangat berkilauan di bawah cahaya lampu gantung. Ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh."Masuk saja, pintunya tidak dikunci."Pintu terbuka, menampilkan Christian yang berdiri dengan ekspresi datar, tapi matanya menyimpan bara."Kau sendirian saja, mana Mr. Forrester?"Amy tersenyum tipis, menepuk sofa di sebelahnya. "Duduklah. Aku yakin kita punya banyak hal untuk dibicarakan."Christian melangkah masuk, tapi tidak duduk. Ia berdiri tegak, menatap Amy dengan tajam. "Langsung saja. Aku tahu kau yang mengirim orang-orang itu ke rumah Ivy."Amy tertawa pelan, mengangkat alisnya. "Tuduhan yang serius. Apa buktimu?"Christian mendekatkan wajahnya, ia mengecup bibir Amy. "Di antara kita, apa masih perlu bukti?""Kau menganggapku seperti penjahat, Christ." Amy meletakkan cangkir
"Jika bukan kau, Amy ....""Apa yang sebenarnya terjadi?" Nicolas masih tak mengerti jelas dengan tingkah aneh Christian. Dia kira Christian merebut Ivy darinya dan diserahkan pada Daniel, tapi pria itu malah datang mencarinya dengan raut penuh kekhawatiran.Christian menatapnya sejenak. Mungkin bisa menjadikan Nicolas sebagai rekan lagi. Dia sudah cukup menoleransi sikap gila Amy, kali tak akan lagi. Christian merasa sudah melakukan bagiannya dalam menebus rasa bersalahnya."Ada darah di rumah yang ditempati Ivy, tapi aku belum pasti darah siapa?""Apa?! Oh tidak, tidak! Bagaimana dengan Dean?" Nicolas panik, tangannya mencengkeram ujung baju, sedikit gemetar."Entahlah, aku tak tahu." Christian sama sekali tak peduli dengan nasib Dean, dia hanya khawatir dengan nasib Ivy."Aku akan meminta bantuan Mr. Sean. Apa kau yakin Amy pelakunya? Siapa tahu Daniel yang sudah menculik Ivy.""Mungkin saja, tapi Daniel tak akan pernah melukai Ivy.""Kau yakin sekali. Mungkin saja dia dendam karen
Ivy membekap mulutnya tak percaya, antara lega dan takjub. Daniel berhasil menahan serangan pria itu dan malah membalikkan serangan dengan memuntir lengan si pria hingga menusuk dirinya sendiri.Temannya tak tinggal diam, ia langsung menyerang Daniel menggunakan pisau dapur."Daniel awas!" teriak Ivy histeris.Satu hal yang mereka tak tahu, Daniel bukan orang sembarangan. Dia sudah terbiasa dengan kerasnya dunia hitam hingga mempelajari banyak jenis beladiri.Buk! Prak!Pria satunya lagi terkapar di lantai dengan tangan kanan patah. Keduanya mengaduh kesakitan.Daniel berjongkok, menjambak rambut pria yang ia patahkan lengannya. "Siapa yang menyuruhmu?"Pria itu membungkam mulutnya, tapi matanya jelas memperlihatkan ketakutan mencekam."Oh, jadi kau memilih mati daripada berbicara?" Dengan kasar, Daniel mengambil pisau dan menggores lengan pria itu.Si pria mengerang semakin keras. "Le-lepaskan kami! Kami hanya orang suruhan!" Keningnya sudah banjir oleh keringat."Siapa yang menyuruh
Ivy menarik napas panjang saat ia membuka pintu rumah kecilnya. Bau kayu tua dan aroma lavender dari lilin yang biasa ia nyalakan menyambutnya. Hari ini, ia siap menghadapi kebenaran. Ya! Semua tentang Christian dan Nicolas. Bagaimana mereka bisa saling mengenal, bagaimana Christian tahu Nicolas meracuninya.Ia meletakkan recorder di atas meja, menyalakan lampu ruang tamu yang remang, dan mulai berjalan ke dapur untuk mengambil air. Akan tetapi, langkahnya terhenti saat mendengar suara aneh dari luar jendela—seperti langkah berat, diseret.Tok! Tok! Tok!Ketukan keras mengentak pintu depan. Ivy mendekat, jantungnya mulai berdebar tak karuan. Sebelum sempat bertanya siapa di balik pintu, suara keras menghantam kayu, pintu didobrak paksa.“Apa yang—?!”Dua pria bertubuh besar berpakaian gelap masuk dengan cepat. Tanpa mengucapkan sepatah kata, mereka langsung merusak isi rumah. Vas hancur, lampu terlempar ke lantai, dan recorder jatuh ke lantai, ditendang ke dinding sampai hancur.Ivy m
