Jadi tadi pagi kamu tiba-tiba chat. Bilang kalau semalem kamu mikirin soal hubungan kita dan bakal telepon aku jam sembilan malam.
Aku iyain dan kutahu kamu deg-degan.Baca pesan dua baris itu doang aku udah bisa tahu kamu mau bilang apa. Tapi biarlah kamu yang jujur. Bukan tugasku untuk mematahkan hati sendirikan?
Dari pagi, dari setelah bales chat-mu itu, seharian aku nggak fokus kerja. Di kantor aku cuma pencet mouse sana-sini entah mau buka folder yang mana, software yang mana.
Akhirnya daripada iMac kantor yang mahal itu rusak karena jariku yang gelisah, aku memutuskan buat ngopi, dengan alasan mau ketemu klien ke orang kantor. Syukurnya di-Acc.
Jalanan Jakarta juga udah nggak terlalu rame. Mungkin karena orang-orang udah duduk manis di kantornya, nggak kaya aku yang kelayapan.
Selama nyetir, yang aku pikirin cuma kamu.
Nggak kaya biasanya.Tapi kali ini kamu.Dari awal kenal kamu, sampai tadi pagi, sampai chat-mu itu.Flashback sambil nyetir itu menyenangkan ternyata. Coba deh sesekali. Aku mau kamu merasakan hal-hal menyenangkan yang pernah kubuktikan sendiri.Aku masih ingat betul kita kenal dari kekurangajaran Mas Rumi yang dengan nggak sopannya ngasih ID LINE aku ke kamu. Mas Rumi ini mejanya dekat sama meja aku. Sebagai karyawan biasa yang kerja di satu ruangan ber-cubicle, notif apapun di HP temen itu gampang kedengeran.
Nah, hpnya Mas Rumi, saat itu bunyi terus.Aku tanyalah dia yang juga sudah bermenit-menit senyum mulu padahal belum gajian.
"Senyumin apa sih? Berisik banget."
"Mana ada senyum yang brisik."
"Notif kamu tuh. Dari cewek yang mana lagi?" Tanyaku. Mas Rumi buru-buru membenarkan posisi duduknya yang semula nyender di meja.
"Kamu jomblo nggak dek?" Sebuah pertanyaan yang kecut.
"Sorry udah nikah," Ucapku menaikkan tangan kiri. Memamerkan cincin pernikahan yang seharusnya sudah ada di sana, tetapi belum.
"Ngigo! Aku kenalin ya. Cakep dek. Tajir pula."
"Dibilangin udah nikah." Tidak tertarik sama alur pembicaraan, aku akhirnya menarik earphone dari dalam kantong jaket jeans Zara yang kemarin kubeli pas ada diskon 50%.
Kutarik nafas dalam-dalam sebelum mulai membuka lilitan kabel yang, ya ampun kenapa bisa sekacau ini sih?Perasaan sebelum dimasukin ke kantung jaket udah diikat baik-baik. Bener deh."Jomblo pasti." Mas Rumi terpantau masih yakin.
"Loh kok ngeyel ya anda."
"Pokoknya aku kenalin. Id LINE kamu aku bagi ke dia ya. Lumayan ada temen ngobrol. Dari pada ngobrol sama orang-orang ini lagi?" Tanyanya sambil nunjuk karyawan di ruangan kami.
Aku hanya merespon sekedarnya. Biar nggak dianggep kurang ajar. Tapi jelas dia tahu aku bukan tipe cewek yang suka main hp lantas chat orang-orang. Kerja setim bertahun-tahun ngebuat mereka cukup tahu aku gimana. Jangankan orang asing. Chat mereka aja sering aku anggurin berjam-jam bahkan berhari-hari. Termasuk chat pacar-pacar aku dulu. Beberapa bahkan nekat nyamperin ke kantor kalau ada yang lupa aku kabarin sehari dua hari karena lemburan.
But long story short, ternyata Mas Rumi beneran jadi ngasih ID aku ke temannya. Aku tebak saat liat notif LINE dari kamu di perjalanan sepulang kantor hari itu.
