Beberapa hari setelahnya, Melvin memanggil seluruh pelayan di rumah mewahnya. Pagi-pagi sekali ia memecat seluruh pelayan yang terdiri dari lima orang pembantu, dua sopir dan tiga satpam. Melvin membayarkan pesangon saat itu juga dan meminta mereka pergi. Cindy yang kebingungan melihat sikap suaminya kemudian datang menghampiri.
“Mas, kenapa kamu memecat mereka? Mereka salah apa?” tanya Cindy dengan kening mengernyit.
“Mulai sekarang kamu akan bekerja sendiri. Aku udah gak sanggup bayar pembantu.” Melvin menjawab dengan tegas. Ia tampak menahan marah pada Cindy yang tidak bersalah.
“Tapi ....”
“Aku kan sudah bilang kalau kamu mau tetap bisa hidup mewah kamu harus bekerja, tapi kamu ngotot masih tetap jadi ibu rumah tangga. Kita kan belum punya anak. Seharusnya gampang buat kamu bekerja di luar,” sahut Melvin kembali marah. Cindy hanya diam dan menundukkan wajahnya. Mimpi buruknya bahkan belum pulih sepenuhnya dari kejadian dua minggu lalu. Sekarang ia sudah dipaksa bekerja lagi oleh suaminya.
“Ya sudah besok aku akan cari kerjaan.” Cindy yang mengalah berbalik pergi meninggalkan Melvin yang sudah membuang badannya ke samping. Ia hanya melihat sekilas pada Cindy sebelum mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.
“Dia sudah setuju. Lalu sekarang bagaimana?” tanya Melvin seraya mengurut keningnya.
“Suruh dia ke perusahaanku sesuai dengan kesepakatan kita.” Melvin memejamkan matanya mendengar kalimat dari Sebastian Arson yang ia hubungi.
“Iya. Dia akan datang besok.” Melvin memutuskan sambungan tersebut dan kembali ke ruang kerjanya. Ia mengambil sebuah dokumen yang disimpannya di dalam laci. Sambil menggigit bibir bawahnya, Melvin menatap lagi perjanjian rahasia yang ia buat di luar sepengetahuan Cindy sebagai objek.
“Huh, bagaimana kalau kakaknya tahu? Bisa mati aku!” gumam Melvin mengumpat pelan. Namun nuraninya tak lagi bisa berpikir, Melvin menandatangani surat perjanjian tersebut tanpa mau berpikir panjang. Setelah memasukkannya ke dalam amplop berkas lalu menyegelnya, Melvin mencari Cindy yang sedang memasak di dapur.
“Cin, besok kamu ikut aku ya.” Cindy berbalik pada Melvin dengan raut polos tak mengerti.
“Kita mau ke mana, Mas?”
“Besok ada wawancara kerja buat kamu. Kamu diminta masuk ke perusahaan yang akan menjadi investor baru dari Amerika. Aku diminta mencari kandidat untuk sekretaris eksekutif dan aku kasih nama kamu. Barusan mereka menelepon bilang kalau besok adalah waktu wawancara untuk kamu,” ujar Melvin menjelaskan panjang lebar.
Cindy terperangah sampai menghentikan aktivitasnya memasak. Ia ingin menolak tapi dirinya sudah berjanji akan mencari pekerjaan. Akan tetapi, tawaran pekerjaan datang tiba-tiba bahkan sebelum dirinya mempersiapkan apa pun.
“Tapi, Mas. Aku kan belum pernah memberikan dokumen apa pun soal lamaran kerja.”
“Gampang, kamu tinggal bawa besok. Aku akan ngaterin kamu, siap-siap ya.” Melvin tidak memberi waktu bagi Cindy berpikir ataupun menjawab. Ia langsung pergi begitu menyampaikan niatnya.
Keesokan harinya, Cindy bersiap untuk wawancara pekerjaan yang belum ia persiapkan sama sekali. Meskipun Cindy pernah menjadi sekretaris saat masih kuliah S2 di New York, tetapi ia sudah sangat melupakan hal itu. Sebuah kecelakaan merengut sebagian besar ingatan masa lalunya.
