Camellia menatap sekitarnya dengan pandangan gugup. Dia bahkan berkali-kali melirik ke arah Brandon yang menyetir di depan.
“Apa tempatnya sangat jauh?” tanya Camellia sembari melirik ke sekitar, pada pepohonan dan hutan lebat yang menutup pandangan. “Ini sudah dua jam.”
Brandon dapat melihat kegelisahan Camellia, namun dia tidak tahu bagaiman caranya menenangkan gadis itu.
“Masih ada satu jam lagi,” ucap Brandon, semakin membingungkan Camellia.
Mengapa tempatnya harus sejauh itu.
“Kenapa di tengah-tengah hutan belantara?” tanya Camellia dengan polosnya.
Brandon hanya terkekeh pelan.
“Ini event rahasia, Camellia. Semua orang yang akan menghadirinya lebih suka privasi mereka dijaga sehingga dipilih lah tempat yang sempurna,” jelas pria itu, semakin menambah dalam kerutan di dahi gadis itu.
“Di tengah-tengah hutan belantara?”
Lagi-lagi Camellia merasa
“Dua juta dollar!”Seketika semua mata tertuju pada seorang pria berusia empat puluh yang berada di sudut ruangan.Yang tadinya semua orang tampak memberi penawaran, mereka pun memutuskan mundur satu per satu.Jaxon yang berada di bangku paling belakang hanya menatap ke arah Camellia dengan penuh simpati, karena sejak pelelangan dimulai, tidak terlihat sedikit pun terlihat Hagen bergerak atau pun menyuarakan penawaran juga. Bahkan pria itu lebih banyak diam sembari mengawasi sekitar. Gesture nya yang lebih banyak diam jelas sekali menunjukkan ada ketidaksukaan dari diri pria itu.Begitu pula dengan Brandon dan beberapa anggota Red Cage lainnya.Pada awalnya mereka mengira Hagen juga akan ikut serta memberi penawaran
Tubuh Camellia tampak lunglai ketika hendak berjalan menuju mobil yang akan membawanya ke rumah baru. Gadis itu bahkan tidak mau melihat ke arah pria yang berada di balik kemudi. Dia bahkan menundukkan kepala dan berusaha untuk tidak menatap pada siapa pun di sekitar. Meski hanya ada satu pria di mobil itu.Dan selama perjalanan menuju ke kota, mobil itu dipenuhi oleh keheningan. Kini, gadis itu merasa tidak ada artinya semua hal yang dia miliki disaat dirinya tidak berada di dalam lingkungan yang familiar.Dengan perasaan cemas dan campur aduk, Camellia pun menyandarkan kepala pada kaca mobil sembari mendengarkan suara detak jantungnya sendiri.Dia bahkan tidak peduli apa pun pada pria yang juga memilih diam di depan.Dan ketika mata gadis itu terpejam, entah mengapa dia dapat mencium aroma parfum yang sangat familiar, namu
“Ba-bagaimana setelah ini?” tanya Camellia saat berada di kamar pria itu.Keduanya berada pada jarak yang cukup jauh. Di mana Camellia duduk di atas ranjang, ketika Blake Hagen di tengah-tengah ruangan dengan mata menatap ke luar jendela.Sejak awal pria itu terlihat enggan menatap mata Camellia, membuat gadis itu merasa berkecil hati dan sedikit melankolis. Bahkan, pria itu hanya mau melihatnya saat dia mengatakan sesuatu yang memancing amarah.Seketika Hagen pun berbalik dan melemparkan ponsel pribadinya ke sebelah gadis itu. Dengan suara dingin, dia pun berkata; “Kau sudah membaca semua dokumen itu, tapi sepertinya kau lupa.”Setelah mengatakan hal demikian, Hagen berjalan menuju ke luar ruangan. Meninggalkan Camellia sendirian.Kepergiannya meninggalkan keheningan panjang, hingga pada akhirnya Camellia meremas seprei yang sedang dia duduki.Dengan tubuh sedikit lemas, gadis itu pun menoleh pada ponsel yang Hagen l