Nata ya? Aku Gugi, temennya Rumi.
Aku nggak lantas buka dan bales Line dari kamu. Setelahnya, hp itu kudiamkan. Kembali fokus nyetir dan nyanyi beberapa buah lagu hingga akhirnya jalanan mulai lenggang dan aku sampai di apartemen minimalis berukuran studio. Masih nyewa, belum beli. Belum.
Malemnya, sehabis mandi dan sambil nunggu mas Go-food nganter makanan yang aku pesan, aku mengambil HP dari tas kantor. Dan, benda itu panas. Banyak notif di sana dan 98% dari aplikasi Line.
Aku cepat-cepat berjalan ke arah sofa yang ku beli di ikea dua bulan lalu. Empuk. Sampingnya ada colokan.
Setelah nyaman, aku mulai membuka app yang membuat batre hpku panas itu. Ada sepuluh notif dari kamu dan sembilan puluhan dari Mas Rumi. Iya. sembilan puluhan. Dari laki-laki yang selama ini paling benci nge-chat aku. Menurutnya, mending dia nyamperin aku dari pada harus buang waktu buat nunggu aku bales chatnya.
Entah kenapa hari ini dia menjilat ludahnya sendiri.Aku buka line dari Mas Rumi yang isinya cuma bacotan dan huruf P yang dikirim puluhan kali. Wajar. Dia salah satu penulis senior di kantor. Kalau cuma nulis huruf P puluhan kalipun aku yakin dia mampu.
Intinya dia ngomel kenapa aku nggak respon line kamu.Padahal dia tahu aku lagi nyetir dan kejebak macet.Sebelum membuka dan membaca chat yang kamu kirimin, yang aku lakuin adalah buka foto profil kamu. Cowok yang fotonya duduk di sebuah tempat, dengan baju tanpa lengan.
Awalnya berkenalan denganmu asik. Walaupun chatmu masih sering aku anggurin. Aku berasumsi, dengan foto secakep itu, kamu bisa ngajak ngobrol siapapun.
Lantas, hari berganti hari.
Aku ingat beberapa kali kamu memohon untuk aku memberitahumu banyak hal.Dari nama panjang, akun I*, alamat, hingga alasanku kenapa tidak mengizinkanmu untuk bertanya macam-macam pada Mas Rumi tentang informasiku atau sekedar datang ke kantor dan bertemu.Protes-protesmu juga masih kuingat saat chat-mu aku diamkan cukup lama.Hingga akhirnya intensitas komunikasi kita meningkat pada satu malam. Waktu itu, kamu sedang berada di luar kota, kerja, dan aku di apartemen, bosan.
Banyak yang kita obrolin malam itu.Setelahnya, kita lebih sering berkomunikasi. Bukan dalam artian setiap hari, tapi lebih sering dibanding awal-awal dulu, karena ternyata kesibukanku dan kesibukanmu yang nggak bisa dihindarin. Sampai akhirnya kita berdua berkemungkinan bertemu di satu kota yang sama karena kerjaan kantor.
Dan menurutku, inilah puncaknya.
Ternyata kita nggak ketemu di kota itu karena ternyata jaraknya cukup jauh. Ada ratusan kilo. Dan kamu balik Jakarta lebih dulu dibanding aku.
Selang sehari kamu balik, kota yang aku tempatin kena musibah. Musibah yang cukup besar hingga mengakibatkan seluruh kota listriknya padam dan koneksi internet terputus.
But well, aku nggak mau bahas itu karena kamu tau aku masih agak trauma.
And then, selang seminggu, aku baru bisa ke kota lain. Evakuasi. Hal pertama yang kulakukan setelah mendapat jaringan dan listrik adalah membuka hpku. Ada ratusan pesan di sana, salah satunya darimu.
Di antara doa-doa dan kekhawatiran orang-orang yang kukenal, ada satu orang asing yang kulihat begitu khawatir dari kalimat-kalimatnya. Aku tersenyum.
