"Ah enggak kok, Bu, mana berani kita ngetawain Bu Lela. Iya nih Mak Jumi sembarangan aja kalau ngomong. Orang cantik dan seksi begini dikata monyong. Daripada emak udah keriput tua dan jelek lagi."
"Idih ya biarin aja aku tua keriput jelek yang penting aku gak pernah julidin hidup orang dan nyinyirin hidup orang. Biarpun aku begini juga hidupku tenang gak pernah panas sama apa yang orang punya. Bilang aja kalian semua itu karena anakku yang kalian katakan perawan tua itu nyatanya laku sama orang kota mana ganteng lagi. Iya kan?"
"Hahahah! Haduh Mak-Mak, mbok ya ngaca kalau ngomong, Mak! Ganteng sih memang tapi miskin juga kan? Hah pastilah gak jauh-jauh beda soal rezeki nasibnya mah sama sampean. Meskipun kota kalau miskin juga buat apa?!" ejek bu Lela dan dijawab anggukan kepala oleh bu Sri. Tanpa mereka sadari ternyata para ibu-ibu yang lainnya sudah membubarkan diri karena mereka merasa keadaan sudah semakin panas.
"Hah?! Kamu serius dia ngomong begitu? Atas dasar apa dia bisa ngatain anak kita begitu? Atau kamu yang salah dengar kali?!""Kok Kamu malah belain dia sih, Mas? Jangan-jangan sampean iku naksir ya sama si monyong?""Apaan sih kamu, seenaknya saja kalau ngomong. Hati-hati nanti jatuhnya fitnah. Kan gak enak kalau kedengaran sama suaminya.""Halah memangnya kamu tahu di mana suaminya si Lela itu? Selama ini dia ngaku-ngakunya saja kan punya suami dan dinafkahi sama suaminya. Katanya suaminya pelaut lah hobi berlayar ke luar negara lah makanya gak pulang-pulang. Aku kok malah curiga kalau suaminya itu demit. Ya kali orang berlayar gak pulang-pulang meski cuka sehari dua hari?""Sssttt sembarangan aja kamu kalau ngomong. Masa iya manusia kawin sama demit. Yang enggak-enggak aja ah. Memangnya k
"Kenapa sih wajahnya seperti itu, apakah kamu mempunyai masalah?" tanya Adit pada akhirnya tahu jika sahabatnya sedang di landa masalah serius sehingga tidak bisa ikut bercanda seperti biasanya."Aku ingin berbicara denganmu tapi aku minta kamu jangan menyala aku atau mencercaku," pinta Reno sambil membuka naai bungkus dan meletakkannya di piring."Iya, apaan sih? Tidak biasanya kamu lecek seperti ini," jawab Adit sambil mengamati wajah Reno yang masih belum bisa tersenyum.Masih dengan wajah datar, Reno menghela nafasnya perlahan, rasanya suaranya tersangkut di tenggorokan."Janji kamu tidak tertawa ya?" pinta Reno."Iya-iya, masa iya aku mentertawakan masalahmu sih, kamu harus belajar untuk membaginya dengan orang lain agar dadamu tidak sesak," jawab Adit mulai bersimpati melihat sikap Reno yang tidak biasanya."Sebenarnya aku menyukai Siti, lebih tepatnya
Adit yang melihat keputusasaan dari raut muka yang ditampilkan oleh Reno, pun juga ikut merasakan betapa patah hatinya teman satu-satunya yang dekat dengannya itu. Hal itu pun membuat ide gila yang tiba-tiba saja tercetus dari otaknya."Haahh ...," deru napas Adit cukup panjang dan lirih untuk sesaat. "Tetapi ... bukankah Siti dan laki-laki kota itu hanya nikah siri?" celetuknya langsung.Hal itu lantas langsung membuat Reno tersentak dan menatap Adit secara langsung. Ia juga mengerutkan dahinya guna untuk mencerna apa yang sedang akan dikatakan oleh Adit selanjutnya."Apa yang sedang ingin kau katakan, Dit?" tanya Reno penuh dengan telisik."Dengar, Ren, bahkan seseorang yang ada di dalam ikatan pernikahan saja bisa pecah karena orang ketiga yang datang di antara pasangan suami istri itu. Apalagi kalau hanya pasangan suami istri yang menikah secara siri!" ucap Adit penuh makna.Reno masih tid
