Andrew melirik ke arah Andrea, saudara kembarnya itu memberikan ucapan selamat tak lupa senyuman yang tersungging di bibirnya. Andrew melihat binar kekecewaan di mata kembarannya itu. Apakah Andrew harus meninggalkan sekolah terkenal itu dan memilih bersama adik perempuannya? "Sayang, tapi Ayah akan mencarikanmu sekolah yang sama unggulnya dengan Andrew, tenang saja. Anak Ayah pintar semua. Ayah percaya dengan potensimu," ucap Steven pada putri kecilnya. Pria itu tentu saja berusaha menenangkan putrinya agar tidak merasa cemburu pada Andrew, bahkan merasa sendirian. TIDAK! Itu tidak mungkin terjadi. Anak-anaknya harus mendapat kasih sayang yang pantas, tidak ada yang membedakannya meski potensi atau bakat yang dimilikinya berbeda-beda. Bukankah setiap anak mempunyai kemampuannya masing-masing? “Iya Ayah. Aku mau sekolah dimana saja,” jawab gadis kecil itu. Namun
Saat ini Rose sedang menunggu anaknya keluar dari kelasnya, tepatnya menunggu si kembar pulang, sudah dua minggu si kembar bersekolah. Dan yang menyetir dan menjemput si kembar kini adalah Rose, sama seperti dulu. "Oh, Rose? Rupanya kamu baru sampai," ucap Helen sambil terkekeh. Rose tersenyum tipis menanggapi jawaban Helen, memang sejak pertemuan tak sengaja mereka, Helen menjadi dekat dengan Rose. Bahkan putrinya, Reyna, selalu bermain dengan si kembar. “Sudah berapa lama kamu di sini, Rose?” dia bertanya. "Belum, mungkin sekitar lima menit yang lalu," jawab Rose seadanya. "Belum keluar ya? Kalau begitu, bisakah aku menitipkan putriku padamu sebentar, Rose? Aku ngantuk, aku mau cari kopi di kantin, aku titipkan Reyna padamu, Rose?" tanya Helen penuh harap. Rose menatap Helen, wanita itu tampak sangat mengantuk, terlihat dari kantung hitam yang sangat terlihat jelas di bawah matanya. Rose melont
Hari sudah siang, matahari semakin terik dan keluarga kecil Rose masih berada di panti asuhan. Rose bahkan membantu pengurus panti asuhan memasak makan siang. Sedangkan Andrew dan Andrea, kedua anaknya sedang bermain dengan anak lainnya. “Mereka sangat senang di sini. Kalau kamu mau bermain, kamu bisa datang ke sini,” kata pemilik panti asuhan itu kepada Rose. Rose memandang Andrea yang tertawa terbahak-bahak mendengar tema kunonya. Mereka sedang bermain gelembung air dengan cerita. “Iya betul, di sini banyak sekali teman-teman, biasanya di rumah hanya bermain bersama, sepulang sekolah tidak ada lagi teman dekat,” kata Rose. “Datanglah ke sini jika kamu atau anak-anakmu mau, disini selalu terbuka untukmu,” ucap pemilik panti asuhan dengan ramah. "Ah, tentu saja. Terima kasih," jawab Rose sambil tersenyum manis. "Kamu sangat cocok dengan suamimu, keduanya baik. Pantas saja Tuhan memberikan anak yang menggemaskan dan baik juga." "Terima kasih, kamu juga baik sekali," jawab
Teror Helen menatap Steven dan Rose dengan tajam, ia tidak terima dengan jawaban yang diberikan Rose dan Steven, sedangkan suami Helen sudah mengepalkan tangannya erat-erat seolah dipenuhi amarah. "Cukup! Terserah padamu, kamu harusnya berterima kasih padaku karena aku ingin menjodohkan putriku denganmu!” balas suami Helen. Steven menghela nafas lelah, ada tipe seperti ini, bagaimana mereka bisa menjodohkan anaknya padahal anaknya masih sangat kecil? Tujuh tahun! Selain itu Steven juga tidak ingin membebani anak-anaknya dengan hal seperti itu, mereka tidak akan membebani Andrew maupun Andrea dengan perjodohan yang konyol ataupun dengan dalih memperkuat perusahaan. “Sebelumnya kami meminta maaf atas hal ini, namun kami sangat tidak bisa menerima pertandingan ini. Kami menolaknya,” kata Rose menjelaskan keinginannya. Hal ini tentu saja membuat Helen dan suaminya geram. Su
Saat ini Rose dan Steven sedang dalam perjalanan untuk memberi informasi kepada putra dan putrinya di sekolah. Perdebatan kecil yang terdengar tiada henti membuat Rose harus ekstra sabar. Terkadang kedua sifat tersebut juga bersekongkol untuk memuaskan Steven, yang mana hal ini sangat lucu bagi Rose. Tanpa sadar senyum Rose melebar, sedangkan Steven yang menyadari istrinya tersenyum pun ikut membuka bibirnya. “Apakah kamu memikirkan tentang aku, Rose?” goda Steven yang duduk tepat di kursi pengemudi di sampingnya. "Apa?" "Kamu tidak perlu menjelaskannya, aku juga tahu kalau hanya aku yang membuatmu bahagia," jawab Steven sambil tersenyum manis. Rose membelalakkan matanya saat mendengar perkataan Steven. Mengapa pria ini begitu percaya diri? “Ayah, yang membuat Ibu bahagia adalah karena aku,” kata Andrew yang duduk di kursi belakang. "Dan saya!" seru Andrea ikut membalas.
