Cinta.
Satu kata yang Camellia juga tidak pernah tahu makna serta rasanya, karena dia juga tidak pernah mengalami dan menemukan itu. Baik dalam keluarganya sendiri maupun diri sendiri.
Jika dia mencintai dirinya, tidak mungkin dia harus menjual diri. Tetapi, apakah dia mencintai ayahnya sehingga apa pun dia korbankan?
Mungkin saja, atau mungkin dia berharap sang ayah dapat pulih sehingga dia juga dicintai layaknya seorang anak.
Selama ini dia hidup di tengah-tengah permasalahan kedua orang tuanya yang tidak pernah berhenti saling menyalahi.
Hidupnya bahkan tidak pernah terasa sempurna.
Dengan tatapan sendu, Camellia pun berjongkok di hadapan pria yang matanya perlahan mulai terpejam.
“Kau dapat dicintai oleh banyak orang. Dan bagimu itu bukan hal yang sulit,” gumam Camellia sembari menatap wajah rupawan yang telah kembali terlelap di hadapan.
Gadis itu pun mengusap wajah maskulin tersebut dengan jemari-jemarinya men
Camellia datang ke acara pemotretan dalam keadaan pipi bengkak dan wajah sembab. Gadis itu bahkan tidak peduli akan tatapan yang selalu mengarah padanya selama di studio.Brandon bahkan memberi tatapan bertanya dengan sebelah alis mendekati dahi pada wajah Camellia yang memerah.“Ada apa dengan pipimu? Kau menangis?” tanya pria itu sembari meperhatikan Camellia dengan seksama.Gadis itu hanya menundukkan kepala sembari mengusap beberapa air mata yang jatuh di pipi.“Maaf,” bisiknya parau, membuat Brandon hanya bisa menghela napas sembari mendekati gadis itu.“Tidak apa-apa, kita bisa menutupinya dengan make up,” ucap pria itu sembari memanggil seorang wanita muda yang tampak berpakaian sangat professional.“Bantu Camellia untuk berdandan lebih cantik,” ucap pria itu, mengalihkan perhatian dari tangis gadis tersebut.“Ayana,” ucap wanita itu sembari mengulurkan tangan, memperk
Camellia menatap sekitarnya dengan pandangan gugup. Dia bahkan berkali-kali melirik ke arah Brandon yang menyetir di depan.“Apa tempatnya sangat jauh?” tanya Camellia sembari melirik ke sekitar, pada pepohonan dan hutan lebat yang menutup pandangan. “Ini sudah dua jam.”Brandon dapat melihat kegelisahan Camellia, namun dia tidak tahu bagaiman caranya menenangkan gadis itu.“Masih ada satu jam lagi,” ucap Brandon, semakin membingungkan Camellia.Mengapa tempatnya harus sejauh itu.“Kenapa di tengah-tengah hutan belantara?” tanya Camellia dengan polosnya.Brandon hanya terkekeh pelan.“Ini event rahasia, Camellia. Semua orang yang akan menghadirinya lebih suka privasi mereka dijaga sehingga dipilih lah tempat yang sempurna,” jelas pria itu, semakin menambah dalam kerutan di dahi gadis itu.“Di tengah-tengah hutan belantara?”Lagi-lagi Camellia merasa
“Dua juta dollar!”Seketika semua mata tertuju pada seorang pria berusia empat puluh yang berada di sudut ruangan.Yang tadinya semua orang tampak memberi penawaran, mereka pun memutuskan mundur satu per satu.Jaxon yang berada di bangku paling belakang hanya menatap ke arah Camellia dengan penuh simpati, karena sejak pelelangan dimulai, tidak terlihat sedikit pun terlihat Hagen bergerak atau pun menyuarakan penawaran juga. Bahkan pria itu lebih banyak diam sembari mengawasi sekitar. Gesture nya yang lebih banyak diam jelas sekali menunjukkan ada ketidaksukaan dari diri pria itu.Begitu pula dengan Brandon dan beberapa anggota Red Cage lainnya.Pada awalnya mereka mengira Hagen juga akan ikut serta memberi penawaran
Tubuh Camellia tampak lunglai ketika hendak berjalan menuju mobil yang akan membawanya ke rumah baru. Gadis itu bahkan tidak mau melihat ke arah pria yang berada di balik kemudi. Dia bahkan menundukkan kepala dan berusaha untuk tidak menatap pada siapa pun di sekitar. Meski hanya ada satu pria di mobil itu.Dan selama perjalanan menuju ke kota, mobil itu dipenuhi oleh keheningan. Kini, gadis itu merasa tidak ada artinya semua hal yang dia miliki disaat dirinya tidak berada di dalam lingkungan yang familiar.Dengan perasaan cemas dan campur aduk, Camellia pun menyandarkan kepala pada kaca mobil sembari mendengarkan suara detak jantungnya sendiri.Dia bahkan tidak peduli apa pun pada pria yang juga memilih diam di depan.Dan ketika mata gadis itu terpejam, entah mengapa dia dapat mencium aroma parfum yang sangat familiar, namu
