Pesan kedua adalah dari debt collector.
[Kamu pandai menghasilkan uang. Jika Anda mengetahui hal ini, mengapa Anda tidak selalu pandai menghasilkan uang? Jika sudah lama seperti ini, bunga utang Anda akan meningkat. Tidak apa-apa. Yang penting sekarang utangmu sudah lunas.]
Rose bahkan lebih terkejut. Ternyata perkataan Steven tidak main-main padahal itu akan membantu semua biaya ekonomi. Itu berarti dia harus melakukan apa yang diminta Steven, yaitu menikah dan memberinya anak.
Pada malam hari.
Rose telah didandani dengan sangat cantik oleh penata rias yang diminta datang oleh Steven. Dengan bantuan gaun berwarna peach dan tiara di kepalanya, Rose terlihat sangat cantik. Dan ternyata adiknya juga pergi ke rumah Rose.
"Charlotte, kamu di rumah?" Rose bertanya masih di depan cermin. Melirik kedatangan kakaknya.
"Tentu saja, aku akan pulang. Hari ini kakakku akan menikah, dan aku juga dijemput lebih awal. Selamat! Karena kamu akan menikah dengan pria yang baik," kata Charlotte dengan senyum tersungging di pipinya.
Rose hanya tersenyum tipis. Benarkah Steven pria yang baik? Dia juga masih tidak tahu. Selain itu, dia masih belum memakai Steven terlalu jauh. Yang jelas sekarang dia masih bertekad untuk menikah dengan Steven. Apalagi, kakaknya juga pulang untuk menemaninya di hari pernikahannya. Setidaknya masih ada keluarga yang bisa menemaninya.
Mobil yang menjemput Rose sudah tiba. Bukan Steven yang menjemputnya, tapi anak buah Steven.
Masuklah mobil super mewah dengan keluaran terbatas dan hanya dimiliki oleh orang yang memiliki banyak uang. Perasaan berdebar-debar dari Rose menggenggam tangan Charlotte.
"Tenang! Kamu akan menjadi ratu setelah ini," kata Charlotte, berusaha menenangkan adiknya. Dia tahu adiknya berdebar jelang pernikahannya.
Tak lama kemudian mobil yang membawa mereka berhenti di sebuah hotel. Hotel ini memiliki sepuluh lantai. Tapi Rose tidak melihat nama hotelnya.
Steven menyambut kedatangan Rose di depan mobil. Dia mengulurkan tangan untuk menjemput calon istrinya.
Rose masih malu untuk menggandeng tangan Steven. Dia memilih berjalan sendirian.
Namun, nasib buruk. Rose terjatuh karena tumitnya masih tertahan di dalam mobil. Beberapa orang tampak menahan tawa melihat Rose terjatuh. Tapi Steven tidak menertawakan Rose. Dia membantu Rose untuk berdiri.
Betapa malunya Rose. Banyak pasang mata melihatnya dan dia melakukan sesuatu yang sangat konyol. Seolah-olah dia kehilangan wajahnya untuk melihat orang yang ada di sana.
"Jangan dipikirkan! Kamu hanya perlu melihat ke depan," kata Steven, yang berjalan beriringan di samping Rose.
Sesampainya di venue, Rose ditanyai beberapa pertanyaan terkait perjanjian pernikahan yang disaksikan adiknya, Charlotte. Lalu kembali ke Rose. Setelah semuanya siap, Rose dan Steven mengikrarkan janji suci mereka untuk sebuah pernikahan.
Dan tidak butuh waktu lama bagi keduanya untuk menjadi suami istri. Air mata Rose jatuh. Dia tidak berharap untuk menjadi seorang istri begitu cepat. Walaupun ini barter karena Steven telah memberikan sejumlah uang kepada Rose untuk melunasi semua hutang keluarga Rose.
Upacara pernikahan digelar sederhana. Namun, itu penuh emosi. Sejak saat itu, Rose diam. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya.
Hingga akhirnya para tamu perlahan meninggalkan tempat itu. Dan Charlotte pun berpamitan untuk pulang. Dan Rose juga ingin pulang bersama Charlotte.
"Kemana kamu pergi?" Dia bertanya.
"Pulang," jawab Rose singkat.
