Tangan Camellia memegangi genggaman Hagen dengan erat, sedangkan matanya melirik ke sekitar, pada beberapa pria yang memadati ruangan.
Gadis itu tidak mengerti, mengapa Hagen membawanya ke sebuah pertemuan rahasia yang hanya dihadiri beberapa pria elit di kota.
“Kenapa kau membawaku ke sini?” bisik gadis itu sembari menatap sekitar, pada wajah-wajah yang familiar.
Mereka adalah orang-orang yang cukup dikenal di Lancaster dan juga Denver. Bahkan ada beberapa pria yang sangat dekat dengan ayah Camellia, tetapi setelah skandal korupsi yang mencuat di media, entah mengapa orang-orang ini tidak tampak batang hidungnya.
“Aku membutuhkan seseorang yang bisa menjadi teman kencanku,” ucap pria itu sembari merendahkan tubuh agar bisa berbisik dengannya.
Camellia merasakan sakit di sekujur tubuh, terutama pada bagian lengan dan kepala. Belum lagi punggungnya yang terasa seperti dikuliti, membuat gadis itu menangis tertahan karena kesakitan.Hanya suara Hagenlah yang memenangkan gadis itu, meredakan tangisan yang tadinya hendak pecah.“Apa lagi yang terluka, Princess? Beritahu aku bagian mana yang sakit,” ucap Hagen cemas sembari memeriksa setiap jengkal tubuh Camellia.Dengan sedikit tersedu, gadis itu mengulurkan tangannya ke depan untuk memperlihatkan beberapa cakaran di tangan.Melihat itu, seketika Hagen ingin mencari wanita-wanita tadi. Dia tidak terima melihat luka dan goresan di tubuh Camellia.“Kepalaku sangat sakit,” isak gadis itu yang menyadarkan Hagen bahwa ada beberapa helai rambut di lantai.Pria itu pun memegangi kepala Camellia dan memeriksanya cepat. Meskipun rambut gadis itu tampak acak-acakan, tetapi untungnya tidak ada yang botak sehingga dia berna
Wajah Edgar Duncan yang terlelap melegakan hati Camellia. Setidaknya dia dapat melihat sang ayah untuk waktu yang cukup lama, meskipun dalam keadaan tertidur pulas setiap harinya.Untuk sesaat, Camellia merasa sedikit terbantu dengan biaya pengobatan yang Hagen berikan bagi sang ayah, namun gadis itu tahu bahwa tidak ada makan siang yang gratis. Sehinga Camellia pun masih dibayangi oleh kemungkinan terburuk di masa depan.Mungkin setelah dari sana, dia akan pergi ke tempat Brandon untuk membicarakan tentang apa yang hendak dia lakukan ke depannya.Dan baru saja gadis itu beranjak dari kamar perawatan tersebut saat tiba-tiba dia melihat seorang wanita yang sangat familiar tengah duduk di bangku tunggu, tepat di luar kamar perawatan ayahnya.Seketika rasa marah menguasai hati Came
Setelah kepulangannya ke rumah, Camellia pun lebih banyak istirahat di dalam kamar. Dikarenakan Hagen memutuskan untuk menemaninya selama beberapa hari sampai gadis itu benar-benar pulih kembali. Namun, bukannya terkesan akan keputusan tersebut, Camellia malah melemparkan delikan tajam pada pria yang kini menginvasi kamarnya.“Apa kau akan tidur di sini sampai kau merasa bosan?” sindir gadis itu dengan raut kesal, karena sejak tadi dia merasa tidurnya telah diinterupsi.Kehadiran Hagen dalan ruangan itu benar-benar membuatnya merasa tidak nyaman.Blake Hagen yang mendengar keluhan Camellia seolah tidak beranjak dari sofa yang sengaja pria itu seret dari ruangan di sebelah.Kini, pria itu seakan-akan memenuhi kamar gadis itu dengan beberapa furniture, yang tentu saja menjadi alasan pertengkaran keduanya.“Princess, tidurlah. Kau membutuhkan itu saat ini, dan aku tidak akan melakukan apa pun.”Lagi-lagi Hagen mengabaika
