DIRAJA
Diraja tersedak ketika Ambar dengan entengnya berbicara seperti demikian kepada Reinhard. Dia tak tahu apakah harus tertawa takjub atau mengomel karena sikap passive aggressive Ambar tentang ‘partner’ yang biasa dibawa ke restoran ini.
Memang benar dia suka membawa Michelle untuk fine dining di Blanchette French Restaurant ini. Sebuah kelalaian dari Diraja, dan kini dia merasa bodoh dengan keputusan spontannya tersebut.
Makanya untuk menutupi keterkejutannya–dan kebodohannya, Diraja bertanya dengan tajam kepada Ambar.
“Tapi tunggu dulu…” Ambar menggelengkan kepalanya sejenak. “Rasanya jika pernikahan ini kuserahkan kepadamu, akan tidak adil untukku. Kan Mas Diraja yang mendapat keuntungan dari pernikahan kita, jadi memang seharusnya pernikahan ini dibuat sesuai keinginanku, sebagai hadiah penghiburan untukku. Aku harus meralat ucapanku tadi,” ujar Ambar menegasikan narasinya sendiri. Diraja mengernyitkan dahinya. Mencoba mengikuti ke mana arah pikiran calon tunangannya ini. “Ya sudah, kamu janji ya Mas Diraja, apapun konsep yang kuinginkan, kamu tetap harus mendukungnya!” Ambar menagih janjinya. Diraja membuka mulutnya untuk menolak mentah-mentah permintaan Ambar yang cenderung penuh pemaksaan. Seperti membeli kucing dalam karung. Sulit baginya untuk menyetujui perjanjian ini tanpa dia tahu apa saja persyaratan yang ada dibaliknya. “Tapi–” Diraja ingin membantahnya, namun dia terdiam sejenak. Tidak bisa! Dia perlu sikap kooperatif Ambar dalam rencana pernikahan mereka. Jika belum apa-apa d
DIRAJASetelah drama yang terjadi di restoran Prancis kemarin malam, dan setelah Diraja memastikan Ambar kembali ke rumahnya dengan selamat. Diraja beranjak kembali kembali ke apartemennya dan merebahkan diri untuk beristirahat. Ada pertempuran lainnya yang harus dilaksanakan esok hari. Bertemu dengan keluarga Ambar dan meyakinkan mereka untuk menyetujui lamaran Diraja kepada anak mereka, Ambar. Tidurnya malam ini pun tak nyenyak jujur saja. Semalam dia ragu-ragu ingin menghubungi Michelle untuk mengecek keadaannya pasca mereka putus. Tapi sekelebat ingatan tentang bagaimana Michelle dengan tegarnya mengatakan kalau dia tak ingin berbicara lagi dengan Diraja membuatnya mengurungkan niatnya. Saat bangun tadi pagi pun, Diraja merasakan perasaan gamang yang bersumber dari kebingungannya dengan perasaannya sendiri. Tentu saja dia tak bisa melupakan Michelle begitu saja. Tiga tahun mereka lalui bersama sebagai pasangan kekasih, belum lagi ditambah tahun-tahun ketika mereka berkenalan
Huh? Diraja mengerjapkan matanya dan duduk semakin tegap saat mendengar penuturan spontan Ambar yang juga mengagetkannya. Apakah gadis ini bicara yang sebenarnya? Atau ini merupakan salah satu cara untuk meyakinkan kedua orang tuanya? Di saat dirinya bersikukuh untuk mengucapkan hal yang sejujurnya–Ambar datang dengan membawa dusta di tengah-tengah prosesi alot diskusi malam ini. Diraja tak tahu apakah dia harus mengetuk kepala Ambar karena sikap spontan dan cerobohnya itu, atau lagi-lagi, harus takjub dengan jalan pikiran sang gadis yang tak bisa ditebak ke mana ujungnya. “Apa kamu bersungguh-sungguh, Ambar?” Suara lembut Amira memecahkan kebisuan. Ambar mengangguk mantap. Tapi Amira mengernyitkan dahinya, “coba bicara dengan menatapku, Ambar!” perintah sang kakak. Ambar menengok ke arah kakak perempuannya dan melemparkan senyum. “Dia tampan, baik, kaya dan juga pintar,” ujar Ambar mencoba menjelaskan alasan kenapa dia bisa jatuh cinta kepada Diraja. Haha! Seharusnya