Amy duduk anggun di ruang baca pribadi miliknya, lampu gantung kristal memantulkan cahaya temaram ke rambutnya yang ditata rapi. Di tangannya, secangkir teh melati menghangatkan jemari. Pintu diketuk pelan, lalu seorang pria bersetelan gelap masuk membawa amplop cokelat tebal.“Saya membawa kabar terbaru, Nyonya.”Amy menaruh cangkirnya ke atas meja kecil, mengambil amplop itu dengan anggun, sorot matanya tajam penuh ekspektasi. Ia membuka perlahan dan menarik beberapa lembar foto.Satu per satu, foto-foto itu ia amati. Wajahnya datar, sampai matanya menangkap gambar Christian—berdiri di depan gerbang sebuah kompleks sederhana, mengenakan pakaian kasual. Beberapa foto lain memperlihatkannya keluar dari rumah kecil yang tampak akrab bagi Amy.Tatapannya membeku saat melihat Ivy muncul di foto berikutnya. Rambut Ivy terikat rapi, wajahnya pucat, tapi tetap terlihat memesona. Ia menggendong seorang bayi dan berdiri di depan rumah itu bersama Christian.Senyum tipis mulai membentuk di bib
Daniel terbangun dengan sakit kepala kuat, ia terkejut menyadari seseorang berada di sampingnya.Wanita itu meringkuk tak berdaya, kedua pergelangan tangannya lebam, begitu juga dengan sudut bibir yang pecah dan rambut berantakan."Siapa kau?" tanyanya heran. Sama sekali tak mengingat apa yang telah dia lakukan semalam, tangan Daniel terulur hendak menyentuhnya. Wajah wanita itu tampak familier.Si wanita menangis histeris, menggeleng kuat ketakutan."Fuck!" Daniel memaki kesal. Christian membawanya ke sini dan dia lagi lagi lepas kontrol. Ah! Kebiasaan buruknya sepertinya kembali lagi."Ivy ...," lirihnya galau.Daniel meraih bajunya buru-buru, ia membuka pintu ruang VIP itu. Anak buahnya menunggu sigap."Urus semuanya!" perintah Daniel, berjalan cepat menuju pintu keluar."Baik, Bos." Salah satu anak buahnya masuk ke dalam kamar, melemparkan uang pada wanita itu dan beranjak pergi."Mana Christ?" tanya Daniel setelah masuk ke dalam mobilnya. "Tuan Christ sudah menunggu di mansion."
Lampu-lampu neon kelab malam berpendar liar dalam bayangan gelap ruangan. Musik mengentak telinga, aroma alkohol dan parfum mahal memenuhi udara. Daniel duduk di sofa VIP, dasi longgar tergantung di leher, matanya setengah tertutup karena pengaruh alkohol.Christian duduk di seberangnya, gelas wine di tangan. Tatapannya santai, menilik pada gadis-gadis seksi yang tengah menari liar. “Kau butuh melepaskan semua itu dari pikiranmu, Tuan” ujarnya, mengisyaratkan pada pelayan untuk menuangkan lagi minuman.Daniel menghela napas berat. “Aku kehilangan Ivy, Christ. Tak ada yang lebih buruk dari itu.” Gelasnya sudah kosong, entah sudah ke berapa kali di menambah minuman keras itu.“Tuan, kau dulu tak peduli pada hal begini. Wanita bagimu hanya objek. Mereka bisa datang dan pergi, ucap Christian. Benar! Jika itu dirinya yang dulu, Daniel mungkin tak akan terpuruk begini. Ivy sudah pernah lari darinya, bukan tak mungkin dia memang sengaja menghilang lagi. Apa Nicolas berhasil meluluhkan hati
Di ruang bawah tanah mansion Forrester, cahaya lampu redup berpendar pucat. Udara lembap dan bau keringat bercampur darah memenuhi ruangan. Di tengahnya, Daniel berdiri dengan wajah garang, kemejanya kusut, dan tangan kanannya masih berlumur darah.Seorang anak buahnya tergeletak di lantai, tubuhnya memar dan berdarah. Dua orang lainnya berlutut di sudut ruangan, gemetar ketakutan.“Dua bulan,” desis Daniel, suaranya tenang, dingin. “Sudah dua bulan kalian mencari ... dan tak satu pun dari kalian bisa membawanya kembali!”“Tu-tuan Forrester, kami—”Buk!Daniel memukul anak buahnya sekuat tenaga sampai pria itu muntah darah. "Sialan! Kalian sama sekali tidak becus!"Buk!Sebuah tendangan keras menghantam pria itu, membuatnya jatuh dengan teriakan parau. Daniel mencengkeram kerah bajunya, menariknya hingga hidung mereka nyaris bersentuhan.“Ivy adalah milikku,” ucap Daniel, matanya merah penuh amarah. “Kalau kalian tak bisa menemukannya, maka kalian tak layak hidup!”Anak buah lain menc