“Ayo kita berangkat. Jangan sampai kamu terlambat.” Cindy terhenyak dari lamunannya dan buru-buru berdiri. Cindy dan Melvin naik satu-satunya kendaraan yang masih tertinggal karena sisanya sudah dijual. Meski hanya SUV, mobil tersebut masih tergolong cukup mewah. Melvin pun mengantarkan Cindy sampai ke lobi parkir utama sebuah gedung perkantoran mewah. Sebelum turun, Melvin sedikit berpesan pada Cindy.
“Jangan menolak apa pun syaratnya. Kita butuh uang sekarang jadi gak cuma aku yang seharusnya bekerja keras tapi kamu juga.” Cindy tertegun sesaat sebelum mengangguk dan keluar dari mobil.
Cindy berjalan naik melewati beberapa anak tangga dan berbalik ke belakang. Mobil Melvin langsung pergi meninggalkan Cindy yang gugup dan takut. Cindy tidak tahu apa yang akan dihadapinya di dalam.
“Bapa di Surga, bantulah aku,” ucap Cindy dalam hati sebelum melangkah masuk.
Cindy kemudian berjalan ke meja resepsionis dan berhenti di depannya. Keningnya mengernyit dengan mata sedikit memicing.
“Moulson,” sebut Cindy pelan membaca nama perusahaan di dinding belakang meja resepsionis. Cindy makin mengernyitkan keningnya. Rasanya ia pernah mendengar nama itu di suatu tempat tapi ia lupa.
“Maaf, Bu. Ada keperluan apa?” tanya pegawai resepsionis mengejutkan Cindy. Buru-buru Cindy mendekat lalu tersenyum ramah mengatakan tujuannya. Ia menepis rasa penasaran di hatinya tentang perusahaan tersebut. Mungkin saja ia pernah menyaksikan berita di televisi tentang perusahaan bernama Moulson.
Cindy diberikan arahan untuk naik ke lantai 15 dan masuk ke ruangan HRD. Ia pun menuruti seraya membawa berkas lamaran pekerjaan miliknya. Dari ruangan HRD, Cindy diarahkan ke sebuah ruangan kecil yang digunakan untuk rapat. Seorang manajer HRD ikut masuk mewawancarai Cindy.
Setelah semuanya berjalan lancar dan baik, manajer itu langsung memberikan keputusan.
“Sebelum Ibu Cindy resmi bekerja, sebaiknya Ibu Cindy bertemu dengan CEO Moulson terlebih dahulu. Silakan.” Manajer itu mengantarkan Cindy ke ruangan CEO yang terletak di lantai 20. Cindy hanya mengikuti saja meski perasaannya tak enak soal pekerjaan barunya.
Saat Cindy masuk ke ruangan CEO, hanya ada satu pria yang sedang berdiri di sebelah meja CEO yang mewah. Pria itu tersenyum pada Cindy lalu mendekat.
“Perkenalkan nama saya, Edward Harsa, saya adalah Vice CEO Moulson Indonesia. Selamat datang, Ibu Cindy Andriani.” Pria bernama Edward itu menyapa dengan ramah sekaligus berjabat tangan. Cindy sedikit membuka mulutnya lalu mengangguk mengerti. Semula ia mengira jika Edward adalah bos barunya.
“Terima kasih, Pak.” Cindy balas menjawab.
“Silakan duduk. CEO akan datang sebentar lagi.” Cindy pun mengangguk dan duduk di salah satu sofa di ruangan mewah CEO tersebut. Manajer HRD dan Edward sempat berbincang beberapa saat sebelum salah satu pintu dari arah samping ruangan terbuka.
Mata Cindy terbelalak melihat pria yang keluar dari ruangan tersebut. Ia berjalan ke arah Cindy dengan ekspresi dingin. Edward dan manajer HRD bahkan sedikit membungkuk pada pria tersebut. Akan tetapi, Cindy tak bisa bicara sama sekali.
“Jadi dia sekretaris baruku?” tanya pria itu pada manajer HRD dengan pandangan tajam tetap mengarah pada Cindy.
“Benar, Pak.” Pria itu mengangguk berdiri angkuh di depan Cindy yang perlahan bangun dari posisinya. Ujung bibirnya naik tak lama kemudian menunjukkan seringai jahat sama seperti dua minggu lalu.
“Uh, Ibu Cindy. Perkenalkan ini adalah atasan Ibu langsung, Pak Sebastian Arson,” ujar Edward memperkenalkan Sebastian pada Cindy.