Setelah selesai membersihkan diri di kamar mandi, Camellia keluar hanya dengan handuk yang melilit.Tubuh setengah basahnya tampak sedikit berkilau dari paparan cahaya dari kisi-kisi jendela dan lampu di atas kepala. Dia mengeringkan rambut menggunakan handuk putih yang berbeda, dan begitu kakinya melangkah melewati batas pintu kamar mandi, tiba-tiba saja sebuah jeritan lolos dari mulut gadis itu. Karena tepat di tengah-tengah ruangan terlihat Hagen yang berdiri sembari menatap ke arahnya.“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya gadis itu setengah histeris sembari berlari kembali ke kamar mandi.Kepalanya terlihat mengintip di celah pintu, pada Hagen yang berdiri dengan kedua lengan terlipat di depan tubuh.Sebelah alis pria itu naik mendekati dahi, sedangkan kepalanya tampak miring sedikit ke kiri dengan pandangan mata mengamati.“Kau tidak perlu menutupi tubuhmu. Setelah ini aku bisa melihat seluruhnya, sehingga kau tidak perlu be
Makan malam keduanya terasa sangat canggung bagi Camellia, tetapi Hagen merasa sebaliknya.Pria itu bahkan tampak sangat nyaman ketika menyuapi nasi sendok demi sendok ke mulut, membuat Camellia ingin meneriaki pria itu karena bersikap sangat biasa di saat dirinya dalam kebingungan.Dan begitu makan malam itu berakhir, dengan piring Camellia yang masih terisi setengah, keduanya pun memutuskan untuk kembali ke kamar saja.“Jangan membuang-buang makanan, Camellia,” ucap Hagen ketika berdiri dan hendak beranjak dari sana.Mendengar itu, Camellia hanya diam sembari mengusap mulut dengan serbet yang ada di meja.“Jika kau tidak ingin menghabiskan seluruh porsinya, berikan pada piringku setengah.”Ucapan pria itu menghentikan tangan Camellia di depan bibir, dan saat itulah gadis itu menoleh dengan pandangan yang tidak biasa.“Kau mau memakan … sisa makananku?”Seketika dahi pria itu berkerut
Camellia menatap Hagen yang terlelap di sampingnya. Gadis itu mengobservasi inci demi inci wajah pria itu. Dan rasanya seperti de javu ketika mereka tidur bersama di atas ranjang yang sama. Bahkan, gadis itu menatap Hagen cukup lama, sebelum akhirnya dia membalik tubuh dan membelakangi pria itu.Suara dengkuran halus yang keluar dari diafraghma pria itu menjadi pertanda bagi Camellia untuk tertidur. Entah mengapa gadis itu merasa ingin menangis, karena sebelm ini dia telah berpikir sangat buruk bahwa Hagen akan meminta haknya.“Hhhh …,” desah gadis itu sembari menarik napas pendek, dan tidak lama kemudian dia pun terbuai dalam tidur yang lelap.Dan begitu pagi tiba, Camellia membuka mata perlahan hanya untuk mendapati kamar sisi ranjang di sebelahnya telah kosong.Jemari gadis itu meraba tempat pria itu tertidur malam tadi , dan yang bisa dia rasakan hanyalah dingin karena lama ditinggalkan.Namun, belum selesai gadis delapan bel
Suasana di Kastil Petunia terasa berbeda dari kedatangan Camellia pertama kali ke sana dengan saat ini. Gadis itu bahkan merasa ada begitu banyak perubahan. Terutama dengan jumlah pelayan yang tampak lebih banyak dari sebelumnya.“Apa pelayan di kastil ini jumlahnya sebanyak ini?” tanya Camellia pada Erlinda yang saat itu membawanya berkeliling.Ini adalah kali pertama dia benar-benar melihat kastil itu dari segala sisi, sebelumnya dia bahkan tidak memiliki akses hingga ke taman belakang.“Tidak, Miss,” jawab Erlinda sembari mengikuti arah pandang Camellia.Tampak beberapa pelayan yang sedang merapikan kebun, belum lagi para pekerja di dalam kastil yang saat ini sedang bersih-bersih.“Sebelum anda datang, Tuan Hagen mempekerjakan mereka. Saat itu kami tidak tahu alasannya, tetapi melihat beliau membawa anda pulang ke sini, kami pun paham bahwa Tuan ingin membuat Kastil Petunia menjadi lebih nyaman,” jelas Erlinda