AMBARHari-hari berputar cepat semenjak Mas Diraja datang ke rumah untuk meminta restu kepada ibu dan bapak. Ternyata semua berjalan lancar dan kedua orang tuanya langsung menurunkan restu kepada Diraja, meskipun tentu saja Ambar juga memegang andil untuk meyakinkan mereka. Ambar sempat berpikir jika bantuan yang diberikan waktu itu bisa menjadi satu kartu AS Ambar untuk bernegosiasi kepada Diraja. Negosiasi tentang apa, mungkin nanti akan Ambar pikirkan lagi. Tapi… dia merasa tumpukan jasanya untuk Diraja semakin bertambah dan sudah pasti akan Ambar cashed out di kemudian hari. Hari ini Diraja mengatur janji agar dia bisa bertemu dengan keluarga Diraja di rumahnya. “Lucu nggak sih, aku pertama kali datang ke rumahmu bukan dikenalkan sebagai pacar, tapi sudah langsung di tahap calon istri,” ujar Ambar sambil terkekeh getir. “Apa yang kita lakukan itu terbalik tahu! Kita bahkan nggak pernah kencan berdua, tahu-tahu sudah bicara persiapan tunangan dan pernikahan.” Ambar menggelengkan
Ambar menerima uluran tangan Diraja dan pria itu segera menggenggam erat tangannya. Membawa Ambar masuk ke dalam kediaman keluarganya. “Kamu nggak akan meninggalkan aku sendirian nanti di sana, bukan?” tanya Ambar dengan ragu. Hatinya kembali berdegup kencang karena memasuki wilayah asing dan juga situasi asing yang tak pernah Ambar temui sebelumnya. “Kita satu tim, Ambar. Aku nggak akan membiarkanmu kesepian malam ini,” jawab Diraja. Rumah megah keluarga Diraja sarat dengan gaya Jawa Kolonial yang fokus kepada barang-barang etnik yang mungkin berumur puluhan tahun. Bergandengan tangan, mereka berjalan melewati foyer dan ruang tamu langsung menuju ruang keluarga. “Diraja?” panggil seseorang dari dalam. Mereka berjalan menuju sumber suara dan ketika mereka sampai di ruang tamu, ruangan sudah berisi beberapa orang. “Bu, aku datang bersama Ambar,” sahut Diraja dengan tenang. Seorang wanita paruh baya seumuran ibunya tersenyum sumringah tatkala melihat mereka tiba. “Oh, akhi
DIRAJA Diraja baru melihat bagaimana wajah kedua orang tuanya begitu sumringah ketika Diraja membawa perempuan ke dalam rumah mereka. Sebelumnya, sudah beberapa kali Diraja membawa mantan kekasihnya ke rumah untuk dikenalkan kepada kedua orang tuanya. Ayah dan ibu tentu saja tersenyum sopan dan menyambut baik perempuan-perempuan yang silih berganti menjadi kekasihnya. Tapi, walaupun mereka sopan, mereka tak pernah memberikan undangan khusus kepada para mantannya untuk datang kembali ke rumah. Jikalau bertemu, lebih sering di restoran privat yang tidak memiliki kelekatan khusus secara emosional. Jika sudah selesai, mereka akan berpisah dan kedua orang tuanya kembali menjalani hidup seperti biasa. Sikapnya bisa dibilang tidak hangat namun