“Tugasmu sebagai sekretaris bukanlah tugas yang main-main. Kamu harus mampu melayaniku dengan baik serta mengerjakan seluruh tugas dengan sempurna. Pegawai yang tidak menurut, akan mendapatkan ganjarannya. Apa kamu mengerti?” ujar Sebastian pada Cindy. Cindy diam membeku tak bisa menjawab, bahkan untuk bernapas pun sulit.
Cindy terus menundukkan wajahnya kala mengetahui jika Sebastian Arson adalah CEO yang akan menjadi bosnya. Padahal susah payah Cindy mencoba memulihkan diri dari kejadian dua minggu lalu dan kini ia malah masuk perangkap Sebastian.“Tanda tangan kontrak kamu sekarang!” Sebastian memerintahkan Cindy setelah manajer HRD meletakkan sebuah dokumen di depan Cindy. Cindy mengangkat kepalanya lalu matanya mengarah dari Sebastian ke kontrak kerja di depannya. Cindy lalu menggeleng cepat dan menolak.“Maaf, saya tidak jadi melamar pekerjaan ini,” jawab Cindy dengan suara rendah sekaligus bergetar. Manajer HRD dan wakil CEO, Edward Harsa langsung menoleh pada Cindy. Sedangkan Sebastian duduk di sofa di depan Cindy dengan sikap angkuh dan sebelah tangan terlipat mengepal di dekat wajahnya. Pandangan Sebastian yang tajam membuat Cindy takut. Cindy nyaris meneteskan air mata karenanya. Seketika tubuhnya sakit seperti saat malam kelabu itu kembali lagi.“Tapi Bu Cindy sudah diterima bekerja dan seh
Cindy begitu kaget saat Sebastian mendorongnya ke pinggir meja di depan kursi. Sebastian masih dalam posisi duduk dan Cindy dipaksa bersandar di ujung meja.“Ah, lepas! Bapak mau apa!?” Cindy mencoba melawan tetapi tangan Sebastian dengan cepat menaikkan sebelah kaki paha Cindy. “Diam!” ancam Sebastian sedikit melotot. Cindy sedikit terengah dan ketakutan saat tangan Sebastian memegang pahanya. Sebelah tangan lagi mengambil plester luka dan lalu menempelkannya pada lutut Cindy yang terluka. Barulah Cindy berhenti.“Ahh.” Cindy sedikit mengaduh karena rasa sakit dari lututnya yang berdarah. Sebastian tak peduli lalu mengambil selembar tisu untuk menyeka sisa darah yang akan mengering.“Jangan pikir aku sedang berbaik hati.” Sebastian tiba-tiba bicara, lalu matanya naik memandang Cindy yang masih sangat gugup dan takut. Ujung bibirnya naik saat tangannya yang semula menempelkan plester kini mengelus kulit paha Cindy dari lutut semakin naik ke atas.Rasa tidak nyaman dan tidak suka lang
Saat pintu ruang CEO terbuka, seorang pria masuk dan berhenti di dekat pintu. Saat itulah, Sebastian yang sedang mencekal Cindy lantas berpaling dan melepaskan cengkeramannya. Cindy seperti tak punya tungkai, ia jatuh ke lantai terduduk begitu saja.Pria itu melirik pada Cindy dengan tatapan dingin lalu kembali pada Sebastian yang menahan amarah dan geraman pada rahangnya.“Maaf mengganggumu, Pak,” ujar pria tersebut. Sebastian tidak menjawab dan kembali melihat pada Cindy yang sedang terengah meraih udara ke paru-parunya.“Kenapa kamu diam sekarang?” hardik Sebastian. Cindy tidak mau menjawab. Air matanya terus tumpah dari sudut matanya. Ia merasa dirinya begitu kotor saat ini, disentuh berkali-kali oleh pria yang tidak ia kenal. Padahal dirinya adalah seorang istri dari pria terhormat.“Masih gak mau liat aku?” gumam Sebastian dengan nada rendah yang sama. Sebastian berdiri angkuh di depan Cindy yang menarik pelan ujung blazernya agar menutupi tubuh depannya lagi. Pandangan matanya
