***Setelahmerasa benar-benar tidak ada siapapun di sana, Mauren pergi dari kamar itu ke arah dapur, menuju deretan kamar tempat para pelayan beristirahat setelah bekerja seharian."Semuanya, tolong bangun! Ada yang harus kalian ketahui!""Mauren, ini masih terlalu pagi untuk mulai memasak.""Bukan untuk bekerja, dengarkan aku dulu. Ini lebih penting.""Ada apa? Kenapa kamu menangis? Astaga, kamu sudah terlalu tua untuk terisak seperti itu.""Supir ... supir mengalami kecelakaan, dan Nona Yerin tidak ada di kamarnya di manapun."Kalang-kabut sendiri membangunkan mereka semua sebelum waktunya memulai pekerjaan. Tidak peduli gerutuan, Mauren setengah terisak mengatakan nona bungsu mereka tidak ada di kamar, sekaligus menceritakan berita dari kepolisian tentang kecelakaan mobil.Berkat itu, semua mata para pelayan mendadak bersinar seterang lampu jalan, mereka bangkit kocar-kacir berpencar mencari ke sepenjuru kediaman besar itu. Sambil mencoba menghubungi nomor telpon Yerinsa juga, kepa
***Yerinsa tidak menghitung sudah berapa jam atau berapa hari dia tidur dan bangun di ranjang rawat ini, sumber nutrisi hanya ditransfer dari infus ke tubuh. Terkadang hanya ada seseorang berpakaian suster yang masuk untuk mengganti cairan infus dan membantu buang air kecil.Luga tidak datang lagi sejak malam itu, Yerinsa tidak terlalu peduli meski kata-kata laki-laki itu sangat mengganggu perasaannya. Semua jendela tertutup tirai di ruangan ini, dan lampu menyala setiap saat, sulit mengetahui waktu.Yerinsa bahkan tidak bisa membedakan siang dan malam, karena jika tidur dia tidak tau berapa lama waktu berlalu. Tapi, diam-diam Yerinsa sudah bisa bangun dari posisi tiduran, tidak ada yang tau hal itu.Seperti kali ini, Yerinsa bangun setelah mengumpulkan cukup tenaga, sedikit gemetar saat melepas jarum infus berbeda fungsi di kedua punggung tangan. Masker oksigen entah sejak kapan sudah tidak menutup setengah wajah lagi.Perlahan Yerinsa menurunkan kaki dari ranjang, memijak ubin yang
***Ragu-ragu Yerinsa membuka suara karena tidak melihat Luga akan beranjak pergi. Luga tidak menjawab, tapi mengangguk saja memperbolehkan."Apa penyakitku kambuh sampai harus dirawat seperti ini? Apa itu menjadi parah?" tanya Yerinsa hati-hati.Luga tidak langsung menjawab, justru melamun, bibir itu tampak begitu sulit untuk terbuka mengeluarkan suara. "Iya," jawabnya singkat setelah membiarkan Yerinsa menunggu.Penyakit Yerinsa kambuh dan diperparah karena tidak segera ditangani dengan perawatan medis, ditekan dengan obat saja tidak banyak membantu."Sudah berapa lama aku di sini?" tanya Yerinsa lagi."Sembilan hari." Luga menjawab singkat."Kamu bilang ibu dan Gabby mencariku, apa mereka sudah tau aku bersamamu?" tanya Yerinsa kembali, tidak bisa menahan diri terus bertanya meski tidak yakin yang ini akan dijawab.Luga menatap lurus gadis yang berbaring itu, sekali lagi tidak langsung menjawab. "Kita bicara lagi nanti, sekarang tidur dulu, oke?"Diam sejenak tanpa memutuskan konta
***Yerinsa mengerang pelan merasa pegal kesemutan di sekujur tubuh akibat tidak bergerak di satu posisi tidur dalam waktu lama. Kesadaran mengawang-awang berusaha dikumpulkan sekuat tenaga untuk bisa membuka mata.Buram ...Hanya siluet langit-langit yang berhasil Yerinsa tangkap dengan susah payah, itupun tidak jelas apa warna dan motif bentuknya. Apakah masih ruangan medis seperti terakhir kali