“Apa … dia menanam semua ini?”Pandangan Camellia terfokus pada hamparan bunga di hadapan. Dia tidak mengira dapat menemukan taman bunga yang luasnya melebihi taman Petunia di sisi kastil satunya.“Hu uh,” respon Erlinda diserta anggukan.Pelayan muda itu menggamit lengan Camellia dan mengajaknya ke tempat yang ingin dia tunjukkan, tetapi tiba-tiba saja Camellia menolak dengan menggeleng pelan.“A-aku rasa aku ingin istirahat,” ucapnya sembari berbalik dan berjalan cepat setengah berlari ke arah Kastil.Mendapati hal yang tidak biasa itu, Erlinda hanya bisa terpaku. Pelayan muda itu tidak mengerti dengan perasaan Camellia yang merasa disesaki akan semua hal yang ditemuinya hari ini.Sementara itu, Camellia yang melintasi bunga-bunga Petunia di sepanjang jalan tidak lagi menoleh ke kanan kiri. Kepala gadis itu dipenuhi segunang pertanyaan yang membuatnya ingin segera lari dari sana. Bahkan, dia tidak
Camellia baru saja terbangun, dan dirinya menatap puas dengan pandangan berbinar pada pria yang masih terlelap di samping tempatnya berbaring. Dengan ujung jemari yang menari-nari di atas kulit telanjang pada punggung pria itu, Camellia mencoba menahan diri agar tidak tertawa, terutama ketika Hagen menggumamkan sesuatu di dalam tidurnya. Tahu bahwa dia hanya akan membangunkan singa yang lapar, Camellia memilih untuk segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah beberapa waktu kemudian, Hagen tampak masih tertidur dengan posisinya semula, sehingga Camellia membiarkannya dan terus melangkah ke arah balkon. Gadis itu tampak menikmati semilir angin pagi yang menyuguhkan pemandangan hutan beton di hadapan. Sembari menyeduh susu cokelat hangat, tatapan Camellia tertuju pada arakan langit cerah yang memenuhi kota New York. Dia hendak menyesap minumnya kembali, saat tiba-tiba sepasang tangan kekar memeluk dari arah belakang. “Morning, Princess,” sapa Hagen, s
Saat Ini, di Luna Star Hotel. Honeymoon On New York.Di salah satu kamar Luna Star Hotel, ditemani cahaya remang-remang. Aroma kopi yang maskulin dan wangi mawar yang berpadu. Camellia menatap punggung lebar dan kokoh yang membelakanginya dengan desah napas yang teratur.Otot-otot liat itu menggoda mata Camellia untuk tidak berpaling sedikit pun. Namun, bukan itu yang membuat Camellia masih terjaga kendati jam dinding mewah yang tergantung di depan pintu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.Matanya belum perpaling ketika punggung kokoh serupa Dewa Yunani itu berbalik dengan sepasang mata yang menghunjam Camellia. Warna hitam obsidian yang bersinar itu menatap langsung ke arah bola mata Camellia.Dia tidak mampu mengontrol detak jantungnya yang berdesir cepat ketika Hagen memamerkan senyum tipis yang menghiasi wajah rupawannya tersebut.“Mengapa kau belum juga tidur?” Suara parau yang berat dan dalam itu seolah menyedot semua akal sehat Camellia.Camellia tidak mampu menjawab. Tubuhnya