"Mau kemana? Ini rumahmu sekarang."
Rose memutar matanya. Mendengar bahwa itu adalah rumahnya sekarang. Dia bahkan berpikir bahwa rumah itu adalah hotel bintang lima. "Ini rumahmu?"
Steven mengangguk. "Ya, ini rumahku dan rumahmu. Ini rumah kita."
Rose tertegun. Dia masih tidak percaya bahwa dia akan tinggal di rumah itu. Rose belum pernah melihat rumah yang dia anggap sebagai hotel. Dia akan tinggal di sana mulai sekarang. "Tidak. Ini terlalu bagus untukku. Aku akan pulang dengan kakakku."
"Aku akan kembali ke asrama. Sekarang kamu sudah menikah dengan Steven. Jadi kamu harus tinggal di rumah ini," kata Charlotte, yang sebelumnya mendengar percakapan kakaknya. "Aku akan pergi dulu." Dia meninggalkan saudara perempuannya karena dia akan kembali ke asrama.
Sedangkan Rose masih membeku karena merasa sendirian saat ini.
Steven mengajak Rose untuk masuk. "Rose, ayo makan! Tentu saja kamu belum makan, kan?" ajaklah dia.
Rose masih tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia belum siap menikah. "Tetapi saya …"
"Sudahlah! Semuanya sudah pulang. Hanya anak buahku yang berjaga," kata Steven lalu menggandeng tangan Rose. Mereka berdua bersama di meja romantis.
Para pelayan menyediakan makanan terbaik untuk pasangan pengantin.
"Dimana orangtuamu?" dia berkicau. Dia juga sedikit penasaran kenapa Steven tidak memperkenalkan orang tuanya kepadanya.
"Mereka tidak bisa hadir. Nanti saat mereka pulang aku akan mengenalkanmu pada mereka," jawab Steven.
Rose hanya mengangguk pelan. Dia masih tidak percaya bahwa saat ini Shea sudah berstatus sebagai istri. Setelah makan selesai, pelayan meminta Rose untuk mengganti pakaiannya. Karena tentunya mengenakan gaun besar dengan make-up membuat Rose tidak nyaman dan membutuhkan seseorang untuk membantunya.
Setelah semuanya selesai, Rose memilih untuk mandi. Dia merasa sangat gerah. Padahal sebelum pernikahan sempat mandi. Dia juga tidak tahu di mana kamar Steven dan dia memilih untuk mandi air hangat. Dimana di dalam kamar sudah diberikan fasilitas layaknya hotel berbintang.
Rose pernah mengikuti olimpiade saat masih SMA dan diberi fasilitas untuk menginap di hotel bintang lima. Dan kurang lebih sama seperti dulu. Yang ini lebih mewah lagi.
Sambil tetap berendam. Ada ketukan di pintu. Rose terkejut ketika dia memanggil dari balik pintu.
"Rose, kamu sudah selesai atau belum?"
Rose yang masih belum siap untuk pergi terkejut dengan suara Steven dari luar. Dia kemudian dengan cepat mengambil handuk yang ada di kamar mandi.
"Sial, kenapa aku tidak membawa baju ganti tadi. Apa aku harus keluar kamar mandi hanya dengan handuk?" dia mengutuk. Dia baru ingat kalau dia tidak membawa baju ganti saat mandi tadi. Dalam benak Rose, apakah benar Steven masih menunggu di depan kamar mandi?
Rose dari sekedar melilitkan handuk di sekujur tubuhnya. Dia perlahan membuka pintu kamar mandi dan melihat Steven duduk di tempat tidur.
"Rose, kamu sudah selesai? Aku juga mau mandi," tanya Steven.
Rose ketakutan di balik pintu kamar mandi. Dia masih belum memakai baju. Dan hanya handuk yang menutupi dada hingga lutut.
Steven menunggu jawaban Rose. Dia kemudian bangkit dari tempat tidur dan mendekati pintu kamar mandi. "Apakah Anda memerlukan bantuan?" Dia membuat penawaran.
"Tolong ambilkan bajuku di dalam tas. Aku lupa membawa baju ganti," jawab Rose dari balik pintu.