Yerinsa lihat, atau sudah di rumah sendiri."Bu," lirih Yerinsa serak, tidak terlalu jelas, sama seperti penglihatan sekarang yang seakan tertutupi kabut tebal.Tangan sekecil batang anak bambu itu terangkat menggenggam udara dengan gelisah, tapi sesaat kemudian sebuah tangan besar menyambut dan membalas genggaman itu.Yerinsa mendesah lega tanpa sadar dalam tidurnya, perasaan hangat yang masih menyelimuti sekujur tubuh membuat sulit membuat diri tersadar.Gue udah di rumah, kan?Masih sempat membatin sebelum benar-benar tertidur kembali karena tidak sanggup bertahan memperjuangkan kesadaran
***Tidak tau berapa lama sudah menutup mata dan diombang-ambingkan antara mimpi dan kenyataan, Yerinsa untuk ke sekian kali membuka mata tanpa mengetahui sedang berada di mana.Suasana lebih asing membuat gadis itu linglung, memaksakan diri bangkit duduk di tengah kasur untuk lebih jelas melihat sekitar dalam ruangan itu. Kamar itu sangat berbeda dari kamar di kediaman De Vries, ini jauh berkali lipat lebih besar."Ini di mana?" monolog Yerinsa dengan suara parau.Kasur luxury queen size berseprei biru langit, dan selimut biru muda yang dia tempati sangat nyaman, tekstur kain lembut sama seperti di kamarnya di rumah De Vries. Bahkan, ranjang itu berkanopi dengan ukiran cantik dan kelambu putih seperti tempat tidur putri raja.Desain warna semua hal di kamar itu didominasi varian biru, dinding berwarna biru laut, sementara plafon warna biru langit. Lemari pakaian lima pintu di sebelah kanan ranjang dengan warna biru malam membuat kamar itu terasa padat tapi tetap tidak membuat ruang s
***"Yerin, di mana kamu, Sayang."Gabriella mengurungkan niat mengetuk pintu kamar tidur sang ibu saat mendengar lirihan putus asa itu terdengar begitu menyayat hati, diiringi isak tangis tertahan.Bukan kali pertama Gabriella malam ini mendengar tangisan lirih Margareth tentang keberadaan Yerinsa. Semua karena penyelidikan polisi tidak membuahkan hasil sedikitpun, tidak kunjung berhasil membawa kabar baik.Dalam satu bulan ini bagi mereka bukan waktu singkat harus dilalui dengan begitu banyak masalah, berawal dari batalnya pertunangan Gabriella, goyahnya perusahaan, dan kondisi memburuk Abrady, lalu hilangnya Yerinsa.Semua ditanggung mereka sambil berusaha terus terlihat baik-baik saja, meskipun di luar Margareth terlihat seperti wanita yang sanggup menanggung semua persoalan yang terjadi, tapi faktanya saat malam hari Gabriella selalu memergoki sang ibu menangis tersedu di dalam kamar.Berita hilangnya Yerinsa juga berdampak semakin buruk pada kesehatan Abrady, pria itu jatuh koma
***Meski satu bulan sudah berlalu, tidak ada gelagat Luga akan kembali ke Belanda dalam waktu dekat, kondisi Yerinsa juga di mansion sangat lambat membaik, padahal sudah tidak diberikan obat tidur lagi. Meski begitu, yang membuat Luga tidak bisa pergi kembali ke negara tempat menuntut ilmu adalah karena menunggu reaksi kesadaran Yerinsa.Gadis itu dalam dua minggu ini sudah bisa mempertahankan kesadaran semakin lama, mengendalikan diri hingga tidak tidur sembarang seperti awal-awal pindah. Dan, menerima makanan tanpa banyak bicara karena masih lemah, semua tirai kamar selama ini ditutup hingga Yerinsa tidak bisa melihat keadaan di luar.Itu juga demi melindungi Yerinsa dari sorot matahari yang harus dihindari untuk beberapa bulan ke depan.Langkah lebar Luga dari ujung lorong mansion