Mereka mengambil beberapa foto dengan pose lucu sambil menunjukkan kue ulang tahun. Salah satu fotonya adalah Grace yang berpose menjulurkan lidah, sementara Marvel berpose memanyunkan bibir sambil menjulingkan matanya.
"ih, kamu lucu banget. Mirip ikan koi," canda Grace seraya me-zoom wajah Marvel."Curang kamu." Marvel berceletuk saat Grace berganti me-zoom wajahnya, "padahal sama-sama belepotan, tapi kok kamu masih cantik?""Takdir," guraunya sambil meringis, lalu mereka sama-sama tertawa.Tiga detik kemudian, Marvel meletakkan kue ulang tahun tersebut di atas meja, lalu beralih menarik salah satu kursi dan mempersilakan Grace duduk dengan nyaman."Ayo, duduk dulu.""Terima kasih," ucap Grace selagi mendaratkan pipi bokongnya di atas kursi tersebut. Marvel menyusul duduk, lalu mulai membunyikan bel kecil yang sebelumnya sudah ada di atas meja."Itu bel buat apa, Marvel?" tanya Grace penasaran."Kamu lapar?" Marvel balik bertanya sembari men"Kamu suka?" tanya Marvel sambil menumpukan tangannya pada railing, tubuhnya condong menghadap Graxe.Gadis itu tampak mengangguk."Cantik sekali.""lya, kamu memang cantik," celetuk Marvel dengan sangat enteng."Ih, maksud aku, yang cantik itu Menara Eiffel-nya, bukan akunya," koreksi Grace."Tapi menurut aku, kamu jauh lebih cantik." Marvel mencolek hidung Grace, "apa aku salah bilang begitu?""Tidak juga sih," kata Grace.Grace kembali fokus mengamati indahnya Menara Eiffel, sementara Marvel masih enggan memalingkan pandangannya dari eksistensi Grace yang sejak tadi membuatnya terpana. Gaun merah, make up, high heels, bahkan gelang mutiara yang sudah ia persiapkan terlihat begitu cocok di tubuhnya. Cantik. Cantik sekali. Bahkan helaianrambut yang beterbangan karena tertiup hembusan angin itu membuatnya semakin memabukkan."Ah, sepertinya aku bisa gila," desis Marvel sambil menahan senyuman.Mendengar itu, Grace kontan menoleh ke arah Marvel."Bis
Pukul 22:49. Mereka akhirnya sampai di hotel setelah menyelesaikan kejutan makan malam di atas kapal pesiar. Hotel yang akan mereka tempati sekarang, berbeda dengan hotel sebelumnya. Dari segi jarak, hotel ini lebih dekat dengan lokasi Menara Eiffel."Marvel, itu teleponnya tidak diangkat?" tanya Grace saat menyadari Marvel sengaja mengabaikan ponselnya yang sedang berdering.Posisi mereka saat ini sedang berada di dalam lift menuju lantai paling atas-tempat kamar hotel mereka berada. Marvel lantas mengambil ponselnya yang tersimpan di saku celana. Panggilan iturupanya berasal dari Lester. Namun, alih-alih mengangkat, Marvel justru menekan tombol reject. Timing-nya sangat tidak pas. Alhasil ia pun kembali memasukkan ponselnya, tapi, di waktu nyaris bersamaan, ponsel Marvel kembali berdering. Dan itu masih dari orang yang sama, Lester."Angkat saja, Marvel. Siapa tahu penting," suruh Grace, tak lama kemudian pintu lift terbuka."Apa tidak apa-apa?" tanya Mar
Sumpah demi Tuhan, Grace seperti bukan gadis polos dan menggemaskan yang selama ini Marvel kenal."Kamu tahu kan apa yang kamu pakai sekarang?" Marvel balik bertanya, ingin memastikan.Dengan lugunya, Graxe mengangguk."Tahu. Ini namanya baju haram. Katanya kalau mau gitu-gituan harus pakai baju haram."Marvel memejamkan matanya sebentar, lalu kembali bertanya, "kamu dapat itu dari mana?""Rahasia hehehe," jawab Grace sambil cengengesan, sementara Marvel kini mati-matian menahan sesuatu yang tengah memberontak di bawah sana."Apa aku kelihatan haram gara-gara pakai baju haram?" Grace mengerutkan dahinya penasaran.Baiklah, baju haram yang Grace maksud di sini adalah lingerie. Gadis itu kini sedang memakai lingerie berbahan satin warna hitam dipadu dengan renda-renda warna krem yang menyatu dengan kulit putihnya. Kain kurang bahan itu membuat lekuk tubuhnya yang indah terlihat begitu jelas."Cantik sekali," ucap Marvel dengan suara lirih, namun