Aku mengabarimu. Dan kau lega katamu.
Kok ada ya orang kaya kamu. Kenal nggak, pacar bukan, mantan apa lagi, tapi mau capek-capek khawatir. Atau aku aja yang naif?
Yang pasti, sejak saat itu ada yang berubah dari gaya komunikasi kita.Lebih sering.
Lebih perhatian.
Lebih kasmaran. Aku nggak nyangka bisa sedekat ini dengan orang yang hanya kutahu namanya.
Nggak.Aku bahkan nggak yakin itu nama asli kamu atau bukan. I mean aku bisa tanya ke Rumi, tapi enggan.Lagian kupikir siapapun namamu itu nggak masalah. Toh ntar kamu aku panggil -sayang- juga.Hell yes.
Aku menyukaimu, entah sejak kapan, dan aku memutuskan untuk menyampaikan itu padamu.
Dan I did.
Kan?
Jadi aku nggak terkejut saat kamu bilang dan respon ungkapan aku dengan kalimat kagum. Karena sekarang, cewek yang ngungkapin duluan itu masih sangat jarang. Banggalah kamu.
Pokoknya, seingatku, kamu bilang kamu kagum, sekaligus merasa bodoh. Merasa kalah. Merasa pecundang karena nggak berani ngungkapin duluan. Tapi aku nggak masalah. Selama aku pikir kita punya perasaan yang sama, nggak ada yang perlu dipermasalahin siapa yang ngungkapin duluankan?
Lagian saat itu, bagiku, kamu tahu perasaanku saja sudah cukup.
Aku nggak expect kamu punya rasa yang sama, atau bakal ngeresmiin hubungan ini. Nggak.Aku nggak mau Expect terlalu tinggi karena aku tahu, kamu punya pasangan di sana.Aku tahu.Sebut saja aku punya banyak pengalaman dengan pria-pria sibuk.Nah, sibukmu itu, sibuk yang lain. Tidak seperti sibuk pria-priaku dulu.Sibukmu sibuk yang bingung memilah waktu.Mana untukmu,Kerjaanmu,
Aku,dan pacarmu.
Setelah flashback berjam-jam, aku sampai nggak sadar kalau dikit lagi mobil yang kukendarai ini memasuki kawasan Bandung. Entah apa yang aku pikirin. Tapi terserahlah. Hari ini sedang tidak punya tujuan ngopi yang pasti.Mungkin Bandung adalah pilihan yang paling baik untuk ngopi, maupun patah hati. Sekarang hampir jam empat sore. Berarti ada sekitar lima jam lagi sebelum kamu nelpon. Itupun kalau jadi.Tapi bodohnya aku masih deg-degan. Aku mengarah ke salah satu kedai kopi yang lumayan enak di Bandung. Enak menurutku ya. Aku ingat betul Coffee Shop ini aku temukan secara tidak sengaja di satu mendung yang dulu banget. Selain tempatnya di tengah kota, desain interior cafenya yang tidak begitu ramai, aku suka barista-barista di sana. Ramah. Dan ganteng-ganteng. Segerlah lihatnya. Berasa cuci mata. Oh nggak lupa, kopinya enak. Cookies-nya juga nggak bisa dianggap remeh. "Eh si Teteh. Masuk Teh. Pasti ice cappucino double shot lagi kan?" Tanya salah satu barista yang namanya Leo.
