Seketika Hagen pun menahan rasa sakit yang menjalar di sepanjang lengan, karena tiba-tiba saja Camellia menggigit tangannya yang hendak mengelus pipi gadis tersebut.
“Argh, damn,” ringis Hagen sembari menatap Camellia yang masih menancapkan gigi-gigi putihnya di kulit pria itu.
Dengan rahang mengeras dan gigi beradu menahan kesakitan, Hagen berusaha untuk tenang saat memanggil Camellia.
“Princess.”
Dia sengaja melembutkan suara, berharap gadis itu melepaskannya saat itu juga, namun ternyata dia tidak mengira dendam Camellia sangatlah besar. Terbukti dari kuatnya gigitan yang tidak juga lepas.
“Jika kau pikir aku akan menamparmu, sebaiknya buang jauh-jauh pemikiran seperti itu,” ucap Hagen di sela-sela rahang yang mengetat. “Aku tahu kau sengaja memancing kemarahanku.”
Dia memejamkan mata sembari menghela napas berat, menahan sakit yang perlahan menjadikan lengannya mati rasa. Satu per satu buli
Mata Camellia menatap nanar pada panci gosong di hadapan. Dia menggigit sudut bibirnya sembari tangan mengelus perut, sementara itu wajah gadis tersebut jelas sekali menunjukkan bahwa dia kelaparan.Gadis cantik itu pun menghela napas yang panjang, kemudian dia memegangi pelipis sembari menahan diri agar tidak menangis.“Stupid,” bisiknya yang perlahan menjauhi kompor listrik di hadapan.Baru saja dia berbalik badan, saat tiba-tiba dikejutkan dengan kehadiran sosok pria di ambang pintu.Seketika saja suara jerit keterkejutan bercampur takut lolos dari bibir mungilnya.“Apa yang kau lakukan di sana? Diam-diam mengawasi layaknya pria aneh,” geram Camellia sembari beringsut ke sudut dapur.Mendapati itu, ujung bibir pria itu pun berkedut, menahan diri agar tidak tersenyum.“Aku hanya tertarik dengan kegiatanmu yang hendak membakar dapurku,” balas Hagen yang seketika mendapat lemparan delikan.Di
“Siapa yang memukulmu?”Tiba-tiba saja Camellia bertanya setelah menelan sesuap sup hangat yang Hagen pesan dari restaurant di sekitar.Kini, keduanya duduk saling berhadapan di meja makan. Tidak terlihat tanda-tanda dapur yang tadi berantakan, bahkan semua tampak mengkilap, membuat Camellia bertanya-tanya bagaimana cara pria itu melakukan semuanya dalam waktu yang singkat.Melihat arah pandang gadis itu yang menyapu seluruh ruangan dapur, Hagen pun tersenyum simpul.“Aku meminta seseorang membersihkannya.”Jawaban pria itu membuat kepala Camellia pun melirik ke arahnya.“Apa kau pikir, aku akan melakukan semua ini sendiri? Yang benar saja, Princess, aku bahkan tidak pernah memegang pembersih kaca seumur hidupku.”Delikan yang gadis itu berikan malah semakin membuat Hagen menatapnya geli.“Dan untuk pertanyaanmu, luka ini berasal dari pembelaan harga diri. Dan aku membalas orang itu den
Mata Camellia membulat begitu dia mendapati ada banyak tumpukan baju yang berasal dari rumah sudah berpindah ke dalam lemari pakaian pria itu. Dengan tangan mengepal, menahan amarah, gadis itu pun keluar dari kamar hanya untuk mendapati apartemen itu telah kosong. Lagi-lagi pria itu meninggalkannya sendiri seperti kemarin. “Apa yang sebenarnya kau rencanakan?” umpat Camellia sembari mencari-cari ponselnya yang entah bagaimana hilang tanapa jejak. Gadis itu mencari ke setiap sudut ruangan, tetapi tidak ada ponsel atau apa pun di sana, membuatnya sangat marah. “Arrrrgh, aku ingin keluar, siapa pun di luar sana, biarkan aku keluar!” Telapak tangan Camellia menepuk-nepuk pintu, berharap ada seseorang di luar sana yang mendengarkan, namun setinggi apa pun suara jeritnya, tetap saja tidak ada yang mengetuk pintu untuk memeriksa keadaannya. Namun, mengingat bahwa Hagen adalah pria yang tidak akan meninggalkannya sendirian tanpa pengwasan, Cam
Di hari ke dua setelah pria itu tidak ada, Camellia pun dikejutkan dengan sosok Brandon yang tengah duduk di sofa.Langkah gadis itu saat menuruni tangga seketika terhenti, dan dengan tatapan bertanya, dia menatap sekitar. Berharap Hagen muncul secara tiba-tiba dari mana saja. Namun, setelah memandangi Brandon yang tampak duduk sendirian di sofa, keyakinan Camellia pun akan kehadiran Hagen sirna.Dia tidak mengira bahwa pria itu meninggalkannya sendiri di apartemen. Itu artinya sudah jalan lima hari dia terkurung di dalam tempat itu.“Apa kau datang sendirian?” tanya Camellia begitu mendekati sofa di mana Brandon duduk termenung menatap keluar jendela.Seketika kepala pria itu pun menoleh ke arahnya dan dengan senyum simpul dia mengiyakan.