Camellia tidak tahu harus melakukan apa dalam situasinya saat ini, sehingga dia hanya mendengarkan suara hangat pria itu yang kini menggelitik telinganya.“Cukup anggukan kepalamu jika kau setuju.”Mendengar instruksinya, Camellia pun mengangguk cepat.Jelas sekali bahwa gadis itu tengah ketakutan.Menyadari hal itu, pria yang kini membekapnya pun tampak berusaha menenangkan.“Sssttt … aku tidak berniat melukaimu. Yang aku butuhkan hanya bantuan.”Seketika, Camellia pun menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan mata untuk menenangkan diri. Ketika dia dapat mengontrol rasa takut yang sempat menguasai, gadis itu mengangguk samar dan pelan. Tetapi, tetap saja pria bersuara maskulin yang menenangkan di balik punggungnya tidak melepaskan bekapan tangan dari mulutnya.“Seseorang tengah mengincar keberadaanku, dan jika kau bisa menyembunyikanku sampai supirku tiba, maka aku akan melakukan apa saja untuk melindungimu di masa mendatang.”Mendengar penjelasannya, tanpa Camellia sadari, manik
Beberapa Minggu setelah pertemuan dengan Jeff, Camellia tampak lebih berhati-hati dengan sekitar.Sesekali gadis itu merasakan seseorang tengah mengikutinya, dan hal itu semakin membuat Camellia merasa tidak aman jika jalan sendirian, walaupun hanya sekedar melakukannya di lingkungan sekolah yang ramai oleh lalu-lalang siswa lainnya.Camellia lebih memilih untuk mengajak Bella agar dapat menemaninya kemanapun dia pergi. Hal ini tentu saja membuat gadis enam belas tahun itu bertanya-tanya akan perubahan sikapnya.“Ada apa denganmu? Mengapa kau terlihat seperti orang yang ingin menyembunyikan diri, Lia?”Mendengar itu, kepala Camellia pun menggeleng samar.Akhir-akhir ini dia lebih banyak diam, terutama setelah acara pentas seni, dimana sang ayah tidak menghadiri undangan yang telah Camellia berikan pada butler keluarganya.Dia tidak tahu dimana letak kesalahannya. Padahal kehadiran ayahnya sangat Camellia tunggu waktu itu.Dan, sepulang dari acara pentas seni, dia pun menanyakan alasan
Lancester, Tiga Setengah Tahun yang lalu.Camellia baru saja pulang dari sekolah, saat tiba-tiba salah satu butler menyambutnya dengan wajah sedikit masam. Jelas sekali, terjadi sesuatu sehingga membuat seisi rumah menjadi sangat tidak bersahabat dan bersitegang.Mendapati keadaan itu, Camellia pun melirik kembali pada jajaran mobil mewah yang terparkir di halaman.Biasanya, sang ayah; Edgar Duncan, selalu mengundang beberapa orang paling berpengaruh di Lancester dan Denver untuk mengadakan rapat bulanan yang selalu diadakan di rumah mereka.Pemandangan mobil mewah memenuhi parkiran bukanlah hal yang asing baginya. Namun, gadis muda itu tampak khawatir, karena setiap kali pertemuan itu dilaksanakan, pasti ada saja sesuatu yang janggal terjadi.Misalnya beberapa bulan lalu, salah satu anggota parlemen di Lancester menghilang secara misterius, dan keluarga dari parlemen tersebut tidak lagi terdengar kabarnya seminggu kemudian. Dan, Camellia tahu penyebabnya, tidak lain adalah rahasia di
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Hagen dan Camellia, yang kini berdansa di tengah-tengah ballroom yang dipenuhi oleh orang-orang terdekat mereka. Tidak hanya itu, beberapa orang berpengaruh di Lancester dan juga Denver tampak berkumpul di bawah atap yang sama, menari, berbicara dan tertawa dengan siapa saja yang mereka temui di Kastil Petunia.Camellia yang tampak sangat cantik dengan gaun satin berwarna putih, memahat sempurna pada lekuk tubuh feminimnya, hingga mampu membuat mata Hagen berbinar hanya dengan menatapnya.Pria itu bahkan tidak bisa menjauhkan tangannya dari pinggang ataupun jemari lentik gadis itu.Jelas sekali, keduanya hanyut dalam dansa dengan melody lambat di bawah lampu kristal yang menghiasi langit-langit ballroom.Sementara itu, tidak jauh dari keduanya, Erlinda dan Cintya yang juga berdandan cantik dengan gaun berwarna pastel senada, tampak mengagumi pasangan berdansa yang berada di tengah-tengah ruangan.“Ahhhh … aku benar-benar menginginkan pernikah