Reno tampak begitu terkejut tatkala ia mendengar saran yang diberikan Adit padanya, bisa-bisanya Adit berpikiran seperti itu.Niat hati Reno ingin mendinginkan pikirannya justru mendapat tanggapan yang berbeda, pun semakin memperkeruh pikirannya."Ah, tidak! Aku tidak bisa melakukan itu!" pekik Reno dengan nada suara meninggi berusaha menepis saran yang disebutkan oleh Adit, rekannya sendiri.Reno tampak sangat panik, dengan keringat dingin yang menjalar ke seluruh bagian tubuhnya. Pasalnya, sepanjang hidupnya Reno tidak pernah berani berbuat macam-macam apalagi terlibat dengan dunia kejahatan.Sedangkan Adit, lelaki itu masih bersikap tenang bahkan merasa tak bersalah setelah menyarankan suatu hal yang tidak baik. Justru Adit semakin tergerak ingin lebih memanas-manasi temannya."Kenapa tidak? Bu
Ia bahkan tidak ingin melihat Siti terbelenggu oleh ambisinya sendiri.Lalu Reno meraih ponsel dan membuka galeri di dalamnya, melihat-lihat foto sosok wanita yang tengah berpose tersenyum.Senyuman yang selalu membiusnya selama mereka menjalin persahabatan bersama, senyuman itulah yang membuat Reno akhirnya jatuh hati ada perempuan itu."Apa aku memang tak ditakdirkan untuk bisa memilikimu, Siti? Kamu selalu terobsesi dengan pria yang jelas-jelas sudah bersuami. Bahkan mengabaikanku yang selalu ada untukmu," gumamnya.Cuaca di luaran sana terasa begitu cerah dengan awan putih yang turut mengikuti arah angin, namun tidak dengan suasana hati Reno. Ia terhanyut dalam bayang-bayang Siti yang selalu menghantuinya, harapan untuk bisa memiliki pujaan hatinya kini semakin sulit karena kehadiran Rama di tengah-tengah mereka.
"Caranya?" Reno menatap wajah Adit dengan seksama. Sementara Adit sendiri kembali berdecak pelan melihat kebodohan dari temannya itu."Kamu harus membagi uang itu denganku jika begini caranya. Aku tidak mau kalau hanya ikut pusing saja," ucap Adit sedikit menaikkan sebelah alisnya."Iya, iya, aku akan membaginya denganmu nanti. Tenang saja, itu bisa dibahas belakangan. Lagi pula tidak akan ingkar, kamu jelas tahu sifatku. Yang penting bantu aku sampai aku benar-benar bisa mendapatkan Siti. Bagaimana? Setuju?" Reno mengulurkan tangannya menawarkan kerja sama kepada Adit."Hah, sebegitu tergila-gilanya kau dengan wanita itu?" Lagi-lagi Adit menggelengkan kepalanya heran dengan kelakuan temannya itu. Cinta memang buta, dan sering mengubah manusia menjadi makhluk terbodoh yang akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan atau membahagiakan pujaan hati mereka.Dan Adit jelas akan memanfaatkan Reno agar