Cindy duduk di sofa di ruangannya dengan kedua tangan tetap memegang ujung blazernya agar tidak memperlihatnya bagian depan tubuhnya. Ia tengah memperhatikan beberapa dokumen yang diletakkan di atas meja oleh seorang pengacara bernama Lefrant Emir.“Ini adalah seluruh rincian pinjaman uang yang sudah diterima oleh suami Anda, Melvin Hadinata pada Bapak Sebastian Arson. Perjanjian terakhirnya adalah Melvin menyerahkan Anda sebagai jaminan utang yang harus ia tebus dalam waktu satu minggu. Sayangnya, ini bahkan sudah jatuh tempo dan melewati tenggat waktu bayar,” ujar Lefrant dengan sikap dingin.Pria berkaca mata itu memandang Cindy yang tampak tertegun sekaligus ketakutan. Cindy meneteskan air matanya tanpa ia sadari. Matanya menatapi lagi dokumen perjanjian utang Melvin.“Berapa jumlahnya?” Cindy bertanya dengan suara sangat rendah.“Totalnya 15 milyar.” Cindy membuka mulutnya tak percaya lalu mengatupkannya lagi erat-erat. Kedua tangannya mengepal serta meremas ujung blazer sambil m
Cindy menggeleng cepat dan tidak mau menuruti Sebastian sama sekali. Pria gila yang sekarang menjadi bosnya itu tetap menatap tajam pada Cindy. Setelah tanpa rasa malu memintanya melepaskan pakaian, Sebastian masih berlaku kasar. Ia menarik ujung blazer Sofie sampai terlepas. “Ahk, jangan!” pekik Sofie karena blazernya dipaksa lepas oleh Sebastian yang menariknya dengan kasar. Lefrant Emir hanya diam saja menyaksikan bos sekaligus sahabatnya itu tengah menyiksa Cindy. “Ini akibatnya jika kamu gak mau nurut!” bentak Sebastian. Ia menyentakkan blazer yang masih terpasang di tubuh Cindy dengan rasa kesal yang luar biasa. Sebastian terengah karena emosi yang menumpuk untuk Cindy. Sedangkan Cindy menahan keras isak tangisnya meski tak bisa. “Apa sih maumu?” Sebastian kembali membentak. “Lepaskan saya, Pak. Saya gak tahu apa pun.” Cindy menangis pelan serta memohon. Kulitnya sudah sakit serta perih karena gesekan keras dari blazer yang ditarik paksa tersebut. Sebastian masih belum berhen
Dengan menumpang sebuah taksi, Cindy pulang ke rumahnya. Hari masih sore tapi bagi Cindy semua telah berubah malam─gelap dan dingin. Matanya terus memandang ke arah luar. pandangan kosong dengan bekas jejak air mata yang sudah mengering di sudut mata. Rasa sesak sudah berganti dengan rasa sakit yang tak bisa diungkapkan. Hari ini adalah hari pertama. Lantas apa yang akan terjadi besok? Apakah Cindy harus menghadapi hal yang sama. Tidak, dia tidak akan pernah sanggup.“Bu, sudah sampai.” Teguran sopir taksi online sedikit menyentakkan Cindy dari lamunannya yang sudah menerawang jauh. Cindy mengangguk lalu mengambil dompet untuk menarik dua lembar uang lima puluh ribuan lalu memberikannya pada sopir tersebut. Setelah membayar, Cindy keluar dari mobil dengan rasa sakit yang masih terasa di bawah tubuhnya. Cindy sudah berganti pakaian dengan dress baru karena pakaiannya telah dirusak Sebastian.Di depan rumahnya yang mewah, Cindy melihat mobil Melvin terparkir
Sebastian Arson datang tepat waktu seperti biasa, yaitu pukul 8.30 pagi. Ia berjalan melewati ruangan Cindy dan melirik─tidak ada seorang pun di sana. Pasti Cindy sudah bersiap di ruangannya melapor seperti seharusnya. Dulu Cindy melakukannya dengan sangat baik kala masih bekerja di New York. Maka sekarang pun, harusnya ia demikian.Akan tetapi, saat Sebastian masuk tidak ada siapa pun di ruangannya. Ia mengernyitkan keningnya lalu berbalik ke belakang. Edward Harsa yang menjadi wakil CEO masuk tak lama kemudian setelah mengetahui jika Sebastian sudah datang.“Selamat pagi, Pak.” Edward menyapa dengan wajah tanpa senyum seperti biasa. Sebastian sepenuhnya berbalik dan berjalan beberapa langkah ke hadapan Edward.“Mana Cindy?” tanya Sebastian singkat. Edward melirik ke sudut ruangan kanan dan kiri. Memang tidak ada sosok Cindy sama sekali.“Sepertinya Nona Cindy belum datang, Pak.”Sebastian mendengus kesal dengan