Suara ketukan di depan pintu membuat gadis itu berlari-lari kecil menuju ruang tamu. Namun, baru saja dia hendak ke sana, saat tiba-tiba sosok Hagen sudah lebih dulu membukakan pintu untuk siapa pun yang berada di luar rumah.Gadis itu hanya memerhatikan dengan kedua lengan terlipat di depan dada. Sedangkan fokusnya jatuh pada punggung pria itu yang sempurna dari belakang.Ketika suara maskulinnya yang terdengar merdu mengatakan sesuatu pada siapa pun di luar sana, barulah Camellia benar-benar mendengarkan percakapan mereka.“Apa ini sudah semua?” tanya pria itu yang masih menghalangi pintu, sehingga Camellia tidak bisa melihat sosok di luar sana.Namun, begitu mendengar suara feminim yang memberikan jawaban, seketika bahu tegang Camellia menjadi rileks kembali.Gadis itu pun diam sembari mendengarkan.“Sudah, Sir. Semua dokumen yang perlu ditandatangani ada di sana, termasuk proposal yang tadi anda minta untuk dikirimkan.&
Siang itu Hagen pun berpamitan untuk kembali ke apartemennya. Setelah gadis itu membaik beberapa hari ini, keduanya memutuskan agar Hagen kembali ke rumah. Dan gadis itu juga menolak untuk ikut bersama pria itu ketika diberi tawaran.“Tidak, aku lebih nyaman di rumahku.” Adalah jawaban Camellia setiap kali Hagen memberi usulan. Bahkan gadis itu tidak memberikan kesempatan untuk kompromi.Dan tampaknya Hagen merasa berat begitu pria itu melangkahkan kaki ke luar dari rumah. Beberapa kali pria itu menoleh kea rah Camellia yang mengintip dari jendela di lantai dua. Gadis itu bahkan menggigit kuku pada ibu jari dengan pandangan penuh gelisah.Saat pria itu hendak tiba di mobil yang berada di parkiran, langkah pria itu pun terhenti. Dengan tatapan lurus ke arahnya berdiri, Hagen melambai kecil sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil.Begitu kendaraan roda empat itu menghilang dari pandangan, barulah Camellia dapat bernapas.Namun entah mengapa
Lama Camellia memikirkan isi dalam dokumen yang baru saja dia bawa pulang. Dan dengan penuh kehati-hatian, gadis itu menyembunyikan dokumen tersebut di tempat yang aman untuk menghindari seseorang menemukannya.Dia baru saja duduk di atas ranjang setelah menaruh benda itu ke tempat yang aman sebelum akhirnya dering ponsel menarik perhatian gadis itu, dan nama Hagen pun muncul di layar sebagai orang yang menghubungi.Baru saja mereka berpisah tadi pagi, tetapi sepertinya pria itu tidak pernah puas mengganggu gadis itu.“Apa ada barangmu yang ketinggalan?” tanya Camellia, mencoba menyindir dengan sebuah dugaan.Tentu saja pria itu terkekeh pelan. Karena jelas sekali Hagen tidak membawa banyak barang saat ke sana.“Tidak, Princess,” ucap pria itu yang terdengar seperti sedang melakukan sesuatu di seberang. “Aku hanya ingin memastikan keadaanmu.”“Keadaanku baik-baik saja. Kau bahkan sudah lihat tadi pag
Cinta.Satu kata yang Camellia juga tidak pernah tahu makna serta rasanya, karena dia juga tidak pernah mengalami dan menemukan itu. Baik dalam keluarganya sendiri maupun diri sendiri.Jika dia mencintai dirinya, tidak mungkin dia harus menjual diri. Tetapi, apakah dia mencintai ayahnya sehingga apa pun dia korbankan?Mungkin saja, atau mungkin dia berharap sang ayah dapat pulih sehingga dia juga dicintai layaknya seorang anak.Selama ini dia hidup di tengah-tengah permasalahan kedua orang tuanya yang tidak pernah berhenti saling menyalahi.Hidupnya bahkan tidak pernah terasa sempurna.Dengan tatapan sendu, Camellia pun berjongkok di hadapan pria yang matanya perlahan mulai terpejam.“Kau dapat dicintai oleh banyak orang. Dan bagimu itu bukan hal yang sulit,” gumam Camellia sembari menatap wajah rupawan yang telah kembali terlelap di hadapan.Gadis itu pun mengusap wajah maskulin tersebut dengan jemari-jemarinya men