"Halo?" Aku menyapa. Gugup. Takut kamu mikir suara aku jelek atau kebapak-bapakan."Nat?""Gie? Suara aku ada?""Iya ada. Suara aku?""Ada.""Seneng deh akhirnya bisa denger suara kamu." Kalimat panjang pertamamu kudengar dengan khusyuk."Mendoan kali enak. Katanya mau ngomongin sesuatu.""Buru-buru amat. Nggak mau nanya kabar dulu nih?"Aku tertawa. Kamu juga.Aku gugup. Kamu juga.Kita ngobrol lama. Tentang banyak hal. Juga mengulang beberapa topik yang pernah kita bahas sebelumnya. Sekedar memuaskan rasa ingin tahu bagaimana kalau pembahasan itu dibicarain langsung.And then there you are."Nat, aku mau ngomong."Mungkin kamu nggak tau, tapi aku nelan ludah berapa kali sebelum akhirnya berhasil respon kamu."Hm?"Kamu diem. Ragu."Aku nggak tahu harus ngomongin ini gimana.""Kamu udah ngulur waktu lama loh hanya untuk bahas ini. Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Toh nggak bakal berubahkan apa yang pengen kamu omongin?""Tapi Nat.""Aku nunggu." Kataku sambil menggigit bibirku sendiri.
Aku melipat kedua bibirku ke dalam sambil mendongak. Menahan ekspresi yang demi Tuhan aku sedang malu semalu-malunya.Dan pria itu di sana. Dengan Lengan kirinya terjulur menawarkan sebotol air mineral yang ada rasa manis-manisnya.Aku menelan ludah dengan susah payah, sebelum akhirnya menerima uluran botol itu."Jadi kedengeran ya?" Kataku membuka percakapan yang tidak kuinginkan ini."Banget." Jawabnya singkat sambil menarik kursi makan di depanku, dan duduk di sana. Mengambil selembar roti, kemudian menggigitnya. Tanpa selai, dan tanpa malu-malu menatapku."Well, I thought there's some kind of soundproof.""Nope, there's not." Jawabnya sekali lagi, singkat dan mulai menjengkelkan. Tatapannya itu. Gelengannya juga."Well, sorry. And oh, thank you." Ucapku seraya berdiri dan menggoyangkan botol minuman itu, kemudian berbalik dan masuk ke kamarku. Memalukan. Mbak Anaaaaaa....Tapi dia!Hey!Kebetulan macam apa ini!Pria di kedai kopi kemarin, pria brewok dan berkacamata itu, kenapa di
Aku baru saja menyuapkan sendok terakhir makan siangku hari ini ketika seorang wanita berteriak di pintu masuk, memanggil nama seseorang. Yang jika kulihat dari ekspresi pria yang tengah duduk di depanku, kemungkinan besar, wanita itu memanggilnya. "BEN! YOU KIDDING ME? APA-APAAN INI? KAMU NGGAK NGANGKAT TELEPON AKU, WA AKU NGGAK KAMU BALAS SATUPUN, TERUS TAHU-TAHU SEKARANG INI ALASANNYA? IYA? MAKAN SIANG SAMA CEWEK LAIN! SIAPA NI CEWEK? PEREK KAMU?" Mie goreng jawa yang rasanya ternyata memang lebih enak dari mie goreng jawa di kantorku itu dengan susah payah kutelan ketika mendapati diriku jadi pusat amukan seseorang, dan pusat perhatian seisi ruangan. Aku menatapnya. Pria itu. "Kamu yang namanya Ben?" Tanyaku sambil meneguk es jeruk dengan setenang mungkin. Mengkonfirmasi saat baru sadar kami berdua bahkan belum berkenalan satu sama lain. Bagaimana mungkin aku mau-mau aja diajak makan oleh orang yang namanya aja belum aku tahu? Dan ya, dia mengangguk. Ben mengangguk. "Is she