"Oh iya, tadi aku lihat sepertinya banyak kotak kado di tempat sampahmu, bukankah kamu bilang Andrew dan Andrea tidak merayakan ulang tahunnya, tapi kamu membawanya ke panti asuhan, apakah ada yang memberi mereka hadiah? " tanya Pak Dion sambil meletakkan gelas yang baru diminumnya tadi. Rose tertegun mendengarnya, perkataan Pak Dion membuatnya merasa khawatir. Raut wajah perempuan dua anak itu langsung berubah panik, terlihat dari bola matanya yang bergerak kesana kemari dengan gelisah. "Rose, ada apa denganmu?" tanya Nyonya Vega dengan wajah penasaran. Mendengar perkataan Bu Vega tentu saja membuat Rose secara refleks menggelengkan kepalanya, menyatakan bahwa ia baik-baik saja. "Kalau ada apa-apa, bicaralah Rose. Ada apa Steven?" tanya Bu Vega lagi, kali ini ia bertanya pada Steven. Steven mencoba menjelaskan apa yang menimpa mereka, yakni adanya teror yang sudah berlangsung lama, yakni pada suatu har
Penjelasan “Rose, kenapa kamu masih duduk disana? Ayo berangkat!” ajak Nyonya Vega. Mereka sudah bersiap berangkat ke rumah Helen, namun tidak bersama Rose. Ia merasa enggan untuk bertemu dengan Helen, apalagi mengingat teror yang mengerikan. "Aku tunggu di rumah saja, aku tidak akan pergi," ucap Rose dengan tidak nyaman. "Ada apa Rose? semuanya akan baik-baik saja, ayo kita jelaskan semua yang terjadi pada Helen," ucap nyonya Vega. Namun Rose tetap menggelengkan kepalanya, mengingat ia tak ingin bertemu dengan wanita yang menerornya. Rose sepertinya tidak bisa menerima kelakuan Helen yang diberikan padanya. Saat mengangkat pun kata Andrea hanya Rose yang selalu berusaha menghindari wanita itu. Lalu bagaimana ceritanya jika kali ini Rose harus ke rumahnya? Temui dia secara terbuka? "Ada apa sayang? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" Steven bertanya dengan lembut."A-aku, aku tunggu sa
Setelah orang tuanya kembali, Rose langsung menuju kamarnya, wanita itu terdiam di dalam kamar, dan Rose masih berkata bagaimana jika ada sesuatu yang sangat penting, padahal tadi wanita itu bisa saja? Tentu saja hal itu membuat Steven khawatir, Steven langsung masuk ke dalam kamarnya, ia ingin memeriksa apakah Rose baik-baik saja. Sesampainya di kamar, pria itu mendapati istrinya sedang duduk kosong. Akhir-akhir ini ia sering menatap Rose sambil melamun sendirian dalam waktu yang lama. Semua ini karena teror gila yang dikirimkan Helen. Dia mendekati istrinya dan menariknya untuk bersandar di dadanya. Rose masih menatap satu titik dengan tatapan kosong, padahal tubuhnya sudah berada dalam pelukan Steven. “Sekarang kamu tidak perlu khawatir, kami sudah pergi menemui Helen. Dia sudah meminta maaf dan berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama," ucap Steven berusaha menenangkan istrinya. Ia berharap perkataannya cukup menenangkan istrinya.