Steven tersenyum tipis. Ia tak mau lengah meski sudah pantas mendapatkan tubuh Rose. Tapi dia akan melakukannya jika Rose bersedia dengan sepenuh hati. Ini akan membuat hubungan lebih nyaman bagi kedua belah pihak.
Steven mengambil pakaian dari tas Rose. Dia juga melihat celana dalam merah muda Rose. Dia tersenyum lagi.
Rose menyadari bahwa jika dia memesan Steven, Steven akan mengambil celana dalamnya juga. Dia kemudian berteriak. "Aaa.. jangan buka tasku! Beri aku satu tas saja di sini!" Dia bertanya.
Steven yang sudah mengambil baju Rose hanya memberikan apa yang diambilnya sebelumnya. Dan setelah Rose membuka pintu beberapa saat kemudian Rose menerima pakaiannya beserta pakaian dalamnya. Wajahnya langsung memerah. Itu berarti Steven telah melihat celana dalamnya. Rose langsung mengenakan pakaian yang diberikan oleh Steven dan baru keluar jika sudah berpakaian lengkap. Rose masih enggan menemui Steven. Dia baru tahu kalau kamar ini adalah kamar yang akan digunakan Rose dan Steven untuk tidur.
Setelah Steven juga selesai mandi, Rose masih duduk di sofa kamar.
"Ayo kita istirahat! Kamu pasti lelah," kata Steven.
Rose masih diam. Dia bingung dengan istirahat Steven. Apakah dia akan melepaskan masa lajangnya malam ini juga?
"Kenapa kamu diam saja? Kamu tidak mau tidur?" Dia bertanya.
"Aku belum siap," jawab Rose, masih menunduk.
"Aku bilang kita istirahat, kenapa kamu bilang kamu belum siap, Rose? Aku tidak memaksamu jika kamu belum siap. Sekarang istirahat!" kata Steven. Mendengar itu dari Steven, hati Rose sedikit tenang. Itu berarti Steven juga tidak meminta untuk berhubungan seks malam ini.
Hari berikutnya.
Mata Rose baru saja terbuka. Anda dapat melihat sinar matahari telah memasuki celah di dalam ruangan. Dia tidak melihat Steven di sebelahnya.
Tapi dia mendengar suara percikan air di kamar mandi. Dia menduga bahwa Steven sedang mandi. Tak lama kemudian, Steven akhirnya keluar dari kamar mandi dan hanya terbungkus handuk menutupi perut dan tepat di atas lutut.
Seketika Rose menutupi wajahnya karena merasa malu pada dirinya sendiri.
"Kenapa kamu begitu?" Steven bertanya ketika dia melihat Rose menutupi wajahnya.
"K-Kenapa kamu hanya memakai handuk seperti itu?" Rose menjawab, masih menutupi wajahnya.
"Kenapa? Tidak bisa? Bukankah kita suami istri? Tidak apa-apa membuka baju di depan kita masing-masing." Steven lalu mengambil baju yang ada di lemari dan mengeluarkan satu persatu baju yang akan dia pakai hari ini.
Rose membuka wajahnya dan saat itu dia melihat benda Steven yang seperti tongkat besar berayun di depan Steven dan kembali Rose menutupi wajahnya. Dia sangat membayangkan bahwa tidak, tidak. Itukah yang bisa membuat tubuh mereka bersatu? Rose terkejut ketika tiba-tiba Steven membuka tangan Rose yang menutupi wajahnya. Rose kembali melebar saat Steven tidak mengenakan pakaian di depannya.
"Bisakah kita melakukannya sekarang? Sejujurnya, aku tidak bisa menahan diri sejak kemarin," pinta Steven.
Rose menelan ludah. Dia tidak mengira Steven akan mengajaknya berhubungan seks sekarang. Tapi dia sudah menjadi istri Steven. Ia harus melakukan itu sebagai pengabdian seorang istri kepada suaminya. Dan Rose setuju.
Steven langsung melumat bibir Rose dengan lembut. Lalu memeluk Rose dengan hangat. Mendapat perlakuan seperti itu Rose merasa sangat senang. Ia pun mengikuti irama gerakan Steven yang kemudian membalas ciuman Steven dan akhirnya mereka saling bertukar air liur.