"Tadi juga aku membantunya berjalan sampai datang ke ruang tamu ini. Kami juga pada dasarnya tidak mondar-mandir dari kamar ke ruang tamu saja. Hanya sewaktu-waktu setelah bosan beberapa saat lamanya di kamar, nanti Mas Rama juga akan memintaku tolong untuk berjalan ke ruang tamu dan sebaliknya," imbuh Siti seraya memandangi pria tersebut dengan tersenyum.Rama juga membalas senyuman Siti itu dengan senyum yang lemah. Ia sendiri lebih banyak diamnya dan membiarkan Siti untuk menjawab pertanyaan dari siapapun selama ia tinggal di rumah perempuan itu."Maaf, Siti. Bisakah kamu membantuku meSitiunkan bantal ini? Karena sepertinya leherku kaku sekali. Maaf juga, Mas Reno, kalian bisa melanjutkan pembicaraan kalian. Saya pamit dulu untuk beristirahat. Entah saya lemah sekali, padahal juga baru saja duduk di ruang tamu tadi," kata Rama."Oalah .... Apakah badannya masih terasa sakit sakit begitu, Mas?" tanya Reno sambil memandang dengan tatapan prihatin pada pria itu.Dalam hati, ia membati
Bagai disambar petir di siang bolong, ini benar-benar membuat Reno harus kembali terbelalak dengan sempurna.Astaga! Bahkan dia tidak tahu sudah berapa kali Siti membuat dirinya hampir terkena serangan jantung!Untung saja jantungnya cukup kuat. Pun seperti saat ini yang mana membuat Reno kembali mengalami kejut itu."Siti," geram Reno yang mencoba untuk meredam gejolak aneh yang sedang menyerangnya. "Apa maksudmu dengan rencana gila itu?!" tanyanya penuh penekanan.Bahkan, saat ini Reno sudah menatap Siti dengan sangat intens. Tatapan yang begitu tajam dan juga sangat mengunci.Sedangkan Siti ... tentu saja dia tahu apa yang saat ini ia bicarakan.Lalu melihat reaksi Reno yang mana mendengarkan apa yang sedang ia ceritakan dengan serius, benar-benar membuat Sitia harus menggeram dengan perlahan."Astaga! Aku tahu kamu tidak tuli, Ren! Dan kamu mendengar semua apa yang aku ceritakan dengan sangat baik!" ucap Siti yang sudah menahan kekesalan."Tentu aku tidak tuli, Siti!" sahut Reno l
Bugh. Anin memukulkan sepotong bambu sepanjang tangan orang dewasa ke arah Siti secara cepat sehingga membuat Siti tersungkur ke arah samping dan pisau itu terlepas dan mendarat di bawa kaki Anin. Jadi, Anin sudah melihat bambu itu sejak tadi dan Anin sudah memikirkan ke arah sana karena ia hanya menunggu saat yang tepat saja. Kini pisau itu sudah aman berada di tangannya. Reno dan pak Slamet segera memegangi Siti yang berniat ingin menyerang kembali Anin meski dengan tangan kosong. Tidak lama kemudian tiga orang polisi pun masuk ke dalam rumah pak Slamet dan membantu Reno juga pak Slamet mengamankan Siti. Siti meronta dan berteriak minta untuk dilepaskan. Ternyata para polisi itu juga diminta Anin untuk datang ke rumah Siti. Namun, di tengah perjalanan ban mobil mereka pecah sehingga mengharuskan mereka menggantinya terlebih dahulu dengan ban serep. "Lepaskan aku dasar bangsat kalian semua. Lepaskan!" Siti terus saja berteriak dan meronta membuat para tetangga yang sejak tadi k
"Tolong buka pikiranmu, Siti. Lepaskan Rama, biarkan dia hidup tenang bersama keluarganya sendiri," ucap pak Slamet, "Kalau kau sayang pada lelaki itu ... Kau pasti tidak akan tega melihatnya menderita dan jauh dari keluarganya seperti sekarang ini bukan?"Suaranya kini terdengar melemah dan tulus. Ia menatap Siti dengan tatapan dalam, sampai-sampai membuat gadis itu tampak terdiam dan menundukkan kepalanya.Sepertinya ucapan pak Slamet sedikit berpengaruh, membuat senyuman pak Slamet mulai terlihat.Sedangkan mak Jumi, wanita itu masih terisak dan terus berharap sebuah keajaiban datang dan merubah jalan pikiran Siti.Beberapa detik berlalu, Siti mulai mengangkat wajahnya, dengan sedikit melemahkan bahkan meSitiunkan pisau yang menempel pada pergelangan tangannya.Hal itu sontak membuat mak Jumi dan pak Slamet sedikit tersenyum simpul."Tidak!" ucap Siti dengan lantang. Membuat sepasang suami istri tersebut kembali tercengang.Kening pak Slamet kembali mengerut karenanya, senyuman yan