Kamarnya masih sama seperti terakhir kali Diraja kunjungi beberapa bulan lalu jika dia disuruh mampir ke rumah ini oleh ibunya. Kamarnya tetap bersih dan rapi seperti waktu dia tinggali. Masih ada teropong yang dahulu dibelikan ayah ketika Diraja masih kecil. Teropong bintang itu sudah tidak berfungsi banyak sekarang. Terlalu banyak polusi cahaya dan juga polusi udara yang menyelimuti langit Jakarta, jadi teropong itu teronggok di sudut kamarnya yang menghadap balkon jendelanya. Diraja menyalakan lampu dan menunggu hingga Ambar masuk ke dalam sebelum dia menutup pintunya. Suara derit pintu mengagetkan Ambar, membuat gadis itu terlonjak dan menatap bolak-balik ke arah pintu serta dirinya. “Memang perlu banget ditutup seperti itu?” tanya Ambar, rasa khawatirnya tak bisa ditutupi. Nada gadis itu membuat Diraja terkekeh sejenak. He’s not some horny teenager who will make out in his room when his girlfriend visits him. “Memangnya kamu pikir kita akan ngapain di sini?” tantang Di
Pertemuan pertama Ambar dengan keluarganya akhir pekan lalu berjalan dengan begitu baik. Setelah memastikan ‘deep talk’ yang mereka berdua lakukan di dalam kamar Diraja telah selesai, Ambar membuka pintu dan kabur darinya.Tak lama dari balkon kamarnya, dia melihat Ambar berbicara bertiga bersama ibu dan kakaknya. Mereka semua terlihat begitu kompak dan berbincang layaknya sudah mengenal lama.Ibu dan kakaknya begitu terbuka kepada Ambar. Satu hal yang sepatutnya Diraja syukuri. Setidaknya tidak akan ada drama antara Ambar dan keluarganya kelak.Intinya malam itu pertemuan berjalan lancar dan mereka akan mengagendakan pertemuan keluarga kedua belah pihak secara formal dalam minggu ini untuk membicarak
“Selamat ulang tahun!” Suara yang mengagetkan Ambar ketika membuka pintu apartemennya membuatnya terhenti sejenak. Tangan kanannya masih memegang gagang pintu, sedangkan tangan kirinya sontak mengurutkan dadanya karena terperanjat kaget. Confetti dan suara terompet bersahutan menyambutnya masuk ke dalam apartemen malam ini. Wajah-wajah familiar menyapanya dengan senyuman dan tawa lebar. “Ya ampun, kok ada surprise segala?” ujarnya penuh haru. Dia menatap Diraja yang berjalan dengan langkah pelan dan pasti ke arahnya. Di tangan sang suami ada kue ulang tahun lengkap dengan lilin angka 20 yang sudah terbakar di atasnya, menunggu untuk ditiup olehnya. “Yang penting surprise-nya berhasil, ‘kan!” jawab Diraja penuh dengan kebanggaan. Ini memang sebuah pencapaian tersendiri untuk suaminya. Sebelumnya dia tak pernah melakukan ini. Ini merupakan surprise event perayaan ulang tahun pertama sejak mereka menikah. “Repot-repot banget, makasih banyak loh, sayang!” Ambar menjawab deng
AMBAR Dua bulan kemudian, Apakah mungkin keinginan menjadi ibu itu menular, apalagi jika sudah memegang bayi kecil, imut dan lucu di pelukannya sendiri? Ini sebenarnya yang dirasakan Ambar ketika dia melihat anaknya Mbak Amira dan Mas Darius yang akhirnya tiba juga menyapa mereka di dunia ini. Kakaknya baru saja selesai melahirkan putra pertama mereka yang diberi nama Maximilian Naradipta Danudihardjo. Nama keponakan pertama Ambar ini berdasarkan kompromi ayah dan ibu Maxi. Mbak Amira ingin tetap membawa nama lokal yang membumi sedangkan sang ayah ingin sesuatu yang memiliki sentuhan modern namun tetap terdengar regal. Ambar ingat sekali bagaimana mereka berdebat sedemikian rupa ketika satu waktu Ambar mengunjungi mereka. “Maxi… Maxi baby… ya ampun kamu lucu bangeeet! Mbak! Aku bawa pulang ya!” Ambar berceletuk asal tatkala melihat baby Maxi terlelap di tangan Mas Darius. Rasanya baru sekejap saja dia menggendong Maxi, tapi ayahnya sudah melebarkan tangannya agar Ambar men