Pakaian Rose kemudian dilepas oleh Steven dan mereka berdua tidak mengenakan sehelai pakaian pun. Rose masih malu, tapi Steven berhasil meyakinkannya untuk melakukannya.
Steven terus merangsang Rose sampai Rose mengerang. Sebaliknya, Dia justru terus membuat Rose terbawa ke awan karena kesenangan. Rose juga sangat menikmati perlakuan Steven terhadapnya. Rose merasakan puncaknya saat masih melakukan pemanasan.
Steven memberikan instruksi kepada Rose untuk bergantian memberikan stimulasi. Dan Rose masih kaku dalam melakukan itu. Tentu saja, Rose tidak tahu apa-apa tentang itu. Dia masih sangat polos tentang hubungan itu.
Ketika Rose tidak tahu harus berbuat apa lagi, Steven mengambil kendali lagi. Rose berada di bawah Steven. "Apakah kamu siap?" lihat steven.
"Tahan sebentar! Sakit ini hanya sebentar. Kamu akan merasakan sensasi yang luar biasa setelah ini," bisik Steven. Dia kemudian mendorong kembali pantatnya. Dan dengan gerakan lambat semakin cepat. Rose yang tadi menyeringai kini berbalik mendesah. Dia tidak lagi kesakitan. Dia merasa baik. Memang benar kata Steven tadi sakitnya hanya sesaat. Tidak butuh waktu lama bagi Rose untuk merasa telah mencapai puncak lagi. Itu berdenyut dan dirasakan oleh Steven. Steven yang juga hendak mencapai puncak akhirnya mengeluarkan cairan putih kental di rahim Rose. Keduanya lemas dan penuh keringat. Steven menekan tubuh Rose dengan nafas yang tidak beraturan. "Terima kasih," bisik Steven di telinga Rose. Rose hanya tersenyum dan merasakan tubuhnya terasa enak. Dia baru sadar kalau dia belum mandi. Tentu saja, bau badannya tidak enak. Dia kemudian meminta Steven untuk tidur di sampingnya saja. "Aku akan mandi," kata Rose. Namun Steven memeluk tubuh Rose seolah tak mau ditinggal pergi ke kam
"Yah, terserah kamu, oke! Tapi sebaiknya kamu tidak seperti ini, Rose! Harga diri suamimu akan hancur jika dia tahu kamu suka makan di pinggir jalan. Kamu bisa lihat sendiri betapa mewahnya dia." adalah. Dia adalah seorang miliarder," kata Claire. "Sudahlah, tidak perlu banyak bicara nanti waktu makan siang selesai hanya karena kamu. Cepat pesan makanan kesukaan kita!" tanya Rose sambil menarik tangan Claire. Claire tidak bisa berhenti memikirkan cara berpikir temannya. Rose harus bisa mengubah sikapnya setelah menikah dengan orang nomor satu di perusahaan. Belum lagi kebiasaannya makan di pinggir jalan. Tapi begitulah Rose. Dia terbiasa melakukan itu. Selama itu masih baik untuk Rose, kenapa tidak? Waktu kantor telah tiba. Rose menunggu Steven dari lantai atas di lobi. Claire pulang lebih awal. Tak lama kemudian Steven muncul bersama anak buahnya. Rose mengikuti di belakang Steven. Dan mereka masuk ke dalam mobil secara bergantian. Dalam perjalanan pulang Steven juga tetap di
"Bisa dibilang begitu. Karena tidak ada yang bisa mengatakan itu selain Pak Steven. Memang Pak Steven pernah menikah sebelumnya. Tapi mereka sudah lama bercerai. Dan pernikahan itu hanya bertahan tidak lebih dari satu tahun," terangnya. Nyonya Luna. Rose mengerutkan kening padanya. "Hah, kok bisa?" "Maaf, saya tidak bisa menjelaskan hal ini karena bukan ranah saya. Mungkin nanti bisa ditanyakan langsung ke Pak Steven," jawab Bu Luna. "Baik," kata Mawar. Dia tidak bertanya lebih banyak. Karena dia merasa suaminya menyembunyikan sesuatu. Setelah itu Rose melanjutkan perjalanannya ke lantai dua. Dia kagum karena rumah itu sangat mewah. Kemarin dia tidak sempat memperhatikan semua itu karena dia terlalu sibuk untuk bingung dan tidak percaya dengan pernikahannya. Akhirnya Rose berhenti dulu di lantai lima karena lelah. Meski terlihat seperti hotel, kamar utamanya ada di lantai lima. Lainnya hanya untuk koleksi dan kamar pembantu. Dan yang di lantai paling atas adalah kama
