Manik obsidian Blake Hagen jatuh pada sosok wanita yang tengah meringkuk di atas lantai. Perlahan-lahan mata itu pun beralih pada sosok wanita berambut blonde yang berdiri kaku tidak jauh darinya. Seketika saja wajah Hagen mengeras, dengan rahang mengetat dan pandangan tajam ke arah sosok wanita yang mulai mengiba.
“Blake,” panggil wanita berambut blonde itu dengan suara bergetar.
Mendengar namanya keluar dari mulut wanita tersebut, manik matanya pun menyala merah.
“Jangan memanggilku dengan nama itu,” desisnya tajam. “Sejak aku memintamu untuk tidak menginjakkan kaki di Petunia, kau tidak berhak menyebut namaku.”
Semua orang yang mengenal sosoknya sangat memahami bahwa nama ‘Blake’ tidak bisa disebut oleh sembarangan orang. Itu sebabnya, saat pertama kali Hagen berkenalan dengan Camellia, dia memberikan nama itu secara cuma-cuma. Bukan tanpa alasan.
Dan kini, ketika dia mendapati Camellia meringkuk d
“Apa kau sudah lebih baik?” tanya Hagen pada Camellia yang hendak berdiri dari ranjang.Setelah pemeriksaan yang dilakukan Timothy, Hagen memutuskan untuk membawa gadis itu kembali ke hotel. Dia tidak ingin mengambil resiko dengan membiarkannya tetap di rumah sakit. Lagipula, dia juga tidak ingin berpisah terlalu lama. Dan rumah sakit bukan tempat yang dapat memberinya kebebasan untuk melakukan lovey dovey pada gadis itu.Meskipun saat tadi Timothy sempat memarahi, karena tahu dirinya sudah melanggar ucapan dokter muda itu.“Berapa kali harus kukatakan, agar tidak menidurinya saat usia kehamilannya masih sangat muda, Hagen!” desis Timothy sembari berbisik dengan suara rendah, agar Camellia tidak mendengar pembicaraan mereka berdua.Dan, seperti yang sudah-sudah, Hagen hanya menanggapi dengan kedikan bahu. Menandakan bahwa dirinya sangat acuh.“Jika terjadi pendarahan, aku akan meminta Jaxon untuk memisahkan gadis itu d
Ketika tiba di parkiran, Hagen pun menurunkan Camellia dari gendongan. Perlahan-lahan dia menaruh gadis itu agar berpijak pada tanah.Tidak jauh dari mereka, terparkir sebuah mobil metallic yang sangat familiar. Namun sayangnya, tidak tampak Frank di sekitar.“Dia sedang mengurus sesuatu,” ucap Hagen, memberitahu Camellia yang terlihat sedang mencari-cari keberadaan bawahannya itu.“Oh,” respon gadis itu, seolah acuh. “Kalau begitu kita akan kembali ke hotel?”Tatapan Camellia terlihat penuh harap, membuat Hagen kembali mengulas senyuman.“Ya, Princess. Aku tidak mungkin membawamu ke klub, karena di jam seperti ini, tempat itu lebih seperti medan perang. Bukan waktu yang tepat untuk bersenang-senang.”Dia tidak ingin menjelaskan apa yang terjadi di markas Red Cage bila sudah melewati tengah malam, karena wanita seperti Camellia tidak perlu untuk mengetahuinya. Gadis itu terlalu polos dengan keh
Ketenangan yang biasanya Hagen tunjukkan, kini seolah sirna. Pria itu tampak kehilangan kendali akan emosinya yang mulai memuncak. Dengan pembawaan yang resah, segera Hagen mengeluarkan ponsel dan menghubungi beberapa pria. Orang kedua yang menjadi tujuan panggilannya adalah Jaxon Bradwood. Dia tidak peduli, apakah Jaxon masih tertidur pulas, karena kepala Hagen hanya dipenuhi oleh kecemasan akan situasi yang dihadapi. Begitu panggilan pada ponsel dalam genggaman tersambung, yang terdengar adalah suara serak Jaxon ketika bangun tidur. “Ada apa kau menghubungi di jam seperti ini?” geram pria itu sembari bersungut-sungut kesal, karena dia paling benci dibangunkan saat terlelap. Hagen yang tangannya bergetar terlihat mengusap wajah dan menyisir rambut dengan satu tangan. Dia menggigit ujung bibirnya hingga terasa amis darah di dalam mulut. “Aku butuh bantuan,” ucapnya, mencoba menekan emosi yang hendak