Petunia tidak seperti hari-hari biasa. Kini, kastil megah itu dihiasi oleh berbagai rangkaian bunga yang menghiasi setiap dinding, meja, dan sudut-sudut ruangan. Bahkan, dengan sangat spesifik, Hagen memesan beberapa jenis bunga atas saran dari Jaxon Bradwood.Tentu saja hal itu dikarenakan mereka menghindari insiden di masa lalu, dimana pernikahan Jaxon berakhir bencana akibat Mia alergi bunga Snow on Mountain. Dengan sangat hati-hati, orang-orang yang bekerja di Kastil Petunia pun memilah dan mengawasi setiap bunga yang datang sebelum menyebarkannya di beberapa tempat.Frank bahkan tampak lebih sibuk dari biasanya.Kini, stelan hitam pria itu dilengkapi alat komunikasi yang terpasang di telinga.Dan dengan mata elangnya yang mengawasi jalannya persiapan, Frank memberi sedikit instruksi di sana sini pada penjaga kastil yang berkeliling dari satu ruang ke ruang lainnya.Sementara itu, Erlinda tampak sibuk menyiapkan beberapa kamar untuk setiap tamu yang akan menginap. Begitu pula deng
Hagen menemani Camellia saat mengunjungi Edgar Duncan di rumah sakit. Dengan perasaan yang berat, Hagen menyadari bahwa pria tua di hadapannya benar-benar tidak memiliki harapan untuk umur panjang, membuat pandangannya jatuh pada Camellia yang tampak setia menunggu sang ayah yang terbaring layaknya tubuh tanpa nyawa dengan bantuan penunjang kehidupan di atas tempat tidur.Tanpa sedikit pun mengganggu gadis itu, Hagen bergegas keluar dari ruangan dan memilih duduk di salah satu rangkaian kursi tunggu, yang berada tepat di depan ruang perawatan Edgar Duncan.Sesekali Hagen menarik napas sembari menengadah pada langit-langit lorong rumah sakit.Saat itulah dia menyadari bahwa dirinya tidak mungkin menyembunyikan keberadaan bayi mungil yang kini diberikan pada Danny Johanson.Cepat atau lambat, Camellia harus mengetahui keberadaan bayi itu. Meskipun keduanya tidak berhubungan darah, tetapi Talia Duncan tetaplah adik bagi Camellia. Dan, tidak mungkin dia akan diam saja saat mengetahui sem
“Kau sudah membawa semuanya?” tanya Hagen pada Frank begitu dirinya tiba di Petunia.Setelah meninggalkan Denver, Hagen memutuskan untuk meminta bawahannya agar mengantarkan Camellia kembali ke rumah. Dan mereka pun tiba dalam waktu terpisah.“Aye, Boss,” jawab Frank diikuti anggukan. “Nyonya ada di dalam kamar. Beristirahat,” ujar Frank, yang segera merubah panggilannya pada Camellia.Dalam waktu sangat singkat, kabar pernikahan keduanya pun menghebohkan para pelayan di Kastil Petunia. Bahkan, tidak sedikit yang merayakan bergabungnya nyonya baru di sana. Setidaknya, Hagen telah memilih wanita yang tepat, dan bukannya wanita seperti Irene yang pasti akan menyiksa para pelayan.“Aku meminta Jaxon untuk mengurus Alfred,” ucap Hagen secara tiba-tiba, yang tentu saja membuat Frank mengerti akan maksudnya.Kepala keamanan Petunia itu tampak mengangguk paham dan setelahnya berdeham pelan.“Aku akan datang ke kediaman Ryder untuk memberikan kabar.”Mendengar ucapan bawahannya itu, Hagen tid