Mode dinding “Bu Rose,” panggil seorang asisten rumah tangga. Luna memanggil Rose. "Ada apa, Lun?" dia bertanya. "Pak Steven menelepon Anda," jawab Luna. "Baiklah. Aku akan segera ke sana," kata Rose. "Ada apa lagi? Padahal aku masih nyaman di sini," gerutunya. Dia kemudian menuju ke ruang tamu tempat Steven duduk. "Mengapa kamu keluar di malam hari?" Dia bertanya. "Aku nyaman saja berada di luar. Melihat hamparan bintang yang luas di atas langit. Kebetulan bulan tidak ada. Kalau ada, mungkin aku lebih betah saja," jawab Roae santai. Karena alasan terbaiknya adalah menghindari Steven. "Nggak enak keluar malam. Lebih baik lihat bintang dari dalam kamar. Kamu klik tombol yang akan berubah menjadi dinding tembus pandang," jelas Steven. Rose tertegun. Ada tembok seperti itu. Dia tidak bisa mempercayainya. "Ayo ikuti aku!" Steven memerintahkan kemudian Rose mengikuti di belakangnya. Steven menuju ke dinding di mana ada dua tombol. Setelah Steven menekan tombol,
Halaman belakang rumah ini juga terlihat luas. Seperti taman bunga di kota. Berbagai jenis bunga dan pohon dirawat dengan baik. Steven membuat taman seperti itu agar dia bisa betah di halaman belakang. Jane kesal meninggalkan rumah Steven karena dianggap tidak mendapatkan apa-apa disana dan pulang dengan tangan kosong. Steven pun menghampiri putrinya yang berada di lantai lima rumah tersebut. Rose pasti membawanya ke sana. Dan memang benar, suara kamar Megan terdengar dari luar. "Megan," panggil Steven, lalu masuk ke ruangan tempat Rose juga berada di samping Megan. "Ayah, aku takut pada ibu," kata Megan. "Apakah ibumu menyukaimu?" Dia bertanya. "Mama selalu marah padaku kalau aku tidak melakukan apa yang disuruh. Dan aku dimarahi kalau tidak mau menurut. Aku ingin di sini bersamanya," jawab Megan sambil menunjuk Rose. Steven menoleh ke Rose. Kehadiran Rose membuat Megan merasa nyaman. Dan pertemuan saja sudah membuat Megan ingin berada di sampingnya. "Ya, kamu
Pagi telah tiba, dan Megan terbangun oleh suara alarmnya. 'Apa aku tidur selama ini' pikir Megan karena Megan tertidur dari kemarin sore sampai pagi ini. Megan turun dari tempat tidurnya dan mencari Steven dan Rose. "Ayah, ibu, di mana kamu?" tanya Megan sambil berteriak. "Mommy and dad ada di sini sayang," jawab Rose sambil berteriak kecil agar anak yang mencarinya mendengarnya. Megan kemudian berjalan menuju sumber suara yaitu dapur. "Megan sudah bangun sayang?" tanya Steven. "Itu dia, kenapa tadi malam kamu tidak membangunkanku? Karena kamu tidak membangunkanku, aku tertidur sampai pagi," kata Megan. "Kemarin ayah sebenarnya ingin membangunkanmu, tapi melihat tidurmu yang begitu nyenyak aku tidak tega membangunkanmu," kata Steven. "Sungguh, tapi lihat mataku, bengkak karena tidur terlalu lama," kata Megan. "Tidak apa-apa, putri ayah masih terlihat sangat cantik meski dengan mata seperti itu," goda Steven Megan. "Kamu membuatku malu," kata Megan sambil menutupi