Andrew telah dipindahkan ke ruang rawat inap setelah operasi dua hari lalu. Sebelumnya, si kecil harus dirawat di ICU selama dua malam. Steven dan Rose pun tidur di kursi ruang tunggu selama dua malam, hal itu dikarenakan Rose sama sekali enggan meninggalkan Andrew. Padahal harus mengorbankan punggungnya dan Steven yang sudah sangat kaku karena duduk semalaman. Itu terjadi dua malam berturut-turut. Bagaimana lagi, kalau bukan di sini Rose juga tidak akan tenang. Dia akan gelisah sepanjang malam memikirkan putranya. Pagi-pagi sekali perawat memindahkan Andrew ke ruang rawat inap VVIP sesuai permintaan Steven. Steven dan Rose cukup lega karena Andrew sudah memasuki masa pemulihan. Setidaknya Andrew menjadi lebih baik. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kondisinya sangat memprihatinkan. Andrew juga telah menunjukkan tanda-tanda sadar. Dengan menggerakkan jarinya beberapa kali, dia pun mulai mengigau. Ponsel Steven berbunyi, ia lalu menjawab panggilan masuk itu. Karena
Hari ini adalah hari pertama Rose bekerja. Dia akan tiba di kantor sepuluh menit sebelum bel berbunyi, dia tidak ingin memberikan kesan buruk di hari pertamanya. Dia diantar ke mejanya oleh orang yang mewawancarainya kemarin. Ketika dia ditunjukkan tempat duduknya, dia terkejut karena orang yang duduk di sebelahnya adalah Claire. Dulunya pegawai suaminya, kini satu kantor lagi. “Rose, perkenalkan. Ini Claire, asistenmu, dan Claire adalah manajer baru kita," kata wanita itu. "Halo, Rose?" Claire juga terkejut. "Kalian saling kenal?" "Iya bu, dia adalah istri dari mantan bos saya di perusahaan sebelumnya," ucap Claire. "Wah? Benarkah? Bagus sekali, tidak meminta pekerjaan pada suamimu." "Hanya mencari suasana baru, Bu." Rose tersenyum canggung. “Padahal seingatku, perusahaan tempat Claire bekerja dulu itu besar lho. Kamu pasti bosan, makan, dan ingin bekerja.” “Jangan panggil aku ibu, panggil saja namaku. Bukankah kamu asisten CEO? Seharusnya aku yang memangg
Sesampainya di rumah, Luna dan Rose langsung berpelukan bak saudara kembar yang sudah lama berpisah. Keduanya banyak mencarter bersama, bahkan lucunya Luna banyak memasak hari ini. Entah kenapa, dia ingin sekali memasak, dan ternyata tuan rumah dan nyonya rumah pulang setelah satu tahun. Padahal keduanya baru saling kenal setahun lalu. Tak satu pun dari mereka tahu apa pun tentang latar belakang satu sama lain. Tapi mereka berteman dan saling mencintai. Bisa dibilang saudara kandung yang baru bertemu saat dewasa. Tidak berhubungan tetapi searah. "Apakah Andrew dan Andrea nakal, Luna?" dia bertanya. Dia ingin tahu apakah anak-anaknya mengganggu Luna atau tidak. Bukankah buruk jika kedua anaknya menyusahkan Luna? Mungkin orang yang mendengar ini akan merasa aneh, bagaimana bisa seorang tuan merasa tidak enak karena telah merepotkan pelayannya? Karena menurut Rose, pembantu juga manusia, dan derajat manusia pun sama. Jika kita ingin dihormati maka kita harus belajar me
Saat malam tiba, Rose dan Luna sedang menemani si kembar menonton film kartun di ruang tamu. Rose sudah memerintahkan Luna untuk menyuruh semua orang ke kamar masing-masing. Agar Rose bisa menonton dengan tenang. Tak kenal takut karena para pelayan dan pengawal. “Tadi Ibu menyuruh pembantu untuk membuatkan brownies, coklat, dan rasa strawberry,” kata Rose. Dia berbicara tentang brownies yang disajikan di atas meja di ruang tamu. Terima kasih, Ibu!” Seru Andrew, lelaki kecil itu segera memakan brownies yang sudah disiapkan Ibu. “Ibu, Andrea mau susu,” kata Andrea sambil menatap Rose dengan mata menggemaskan. Mata anak anjing? Mungkin itu namanya. Biarkan aku mengambilnya, oke? Tawaran Luna dijawab Andrea dengan anggukan antusias. Luna lalu pergi membuatkan susu untuk si kembar. Dia juga membuatkan jus untuk Rose. Saat menyajikan minuman, Rose merasa aneh karena hanya ada t