Siti yang merasa frustasi karena keinginannya tidak tercapai dan mendapat penolakan dari Bapaknya langsung emosi. Tanpa pikir panjang, dia meraih pisau yang berada di rak dapur.Siti mengacungkan pisau itu ke arah Mak Jumi dan Pak Slamet yang bergidik ngeri.“Apa yang kamu lakukan Siti?” teriak Pak Slamet.“Kalau Bapak tidak mau menikahkan aku, maka aku akan bunuh diri.”“Siti..”"Astagfirullah, Siti! Apa-apaan kau ini, Nak!?" teriak mak Jumi yang mulai terlibat histeris.Betapa terkejutnya mak Jumi tat kala anak gadis satu-satunya tengah memegangi sebilah pisau, bahkan tanpa rasa takut sekalipun.Mak Jumi tidak menyangka jika Siti akan bertindak sejauh ini, setan apa yang tengah merasuki gadis itu? Sungguh tak dapat dipercaya.Siti yang sudah terobsesi oleh ambisinya sendiri, oleh rasa cintanya
“Tidak seperti itu Mak, Mas Rama itu belum sepenuhnya ingat apa yang terjadi, jadi kita harus cepat, tolong nikahkan aku dengan Mas Rama,” Siti tetap bersikukuh untuk menikah dengan Rama.Tapi Pak Slamet masih bertindak waras, sebagai orang yang sudah makan asam garam kehidupan, dia tidak ingin gegabah dalam mengambil keputusan. Lebih baik tidak jadi menikah jika kedepannya pernikahan itu tidak bisa di jamin kelanggengannya.Dan dia yakin Rama akan sadar dengan sepenuhnya, jika waktu itu tiba, dia yakin Rama akan membuang anak gadisnya.Dengan latar belakang yang di miliki Rama, dia yakin Rama akan melakukan itu. Masih untung jika hanya di ceraikan, bagaimana kalau putrinya di laporkan ke polisi dengan pasal penipuan.Pak Slamet sendiri sudah berkonsultasi dengan orang-orang pintar seperti Pak RT, Pak Kepala desa bahwa tindakan penipuan bisa berakhir di penjara, bukan hanya anaknya tapi j
“Kamu itu Siti, Bapakmu baru datang, sudah kamu cerca pertanyaan, buatkan minum sana dulu,” cerca Mak Jumi.Mak Jumi tak habis pikir dengan perubahan sikap Siti yang sangat drastic antara sebelum berangkat ke kota dan sesudahnya, hingga Mak Jumi berpikir apakah kehidupan kota begitu cepat merubah sikap seseorang?“Iya Mak, aku kan cuman nanya saja, kok Mak marah,” gumam Siti sembari masuk ke dapur, tidak lupa dia menghentak-hentakkan kakinya tanda kesal karena omelan Mak Jumi.“Apakah kita salah mendidik anak kita Mak?” tanya Pak Slamet sedih. Dia kecewa dengan perubahan sikap Siti yang semakin menjadi-jadi, minim sopan santun dan sangat suka menggerutu, sama sekali tidak menunjukkan kasih sayang kepadanya.“Entahlah Pak, selama ini kita juga menyayangi dia dengan tulus ikhlas, Mak ini juga selalu mendoakan Siti agar menjadi anak sholehah, tapi kok jadinya be
Maka dari itu, pak RT kini sudah mengizinkan semua pelaku keributan itu untuk pulang ke rumah masing-masing."Yasudah, kalau begitu kalian pulanglah!" ucap pak RT."Terimakasih, Pak," ucap pak Selamet dengan senyuman yang samar."Terimakasih untuk semuanya, Pak." Pun juga dengan bu Lela yang juga mengucapkan terimakasih untuk pak RT.Tak berselang lama, kini pak Selamet pun menangkup bahu sang istri. Di mana ia menuntun mak Jumi untuk segera pulang dari rumah pak RT. Sedangkan bu Lela ... dia berjalan di depan kedua pasangan suami istri itu.Tetapi setelah berjalan cukup jauh dari rumah pak RT, pak Selamet yang sedari tadi menatap punggung bu Lela dengan tajam dan penuh amarah itu, pun pada akhirnya membuka suaranya."Bu Lela, tunggu sebentar!" ucapnya dengan cukup penuh ketaj