Melihat Ben yang masih tidak bergeming, aku menarik tanganku dari genggamnya. "Ben?" "Hm?" “You ok?” Ben mengangguk meyakinkan. “Ben..” Panggilku sekali lagi. “Hm?” "Pengen desert." Ucapku membuka topik baru. Apapun, karena aku engap berdua saja dalam lift dengan keadaan yang aneh ini. "Tadikan udah." "Yang mana?" Ini bukan pura-pura bodoh. Tapi memang aku nggak inget apapun soal makanan penutup. Yang mana yang dia maksud dessert tadi? Momen kita dilabrak mantannyakah? "Es jeruk." Keterlaluan. "Itu minuman Ben." Ben akhirnya tertawa.Ah leganya. "Aku traktir desert besok ya. Boleh?" Kuangguki setuju. Sesampainya di lantai yang Ben tuju, kami berjalan keluar dengan tidak lagi berpegangan tangan. Ah sayang sekali. Aku melihat plang yang di gantung di salah satu sisi.Ada nama kantor Ben di situ. Kami berjalan menelusuri sekat-sekat hingga berhenti di depan sebuah pintu kaca di ujung ruangan. Ben membukanya dan mempersilahkanku masuk. "Ini ruangan kamu?" "Bukan. Jabata
Ben mengantarku pulang. Ke kantor.Di perjalanan kami berdua nggak ngobrol banyak sejak kecupan dan ketukan itu. Bahkan sesampainya di apartemen, aku langsung mandi, uring-uringan, berguling-guling kesana kemari seperti adonan moci di tepung kacang, sampai hpku bunyi. Telepon masuk. Ben."Hm?" Sapaku nggak semangat."Assalamualaikum kek Nat.""Waalaikumsalam.""Lagi apa?" Tanyanya ragu."Uring-uringan." Jawabku jujur."Maaf soal yang tadi.""Yang mana?""Jangan judes makanya biar aku nggak takut jelasinnya."Aku hampir ngakak. Apa iya aku judes? Tapi pas ngomong gitu dia lucu. Cakep pula.."Iya Ben. Minta maaf soal yang mana? Gitu?""Iya gitu Nat." Sambungnya ketika mendengar intonasiku lebih halus."Yaudah jawab.""Tapi kamu pasti tahulah aku mau minta maaf soal apa.""Kamu kalau nggak niat minta maaf, nggak usah nelepon!" Bentakku.Dan sedetik sebelum telepon dari Ben kuputuskan, aku mendengar pria itu berbicara di ujung sana."Maafin aku udah nyium kamu tanpa izin. Maafin aku udah
Besoknya sesuai apa yang Ben bilang, dia benar-benar menjemputku makan siang lagi. Kami makan di resto dekat kantorku. Siang itu Ben nggak menggunakan baju seformal kemarin."Kamu nggak ngantor?""Kenapa?""Nggak pake dasi.""Emang aku CEO pake dasi mulu?""Aamiin.""Kamu mau punya suami CEO?""Maulah.""Yaudah kalau gitu aku bakal jadi CEO."Aku tersedak. Ben senyum cepat-cepat membukakan segel botol air."Jangan gitu lagi.""Gimana?" Tanyanya menyebalkan. Nggak menganggapiku serius."Kamu kalau ngomong suka nggak mikir ya Ben?""Iya. Perihal kamu, semuanya dari hati. Nggak perlu dipikir dulu." Ucap Ben lanjut menyuapi bibirnya dengan sepotong pizza dengan toping entahlah aku lupa tadi dia pesan apa.“Oh sure, bullshit,”“Hahahahha, kita lihat nanti.” Ucapnya entah bermakna apa.Aku mengamatinya diam-diam. Siapa tahu ada clue dari ekspresinya tentang siapa dia, apa maunya. Apapun. Kenapa Tuhan bisa kepikiran pertemuin aku dengan Ben.Tapi bagiku, mungkin seperti itulah Ben. Dia denga
"Kamu apa-apaan sih? Keluar nggak!" kupikir-pikir, Gugi emang doyan mancing emosiku kapanpun dimanapun. Dengan alesan apapun."Nggak. Naik buruan!" Titahnya."Nggak. Kamu turun dulu. Ini mobil aku. Kamu ngapain?" aku masih nggak habis pikir, dan melototin di habis-habisan. Menolak diperintah, apalagi tunangan orang."Kamu mau naik sendiri apa harus aku paksa?""Enak banget kamu perintah-perintah! Turun!" Protesku nggak percaya dia punya keberanian memerintahku setelah semua kelakuannya belakangan ini. Hebat.Gugi mengangguk. Lalu turun. Kupikir akhirnya dia mengalah. Tapi yang terjadi adalah, pria ini menarik tanganku, kemudian dia giring naik ke kursi penumpang. Menutup pintu. Dan berlari kembali ke kursi pengemudi. Menatapku sekilas, menginjak gas, dan mobil inipun melaju. Persis adegan penculikan anak SD. Meninggalkan gedung itu. Meninggalkan gadis itu.Sudah sekian kilo kami duduk bersama. Tidak sedikitpun dia bicara."Kamu mau kemana sih Gi? Minimal jelasin!" Tanyaku kesal."