Makan siangnya dengan Ambar di sebuah restaurant Chinese Food yang terletak di sebuah gedung perkantoran lantai teratas di kawasan dekat kampus Ambar berjalan begitu cepat di mata Diraja.Dua jam yang dihabiskan bersama sang istri terasa seperti sekedipan mata saja. Ketika hidangan selesai disantap dan dia melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 13.45 siang.“Aku habis ini masih ada kelas, Mas.” Ambar pun terlihat bolak-balik mengecek jamnya, berharap dia tak telat untuk kelas selanjutnya.“Jam berapa? Perjalanan dari restoran ini ke kampus kan nggak terlalu lama,” balas Diraja seraya memberikan sinyal kepada waitress untuk mengirimkan bill ke meja mereka.Sang waitress mengangguk dan mempersiapkan bill sambil membaw
DIRAJABreaking news, Sebuah penggerebekan terjadi di kawasan pedalaman Myanmar dan Kamboja oleh aparat setempat dibantu dengan koordinasi interpol dan kepolisian Republik Indonesia. Disinyalir gudang tersebut merupakan headquarter, atau markas besar tindakan kriminal judi online dan penipuan online dengan target masyarakat Indonesia. Menurut perkembangan terbaru, ada fakta yang lebih mengejutkan dibaliknya. Jika ditelusuri lebih dalam, ternyata terungkap banyak tindakan kejahatan transnasional yang bernaung dibalik operasi tersebut. Ada indikasi human trafficking atau penjualan manusia yang dipekerjakan secara ilegal dengan kondisi memprihatinkan tanpa adanya kesejahteraan dan hak asasi manusia yang dipenuhi. Pihak kepolisian masih mendalami dugaan kejahatan organ harvesting dan sex trafficking lintas negara dan benua dalam pemeriksaan lebih lanjut. Yang cukup mengejutkan, terendusnya jaringan kejahatan transnasional ini bermuara pada seorang konglomerat asal Singapura berinisia
RAKA Selama beberapa hari belakangan ini, dia selalu kembali ke apartemennya di atas jam dua malam. Begitu banyak yang harus dia kerjakan setelah mereka berhasil membawa Joseph Ong untuk diinterogasi di markas kepolisian. Tentu saja tarik ulur begitu hebat terjadi di balik layar. Pihak Joseph Ong lewat kedutaannya secara formal meminta pria itu diekstradisi segera kembali ke Singapura untuk menjalani pemeriksaan di sana. Yang turun tangan membereskan masalah berkaitan dengan hukum, legalitas, melihat loophole dari aturan tentu saja dirinya. Raka bertugas di belakang layar membersihkan dan menguraikan kusutnya benang birokrasi, ditambah dengan berbagai channel dan networking yang luas dari Darius, mereka akhirnya berhasil memberikan waktu lebih banyak untuk kepolisian Indonesia serta interpol mengulik sampai dalam dan menarik bukti sebelum tim kuasa hukum beserta backingnya Joseph Ong menutup akses penyelidikan, atau yang paling parah–menghilangkan alat bukti. Dan orang yang cuku
Ibu bersikeras jika mereka kembali ke kediaman beliau di daerah Dharmawangsa. Bersama Mbak Rengganis dan ayah, mereka bertiga menolak keinginan Diraja untuk kembali ke apartemen dan memulihkan diri di sana. Ambar pun setuju dengan keputusan tersebut. Ini sudah hari ketiga sejak Diraja diputuskan bisa kembali ke rumah dan memulihkan diri di kediamannya. Kemarin tim dokter selesai melakukan kontrol pertama dan memastikan proses penyembuhan Diraja berjalan seperti yang semestinya. “Sayang, aku bosan makan bubur terus,” ujar Diraja saat Ambar membantunya mengeringkan rambut suaminya setelah dia bersikeras untuk mandi karena sudah lebih dari dua hari dia tidak melakukannya. “Tapi–takutnya kamu sulit mengunyah, makanya ibu dari kemarin menyiapkan bubur untukmu, Mas!” balas Ambar dengan sabar. Sebenarnya bahkan sejak kembali dari rumah sakit, sikap Diraja jauh lebih manja dan terkadang dia tak ingin ditinggal oleh Ambar. Setiap saat jika Ambar keluar kamar untuk melakukan sesuatu, d