berhenti di depan sebuah pintu kamar dan membuka kasar, tidak menemukan siapapun di sana selain dua pelayan yang berwajah pucat."Bagaimana bisa kalian tidak melihatnya pergi?!" bentak Luga langsung di p
***"Nyonya, ada tamu di luar." Mauren memberitahu dengan suara pelan tidak ingin mengganggu ketenangan sang nyonya yang sebenarnya hanya melamun.Margareth mengalihkan perhatian dari setumpuk kecil salju di luar kaca jendela untuk menatap pelayan setia itu. "Apa itu dari detektif lagi?" tanyanya dengan sedikit binar harapan dalam manik madu itu.Pagi ini seperti hari-hari sebelumnya akan Margareth lalui dengan memperhatikan butiran salju yang jatuh dari langit, sambil melamun.Selain tidak pernah lagi pergi keluar dari kediaman, rumah De Vries hampir tidak menerima tamu dari manapun, kecuali kepolisian dan detektif sewaan. Mereka benar-benar menghindari media setempat untuk waktu yang tidak ditentukan.Sayangnya, pertanyaan Margareth mendapat gelengan dari Mauren, membuat secercah harapan di mata itu meredup."Ini teman sekolah Nona Yerin, Nyonya. Dia mengatakan ada hal penting tentang Nona Yerin yang harus diberitahu," kata Mauren sangat hati-hati dalam setiap mengucapan kata.Marga
***"Vie, tenanglah," bisik Luga kesulitan menahan lonjakan tenaga gadis itu."Sakit! Sakiitt! Sakiitt!" Yerinsa tidak menahan jeritan untuk mengeluarkan segala keluhan yang hanya bisa diwakili satu jenis kata itu saja.Memeluk erat gadis yang menggeliat seperti cacing kepanasan, Luga tidak mengatakan apapun selain membantu menekan kepala itu ke dadanya, juga membiarkan kemeja kusut direnggut Yerinsa.Bercak kemerahan timbul di kemeja, Luga mendesis rendah merasakan luka jahitan pasti terbuka kembali karena tersikut lengan Yerinsa, membuat kain kasa ikut bernoda darah."Gerald!" teriak Luga ke arah pintu masuk.Hanya butuh satu detik untuk seorang pria masuk terburu-buru. "Saya, Tuan Muda," sahutnya."Bantu aku," kata Luga sambil mengeluarkan sebuah botol kecil dan suntikan dari saku celana.Pria bernama Gerald mendekati tempat tidur, membantu memindah isi cairan dari botol ke dalam suntikan, lalu menyerahkan kembali pada Luga, membiarkan sang tuan muda menyuntik sendiri.Tubuh Yerins
***Abrady menegang di posisi memangku Yerinsa, merasakan moncong dingin revolver menyentuh tepat di pelipis sama seperti sebelumnya dialami Luga. Selain itu, tanpa diduga sederet pria kekar bersenjata yang sebelumnya mengancam Luga, kini malah berpaling mengancam Abrady.Pertemuan mengharukan yang diimpikan akan berakhir indah nyatanya tidak semulus yang dibayangkan. Rencana diam-diam memang sudah disusun sebelum keberangkatan, membayar sejumlah penembak jitu sebagai pelindung dan bisa digunakan mengancam.Namun, siapa menyangka Luga tau satu langkah di depan Abrady."Kupikir manusia, ternyata memang serangga yang tidak memiliki akal," desis Luga dengan sorot mata kelewat dingin."Apa yang sudah kamu lakukan pada orang-orangku?" tanya Abrady geram.Seringai Luga tersungging lebar. "Sejak kapan mereka orang-orangmu?" tanyanya mengejek."AYAH!" teriak Gabriella saat situasi dua pria itu mendadak terbalik.Margareth menangis melihat sang suami berada di bawah target ancaman Luga sekaran
***"Luga!" pekik Yerinsa kencang melihat Luga ambruk di tanah dengan memegang satu kaki.Tubuh Yerinsa gemetar, menatap sang ayah yang baru saja memberikan perintah menembak. Bagaimana bisa ayahnya