Melvin menyeret Cindy ke pintu depan di mana taksi online sudah menunggu. Ia tidak peduli pada kondisi Cindy yang pucat meski ia sudah sedikit membubuhkan make up.“Ayo berangkat. Kamu sudah terlambat.” Melvin separuh menghardik dengan membuka pintu mobil taksi.“Kenapa gak kamu saja yang nganterin aku, Mas? Kepalaku pusing. Kalau aku pingsan di jalan bagaimana?” ujar Cindy meminta sedikit rasa kasihan dari Melvin. Melvin malah makin jengah dan kesal. Ia berkacak pinggang balik memarahi Cindy.“Kamu manja amat sih! Uda masuk ke dalam sana!” Melvin separuh mendorong Cindy yang terpaksa masuk ke dalam mobil karena ia tidak memiliki tenaga untuk melawan Melvin. Pada akhirnya, Cindy harus pasrah menerima nasib. Entah apa yang akan terjadi padanya saat bertemu Sebastian nanti.Tangan Cindy makin dingin sedangkan demamnya makin naik. Pandangannya sesekali kabur sesekali terang. Untuk menghemat tenaga, Cindy menyenderkan kepal
Tanpa mau pulang ke apartemen mewahnya, Sebastian langsung menuju Moulson begitu ia sampai di Jakarta. Edward sudah menunggu di depan koridor dekat lift. Begitu ia melihat Sebastian, Edward langsung menghampiri.“Pak?”“Mana Cindy?”Sebastian berhenti di depan Edward yang menggeleng dengan wajah tanpa senyuman. Ia melepaskan napas panjang lalu berjalan melewati Edward. Lefrant juga mengikuti Edward yang berjalan setelah Sebastian. mereka sama-sama menuju ruang sekretaris. Tidak ada siapa pun begitu Sebastian masuk. Ia hanya menemukan sepucuk surat dalam amplop di atas meja kerja.Sebastian mengambil surat tersebut lalu membukanya. Wajahnya tampak tegang lalu rahangnya mengeras kala membaca isinya. Sebastian lalu menoleh pada Edward yang ikut masuk.“Kapan dia datang?”“Satu jam yang lalu. Dia langsung pergi setelah memberikan surat itu.” Edward menjawab. Sebastian melepaskan napas berat lalu mengambil ponselnya. Ia mencoba menghubungi nomor Cindi sekali lagi tapi seperti sebelumnya, i
Peter tersenyum kecil melihat Cindy mau duduk dan bicara dengannya. Perjalanan ke Jakarta masih panjang dan Cindy akan kembali pada kehidupannya.“Apa kamu mau makan?” Peter menawarkan sekaligus berbasa-basi. Cindy menggelengkan kepalanya.“Gak, Mas. aku sudah makan.” Peter mengangguk lagi dengan sikap kaku serta saling mengaitkan jemari. Ia tidak tahu harus membicarakan topik apa. sampai Cindy kemudian bicara lebih dulu.“Maafkan aku, Mas.” Peter sedikit terkesiap lalu menoleh pada Cindy. Matanya masih menatap Cindy yang diam melakukan hal yang sama.“Aku sudah membuat kamu terluka dan patah hati. gak seharusnya aku meninggalkan kamu.” Peter semakin tertegun. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain dan saat itu Jasman sedang menatapnya tajam. Jasman tidak bisa mendengar pembicaraan yang terjadi tapi ia tahu jika Peter tidak akan pernah menolak sedikit pun sebuah kesempatan. Peter masih diam tak menjawab. Cindy pun menundukkan pandangannya dan fokus menatap salah satu sudut di depanny