Camellia datang ke acara pemotretan dalam keadaan pipi bengkak dan wajah sembab. Gadis itu bahkan tidak peduli akan tatapan yang selalu mengarah padanya selama di studio.Brandon bahkan memberi tatapan bertanya dengan sebelah alis mendekati dahi pada wajah Camellia yang memerah.“Ada apa dengan pipimu? Kau menangis?” tanya pria itu sembari meperhatikan Camellia dengan seksama.Gadis itu hanya menundukkan kepala sembari mengusap beberapa air mata yang jatuh di pipi.“Maaf,” bisiknya parau, membuat Brandon hanya bisa menghela napas sembari mendekati gadis itu.“Tidak apa-apa, kita bisa menutupinya dengan make up,” ucap pria itu sembari memanggil seorang wanita muda yang tampak berpakaian sangat professional.“Bantu Camellia untuk berdandan lebih cantik,” ucap pria itu, mengalihkan perhatian dari tangis gadis tersebut.“Ayana,” ucap wanita itu sembari mengulurkan tangan, memperk
Camellia baru saja terbangun, dan dirinya menatap puas dengan pandangan berbinar pada pria yang masih terlelap di samping tempatnya berbaring. Dengan ujung jemari yang menari-nari di atas kulit telanjang pada punggung pria itu, Camellia mencoba menahan diri agar tidak tertawa, terutama ketika Hagen menggumamkan sesuatu di dalam tidurnya. Tahu bahwa dia hanya akan membangunkan singa yang lapar, Camellia memilih untuk segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah beberapa waktu kemudian, Hagen tampak masih tertidur dengan posisinya semula, sehingga Camellia membiarkannya dan terus melangkah ke arah balkon. Gadis itu tampak menikmati semilir angin pagi yang menyuguhkan pemandangan hutan beton di hadapan. Sembari menyeduh susu cokelat hangat, tatapan Camellia tertuju pada arakan langit cerah yang memenuhi kota New York. Dia hendak menyesap minumnya kembali, saat tiba-tiba sepasang tangan kekar memeluk dari arah belakang. “Morning, Princess,” sapa Hagen, s
Saat Ini, di Luna Star Hotel. Honeymoon On New York.Di salah satu kamar Luna Star Hotel, ditemani cahaya remang-remang. Aroma kopi yang maskulin dan wangi mawar yang berpadu. Camellia menatap punggung lebar dan kokoh yang membelakanginya dengan desah napas yang teratur.Otot-otot liat itu menggoda mata Camellia untuk tidak berpaling sedikit pun. Namun, bukan itu yang membuat Camellia masih terjaga kendati jam dinding mewah yang tergantung di depan pintu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.Matanya belum perpaling ketika punggung kokoh serupa Dewa Yunani itu berbalik dengan sepasang mata yang menghunjam Camellia. Warna hitam obsidian yang bersinar itu menatap langsung ke arah bola mata Camellia.Dia tidak mampu mengontrol detak jantungnya yang berdesir cepat ketika Hagen memamerkan senyum tipis yang menghiasi wajah rupawannya tersebut.“Mengapa kau belum juga tidur?” Suara parau yang berat dan dalam itu seolah menyedot semua akal sehat Camellia.Camellia tidak mampu menjawab. Tubuhnya