Hari-hari Megan dilalui dengan bahagia, Megan kini terlihat lebih ceria dari hari sebelumnya. Di sekolah, Megan selalu mendapat peringkat pertama atau nilai tertinggi di kelasnya. "Mama besok mama mau masak apa untuk sarapan?" tanya Megan dengan senyum manis di bibirnya. Rose mencubit pipi Megan dengan sayang, yang membuat tuannya mengerang kesakitan. Megan mengerucutkan bibirnya dengan imut yang membuat Rose semakin gemas. Memiliki Megan sendiri sangat membahagiakan, apalagi jika Rose sudah memiliki momongan. Anak laki-lakinya? Pasti lebih sedih! "Mau makan apa, Megan? Apa yang Megan mau, Mommy yang masak," jawab Rose. "Megan mau makan Mommy's Sandwich," kata Megan sambil menatap Rose dengan puppy eyes-nya. Rose terkekeh, kenapa gadis ini begitu manis?! "Ya, besok Mommy akan memasak sandwich, sekarang Megan mau telur dadar atau tidak?" Rose bertanya pada Megan. "Mau mami, Megan suka omelet mami," jawab Megan memuji omelet Rose. "Apakah suamimu juga tidak d
Pagi harinya Rose meminta bantuan anak buah Steven untuk menemaninya ke rumah Jane. Untuk mengambil Megan darinya. Dia tidak tahu seperti apa Megan sekarang di rumah Jane. Karena ibu kandungnya selalu menyiksanya. Tidak ada hati sama sekali. Ibu kandung macam apa itu? Rose diantar oleh anak buah Steven, hanya Rose yang meminta mereka untuk kembali lagi. Itu akan menjadi urusannya. Perjalanan menuju rumah Jane cukup jauh. Rose begitu mengkhawatirkan Megan yang tidak lain adalah putrinya. Meski berstatus sebagai ibu tiri, meski Rose tidak memiliki hubungan darah. Namun, Megan tetap putrinya. Pasalnya, hubungannya dengan suaminya tak lain adalah Steven. Beberapa menit berlalu. Keberangkatan Steven ke rumah Jane tidak diketahui. Bahkan Rose memerintahkan anak buahnya untuk tidak memberi tahu suaminya. Karena Steven melakukan layanan di luar negeri. Pasti sangat sibuk dengan pekerjaan. Rose tidak ingin mengganggunya. Biarkan suaminya beristirahat dengan tenang tanpa
Andrew telah dipindahkan ke ruang rawat inap setelah operasi dua hari lalu. Sebelumnya, si kecil harus dirawat di ICU selama dua malam. Steven dan Rose pun tidur di kursi ruang tunggu selama dua malam, hal itu dikarenakan Rose sama sekali enggan meninggalkan Andrew. Padahal harus mengorbankan punggungnya dan Steven yang sudah sangat kaku karena duduk semalaman. Itu terjadi dua malam berturut-turut. Bagaimana lagi, kalau bukan di sini Rose juga tidak akan tenang. Dia akan gelisah sepanjang malam memikirkan putranya. Pagi-pagi sekali perawat memindahkan Andrew ke ruang rawat inap VVIP sesuai permintaan Steven. Steven dan Rose cukup lega karena Andrew sudah memasuki masa pemulihan. Setidaknya Andrew menjadi lebih baik. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kondisinya sangat memprihatinkan. Andrew juga telah menunjukkan tanda-tanda sadar. Dengan menggerakkan jarinya beberapa kali, dia pun mulai mengigau. Ponsel Steven berbunyi, ia lalu menjawab panggilan masuk itu. Karena
Hari ini adalah hari pertama Rose bekerja. Dia akan tiba di kantor sepuluh menit sebelum bel berbunyi, dia tidak ingin memberikan kesan buruk di hari pertamanya. Dia diantar ke mejanya oleh orang yang mewawancarainya kemarin. Ketika dia ditunjukkan tempat duduknya, dia terkejut karena orang yang duduk di sebelahnya adalah Claire. Dulunya pegawai suaminya, kini satu kantor lagi. “Rose, perkenalkan. Ini Claire, asistenmu, dan Claire adalah manajer baru kita," kata wanita itu. "Halo, Rose?" Claire juga terkejut. "Kalian saling kenal?" "Iya bu, dia adalah istri dari mantan bos saya di perusahaan sebelumnya," ucap Claire. "Wah? Benarkah? Bagus sekali, tidak meminta pekerjaan pada suamimu." "Hanya mencari suasana baru, Bu." Rose tersenyum canggung. “Padahal seingatku, perusahaan tempat Claire bekerja dulu itu besar lho. Kamu pasti bosan, makan, dan ingin bekerja.” “Jangan panggil aku ibu, panggil saja namaku. Bukankah kamu asisten CEO? Seharusnya aku yang memangg