[ Gugi’s POV ]Terlalu bising. Ini harusnya bising yang membuatku bahagia. Tapi nggak. Aku benci bisingnya. Orang-orang lain sibuk kecuali aku. Mama yang sedari tadi bolak balik memastikan aku sudah siap dan nggak kekurangan apapun, papa yang nggak kalah sibuknya dengan Crew Wedding Organizer, dan orang-orang lain yang merasa punya kepentingan di ruang ini. Demi apapun aku nggak suka.“Raf,” panggilku pada Raffi yang standby menemaniku sejak subuh tadi. Assistenku di kantor, juga sahabatku.“Kenapa Mas?”“Pinjem HP lu dong,”“Buat?”“Gue butuh ngomong sama Nata,” bisikku.“Mas, please lu jangan aneh-aneh,” ucap Raffi memelototiku yang langsung kubalas.“HP lu. Sekarang!”Tahu watakku seperti apa, Raffi mau nggak mau minjemin HPnya.Kutekan nomor Nata yang sudah kuhapal di luar kepala itu, dengan jariku yang sedikit gemetar. Aku berjalan ke balkon. Menjauh dari kebisingan, setelah pamit ke orang-orang dengan alesan ada telepon dari salah satu klien penting. Dan harus kuangkat.Nggak ad
Kalian pernah nggak sih suka tiba-tiba sibuk sama pikiran sendiri? Ngobrol sama diri sendiri? Aku sering. Seperti sekarang, saat pikiranku lagi penuh-penuhnya, lagi berisik-berisiknya.Udah banyak loh penelitian soal itu. Gimana ngobrol dengan diri sendiri, atau self talk itu bisa begitu berperan penting dengan kesehatan mental kita. Tentu saja tergantung dari yang kita obrolin itu apa. Positif kah, negatif kah.Dari banyaknya hal menyakitkan yang beterbangan di isi kepalaku belakangan, selama hamil, aku nyoba buat memilah-milah mana dan siapa yang perlu dan nggak perlu dipikirin.Dan ternyata sulit.Gugi selalu berhasil ngedobrak semua tembok pertahanan yang kubuat. Meski kini tembok itu berupa manusia sebaik Ben.Setelah kubalas chatnya malem itu dan ngeblok nomornya for good, kucoba ngejalanin hari-hariku sebagai wanita hamil tanpa suami dengan sangat percaya diri.Tapi entah kenapa, ada aja titik dimana aku tiba-tiba ngebutuhin Gugi brengsek itu. Dalam wujud apapun. Kehadirannya k
“Oh,” ucapku ngembaliin HP milik Mas Rumi sambil berbalik, ngatur nafas, berjalan kembali ke kursiku. “Kirain apaan.”“Kamu tahu?”“Tahu,” ucapku bersandar pada kursi kerjaku yang empuk. Menjawab setenang mungkin.Mas Rumi menatapku. Tanpa berkedip. Aku tahu dia kahawatir. Lebih dari itu, entah apa lagi yang dia pikirin.“Oh Im good, kok Mas. Mamanya bahkan ngundang aku buat hadir,” jelasku sekali lagi. Agar temenku itu makin percaya bahwa aku sungguh baik-baik aja dengan kabar pernikahan Gugi. Cepat atau lambat, toh itu bakal terjadi. Kita semua tahu itu. Kan?“Kamu ketemu Mamanya?”“Uhum,”“Kapan?”“Di bandara, pas kita baru balik dari Singapura kemarin,”“Waktu sama Ben?” kuangguki. “Jadi kamu mau hadirin acara itu?” tanya Mas Rumi sekali lagi.Yang ini hanya kurespon dengan mengangkat kedua bahuku. Karena aku beneran masih belum tahu harus hadir apa nggak. Kuat hadir atau nggak.“Makan siang yuk Mas,” ajakku.Sebenarnya, adalah ketololan kalau aku benar-benar menghadiri pernikahan