"Hentikan aku jika nanti terasa terlalu sulit bagimu. Aku tidak akan memaksamu. Aku ngin kita sama-sama menikmatinya," ujar Marvel sembari menyisihkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik gadisnya."Aku akan baik-baik saja ..." Grace menggantungkan kalimatnya untuk menangkup wajah Marvel, "karena aku juga menginginkannya."Grace kembali melumat lembut bibir Marvel, lalu memejamkan matanya lagi untuk menikmati manisnya pertukaran benang-benang saliva dengan suara decak kecupan manja yang menggema ke seluruh penjuru kamar hotel tempat mereka berada. Marvel yang tang tinggal diam, tangannya kini kembali bergerilya di payudara Grace. Meremasnya, memilin-milin puti*gnya, dan kemudian melakukan sesuatu yang nakal dengan menarik put*ng itu hingga membuat Grace refleks merapatkan kakinya karena merasakan sensasi luar biasa di area bawah perutnya. Lantas Marvel pun melepas pagutan mereka setelah merasa napasnya mulai memburu. Ia memberi jeda sebentar untuk mengambil napas, b
Tangan Marvel tak tinggal diam dengan meremas payudara*ya, memainkan puti*gnya. Membuatnya kian menggelinjang dengan va*ina yang terus berdenyut-denyut."Jangan ditahan, aku ingin mendengarkan desahanmu," ujar Marvel selagi menjauhkan tangan Grace yang membungkam mulutnya sendiri.la lantas bergerak semakin liar, memompa liang va*ina yang hangat itu dengan hentakan kuat dan semakin cepat. Lidahnya kini bergerilya di pusat payu*ara Grace. Menghisapnya. Menjilatnya. Oliv kian menggila. Marvel tersenyum di sela-sela permainannya."Mar-vel ... s-se-ahh ..." Grace kesusahan menyelesaikan kalimatnya, "sepertinya aku mau keluar.""Ah, aku belum, Grace. Tunggu aku. Kita keluar bersama-sama." Marvel terus memompa."Aku tidak bisa menunggu lagi," ucap Grace sambil menggelengkan kepalanya. Pun tak berselang lama, Grace mendapatkan org*smenya lebih dulu. Marvel nampak sedikit kecewa."Kamu di rumah saja, kalau mau keluar hubungi saya," pesan Marvelpada Grac
'Masih muda gini, kenapa di panggil Nyonya, sih?' batin Gracemenggerutu."Makasih Pak." Grace tersenyum sopan. Pak Barca segera pergi untuk melanjutkan pekerjaannya."Selamat siang lbu, mari saya antar keruangan Pak Marvel." Maraa keluar dari meja resepsionisnya."Ah, siang juga Mbak. Makasih," ucap Grace sopan.Mereka berdua berjalan memasuki lift, Maraa memencet angka limabelas. Artinya letak ruangan Grace di lantai lima belas. Maraa tersenyum ramah ke arah Grace yang juga di balas senyum tak kalah ramah. Tak ada perbincangan selama di dalam lift, itu karena Maraa yang terlalu canggung dan tak berani, juga karena Grace yang memang tak bisa memulai obrolan duluan."Mari Bu." Setelah keluar dari lift, Maraa menuntun Grace menuju salah satu di antara dua ruangan di lantai tersebut."Ini ruangan Pak Marvel, Bu, kalau begitu saya permisi dulu," pamit Maraa dengan senyum sopannya.Grace tersenyum, "makasih," ucapnya yang diangguki oleh Mara
"Ada apa?" tanya Marvel mencoba menebalkan muka dari rasamalunya karena tertangkap basah berbuat mesum di kantor.Meski Grace istrinya, tetap saja ini adalah kantor, tempat bekerja bukan untuk bermesraan. Tapi ya mau bagaimana lagi, Marvel tak bisa menahan, dan untung entah buntung, Jeol datang menghentikan aksinya.Jeol tergagap, "itu, anu---gue--eh, maksudnya saya maumengantar dokumen ini, Pak." Jeol berjalan mendekati Marvel,memberikan dokumen yang hampir saja jatuh tadi itu."Ya, terima kasih. Silahkan keluar," ucap Marvel tak berani memandang Jeol.Grace berjalan membawa dua piring roti bakarnya, ia meletakkan satu piring tersebut di hadapan Marvel dengan hati-hati. Lalu satunya lagi untuknya, Grace dengan pelan mendudukkan dirinya di kursi yang jauh dari Marvel."Grace."Baru Grace duduk, Marvel sudah memanggilnya, membuat Grace menoleh cepat kearah laki-laki menyeramkan tapi tampan yang tengah menatapnya. Grace meneguk liur be
***Kini di meja makan hanya ada keheningan, Grace bersyukur kali ini ia tidak di paksa Marvel duduk di pangkuannya. Nara sangat bersyukur, jika tidak ada Marvel mungkin ia sudah sujud syukur berkali-kali."Makan yang benar Grace, atau mau saya suapi?" tanya Marvel datar,sedari tadi Grace hanya mengaduk-aduk makanannya.Grace langsung menggeleng kuat, memasukkan sesendok penuh nasi putih kedalam mulutnya hingga menggelembung. Makin terlihat lucu dan menggemaskan karena pipinya yang memang sudah tembem. Marvel memalingkan wajah, menahan bibirnya yang berkedut, ia melanjutkan makannya sambil sekali-kali memperhatikan Grace. la sungguh risih dengan tatapan Marvel yang selalu kepadanya. Matanya yang tajam membuat Grace tak berani menatap, apalagi jika mengingat kelakuan Marvel yang seperti punya dua kepribadian. Grace rasanya ingin menangis sekarang, apalagi ketika melihat Marvel yang sudah selesai makan dan bahkan kini berjalan kearahnya. Mata Grace memanas, sunggu