Irene berjalan sedikit tertatih saat keluar dari mobil. Dia memeluk diri sembari menundukkan kepala, menyembunyikan sisa-sisa tangis yang tadinya pecah. Wanita muda itu meninggalkan taxi, dan tidak sedikitpun memerhatikan sekitar. Karena kepalanya dipenuhi oleh rasa kecewa, amarah dan sedih secara bersamaan. Dengan kedua tangan berada di tengah-tengah tubuh, wanita itu pun terus berjalan memasuki halaman sebuah rumah penginapan yang dirinya sewa selama beberapa hari belakangan. Langkahnya pun terhenti di anakan tangga, sedangkan tatapannya yang kosong menatap daun pintu. Cukup lama gadis itu berdiam, sembari sesekali menarik napas dengan mata terpejam sesaat. “Hhh...,” helanya berat. Tampak jelas raut wajahnya dipenuhi pikiran yang berkelebat. Setelah mengambil waktu untuk menenangkan diri, Irene pun melanjutkan langkah kembali. Namun, baru saja dia tiba di beranda, saat pintu di hadapannya terbuka secara tiba-tiba dan menampilkan sosok Hestia yang bermimik marah. “Aku menghub
Pagi itu, Irene yang masih terbaring di kasur dengan mata menatap nyalang pada langit-langit kamar, tampak tenggelam dengan pikirannya. Sejak semalam, wanita muda itu kesulitan memejamkan mata. Dia bahkan harus meminum obat tidur jika ingin terlelap, tetapi malam tadi dia memutuskan untuk terjaga sebagai bentuk penghukuman pada diri. Masih sangat jelas dalam ingatannya, Kata-kata yang Jaxon Bradwood berikan sesaat setelah dirinya diseret ke sebuah ruangan. Jauh dari keramaian pesta di compound. Di sebuah ruangan kedap suara yang diisi enam pria tampan dari Red Cage, Irene dapat merasakan aura kemarahan dari mereka semua. Terlebih lagi, pria bernama Jaxon tampak sangat ingin melumatnya saat itu juga, membuat Irene tanpa sadar menundukkan wajah untuk menghindari mata mereka bertabrakan. “Aku sudah mendengar bahwa kau selalu membuat masalah untuk Camellia,” ucap Jaxon, mengejutkan Irene dengan suara berat baritonnya yang tinggi. Dengan sedikit gugup, Irene pun menatap pria itu seben
Kesadaran Irene kembali sepenuhnya, dan matanya membelalak ketika dia memasuki ruang tengah yang menampilkan sebuah pemandangan mengerikan. Di mana, tepat di tengah-tengah ruangan terlihat Hestia terbaring tidak sadarkan diri di atas lantai. Sedangkan, tidak jauh dari tempat wanita itu, terdapat seorang pria yang berdiri dengan satu tangan memegang senjata api, sementara satu tangannya yang lain berada di saku celana. Saat itulah Irene berteriak keras, dan menarik perhatian beberapa kepala di dalam ruangan. “Sumpal mulutnya, Copper,” ucap salah seorang pria dengan jas hitam formal yang membalut tubuh. Mendengar perintah tersebut, Irene pun mundur ke belakang dengan kepala menatap sekitar. Dia tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, serta alasan mengapa sang Bibi tergeletak di lantai dalam posisi setengah meringkuk dan membelakangi dirinya. Hal itu menyulitkan Irene untuk mengetahui kondisi bibinya saat ini. Oleh karena itu, fokusnya kembali pada pria-pria asing dalam ruanga
