“Di mana Vivian?” Serena menatap bingung DK yang bertanya di mana bosnya itu berada. bukannya sebagai seorang kekasih dia sudah pasti tahu kemana pacarnya pergi. Kenapa malah bertanya kepada karyawannya? “Bos pergi, katanya hari ini dia tidak ke kafe, ada urusan mendadak.” Serena menjawab dengan nada ketus. “Kemana?” Serena mengangkat bahunya sebagai jawaban, Vivian tidak memberitahu kemana dia akan pergi. Pagi-lagi sekali Vivian sudah pergi dan menitipkan kafenya kepada karyawannya untuk dikelola hari ini. Serena juga tidak pernah mau tau urusan apa yang bosnya itu lakukan, dia hanya seorang karyawan yang dibayar untuk bekerja, bukan untuk mencari tahu apa yang bosnya itu lakukan sehari-hari. “Ini pesananmu, paman.” Serena memberikan satu cup kopi hangat pada DK. DK memandang jengkel Serena, “Sudah saya katakan, saya bukan pamanmu!” “Terserah! Bisakah anda menyingkir?! Antriannya sudah sangat panjang.” Serena tak kalah jengkel, DK berdiri di sana sudah cukup lama dan membuat an
“Dungu...” DK tertawa lagi, wanita itu terlihat semakin menarik di matanya. Sorot mata DK seperti binatang buas yang sedang menatap mangsanya. Ia perlahan berdiri, berjalan ke arah Vivian, lalu mencekik lehernya tanpa aba-aba. “Mulutmu sunggu membuatku geram, sayang. Setelah melihatnya, aku benar-benar ingin menghukumnya.” Mereka saling berhadapan dengan jarak yang sangat dekat, sehingga hampir bisa merasakan napas satu sama lain. Suasana hening dan pencahayaan yang termaram menguatkan ketegangan di antara mereka. DK mencengkram dagu Vivian kuat, giginya saling beradu menimbulkan suara gemerutuk yang cukup keras. Ketegangan itu terus berlanjut, tidak ada yang membuka suara lagi, hanya sorot mata mereka yang tajam saling beradu memancarkan aura dingin dan tegang. Vivian menyeringai, ia tidak melawan dengan apa yang DK lakukan padanya. Dia malah terus menatap, seolah-olah sedang menantang pria itu untuk bertarung dengannya. “Kau pikir kau bisa mengendalikanku? Tolong ingat ini tuan
“Hei, bangun!”Karina perlahan membuka matanya, ia sangat terkejut mendapati dirinya terbaring di atas sofa. Ia lalu menyadari dirinya berada di sebuah rumah sederhana dengan interior yang tersusun rapi di setiap sudutnya. Matanya melihat sosok wanita paruh baya yang sedang membersihkan rak-rak yang berdebu. “Jangan diam saja di situ, Karin. Bangun! bantuin mamah bersih-bersih rumah.” Ia melihat sekitar, ia mencari-cari di mana suaminya berada. Karina melihat pakaian yang ia kenakan, berbeda dari terakhir kali yang ia pakai sebelum dia tidak sadarkan diri. “Joshua,” panggilnya dengan suara pelan.“Anak ini, kamu memimpikan seorang pria? Namanya Joshua?” wanita paruh baya itu terdengar tertawa kecil. Karina bingung, ia tidak mengenali siapa wanita paruh baya yang ada di hadapannya saat ini. Mata Karina mengikuti setiap gerak dari wanita paruh baya itu. Tidak tau kenapa, dada Karina perlahan terasa sesak, air matanya menetes begitu saja membasahi pipinya. Tidak tau kenapa, ia ingin m
“Sial!”Joshua memukul tangannya ke udara. Dokter Anna keluar dari ruangan dengan perasaan takut. Ia takut Joshua akan melakukan hal buruk terhadapnya. Dokter Anna tau, Joshua bukan orang yang akan melepaskan seseorang dengan mudah. Joshua menoleh ke arah Karina yang masih terbaring dengan mata yang tertutup rapat. Ia belum menyadari kalau Karina sudah bangun sejak tadi. Ia menarik napas panjang lalu keluar dari ruangan tersebut. Karina perlahan membuka matanya, ia masih terkejut dengan apa yang barusan ia dengar. “Dia melakukan apa terhadapku? Pencucian otak? Kenapa ia sejahat itu padaku?”Banyak pertanyaan yang bersarang di dalam kepalanya. Ia perlahan bangkit, merubah posisinya menjadi duduk. Kepalanya masih terasa sakit karena mimpi yang ia alami. Semuanya terasa sangat nyata, otaknya masih mengingat itu semua dengan sangat jelas. “Mamah, papah,” gumam Karina, ia menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Ia mengingatnya, ia mengingat semuanya masa lalunya, berkat mimpi itu.