AMBARDerap langkahnya menggema sepanjang koridor rumah sakit. Ibu mertuanya pun bergandengan tangan dengannya berjalan dengan langkah cepat, membawa kekhawatiran yang tak dapat diungkapkan tatkala Mas Darius menghubunginya malam tadi. Pikirannya kalut, bahkan selepas Diraja berpamitan dan meminta Ambar untuk menyampaikan pesan singkatnya kepada Pak Rama. Ambar sempat membaca secarik kertas tersebut, isinya meminta agar Pak Rama menghubungi kakak iparnya–Mas Darius dan meminta mereka untuk tracking lokasinya. Dari pesan itu saja Ambar bisa menakar jika Diraja melakukan hal yang berbahaya. Makanya dari tadi dia harus menyembunyikan kegelisahannya di hadapan ibu mertuanya dan menganggap semuanya baik-baik saja. Pak Rama dan Mas Darius pun tak bisa dihubungi sehingga tak ada kepastian akan apa yang sebenarnya terjadi. Pertahanannya runtuh tatkala kakak iparnya mengabari jika Mas Diraja berada di rumah sakit. Saat ini Pak Rama sudah on the way untuk menjemput Ambar untuk ke rumah saki
DARIUSRaka akhirnya memberikan lokasi tujuan Diraja pergi tepat sebelum mereka keluar pintu tol. Setelah mendapatkan lokasi, dengan cepat dirinya mengatur alamat tersebut pada sistem GPS mobil Nero sehingga mereka bisa langsung melaju menuju tempat Michelle disekap oleh Joseph Ong. “Tim terbaik kita ada di belakang, estimasi sekitar lima menit akan bisa menyusul kita,” ujar Nero memberikan update kepadanya. “Bagaimana dengan tim kepolisian dan medis?” Darius bertanya. Kali ini Raka yang menjawab pertanyaannya. “Sudah diinfokan ke pusat, mereka sekarang sedang koordinasi dengan pihak kepolisian setempat. Kontak kita juga sudah berangkat dari Mabes agar bisa berkomunikasi dengan jaringan interpol,” jawab Raka dengan mendetail. “Keep us updated,” ucapnya sebelum memutus sambungan dan kembali fokus untuk menyelamatkan Michelle dan Diraja. Entah apa yang harus Darius katakan kepada Diraja atas tindakan impulsifnya itu. Pergi begitu saja tanpa menyusun langkah dan rencana matang denga
DIRAJA Diraja memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju tempat yang sudah ditentukan oleh Joseph Ong. Dia yakin jika Ambar mengerti instruksinya dengan baik dan dia menunggu mobilisasi tim Darius dan Nero untuk membantunya kelak dalam menghadapi Joseph Ong nanti. Dia tiba di tempat yang diminta, sebuah rumah yang masih setengah jadi. Kanan kiri masih berupa kavling kosong. Namun dia yakin ini tempat yang benar karena ada beberapa orang preman berbadan tegap sudah berjaga di sekitar tempat tersebut. Ini berbahaya. Semoga saja pesannya tersampaikan dan tim Darius memberikan bantuan untuknya, agar dia tak mati konyol di sini menyelamatkan Michelle. Diraja turun dari mobilnya dan secepat kilat tiga orang mengelilinginya, dengan satu orang langsung mengikat tangannya dengan borgol dan menempelkan plester agar dia tak dapat berbicara. Ah, sial! Diraja benar-benar berada dalam keadaan terpojok datang ke tempat ini seorang diri. “Masuk! Bos sudah nunggu dari tadi!” ujar salah