Suara bising pembicaraan dari luar sebuah kamar tertutup membangunkan Irene yang saat itu terbaring di atas lantai. Kelopak mata wanita muda itu bergerak hendak membuka, dan ketika suara-suara tersebut semakin ribut, akhirnya Irene dapat terjaga sepenuhnya. Kepala wanita tersebut bergerak pelan ke arah pintu, dan rasa dingin seketika menyergap kulit, membuatnya sedikit menggigil sembari memeluk diri. Tanpa sadar, kedua kakinya pun melipat, hingga membentuk angka lima. “Apa kau yakin mereka akan baik-baik saja?” Terdengar suara seorang pria yang bertanya dari luar pintu. Yang terang saja membuat Irene menajamkan pendengaran. “Tentu, kenapa kau bertanya seperti itu?”Irene mengerutkan dahi ketika mendengar jawaban tersebut. Dia hendak meminta minum, begitu merasakan kering pada mulutnya. Namun, suaranya kembali tertahan saat mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Lebih baik dia mati kehausan, dibandingkan harus bertemu pria-pria dengan senjata yang tidak akan segan membunuh ataupun
Mulut Camellia menganga, tampak terkejut dengan perkataan Irene barusan.Ketika kesadarannya kembali, barulah dia dapat mencerna ucapannya tersebut. Dengan mulut yang membuka dan menutup, serta kelopak mata mengedip pelan, gadis itu terlihat terkejut bercampur tidak percaya. Bahkan, dia sampai kehabisan kata-kata, hingga lidahnya terasa kelu.Sementara itu, Irene yang masih bersandar di dekat kaki kursi tampak tersenyum sinis. Seolah-olah puas akan reaksi yang dia dapatkan. Bahkan, senyumnya semakin lebar, menunjukkan barisan gigi yang rapih dan putih.“A-apa maksudmu dengan … memberitahumu tentang kehamilanku? Memangnya, siapa yang hamil?” tanya Camellia, sedikit tergagap.Dari cara Irene memandangnya, dia tahu bahwa wanita itu berkata sesuatu hal yang benar.Tetapi, mungkinkah?Seketika saja tangan Camellia berontak dari ikatan pada sisi-sisi pegangan kursi. Dia hendak memastikan sesuatu, tetapi rasa tidak percaya mulai menguasai, sehingga tanpa sadar rontahannya semakin kuat hingga
Camellia baru saja terbangun, dan dirinya menatap puas dengan pandangan berbinar pada pria yang masih terlelap di samping tempatnya berbaring. Dengan ujung jemari yang menari-nari di atas kulit telanjang pada punggung pria itu, Camellia mencoba menahan diri agar tidak tertawa, terutama ketika Hagen menggumamkan sesuatu di dalam tidurnya. Tahu bahwa dia hanya akan membangunkan singa yang lapar, Camellia memilih untuk segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah beberapa waktu kemudian, Hagen tampak masih tertidur dengan posisinya semula, sehingga Camellia membiarkannya dan terus melangkah ke arah balkon. Gadis itu tampak menikmati semilir angin pagi yang menyuguhkan pemandangan hutan beton di hadapan. Sembari menyeduh susu cokelat hangat, tatapan Camellia tertuju pada arakan langit cerah yang memenuhi kota New York. Dia hendak menyesap minumnya kembali, saat tiba-tiba sepasang tangan kekar memeluk dari arah belakang. “Morning, Princess,” sapa Hagen, s
Saat Ini, di Luna Star Hotel. Honeymoon On New York.Di salah satu kamar Luna Star Hotel, ditemani cahaya remang-remang. Aroma kopi yang maskulin dan wangi mawar yang berpadu. Camellia menatap punggung lebar dan kokoh yang membelakanginya dengan desah napas yang teratur.Otot-otot liat itu menggoda mata Camellia untuk tidak berpaling sedikit pun. Namun, bukan itu yang membuat Camellia masih terjaga kendati jam dinding mewah yang tergantung di depan pintu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.Matanya belum perpaling ketika punggung kokoh serupa Dewa Yunani itu berbalik dengan sepasang mata yang menghunjam Camellia. Warna hitam obsidian yang bersinar itu menatap langsung ke arah bola mata Camellia.Dia tidak mampu mengontrol detak jantungnya yang berdesir cepat ketika Hagen memamerkan senyum tipis yang menghiasi wajah rupawannya tersebut.“Mengapa kau belum juga tidur?” Suara parau yang berat dan dalam itu seolah menyedot semua akal sehat Camellia.Camellia tidak mampu menjawab. Tubuhnya