Sesampainya di rumah, Luna dan Rose langsung berpelukan bak saudara kembar yang sudah lama berpisah. Keduanya banyak mencarter bersama, bahkan lucunya Luna banyak memasak hari ini. Entah kenapa, dia ingin sekali memasak, dan ternyata tuan rumah dan nyonya rumah pulang setelah satu tahun. Padahal keduanya baru saling kenal setahun lalu. Tak satu pun dari mereka tahu apa pun tentang latar belakang satu sama lain. Tapi mereka berteman dan saling mencintai. Bisa dibilang saudara kandung yang baru bertemu saat dewasa. Tidak berhubungan tetapi searah. "Apakah Andrew dan Andrea nakal, Luna?" dia bertanya. Dia ingin tahu apakah anak-anaknya mengganggu Luna atau tidak. Bukankah buruk jika kedua anaknya menyusahkan Luna? Mungkin orang yang mendengar ini akan merasa aneh, bagaimana bisa seorang tuan merasa tidak enak karena telah merepotkan pelayannya? Karena menurut Rose, pembantu juga manusia, dan derajat manusia pun sama. Jika kita ingin dihormati maka kita harus belajar me
Saat malam tiba, Rose dan Luna sedang menemani si kembar menonton film kartun di ruang tamu. Rose sudah memerintahkan Luna untuk menyuruh semua orang ke kamar masing-masing. Agar Rose bisa menonton dengan tenang. Tak kenal takut karena para pelayan dan pengawal. “Tadi Ibu menyuruh pembantu untuk membuatkan brownies, coklat, dan rasa strawberry,” kata Rose. Dia berbicara tentang brownies yang disajikan di atas meja di ruang tamu. Terima kasih, Ibu!” Seru Andrew, lelaki kecil itu segera memakan brownies yang sudah disiapkan Ibu. “Ibu, Andrea mau susu,” kata Andrea sambil menatap Rose dengan mata menggemaskan. Mata anak anjing? Mungkin itu namanya. Biarkan aku mengambilnya, oke? Tawaran Luna dijawab Andrea dengan anggukan antusias. Luna lalu pergi membuatkan susu untuk si kembar. Dia juga membuatkan jus untuk Rose. Saat menyajikan minuman, Rose merasa aneh karena hanya ada t
Saat malam tiba, Rose dan Luna sedang menemani si kembar menonton film kartun di ruang tamu. Rose sudah memerintahkan Luna untuk menyuruh semua orang ke kamar masing-masing. Agar Rose bisa menonton dengan tenang. Tak kenal takut karena para pelayan dan pengawal. “Tadi Ibu menyuruh pembantu untuk membuatkan brownies, coklat, dan rasa strawberry,” kata Rose. Dia berbicara tentang brownies yang disajikan di atas meja di ruang tamu. Terima kasih, Ibu!” Seru Andrew, lelaki kecil itu segera memakan brownies yang sudah disiapkan Ibu. “Ibu, Andrea mau susu,” kata Andrea sambil menatap Rose dengan mata menggemaskan. Mata anak anjing? Mungkin itu namanya. Biarkan aku mengambilnya, oke? Tawaran Luna dijawab Andrea dengan anggukan antusias. Luna lalu pergi membuatkan susu untuk si kembar. Dia juga membuatkan jus untuk Rose. Saat menyajikan minuman, Rose merasa aneh karena hanya ada tiga gelas. "Kenapa hanya tiga?" dia bertanya. “Bukankah hanya kamu dan si kembar? Apakah