Sepanjang perjalanan panjang menuju Jakarta, Sebastian hanya diam saja. Tidak seperti saat pertama pergi, kali ini Sebastian duduk sendirian. Tiada kehangatan pengantin baru yang pantas dirasakan Sebastian bersama Cindy. Ia bahkan tidak bisa melakukan pernikahan yang sudah direncanakannya dari semenjak di Indonesia.“Pak, sudah waktunya kita transit.” Lefrant memberitahukan pada Sebastian yang masih melamun. Sebastian hanya mengangguk kecil lalu menatap lagi ke arah luar. ia tidak menikmati perjalanan panjang yang sangat melelahkan hati.Sedangkan Lefrant menatap murung pada keadaan Sebastian yang tidak bergerak dari kursinya semenjak beberapa jam lalu. Ia terlihat sangat sedih dan Lefrant tidak tahu harus berbuat seperti apa. ia bahkan tidak tahu caranya bicara pada Sebastian.Lefrant pun membuka room chat dengan Edward di Jakarta. Lefrant sudah menceritakan semuanya. Edward yang sedang mengurus urusan pekerjaan milik Sebastian di Jakarta terpaksa sedikit membagi waktunya untuk memat
Cindy tersenyum saat melihat sosok Kalendra dan Dallas yang sudah lama sekali tidak dilihatnya. Meski tidak bisa mengingat seluruhnya, tetapi Cindy merasa bahagia bertemu kembali dengan dua ponakan yang dulu sempat ia asuh, terutama Dallas.“Aunty pergi ke mana? Aku tidak pernah melihat Aunty lagi,” ujar Kalendra usai melepaskan sedikit pelukannya dari Cindy. Cindy tersenyum lalu membelai pipi Kalendra.“Aunty sedang bersekolah.” Kalendra tersenyum lalu mengangguk. Dallas yang mendekat juga dipeluk Cindy. Cindy bahkan mencium kepala Dallas beberapa kali.“Kamu sudah gede banget!” ucap Cindy dalam bahasa Indonesia. Dallas menyengir.“Aunty bisa bahasa Indonesia?” pekik Dallas menyengir lebar.“Bisa dong, Aunty Cindy kan adik Papa. Tentu saja dia bisa bahasa Indonesia.” Dion menyela dengan senyuman pada Dallas. Dallas kembali memeluk Cindy. Kalendra dan Dallas melepaskan kerinduan mereka pada bibi yang sudah sangat lama tidak mereka temui. Bahkan Dallas sampai melupakan wajah Cindy.Dio
Micheal Arson kini tidak mau lagi kompromi dengan Sebastian soal pernikahannya. Jessica langsung mengadu pada mertuanya itu meminta pertanggung jawabannya. Ia tidak suka jika Sebastian berselingkuh dengan wanita lain sekalipun, pernikahan mereka bukanlah pernikahan yang sesungguhnya.Michael langsung menelepon Sebastian memaksanya untuk segera kembali ke New York. Sebastian yang sedang berada di kamar, rasanya ingin membanting ponsel sekali lagi. ia bahkan belum tidur sama sekali.“Jangan bikin Papa menyeret kamu kemari. Kalau kamu tidak datang, Papa akan benar-benar melakukannya!” Michael mengancam lewat sambungan telepon itu. Sebastian menggeram kesal lalu mematikan panggilan itu begitu saja. Ia sudah tidak lagi memiliki rasa hormat pada ayahnya itu.Sebastian kembali mengurut keningnya. Ia buntu, tak bisa berpikir dengan baik. Tak lama, Lefrant masuk ke kamarnya. Ia baru saja menemui Dion menyerahkan surat-surat milik Cindy.“Kamu dari mana?” hardik Sebastian begitu melihat pengaca
Dion masuk ke kamar Cindy setelah pagi hari. Cindy masih berbaring tengkurap dengan sisa air mata yang mulai mengering di sudut matanya. Dion membiarkan Cindy sendirian semalam agar ia bisa tenang. Pagi ini, mereka akan bicara. perlahan, Dion duduk di sisi ranjang lalu membelai kepala Cindy dengan lembut. mata Cindy pun terbuka perlahan pada Dion yang sedang tersenyum padanya.“Pagi,” sapa Dion dengan senyumannya. Cindy hanya diam dan perlahan bangun. Setelah duduk, Cindy menundukkan wajahnya. Ia tampak kusut karena menangis semalaman. Bahkan pakaiannya belum diganti sama sekali.“Sekarang lebih baik kamu mandi, Mbakmu sudah siapkan air hangat di bathtub. Kamu bisa berendam dan lebih relaks. Setelah segeran, nanti kita sarapan. Setelah itu kamu mau bicara apa pun terserah.” Cindy masih diam menatap Dion yang kemudian mengangguk pelan. Dion pun berdiri hendak keluar kamar. Tangan Cindy tiba-tiba memegang lengannya.“Mas, maafkan aku.” Cindy melirih pelan. Dion melepaskan napas sedikit