Camellia tidak tahu harus melakukan apa dalam situasinya saat ini, sehingga dia hanya mendengarkan suara hangat pria itu yang kini menggelitik telinganya.“Cukup anggukan kepalamu jika kau setuju.”Mendengar instruksinya, Camellia pun mengangguk cepat.Jelas sekali bahwa gadis itu tengah ketakutan.Menyadari hal itu, pria yang kini membekapnya pun tampak berusaha menenangkan.“Sssttt … aku tidak berniat melukaimu. Yang aku butuhkan hanya bantuan.”Seketika, Camellia pun menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan mata untuk menenangkan diri. Ketika dia dapat mengontrol rasa takut yang sempat menguasai, gadis itu mengangguk samar dan pelan. Tetapi, tetap saja pria bersuara maskulin yang menenangkan di balik punggungnya tidak melepaskan bekapan tangan dari mulutnya.“Seseorang tengah mengincar keberadaanku, dan jika kau bisa menyembunyikanku sampai supirku tiba, maka aku akan melakukan apa saja untuk melindungimu di masa mendatang.”Mendengar penjelasannya, tanpa Camellia sadari, manik
Beberapa Minggu setelah pertemuan dengan Jeff, Camellia tampak lebih berhati-hati dengan sekitar.Sesekali gadis itu merasakan seseorang tengah mengikutinya, dan hal itu semakin membuat Camellia merasa tidak aman jika jalan sendirian, walaupun hanya sekedar melakukannya di lingkungan sekolah yang ramai oleh lalu-lalang siswa lainnya.Camellia lebih memilih untuk mengajak Bella agar dapat menemaninya kemanapun dia pergi. Hal ini tentu saja membuat gadis enam belas tahun itu bertanya-tanya akan perubahan sikapnya.“Ada apa denganmu? Mengapa kau terlihat seperti orang yang ingin menyembunyikan diri, Lia?”Mendengar itu, kepala Camellia pun menggeleng samar.Akhir-akhir ini dia lebih banyak diam, terutama setelah acara pentas seni, dimana sang ayah tidak menghadiri undangan yang telah Camellia berikan pada butler keluarganya.Dia tidak tahu dimana letak kesalahannya. Padahal kehadiran ayahnya sangat Camellia tunggu waktu itu.Dan, sepulang dari acara pentas seni, dia pun menanyakan alasan
Lancester, Tiga Setengah Tahun yang lalu.Camellia baru saja pulang dari sekolah, saat tiba-tiba salah satu butler menyambutnya dengan wajah sedikit masam. Jelas sekali, terjadi sesuatu sehingga membuat seisi rumah menjadi sangat tidak bersahabat dan bersitegang.Mendapati keadaan itu, Camellia pun melirik kembali pada jajaran mobil mewah yang terparkir di halaman.Biasanya, sang ayah; Edgar Duncan, selalu mengundang beberapa orang paling berpengaruh di Lancester dan Denver untuk mengadakan rapat bulanan yang selalu diadakan di rumah mereka.Pemandangan mobil mewah memenuhi parkiran bukanlah hal yang asing baginya. Namun, gadis muda itu tampak khawatir, karena setiap kali pertemuan itu dilaksanakan, pasti ada saja sesuatu yang janggal terjadi.Misalnya beberapa bulan lalu, salah satu anggota parlemen di Lancester menghilang secara misterius, dan keluarga dari parlemen tersebut tidak lagi terdengar kabarnya seminggu kemudian. Dan, Camellia tahu penyebabnya, tidak lain adalah rahasia di