Camellia tidak tahu harus melakukan apa dalam situasinya saat ini, sehingga dia hanya mendengarkan suara hangat pria itu yang kini menggelitik telinganya.“Cukup anggukan kepalamu jika kau setuju.”Mendengar instruksinya, Camellia pun mengangguk cepat.Jelas sekali bahwa gadis itu tengah ketakutan.Menyadari hal itu, pria yang kini membekapnya pun tampak berusaha menenangkan.“Sssttt … aku tidak berniat melukaimu. Yang aku butuhkan hanya bantuan.”Seketika, Camellia pun menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan mata untuk menenangkan diri. Ketika dia dapat mengontrol rasa takut yang sempat menguasai, gadis itu mengangguk samar dan pelan. Tetapi, tetap saja pria bersuara maskulin yang menenangkan di balik punggungnya tidak melepaskan bekapan tangan dari mulutnya.“Seseorang tengah mengincar keberadaanku, dan jika kau bisa menyembunyikanku sampai supirku tiba, maka aku akan melakukan apa saja untuk melindungimu di masa mendatang.”Mendengar penjelasannya, tanpa Camellia sadari, manik
Beberapa Minggu setelah pertemuan dengan Jeff, Camellia tampak lebih berhati-hati dengan sekitar.Sesekali gadis itu merasakan seseorang tengah mengikutinya, dan hal itu semakin membuat Camellia merasa tidak aman jika jalan sendirian, walaupun hanya sekedar melakukannya di lingkungan sekolah yang ramai oleh lalu-lalang siswa lainnya.Camellia lebih memilih untuk mengajak Bella agar dapat menemaninya kemanapun dia pergi. Hal ini tentu saja membuat gadis enam belas tahun itu bertanya-tanya akan perubahan sikapnya.“Ada apa denganmu? Mengapa kau terlihat seperti orang yang ingin menyembunyikan diri, Lia?”Mendengar itu, kepala Camellia pun menggeleng samar.Akhir-akhir ini dia lebih banyak diam, terutama setelah acara pentas seni, dimana sang ayah tidak menghadiri undangan yang telah Camellia berikan pada butler keluarganya.Dia tidak tahu dimana letak kesalahannya. Padahal kehadiran ayahnya sangat Camellia tunggu waktu itu.Dan, sepulang dari acara pentas seni, dia pun menanyakan alasan
Lancester, Tiga Setengah Tahun yang lalu.Camellia baru saja pulang dari sekolah, saat tiba-tiba salah satu butler menyambutnya dengan wajah sedikit masam. Jelas sekali, terjadi sesuatu sehingga membuat seisi rumah menjadi sangat tidak bersahabat dan bersitegang.Mendapati keadaan itu, Camellia pun melirik kembali pada jajaran mobil mewah yang terparkir di halaman.Biasanya, sang ayah; Edgar Duncan, selalu mengundang beberapa orang paling berpengaruh di Lancester dan Denver untuk mengadakan rapat bulanan yang selalu diadakan di rumah mereka.Pemandangan mobil mewah memenuhi parkiran bukanlah hal yang asing baginya. Namun, gadis muda itu tampak khawatir, karena setiap kali pertemuan itu dilaksanakan, pasti ada saja sesuatu yang janggal terjadi.Misalnya beberapa bulan lalu, salah satu anggota parlemen di Lancester menghilang secara misterius, dan keluarga dari parlemen tersebut tidak lagi terdengar kabarnya seminggu kemudian. Dan, Camellia tahu penyebabnya, tidak lain adalah rahasia di
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Hagen dan Camellia, yang kini berdansa di tengah-tengah ballroom yang dipenuhi oleh orang-orang terdekat mereka. Tidak hanya itu, beberapa orang berpengaruh di Lancester dan juga Denver tampak berkumpul di bawah atap yang sama, menari, berbicara dan tertawa dengan siapa saja yang mereka temui di Kastil Petunia.Camellia yang tampak sangat cantik dengan gaun satin berwarna putih, memahat sempurna pada lekuk tubuh feminimnya, hingga mampu membuat mata Hagen berbinar hanya dengan menatapnya.Pria itu bahkan tidak bisa menjauhkan tangannya dari pinggang ataupun jemari lentik gadis itu.Jelas sekali, keduanya hanyut dalam dansa dengan melody lambat di bawah lampu kristal yang menghiasi langit-langit ballroom.Sementara itu, tidak jauh dari keduanya, Erlinda dan Cintya yang juga berdandan cantik dengan gaun berwarna pastel senada, tampak mengagumi pasangan berdansa yang berada di tengah-tengah ruangan.“Ahhhh … aku benar-benar menginginkan pernikah