“Ba-bagaimana setelah ini?” tanya Camellia saat berada di kamar pria itu.Keduanya berada pada jarak yang cukup jauh. Di mana Camellia duduk di atas ranjang, ketika Blake Hagen di tengah-tengah ruangan dengan mata menatap ke luar jendela.Sejak awal pria itu terlihat enggan menatap mata Camellia, membuat gadis itu merasa berkecil hati dan sedikit melankolis. Bahkan, pria itu hanya mau melihatnya saat dia mengatakan sesuatu yang memancing amarah.Seketika Hagen pun berbalik dan melemparkan ponsel pribadinya ke sebelah gadis itu. Dengan suara dingin, dia pun berkata; “Kau sudah membaca semua dokumen itu, tapi sepertinya kau lupa.”Setelah mengatakan hal demikian, Hagen berjalan menuju ke luar ruangan. Meninggalkan Camellia sendirian.Kepergiannya meninggalkan keheningan panjang, hingga pada akhirnya Camellia meremas seprei yang sedang dia duduki.Dengan tubuh sedikit lemas, gadis itu pun menoleh pada ponsel yang Hagen l
Setelah selesai membersihkan diri di kamar mandi, Camellia keluar hanya dengan handuk yang melilit.Tubuh setengah basahnya tampak sedikit berkilau dari paparan cahaya dari kisi-kisi jendela dan lampu di atas kepala. Dia mengeringkan rambut menggunakan handuk putih yang berbeda, dan begitu kakinya melangkah melewati batas pintu kamar mandi, tiba-tiba saja sebuah jeritan lolos dari mulut gadis itu. Karena tepat di tengah-tengah ruangan terlihat Hagen yang berdiri sembari menatap ke arahnya.“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya gadis itu setengah histeris sembari berlari kembali ke kamar mandi.Kepalanya terlihat mengintip di celah pintu, pada Hagen yang berdiri dengan kedua lengan terlipat di depan tubuh.Sebelah alis pria itu naik mendekati dahi, sedangkan kepalanya tampak miring sedikit ke kiri dengan pandangan mata mengamati.“Kau tidak perlu menutupi tubuhmu. Setelah ini aku bisa melihat seluruhnya, sehingga kau tidak perlu be
Makan malam keduanya terasa sangat canggung bagi Camellia, tetapi Hagen merasa sebaliknya.Pria itu bahkan tampak sangat nyaman ketika menyuapi nasi sendok demi sendok ke mulut, membuat Camellia ingin meneriaki pria itu karena bersikap sangat biasa di saat dirinya dalam kebingungan.Dan begitu makan malam itu berakhir, dengan piring Camellia yang masih terisi setengah, keduanya pun memutuskan untuk kembali ke kamar saja.“Jangan membuang-buang makanan, Camellia,” ucap Hagen ketika berdiri dan hendak beranjak dari sana.Mendengar itu, Camellia hanya diam sembari mengusap mulut dengan serbet yang ada di meja.“Jika kau tidak ingin menghabiskan seluruh porsinya, berikan pada piringku setengah.”Ucapan pria itu menghentikan tangan Camellia di depan bibir, dan saat itulah gadis itu menoleh dengan pandangan yang tidak biasa.“Kau mau memakan … sisa makananku?”Seketika dahi pria itu berkerut
Camellia menatap Hagen yang terlelap di sampingnya. Gadis itu mengobservasi inci demi inci wajah pria itu. Dan rasanya seperti de javu ketika mereka tidur bersama di atas ranjang yang sama. Bahkan, gadis itu menatap Hagen cukup lama, sebelum akhirnya dia membalik tubuh dan membelakangi pria itu.Suara dengkuran halus yang keluar dari diafraghma pria itu menjadi pertanda bagi Camellia untuk tertidur. Entah mengapa gadis itu merasa ingin menangis, karena sebelm ini dia telah berpikir sangat buruk bahwa Hagen akan meminta haknya.“Hhhh …,” desah gadis itu sembari menarik napas pendek, dan tidak lama kemudian dia pun terbuai dalam tidur yang lelap.Dan begitu pagi tiba, Camellia membuka mata perlahan hanya untuk mendapati kamar sisi ranjang di sebelahnya telah kosong.Jemari gadis itu meraba tempat pria itu tertidur malam tadi , dan yang bisa dia rasakan hanyalah dingin karena lama ditinggalkan.Namun, belum selesai gadis delapan bel