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Hagen dan Camellia, yang kini berdansa di tengah-tengah ballroom yang dipenuhi oleh orang-orang terdekat mereka. Tidak hanya itu, beberapa orang berpengaruh di Lancester dan juga Denver tampak berkumpul di bawah atap yang sama, menari, berbicara dan tertawa dengan siapa saja yang mereka temui di Kastil Petunia.Camellia yang tampak sangat cantik dengan gaun satin berwarna putih, memahat sempurna pada lekuk tubuh feminimnya, hingga mampu membuat mata Hagen berbinar hanya dengan menatapnya.Pria itu bahkan tidak bisa menjauhkan tangannya dari pinggang ataupun jemari lentik gadis itu.Jelas sekali, keduanya hanyut dalam dansa dengan melody lambat di bawah lampu kristal yang menghiasi langit-langit ballroom.Sementara itu, tidak jauh dari keduanya, Erlinda dan Cintya yang juga berdandan cantik dengan gaun berwarna pastel senada, tampak mengagumi pasangan berdansa yang berada di tengah-tengah ruangan.“Ahhhh … aku benar-benar menginginkan pernikah
Petunia tidak seperti hari-hari biasa. Kini, kastil megah itu dihiasi oleh berbagai rangkaian bunga yang menghiasi setiap dinding, meja, dan sudut-sudut ruangan. Bahkan, dengan sangat spesifik, Hagen memesan beberapa jenis bunga atas saran dari Jaxon Bradwood.Tentu saja hal itu dikarenakan mereka menghindari insiden di masa lalu, dimana pernikahan Jaxon berakhir bencana akibat Mia alergi bunga Snow on Mountain. Dengan sangat hati-hati, orang-orang yang bekerja di Kastil Petunia pun memilah dan mengawasi setiap bunga yang datang sebelum menyebarkannya di beberapa tempat.Frank bahkan tampak lebih sibuk dari biasanya.Kini, stelan hitam pria itu dilengkapi alat komunikasi yang terpasang di telinga.Dan dengan mata elangnya yang mengawasi jalannya persiapan, Frank memberi sedikit instruksi di sana sini pada penjaga kastil yang berkeliling dari satu ruang ke ruang lainnya.Sementara itu, Erlinda tampak sibuk menyiapkan beberapa kamar untuk setiap tamu yang akan menginap. Begitu pula deng
Hagen menemani Camellia saat mengunjungi Edgar Duncan di rumah sakit. Dengan perasaan yang berat, Hagen menyadari bahwa pria tua di hadapannya benar-benar tidak memiliki harapan untuk umur panjang, membuat pandangannya jatuh pada Camellia yang tampak setia menunggu sang ayah yang terbaring layaknya tubuh tanpa nyawa dengan bantuan penunjang kehidupan di atas tempat tidur.Tanpa sedikit pun mengganggu gadis itu, Hagen bergegas keluar dari ruangan dan memilih duduk di salah satu rangkaian kursi tunggu, yang berada tepat di depan ruang perawatan Edgar Duncan.Sesekali Hagen menarik napas sembari menengadah pada langit-langit lorong rumah sakit.Saat itulah dia menyadari bahwa dirinya tidak mungkin menyembunyikan keberadaan bayi mungil yang kini diberikan pada Danny Johanson.Cepat atau lambat, Camellia harus mengetahui keberadaan bayi itu. Meskipun keduanya tidak berhubungan darah, tetapi Talia Duncan tetaplah adik bagi Camellia. Dan, tidak mungkin dia akan diam saja saat mengetahui sem
“Kau sudah membawa semuanya?” tanya Hagen pada Frank begitu dirinya tiba di Petunia.Setelah meninggalkan Denver, Hagen memutuskan untuk meminta bawahannya agar mengantarkan Camellia kembali ke rumah. Dan mereka pun tiba dalam waktu terpisah.“Aye, Boss,” jawab Frank diikuti anggukan. “Nyonya ada di dalam kamar. Beristirahat,” ujar Frank, yang segera merubah panggilannya pada Camellia.Dalam waktu sangat singkat, kabar pernikahan keduanya pun menghebohkan para pelayan di Kastil Petunia. Bahkan, tidak sedikit yang merayakan bergabungnya nyonya baru di sana. Setidaknya, Hagen telah memilih wanita yang tepat, dan bukannya wanita seperti Irene yang pasti akan menyiksa para pelayan.“Aku meminta Jaxon untuk mengurus Alfred,” ucap Hagen secara tiba-tiba, yang tentu saja membuat Frank mengerti akan maksudnya.Kepala keamanan Petunia itu tampak mengangguk paham dan setelahnya berdeham pelan.“Aku akan datang ke kediaman Ryder untuk memberikan kabar.”Mendengar ucapan bawahannya itu, Hagen tid