memerintahkan hal sekejam itu dilakukan pada Luga, bahkan tanpa pembicaraan apapun di antara mereka."Yerin, jangan ke mana-mana! Tetap di sini!" Margareth menyusul berteriak saat Yerinsa benar-benar akan turun dari kursinya."Lepaskan aku, Bu. Ayah melukai Luga," pinta Yerinsa tanpa sadar mata sudah berkaca-kaca."Dia pantas mendapatkannya, Yerin. Bahkan harusnya lebih dari itu," sentak Gabriella, menarik kasar Yerinsa agar kembali duduk.Yerinsa menoleh tercengang. "Apa maksudmu dia pantas mendapatkan itu? Kamu mendukung Ayah melakukan kejahatan?" tanyanya tidak percaya."Sayang, percayalah pada Ayahmu, dia ingin kita semua kembali, seperti dulu lagi, mengertilah," ujar Margareth lembut mengusap pipi basah Yerinsa."Tapi, tidak perlu dengan hal keterlaluan seperti ini, Bu. Jangan melukai
***Kerinduan yang terpendam selama berbulan-bulan membuncah di mata biru itu, segera pandangan Yerinsa buram akibat berkaca-kaca. Bahagia menggelegak dari lubuk hati begitu melihat sosok Gabriella, Margareth, lalu disusul Arbady turun dari helikopter dibantu beberapa orang berpakaian hitam tebal seperti jaket boomber.Mereka benar-benar di sini, melihatnya, bertatapan dengannya penuh rindu, dalam jarak yang hanya terpaut lebih dari sepuluh meter.Satu langkah pertama Yerinsa ambil saat helikopter dimatikan dan udara sekitar menjadi tenang, lupa bahwa tadi berlari bersama Luga hingga tautan tangan itu terlepas untuk menyongsong menyambut keluarga tercinta.Luga menatap tangan sendiri yang menggantung di udara, kehangatan kecil dari tangan lembut menghilang perlahan. Menatap punggung sempit bak peri yang berlari menuju gerbang kehidupan alam bebas, tangan Luga mendadak terkepal."Ibu," lirih Yerinsa dengan setetes linangan air mata jatuh di pipi, menatap sang ibu yang juga mendekat."A
***Yerinsa mengangguk sambil menerima jabat tangan itu, bangkit berdiri di atas kekuatan kaki sendiri. Aroma musk yang familiar di hidung Yerinsa sekarang tercium dari tubuh Luga bersama campuran wangi mint dari sabun mandi."Ayo turun sekarang," ajak Yerinsa saat tangan sudah digenggam erat.Baru saja akan melangkah lebih dulu memimpin jalan ke arah pintu keluar, niatnya tidak bisa terlaksana karena kaki Luga masih terpaku kuat di lantai, tidak bergeser saat ditarik."Ada apa?" tanya Yerinsa heran, menoleh menatap Luga yang masih diam."Morning kiss, kamu belum memberikannya," kata Luga dengan dahi berkerut samar."A- ... Oh," gumam Yerinsa gugup, masih ada dua pelayan selain mereka di kamar ini, jadi mendadak canggung oleh kalimat Luga yang diucapkan tanpa malu.Luga melirik Chang Mei dan Ruan Ruan yang menjadi sumber kegugupan Yerinsa. Dengan gerakan bola mata saja sudah cukup membuat mereka mengerti dan merundukkan tubuh."K-Kalau begitu kami permisi, Nona, Tuan." Chang Mei berka
***Hari yang dinanti Yerinsa selama dua hari belakangan, tidak, lebih tepatnya tujuh bulan ini, akhirnya tiba. Bangun pagi dengan semangat empat-lima bahkan sebelum Chang Mei dan Ruan Ruan membangunkan.Saat dua pelayan itu memasuki kamar, Yerinsa sudah berendam di air hangat dalam bathup. Bersenandung kecil sambil memainkan busa sabun yang menggunung di permukaan air hingga wangi semerbak memenuhi kamar mandi.Jadi, setelah Yerinsa keluar kamar mandi, Lolita dress hitam beserta seluruh aksesoris dari atas kepala hingga ujung kaki sudah disiapkan Ruan Ruan, sementara Chang Mei menunggui