Mata Camellia menatap ke luar jendela kamar dengan pandang datar. Meskipun secangkir cokelat hangat berada dalam genggamannya, dia masih merasa kedinginan. Pandangan gadis delapan belas itu terfokus pada butiran air hujan yang menempel pada kaca jendela. Matanya mengikuti pergerakan tetesan-tetesan hujan yang jatuh perlahan ke bawah. Dia menghela napas berat dan menyesap cokelat panas tersebut setelah beberapa saat. Namun, suara dering ponsel memecah fokusnya seketika. Kepala gadis itu menoleh ke sumber suara, pada benda pipih yang tergeletak di atas meja. Awalnya dia enggan untuk melihat, tapi mengingat ayahnya di rumah sakit, dengan cepat Camellia berjalan ke sana. Tapi, dia merasa kecewa saat mendapati nomor Brandonlah
Bukannya merasa terkesan, gadis itu malah menatap Hagen seolah dia pria aneh.“Layang-layang my ass,” gumam Camellia sembari meninggalkan pria itu.Tahu bahwa Hagen akan terus mengikuti, dia pun terus berjalan tanpa perlu menoleh atau memeriksa sejauh mana jarak mereka saat ini.Bahkan ketika pria itu memanggil, Camellia dengan sengaja menulikan diri.“Princess, kurasa kita butuh sesuatu untuk berlindung dari panas matahari.”Diam-diam
Bibir Camellia terasa kebas, dia bahkan tidak bisa menjauhkan jemarinya dari sana dan terus mengusap-ngusapnya lembut. Sementara itu, matanya menatap kosong pada cermin yang memantulkan wajahnya yang tidak lagi memar seperti beberapa waktu lalu. Dari balik manik mata jernihnya muncul bayangan kejadian sore ini di depan pintu rumah. Dia tampak tenggelam hingga tidak mendengar suara bell yang berbunyi, pertanda seseorang hendak bertamu ke sana. Namun, setelah beberapa waktu, gadis itu dikejutkan dengan suara dering ponsel dari arah ranjang. “Ugh!” geramnya begitu tersadar kemana arah pikirannya saat ini. Setelah menarik napas dalam-dalam dan mengipas wajah yang merona tiba-tiba, barulah Camellia berdiri dan berjalan menuju benda pipih yang kini berbunyi nyaring memanggil-mangg
Hagen mengusap pipi Camellia menggunakan tisu yang berasal dari atas meja dengan gerakan penuh kelembutan. Meskipun gadis itu terus menangis hingga air matanya luruh tanpa henti, pria itu tetap sabar menghapus jejak tangis di pipi.Suara sesenggukan gadis itu mengisi ruangan, dan Hagen pun membiarkan sembari terus menenangkan dengan menyentuh pergelangan tangan feminim itu. Ujung jemarinya mengusap punggung tangan Camellia pelan, sedang tangan satunya membersihkan pipi gadis tersebut.“Ayah,” tangis Camellia, tanpa peduli akan kehadiran pria asing di hadapan.Mendengarnya terus memanggil sosok pria yang menghancurkan kehidupan gadis itu dalam satu malam, Hagen terpaku. Dia tidak mengerti mengapa Camellia sangat peduli pada pria tersebut, tetapi dia hanya bisa menyimpan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri.