Ben sekali lagi menghabiskan seminggunya menemaniku di Yogyakarta. Nggak hanya Mamah Papah, dia juga ikut serta mendampingiku konsul kembali ke Dokter Lendro sebelum kami balik ke Jakarta berdua.Nggak mau kalah denganku, dia bahkan lebih fokus dan memperhatikan penjelasan Dokter kandungan itu dengan teliti. Mencatat semua suplemen dan segala hal yang baik untuk menunjang kesehatanku janinku dan aku. Kami juga berkesempatan ngobrol dengan salah satu bidan senior yang direkomendasiin Dokter Lendro untuk bertanya-tanya hal-hal yang mungkin saja lebih enak jika ku obralkan ke sesama perempuan.Selain itu, Mamah Papah juga ngajak ngajak kami ngelakuin kegiatan-kegiatan ringan yang bisa menghiburku juga Ben. Entah kenapa mereka berpikir Ben juga butuh dihibur. Tapi setelah kupikir-pikir, emang benar. Disini, sekarang, nggak hanya aku yang punya beban. Mereka bertiga juga memiliki beban pikiran yang nggak kutahu serumit apa hanya karena masalah-masalahku ini.Perasaan bersalah yang kerap mu
Ruang makan rumah kami selain dipenuhi aroma masakan buatan Mamah yang udah sibuk di dapur sejak berjam-jam yang lalu, juga dipenuhi alunan instrumen Sunda yang samar-samar. Salah satu hobby Papah. Menurutnya, makan sambil dengerin instrumen Sunda ngerasa dia makan di kampung halamannya. Dan nggak ada yang protes, walaupun aku kurang suka makan diiringin suara suling.“Assalamualaikum Mah, Pah,” salamku sedikit keras. Berusaha menarik perhatian kedua pasangan yang lagi sibuk Nata piring itu.“Waalaikumsalam. Eeh udah pada dateng? Ayo-ayo sini nak, kita langsung makan ya. Takut keburu dingin supnya,” ucap Papah menghampiriku dan Ben.Aku memeluknya sebentar, sebelum dia beralih ke Ben. Ben tertunduk menyalim Papah, sambil Papah puk-puk punggungnya ringan. Aku berjalan lebih dulu ke meja makan sebelum kemudian mereka susul.Kuperkenalkan Ben secara resmi dan singkat ke kedua orang tuaku. Sepanjang sarapan bareng yang hangat itu, kulihat gimana antusias Ben ngobrol dengan Mamah Papah, sa
Menjadi seorang Ibu tanpa suami, apa aku mampu?Lagi, kepalaku dipenuhi banyak pertanyaan. Aku nggak fokus ngedengarin penjelasan dan obrolan orang tuaku bersama Dokter Lendro. Satu tanganku turun mengelus perutku, sedang tanganku yang lain digenggam Mamah.Malam ini berat. Tapi ringan berkat mereka.Sesampainya di rumah, aku masuk kamar yang sudah beberapa lama nggak kutempati. Nggak ada yang berubah. Kuyakin Mamah Papah repot ngebersihin kamar ini sejak pagi.Kunyalakan kembali Ponselku. Beberapa pesan masuk, nggak kuperdulikan. Mataku fokus pada Ben. Dia mengirimiku beberapa chat. Mengabari kegiatannya, juga menyampaikan khawatirnya.Kutelpon.“Nat? Assalamualaikum. Kamu dimana sekarang? Kok hp kamu baru nyala?”“Waalaikumsalam Ben. Maaf ya. Tadi ngurus sesuatu dulu.”“Gimana? You oke now?”“Aku perlu ngasih tahu kamu sesuatu Ben,”“Please jangan bilang kamu dijodohin di sana. Malam ini juga aku jemput kamu kalau sampai benar!”“Hahaha. Kamu pikir segampang itu jodohin anak jaman s