Saat malam tiba, Rose dan Luna sedang menemani si kembar menonton film kartun di ruang tamu. Rose sudah memerintahkan Luna untuk menyuruh semua orang ke kamar masing-masing. Agar Rose bisa menonton dengan tenang. Tak kenal takut karena para pelayan dan pengawal. “Tadi Ibu menyuruh pembantu untuk membuatkan brownies, coklat, dan rasa strawberry,” kata Rose. Dia berbicara tentang brownies yang disajikan di atas meja di ruang tamu. Terima kasih, Ibu!” Seru Andrew, lelaki kecil itu segera memakan brownies yang sudah disiapkan Ibu. “Ibu, Andrea mau susu,” kata Andrea sambil menatap Rose dengan mata menggemaskan. Mata anak anjing? Mungkin itu namanya. Biarkan aku mengambilnya, oke? Tawaran Luna dijawab Andrea dengan anggukan antusias. Luna lalu pergi membuatkan susu untuk si kembar. Dia juga membuatkan jus untuk Rose. Saat menyajikan minuman, Rose merasa aneh karena hanya ada tiga gelas. "Kenapa hanya tiga?" dia bertanya. “Bukankah hanya kamu dan si kembar? Apakah
Pagi ini Rose akan menjalani beberapa terapi di rumah sakit. Steven tidak berangkat ke kantor dan memilih menemani Rose. Wanita itu sedikit gugup karena ini adalah yang pertamanya. Tentu saja, bukan? Seperti sebelumnya, Rose menggunakan pakaian tertutup serta masker dan topi. Wanita tidak ingin menjadi pusat perhatian orang-orang disekitarnya. “Rose, kita hampir sampai. Jangan gugup, lakukan yang terbaik, aku bersamamu,” kata Steven. Pria itu menatap mata manik istrinya. Rose terdiam, wanita itu lalu mengikuti langkah perawat itu hingga menemui dokter yang akan membantunya dalam terapi. "Hai! Bagaimana kabar Rose?" tanya seorang dokter wanita muda. Ya, dokter tersebut adalah dokter yang mendiagnosis Rose mengalami gangguan kecemasan umum. "Hei, apa yang akan kita lakukan?" tanya Rose sedikit gugup. Dokter muda itu memandang sekelilingnya, dan dia mengert
Andrew tiba-tiba terbangun dan melihat ibunya sedang melamun. Andrew lalu berdiri dan memeluk Rose dari belakang. Rose melemparkan Andrew ke tanah, untung Andrew terjatuh di tempat tidur. Supaya tidak berdarah atau terluka, mungkin hanya sedikit syok saja. Tangisan Andrew menyadarkan Rose dan Steven pun terbangun. Steven berlari menghampiri Andrew yang menangis dengan wajah memerah. Steven memeluk Andrew dengan erat, berusaha menenangkan putranya. “Aku baru saja ingin memeluk Ibu, tapi Ibu malah dilempar,” kata Andrew sambil menangis. Rose merebut Andrew dari Steven lalu memeluk erat putranya itu. Rose terus menangis sambil terus menggumamkan kata maaf. Andrew memeluk Rose dengan erat, sangat erat. Ketika Andrew menyadari bahwa dia membuat ibunya menangis, anak berusia tujuh tahun itu langsung berhenti menangis. Dia menyeka air mata ibunya. Andrew tak ingin ada air mata di antara mereka. Yang ada hanya senyuman, semoga selamanya. "Hentikan Ibu! Jangan menangis, A
Setelah orang tuanya kembali, Rose langsung menuju kamarnya, wanita itu terdiam di dalam kamar, dan Rose masih berkata bagaimana jika ada sesuatu yang sangat penting, padahal tadi wanita itu bisa saja? Tentu saja hal itu membuat Steven khawatir, Steven langsung masuk ke dalam kamarnya, ia ingin memeriksa apakah Rose baik-baik saja. Sesampainya di kamar, pria itu mendapati istrinya sedang duduk kosong. Akhir-akhir ini ia sering menatap Rose sambil melamun sendirian dalam waktu yang lama. Semua ini karena teror gila yang dikirimkan Helen. Dia mendekati istrinya dan menariknya untuk bersandar di dadanya. Rose masih menatap satu titik dengan tatapan kosong, padahal tubuhnya sudah berada dalam pelukan Steven. “Sekarang kamu tidak perlu khawatir, kami sudah pergi menemui Helen. Dia sudah meminta maaf dan berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama," ucap Steven berusaha menenangkan istrinya. Ia berharap perkataannya cukup menenangkan istrinya.
Penjelasan “Rose, kenapa kamu masih duduk disana? Ayo berangkat!” ajak Nyonya Vega. Mereka sudah bersiap berangkat ke rumah Helen, namun tidak bersama Rose. Ia merasa enggan untuk bertemu dengan Helen, apalagi mengingat teror yang mengerikan. "Aku tunggu di rumah saja, aku tidak akan pergi," ucap Rose dengan tidak nyaman. "Ada apa Rose? semuanya akan baik-baik saja, ayo kita jelaskan semua yang terjadi pada Helen," ucap nyonya Vega. Namun Rose tetap menggelengkan kepalanya, mengingat ia tak ingin bertemu dengan wanita yang menerornya. Rose sepertinya tidak bisa menerima kelakuan Helen yang diberikan padanya. Saat mengangkat pun kata Andrea hanya Rose yang selalu berusaha menghindari wanita itu. Lalu bagaimana ceritanya jika kali ini Rose harus ke rumahnya? Temui dia secara terbuka? "Ada apa sayang? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" Steven bertanya dengan lembut."A-aku, aku tunggu sa