“Cindy, Cindy tunggu dulu! Kamu harus mendengar penjelasanku dulu. Hubungan aku dan dia gak seperti yang kamu pikirkan!” pungkas Sebastian membuka jelas masalah yang terjadi. Ia berusaha keras membuat Cindy tidak pergi sama sekali meski sulit. Sebastian tidak mau menyerah. Ia menarik tangan Cindy sebelum ia pergi bersama Dion.“Sudah cukup, Mas. Aku mau pergi!” Cindy membalas dengan menolak Sebastian di depan Dion. Dion belum bicara tapi setidaknya ia sudah mengetahui yang terjadi.“Cindy, kamu gak bisa pergi begitu saja. Kita sudah menikah!”“Gak, aku bukan istri kamu. Bukan aku, tapi perempuan tadi!” sahut Cindy dengan nada tinggi. Seketika Dion membesarkan matanya. Ia mendelik pada Sebastian yang tidak peduli dengan ekspresi kesal Dion. Ternyata Sebastian sudah memiliki istri selain Cindy. Meski masih harus dikonfirmasi tapi hal itulah yang terjadi.Sebastian tidak peduli dan menarik tangan Cindy. Ia panik karena Cindy akan meninggalkannya. Dion yang melihat tidak membiarkan hal te
“Bagaimana dia bisa berubah seperti itu? Aku gak habis pikir!” pungkas Sebastian begitu ia masuk kamar. Sebastian langsung meluapkan rasa kesal dan marahnya pada sikap Cindy pada Lefrant. Lefrant yang mengikuti di belakang menghela napas panjang.“Aku rasa jika Jessica tidak datang, ini tidak akan terjadi.” Lefrant berujar. Sebastian memutar ke belakang dengan pandangan dingin tidak suka meski yang diucapkan Lefrant adalah kenyataan.“Lef, aku gak mau lagi berurusan dengan Jessica!” Sebastian menggeram kesal. Lefrant menggelengkan kepalanya.“Gak bisa. Gak bisa sekarang ....”“Sampai kapan aku baru bisa menceraikan dia? dia sudah membuat semua rencanaku hancur. Sekarang Cindy sudah tahu kalau aku menikah dengan Jessica. Dia pasti gak mau kembali sama aku!” sahut Sebastian dengan suara meninggi penuh kekesalan. Ia menyugar rambutnya dengan gusar lalu melepaskan napas panjang dan meremas rambut. “Aku tahu sekarang posisi kita terjepit ....” Sebastian langsung menunjuk pada Lefrant.“J
“Sayang, tunggu!” Sebastian berhasil menangkap Cindy di depan lift sebelum ia masuk. Cindy tidak mau melihat ke arah Sebastian dan berusaha melepaskan dirinya. Sebastian tidak menyerah. Ia terus memohon bahkan saat beberapa tamu melihatnya.“Dengerin aku dulu, tolong. Dengerin dulu!”“Untuk apa, Mas? kamu sudah terbukti menipuku!” hardik Cindy sembari menangis. Sebastian menggelengkan kepalanya dan mulai kesal.“Ya kamu harusnya gak langsung percaya sama omongan dia!” balas Sebastian meninggikan suaranya.“Tapi dia istri kamu kan?” Sebastian mencebik kesal dan berkacak pinggang. Cindy menoleh dan melihat Lefrant baru datang. Ia langsung berjalan cepat ke arah Lefrant. Entah kenapa dia malah meminta bantuan Lefrant.“Tolong, Pak. Tolong saya!”Kening Lefrant seketika mengernyit. Ia melihat pada Sebastian yang malah kebingungan. Untuk apa Cindy sampai datang pada Lefrant.“Nona?”“Tolong, Pak. Saya gak mau berada di sini.” Cindy jadi makin menangis sesengukan. Sebastian tidak menyukai a