Pagi ini Rose akan menjalani beberapa terapi di rumah sakit. Steven tidak berangkat ke kantor dan memilih menemani Rose. Wanita itu sedikit gugup karena ini adalah yang pertamanya. Tentu saja, bukan? Seperti sebelumnya, Rose menggunakan pakaian tertutup serta masker dan topi. Wanita tidak ingin menjadi pusat perhatian orang-orang disekitarnya. “Rose, kita hampir sampai. Jangan gugup, lakukan yang terbaik, aku bersamamu,” kata Steven. Pria itu menatap mata manik istrinya. Rose terdiam, wanita itu lalu mengikuti langkah perawat itu hingga menemui dokter yang akan membantunya dalam terapi. "Hai! Bagaimana kabar Rose?" tanya seorang dokter wanita muda. Ya, dokter tersebut adalah dokter yang mendiagnosis Rose mengalami gangguan kecemasan umum. "Hei, apa yang akan kita lakukan?" tanya Rose sedikit gugup. Dokter muda itu memandang sekelilingnya, dan dia mengert
Andrew tiba-tiba terbangun dan melihat ibunya sedang melamun. Andrew lalu berdiri dan memeluk Rose dari belakang. Rose melemparkan Andrew ke tanah, untung Andrew terjatuh di tempat tidur. Supaya tidak berdarah atau terluka, mungkin hanya sedikit syok saja. Tangisan Andrew menyadarkan Rose dan Steven pun terbangun. Steven berlari menghampiri Andrew yang menangis dengan wajah memerah. Steven memeluk Andrew dengan erat, berusaha menenangkan putranya. “Aku baru saja ingin memeluk Ibu, tapi Ibu malah dilempar,” kata Andrew sambil menangis. Rose merebut Andrew dari Steven lalu memeluk erat putranya itu. Rose terus menangis sambil terus menggumamkan kata maaf. Andrew memeluk Rose dengan erat, sangat erat. Ketika Andrew menyadari bahwa dia membuat ibunya menangis, anak berusia tujuh tahun itu langsung berhenti menangis. Dia menyeka air mata ibunya. Andrew tak ingin ada air mata di antara mereka. Yang ada hanya senyuman, semoga selamanya. "Hentikan Ibu! Jangan menangis, A
Setelah orang tuanya kembali, Rose langsung menuju kamarnya, wanita itu terdiam di dalam kamar, dan Rose masih berkata bagaimana jika ada sesuatu yang sangat penting, padahal tadi wanita itu bisa saja? Tentu saja hal itu membuat Steven khawatir, Steven langsung masuk ke dalam kamarnya, ia ingin memeriksa apakah Rose baik-baik saja. Sesampainya di kamar, pria itu mendapati istrinya sedang duduk kosong. Akhir-akhir ini ia sering menatap Rose sambil melamun sendirian dalam waktu yang lama. Semua ini karena teror gila yang dikirimkan Helen. Dia mendekati istrinya dan menariknya untuk bersandar di dadanya. Rose masih menatap satu titik dengan tatapan kosong, padahal tubuhnya sudah berada dalam pelukan Steven. “Sekarang kamu tidak perlu khawatir, kami sudah pergi menemui Helen. Dia sudah meminta maaf dan berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama," ucap Steven berusaha menenangkan istrinya. Ia berharap perkataannya cukup menenangkan istrinya.
Penjelasan “Rose, kenapa kamu masih duduk disana? Ayo berangkat!” ajak Nyonya Vega. Mereka sudah bersiap berangkat ke rumah Helen, namun tidak bersama Rose. Ia merasa enggan untuk bertemu dengan Helen, apalagi mengingat teror yang mengerikan. "Aku tunggu di rumah saja, aku tidak akan pergi," ucap Rose dengan tidak nyaman. "Ada apa Rose? semuanya akan baik-baik saja, ayo kita jelaskan semua yang terjadi pada Helen," ucap nyonya Vega. Namun Rose tetap menggelengkan kepalanya, mengingat ia tak ingin bertemu dengan wanita yang menerornya. Rose sepertinya tidak bisa menerima kelakuan Helen yang diberikan padanya. Saat mengangkat pun kata Andrea hanya Rose yang selalu berusaha menghindari wanita itu. Lalu bagaimana ceritanya jika kali ini Rose harus ke rumahnya? Temui dia secara terbuka? "Ada apa sayang? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" Steven bertanya dengan lembut."A-aku, aku tunggu sa