|Aku sudah mengetahui semuanya. Aku pergi, selamat tinggal.|Joshua meremat kuat memo yang ada di tangannya, atapan matanya memancarkan kemarahan yang tak terbendung, menggambarkan betapa besar kekecewaannya. Wajahnya yang biasanya bercahaya dengan senyum kebahagiaan, kini dikelilingi oleh kerutan-kerutan kegelisahan.“Sial, berani sekali kau!” ia mengeram marah, tinjunya semakin kuat mengepal, kemarahannya semakin memuncak.Baju pasien yang tadinya dikenakan oleh Karina sudah terlipat rapi di atas ranjang pasien. tubuhnya gemetar oleh kemarahan dan murka yang mendalam. Tatapan matanya terbakar oleh api kemarahan, dan wajahnya memancarkan rasa amarah yang tak tertahankan. Keadaannya semakin buruk dengan setiap detik yang berlalu.“Tuan, nona Bella tidak ada di mansion.”“Bajingan!!”Tangan-tangan gemetarnya meraih benda-benda dan melemparkannya dengan ganas ke arah sang pengawal penuh kemarahan di dalam dirinya. “Cari sampai dapat! Sialan!”“Baik, Tuan.”Sang pengawal langsung keluar
“Pak, apa kita harus melanjutkan ini semua? Banyak orang tidak besalah yang mati sia-sia karena kemurkaan tidak berdasar yang Anda miliki.” DK mulai khawatir dengan keadaan Joshua, ia merasa sangat tersesat sekarang. Ia tidak tau harus melakukan apa lagi untuk menenangkan bosnya ini. akibat dari kemarahannya banyak nyawa tidak bersalah mati sia-sia dengan ujung peluru tajamnya. ‘Kau ingin mati juga, DK?” Tatapan mata itu bukan tatapan mata seorang manusia, dia menikmati setiap darah yang mengalir di pisau dan ujung pistolnya. Dia kehilangan kewarasannya setelah kepergian Karina dan Bella. Dia marah, murka, kesal, kecewa, sedih, semua perasaan itu menjadi satu seperti ingin menyeretnya ke sebuah lubang tak berdasar. “Bukan seperti itu, pak. Ini sudah keterlaluan, para pekerja di mansion itu tidak bersalah. Mereka tidak tau apa-apa dan Anda dengan ringannya membunuh mereka? Setelah ini polisi akan mencari Anda atas semua kasus pembunuhan ini.” DK menarik napas panjang, menyeka waja
Satu minggu kemudian...Pemandangan berawan di tepi sungai tampak damai namun menakutkan, seolah-olah awan kelam itu menyembunyikan sesuatu. Sungai mengalir deras, membawa kabut dari awan. Pepohonan gundul, dan tanah tertutup lapisan kabut. Awan berwarna abu-abu pucat, tanpa matahari yang terlihat bersinar. Udara hening dan tenang, hanya ada suara sungai yang mengalir. Bayangan seorang pria yang berdiri di pinggir sungai menjadi satu-satunya objek yang bergerak. Mulutnya terus mengeluarkan asap dari rokok yang dihisap penuh dengan kenikmatan. “Tuan, seseorang ingin bertemu dengan Anda.” Seseorang dari belakang menggangu ketenangannya. Dia pun langsung berbalik dan melihat orang itu dengan tatapan yang datar. Keseharian yang semakin sibuk karena harus terus mencari di mana wanitanya berada membuatnya stress.“Siapa?”“Tuan Victor, suami dari dokter Anna.”Joshua terdiam sejenak, dia lalu menghisap puntung rokok terakhirnya sebelum membuangnya asal. Asap itu membumbung tinggi keluar
Suasana di dalam pesawat penuh dengan kenyamanan dan kemewahan. Interior kabinnya mewah, dengan tempat duduk dan fasilitas yang luas. Kain kursi lembut, mewah. Udara di dalam kabin bersih dan segar. Pencahayaannya lembut dan hangat, dengan cahaya keemasan matahari sore yang masuk melalui jendela. Suara mesin pesawat terdengar lembut, tidak terlalu memekakkan telinga. Vivian dengan teliti mengobati luka DK yang terlihat cukup serius. tatapan matanya penuh tekad dan kedua tangan cekatan. Ia bekerja dengan cepat dan efisien, karena ia tahu bahwa waktu adalah hal yang sangat penting. DK terbaring di kursi kabin yang mewah, dia kesakitan, tetapi Vivian melakukan semua yang dia bisa untuk meminimalkan rasa sakit dan membuatnya merasa nyaman. “Kalau sakit bilang saja, aku akan berhati-hati,” ucap Vivian, matanya sesekali melirik DK dengan tatapan cukup datar namun menyimpan kekhawatiran di sana. “Aku baik-baik saja, luka ini belum ada apa-apanya.” DK tersenyum tipis. “Tukang pamer,” cibi