"Ya itu bukan urusan saya! Kan memang Bu Lela yang maunya menunjukkan ke orang-orang kalau anak saya itu berbuat zina! Ya kalau tidak ada buktinya, mau dibawa ke pengadilan pun tidak bisa dibuktikan! Selama ini saya yang jadi saksi kuncinya bersama Mak Jumi. Kalau saya sudah bilang anak saya tidak tinggal sekamar, tanyakan saja kepada Rama, kasarannya dia sebagai korban pun juga akan berkata jujur kalau dia tidak pernah sekamar dengan anak saya. Mau apa kalau sudah begitu? Dia bisa saja mengatakan kalau dia tidak ingin dibawa Siti ke sini, tetapi saya yakin dia pasti dengan jujur mengatakan kalau tidak melakukan hal zina itu. Dia ini pria yang bertanggung jawab, Bu. Dia sendiri juga tidak tahu selama ini kenapa walaupun anak saya mengaku istrinya, tapi tidak pernah bersentuhan dengannya. Kalau memang dia pria seperti kebanyakan, sejak awal juga pasti menagih-nagih, Bu, untuk diberikan haknya dia sebagai suami oleh anak saya dan anak saya pun kalau memang tidak bermoral
Pak Slamet masih dengan tatapannya menghina itu langsung berceloteh, "Mau apa lagi, Bu? Tidak bisa membalas, ya, karena ketahuan? Begini sajalah, Bu, selama ini saya tidak mau mengikuti langkah Ibu. Ibarat kata gajah dipelupuk mata tidak kelihatan, kuman di seberang lautan kelihatan yaitu Bu Lela sendiri. Kesalahannya sendiri saja sebesar gunung tidak ditampakkan ke publik, tapi kalau tahu ada kesalahan orang lain saja paling cepat mengompori yang lainnya. Memangnya semua orang di sini sempurna apa? Tidak pernah membuat dosa begitu? Lagi pula, Siti ini anak saya! Buat apa turut campur? Orang, saya saja tidak pernah ikut campur masalah Ibu. Saya sendiri sudah tahu dari dulu kelakuan Ibu, tapi saya pendam sendiri saja. Tidak ada untungnya juga. Buat apa saya suka lihat ibu dikeroyok massa?"Bu Lela menelan ludah menutupi rasa gugupnya yang sudah merebak di dada. Ia tidak mau terlihat kalah, karena kalau seandainya ia sampai gemetar di hadapan Pak Slamet, maka otom
Pria paruh baya itu pun terus berusaha untuk menjelaskan secara rinci permasalahan yang sebenarnya terjadi. Tetapi bagaimanapun penjelasan yang diutarakan oleh Pak Slamet sama sekali tidak mengubah pemikiran Bu Lela dan juga Bu Sri. Kedua wanita itu terus saja berusaha keras menepis penjelasan yang Pak Slamet berikan. Bahkan Pak RT pun dibuat kewalahan dengan ulah kedua wanita itu. Terlebih ucapan Bu Lela dan Bu Sri yang terkadang tidak bisa untuk di sela."Apa pun alasannya tetap saja yang dilakukan oleh Siti itu tidak benar, Pak Slamet. Walaupun tidak berbuat zina di sini, tetapi aku yakin Siti dan pria kota itu pasti sudah pernah berbuat zina saat berada di kota. Ulah mereka justru hanya akan membuat malapetaka untuk desa kita. Siti sangat pantas untuk diusir dari Desa ini dan jangan biarkan dia kembali lagi," seru Bu Sri dengan begitu lantang."Benar apa yang dikatakan oleh Bu Sri, Pak RT. Sebagai rukun tetang