Camellia baru saja terbangun, dan dirinya menatap puas dengan pandangan berbinar pada pria yang masih terlelap di samping tempatnya berbaring. Dengan ujung jemari yang menari-nari di atas kulit telanjang pada punggung pria itu, Camellia mencoba menahan diri agar tidak tertawa, terutama ketika Hagen menggumamkan sesuatu di dalam tidurnya. Tahu bahwa dia hanya akan membangunkan singa yang lapar, Camellia memilih untuk segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah beberapa waktu kemudian, Hagen tampak masih tertidur dengan posisinya semula, sehingga Camellia membiarkannya dan terus melangkah ke arah balkon. Gadis itu tampak menikmati semilir angin pagi yang menyuguhkan pemandangan hutan beton di hadapan. Sembari menyeduh susu cokelat hangat, tatapan Camellia tertuju pada arakan langit cerah yang memenuhi kota New York. Dia hendak menyesap minumnya kembali, saat tiba-tiba sepasang tangan kekar memeluk dari arah belakang. “Morning, Princess,” sapa Hagen, s
Saat Ini, di Luna Star Hotel. Honeymoon On New York.Di salah satu kamar Luna Star Hotel, ditemani cahaya remang-remang. Aroma kopi yang maskulin dan wangi mawar yang berpadu. Camellia menatap punggung lebar dan kokoh yang membelakanginya dengan desah napas yang teratur.Otot-otot liat itu menggoda mata Camellia untuk tidak berpaling sedikit pun. Namun, bukan itu yang membuat Camellia masih terjaga kendati jam dinding mewah yang tergantung di depan pintu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.Matanya belum perpaling ketika punggung kokoh serupa Dewa Yunani itu berbalik dengan sepasang mata yang menghunjam Camellia. Warna hitam obsidian yang bersinar itu menatap langsung ke arah bola mata Camellia.Dia tidak mampu mengontrol detak jantungnya yang berdesir cepat ketika Hagen memamerkan senyum tipis yang menghiasi wajah rupawannya tersebut.“Mengapa kau belum juga tidur?” Suara parau yang berat dan dalam itu seolah menyedot semua akal sehat Camellia.Camellia tidak mampu menjawab. Tubuhnya
Camellia tidak tahu harus melakukan apa dalam situasinya saat ini, sehingga dia hanya mendengarkan suara hangat pria itu yang kini menggelitik telinganya.“Cukup anggukan kepalamu jika kau setuju.”Mendengar instruksinya, Camellia pun mengangguk cepat.Jelas sekali bahwa gadis itu tengah ketakutan.Menyadari hal itu, pria yang kini membekapnya pun tampak berusaha menenangkan.“Sssttt … aku tidak berniat melukaimu. Yang aku butuhkan hanya bantuan.”Seketika, Camellia pun menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan mata untuk menenangkan diri. Ketika dia dapat mengontrol rasa takut yang sempat menguasai, gadis itu mengangguk samar dan pelan. Tetapi, tetap saja pria bersuara maskulin yang menenangkan di balik punggungnya tidak melepaskan bekapan tangan dari mulutnya.“Seseorang tengah mengincar keberadaanku, dan jika kau bisa menyembunyikanku sampai supirku tiba, maka aku akan melakukan apa saja untuk melindungimu di masa mendatang.”Mendengar penjelasannya, tanpa Camellia sadari, manik
Beberapa Minggu setelah pertemuan dengan Jeff, Camellia tampak lebih berhati-hati dengan sekitar.Sesekali gadis itu merasakan seseorang tengah mengikutinya, dan hal itu semakin membuat Camellia merasa tidak aman jika jalan sendirian, walaupun hanya sekedar melakukannya di lingkungan sekolah yang ramai oleh lalu-lalang siswa lainnya.Camellia lebih memilih untuk mengajak Bella agar dapat menemaninya kemanapun dia pergi. Hal ini tentu saja membuat gadis enam belas tahun itu bertanya-tanya akan perubahan sikapnya.“Ada apa denganmu? Mengapa kau terlihat seperti orang yang ingin menyembunyikan diri, Lia?”Mendengar itu, kepala Camellia pun menggeleng samar.Akhir-akhir ini dia lebih banyak diam, terutama setelah acara pentas seni, dimana sang ayah tidak menghadiri undangan yang telah Camellia berikan pada butler keluarganya.Dia tidak tahu dimana letak kesalahannya. Padahal kehadiran ayahnya sangat Camellia tunggu waktu itu.Dan, sepulang dari acara pentas seni, dia pun menanyakan alasan