Petunia tidak seperti hari-hari biasa. Kini, kastil megah itu dihiasi oleh berbagai rangkaian bunga yang menghiasi setiap dinding, meja, dan sudut-sudut ruangan. Bahkan, dengan sangat spesifik, Hagen memesan beberapa jenis bunga atas saran dari Jaxon Bradwood.Tentu saja hal itu dikarenakan mereka menghindari insiden di masa lalu, dimana pernikahan Jaxon berakhir bencana akibat Mia alergi bunga Snow on Mountain. Dengan sangat hati-hati, orang-orang yang bekerja di Kastil Petunia pun memilah dan mengawasi setiap bunga yang datang sebelum menyebarkannya di beberapa tempat.Frank bahkan tampak lebih sibuk dari biasanya.Kini, stelan hitam pria itu dilengkapi alat komunikasi yang terpasang di telinga.Dan dengan mata elangnya yang mengawasi jalannya persiapan, Frank memberi sedikit instruksi di sana sini pada penjaga kastil yang berkeliling dari satu ruang ke ruang lainnya.Sementara itu, Erlinda tampak sibuk menyiapkan beberapa kamar untuk setiap tamu yang akan menginap. Begitu pula deng
Hagen menemani Camellia saat mengunjungi Edgar Duncan di rumah sakit. Dengan perasaan yang berat, Hagen menyadari bahwa pria tua di hadapannya benar-benar tidak memiliki harapan untuk umur panjang, membuat pandangannya jatuh pada Camellia yang tampak setia menunggu sang ayah yang terbaring layaknya tubuh tanpa nyawa dengan bantuan penunjang kehidupan di atas tempat tidur.Tanpa sedikit pun mengganggu gadis itu, Hagen bergegas keluar dari ruangan dan memilih duduk di salah satu rangkaian kursi tunggu, yang berada tepat di depan ruang perawatan Edgar Duncan.Sesekali Hagen menarik napas sembari menengadah pada langit-langit lorong rumah sakit.Saat itulah dia menyadari bahwa dirinya tidak mungkin menyembunyikan keberadaan bayi mungil yang kini diberikan pada Danny Johanson.Cepat atau lambat, Camellia harus mengetahui keberadaan bayi itu. Meskipun keduanya tidak berhubungan darah, tetapi Talia Duncan tetaplah adik bagi Camellia. Dan, tidak mungkin dia akan diam saja saat mengetahui sem
“Kau sudah membawa semuanya?” tanya Hagen pada Frank begitu dirinya tiba di Petunia.Setelah meninggalkan Denver, Hagen memutuskan untuk meminta bawahannya agar mengantarkan Camellia kembali ke rumah. Dan mereka pun tiba dalam waktu terpisah.“Aye, Boss,” jawab Frank diikuti anggukan. “Nyonya ada di dalam kamar. Beristirahat,” ujar Frank, yang segera merubah panggilannya pada Camellia.Dalam waktu sangat singkat, kabar pernikahan keduanya pun menghebohkan para pelayan di Kastil Petunia. Bahkan, tidak sedikit yang merayakan bergabungnya nyonya baru di sana. Setidaknya, Hagen telah memilih wanita yang tepat, dan bukannya wanita seperti Irene yang pasti akan menyiksa para pelayan.“Aku meminta Jaxon untuk mengurus Alfred,” ucap Hagen secara tiba-tiba, yang tentu saja membuat Frank mengerti akan maksudnya.Kepala keamanan Petunia itu tampak mengangguk paham dan setelahnya berdeham pelan.“Aku akan datang ke kediaman Ryder untuk memberikan kabar.”Mendengar ucapan bawahannya itu, Hagen tid