di depan pintu ruang ganti."Anda sangat senang, Nona," komentar Chang Mei sambil membantu mengeringkan sisa bulir air di wajah dan leher Yerinsa."Tentu, hari ini akhirnya aku dijemput keluargaku," balas Yerinsa lebih bersemangat dari hari biasanya.Dua pelayan yang membantu Yerinsa mengenakan pakaian itu saling tatap sejenak, ada sepintas keresahan di sorot mata mereka sebelum menatap Yerinsa dengan
***Untuk sementara Luga hanya diam membalas senyum itu dengan tatapan tenang, tak lama ikut tersenyum dan mengangguk sebelum menarik kepala Yerinsa untuk jatuh ke dalam pelukan."Aku tau," kata Luga singkat.Sesaat Yerinsa berkerut dahi, balasan Luga bukankah sedikit tidak nyambung?Tapi, tidak masalah, selagi laki-laki itu tidak tersinggung, Yerinsa aman.Luga menatap dinding dengan pandangan kelewat tajam seakan ingin melubangi menggunakan laser dari mata, sesaat kemudian menyeringai sinis sebelum menutup mata dan mengecup puncak kepala gadis dalam pelukan."Aku tidak khawatir dibenci siapapun," ujar Luga sambil mengurai pelukan."Ya. Ya. Tuan tidak takut apapun. Aku tau, bahkan kalau seluruh dunia membencimu, kamu tidak akan khawatir," cibir Yerinsa sambil bersandar di sofa dan mengayunkan kaki.Luga terkekeh rendah, mengusak puncak rambut gadis itu. "Kecuali kebencianmu," ujarnya.Yerinsa melirik dengan bersidekap di dada, "jangan mencoba menggoda, kamu sangat tidak cocok."Kekeh
***Lolita dress biru muda lembut dengan renda di ujung rok dan berlengan panjang, hari ini dikenakan Yerinsa. Panjang hanya mencapai lutut, dan bagian lengan berwarna putih.Jepit rambut burung bangau dari permata disematkan ke sisi telinga sebelah kiri Yerinsa, sementara sejumlah kecil rambut di sisi kanan dikepang menjuntai hingga ujung.Suara jatuhnya belenggu menghantam lantai membuat Yerinsa mendesah lega tanpa sadar, saat ini duduk di pangkuan Luga yang baru saja melepas rantai di kaki hingga terasa lebih ringan."Lebih nyaman?" tanya Luga sambil mengelus bekas kemerahan di pergelangan kaki itu yang selama dua bulan ini menyandang pengekang.Yerinsa mengangguk. "Ini jadi lebih ringan," jawabnya.Chang Mei datang dari ruang ganti membawa sepasang high heels jenis ankle straps tidak terlalu tinggi, haknya hanya sekitar lima senti berwarna biru muda senada dress, dan kaus kaki putih transparan berenda.Berlutut di kaki Yerinsa, pelayan itu memasangkan kaus kaki sebelum sepatu, den
***Siapa yang tidak akan terkejut jika mendapati jari dimasukkan ke mulut seseorang seakan itu sebuah lolipop.Luga tertawa pelan. "Sudah kubilang untuk memelukku," katanya sambil merebahkan diri kembali.Kening di antara alis Yerinsa bertaut sebal sebelum menjatuhkan diri dalam pelukan Luga, meletakkan kepala di atas dada bidang itu dan membiarkan laki-laki itu mengusap pundaknya.Kamar menjadi hening saat keduanya tidak ada yang membuka mulut untuk bicara, Luga menikmati waktu nyaman mereka, sementara Yerinsa setengah melamun.Apa yang Luga urus selama pergi dua bulan ini?"Vie," panggil Luga memecah keheningan, yang dibalas dengan gumaman samar."Kalau aku ... mempertemukanmu dengan keluargamu, apa kamu senang?" tanya Luga dengan suara rendah seakan ragu.Yerinsa mengerjab, kemudian mengangkat pandangan untuk menatap Luga yang rupanya hanya menatap lurus ke atas lampu di langit-langit."Tentu saja. Apa kamu akan melakukan itu? Kamu akan mengembalikanku? Kapan?" Pertanyaan Yerinsa