Lancester, Tiga Setengah Tahun yang lalu.Camellia baru saja pulang dari sekolah, saat tiba-tiba salah satu butler menyambutnya dengan wajah sedikit masam. Jelas sekali, terjadi sesuatu sehingga membuat seisi rumah menjadi sangat tidak bersahabat dan bersitegang.Mendapati keadaan itu, Camellia pun melirik kembali pada jajaran mobil mewah yang terparkir di halaman.Biasanya, sang ayah; Edgar Duncan, selalu mengundang beberapa orang paling berpengaruh di Lancester dan Denver untuk mengadakan rapat bulanan yang selalu diadakan di rumah mereka.Pemandangan mobil mewah memenuhi parkiran bukanlah hal yang asing baginya. Namun, gadis muda itu tampak khawatir, karena setiap kali pertemuan itu dilaksanakan, pasti ada saja sesuatu yang janggal terjadi.Misalnya beberapa bulan lalu, salah satu anggota parlemen di Lancester menghilang secara misterius, dan keluarga dari parlemen tersebut tidak lagi terdengar kabarnya seminggu kemudian. Dan, Camellia tahu penyebabnya, tidak lain adalah rahasia di
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Hagen dan Camellia, yang kini berdansa di tengah-tengah ballroom yang dipenuhi oleh orang-orang terdekat mereka. Tidak hanya itu, beberapa orang berpengaruh di Lancester dan juga Denver tampak berkumpul di bawah atap yang sama, menari, berbicara dan tertawa dengan siapa saja yang mereka temui di Kastil Petunia.Camellia yang tampak sangat cantik dengan gaun satin berwarna putih, memahat sempurna pada lekuk tubuh feminimnya, hingga mampu membuat mata Hagen berbinar hanya dengan menatapnya.Pria itu bahkan tidak bisa menjauhkan tangannya dari pinggang ataupun jemari lentik gadis itu.Jelas sekali, keduanya hanyut dalam dansa dengan melody lambat di bawah lampu kristal yang menghiasi langit-langit ballroom.Sementara itu, tidak jauh dari keduanya, Erlinda dan Cintya yang juga berdandan cantik dengan gaun berwarna pastel senada, tampak mengagumi pasangan berdansa yang berada di tengah-tengah ruangan.“Ahhhh … aku benar-benar menginginkan pernikah
Petunia tidak seperti hari-hari biasa. Kini, kastil megah itu dihiasi oleh berbagai rangkaian bunga yang menghiasi setiap dinding, meja, dan sudut-sudut ruangan. Bahkan, dengan sangat spesifik, Hagen memesan beberapa jenis bunga atas saran dari Jaxon Bradwood.Tentu saja hal itu dikarenakan mereka menghindari insiden di masa lalu, dimana pernikahan Jaxon berakhir bencana akibat Mia alergi bunga Snow on Mountain. Dengan sangat hati-hati, orang-orang yang bekerja di Kastil Petunia pun memilah dan mengawasi setiap bunga yang datang sebelum menyebarkannya di beberapa tempat.Frank bahkan tampak lebih sibuk dari biasanya.Kini, stelan hitam pria itu dilengkapi alat komunikasi yang terpasang di telinga.Dan dengan mata elangnya yang mengawasi jalannya persiapan, Frank memberi sedikit instruksi di sana sini pada penjaga kastil yang berkeliling dari satu ruang ke ruang lainnya.Sementara itu, Erlinda tampak sibuk menyiapkan beberapa kamar untuk setiap tamu yang akan menginap. Begitu pula deng
Hagen menemani Camellia saat mengunjungi Edgar Duncan di rumah sakit. Dengan perasaan yang berat, Hagen menyadari bahwa pria tua di hadapannya benar-benar tidak memiliki harapan untuk umur panjang, membuat pandangannya jatuh pada Camellia yang tampak setia menunggu sang ayah yang terbaring layaknya tubuh tanpa nyawa dengan bantuan penunjang kehidupan di atas tempat tidur.Tanpa sedikit pun mengganggu gadis itu, Hagen bergegas keluar dari ruangan dan memilih duduk di salah satu rangkaian kursi tunggu, yang berada tepat di depan ruang perawatan Edgar Duncan.Sesekali Hagen menarik napas sembari menengadah pada langit-langit lorong rumah sakit.Saat itulah dia menyadari bahwa dirinya tidak mungkin menyembunyikan keberadaan bayi mungil yang kini diberikan pada Danny Johanson.Cepat atau lambat, Camellia harus mengetahui keberadaan bayi itu. Meskipun keduanya tidak berhubungan darah, tetapi Talia Duncan tetaplah adik bagi Camellia. Dan, tidak mungkin dia akan diam saja saat mengetahui sem
“Kau sudah membawa semuanya?” tanya Hagen pada Frank begitu dirinya tiba di Petunia.Setelah meninggalkan Denver, Hagen memutuskan untuk meminta bawahannya agar mengantarkan Camellia kembali ke rumah. Dan mereka pun tiba dalam waktu terpisah.“Aye, Boss,” jawab Frank diikuti anggukan. “Nyonya ada di dalam kamar. Beristirahat,” ujar Frank, yang segera merubah panggilannya pada Camellia.Dalam waktu sangat singkat, kabar pernikahan keduanya pun menghebohkan para pelayan di Kastil Petunia. Bahkan, tidak sedikit yang merayakan bergabungnya nyonya baru di sana. Setidaknya, Hagen telah memilih wanita yang tepat, dan bukannya wanita seperti Irene yang pasti akan menyiksa para pelayan.“Aku meminta Jaxon untuk mengurus Alfred,” ucap Hagen secara tiba-tiba, yang tentu saja membuat Frank mengerti akan maksudnya.Kepala keamanan Petunia itu tampak mengangguk paham dan setelahnya berdeham pelan.“Aku akan datang ke kediaman Ryder untuk memberikan kabar.”Mendengar ucapan bawahannya itu, Hagen tid