Suasana jalan siang ini cukup padat. Perjalanan menuju kantor kutempuh dengan perasaan yang bingung dan banyak takutnya. Kalian tahu betul alasannya apa. Aku nggak mau nyimpulin apapun di luar sepengetahuanku. Yang jelas, yang kutahu, sangat wajar jika seorang wanita dewasa mengalami terlambat datang bulan. Iyakan? Maksudku, nggak semua yang telat menstruasi itu hamil. Nggak perlu panik, nggak perlu takut. Aku juga nyoba buat kerja senormal mungkin. Mencari distraksi agar fokusku terpecah ke hal-hal lain. Seperti memperhatikan teman-teman kerjaku yang sedang santai. Beberapa bahkan asik ngobrol satu sama lain perihal kerjaan atau pasangan mereka masing-masing, sampai rasa itu muncul di satu pagi. Mual yang kurasa sejak bangun tidur dua hari belakangan ini, membuat pikiranku makin kacau. Aku nyoba mikirin kemungkinan-kemungkinan lain. Maagku kambuh misalnya. Atau efek dari makanan yang kukonsumsi di malam sebelumnya. Semua selalu dipatahkan dengan mual yang kembali muncul, lagi dan
Mencoba menyembunyikan panikku, aku berdehem dengan susah payah, lalu tertawa. Sungguh sebuah tawa yang juga susah.“Hm? Kok bisa? Haha,” nggak tau harus tersinggung atau gimana.“Waktu aku awal-awal hamil dia nih, aura aku kaya kamu persis. Kelihatan capek banget, kaya kurang tidur. Bawaannya lemes.”“Oh hahahhha. This, is what work did to me Mbak,” ucapku menjelaskan sambil menujuk wajahku sendiri.Kami sempat ngobrol beberapa saat, sebelum Mbak-Mbak itu meminta maaf sekali lagi pada akhirnya. Mungkin dia bisa melihat kepanikan dari wajahku. Ia kemudian berlalu. Pamit untuk mencari suaminya.Aku melanjutkan kegiatan ini hingga rampung dan bersiap pulang. Vipa mengantarku sampai di unit. Memastikanku sampai di tempat tujuan dengan aman.Ku bereskan semua belanjaan. Menempatkannya di tempat yang seharusnya. Setelah semua rapi, entah kenapa, kalimat di supermarket tadi terlintas kembali di kepalaku.Gimana mungkin seseorang mengira aku sedang hamil. Kuraba perutku yang rata. Cepat-cepa
Aku bangun dengan keadaan yang, sebut saja berantakan. Rambutku yang awut-awutan, mataku yang bengkak, dan badanku yang terasa lemas. Ternyata nyakitin orang itu semelelahkan ini ya? Kok banyak yang doyan ngelakuin itu?Aku berjalan keluar kamar, menuju balkon. Menyibakkan tirai berwarna abu tua yang juga belum pernah kucuci sejak kubeli setahun lalu. Pandanganku jauh melihat langit di luar. Pagi ini mendungnya enak.Setelah beres mengamati cuaca Jakarta, aku berjalan ke arah westafel. Mencuci mukaku, sebelum mengambil dan meneguk segelas air putih. Mataku menangkap gelas yang digunakan Gugi tadi malam. Belum kucuci. Masih bertengger manis di meja depanku, sedang orangnya sudah pergi. Sudah benci.Saat sibuk dengan isi kepala, kudengar pintu unitku diketuk.“JENATAAAAAAAAAAA, BUKAAAAA!”Kalau kamu dengar teriakan itu langsung, minimal ritme jantungmu sedikit mengencang. Sensasinya seperti diteriakin Guru BP pas lagi usaha manjat pagar samping sekolah.“Utang lu banyak ya ke gue!” sempr