"Pak, Saya turun di sini saja. Makan malam Kita batal! Nanti Saya akan bilang ke Mama kalau Bapak ada urusan penting mendadak," ucapku tergesa-gesa seraya mendorong dada Pak Gibran agar segera menjauh dariku."Kenapa Kamu ketakutan, Audrey?" goda Pak Gibran sambil tertawa geli melihat rasa takut dan gelisah yang terpampang nyata di raut wajahku.YA GIMANA AKU GAK KETAKUTAN! Jelas-jelas dia tadi mengajakku melakukan 'sesuatu' seperti di red room trilogi Fifty Shad*s.Lagipula film si Dakota Jhons*n 'kan banyak, kenapa juga Pak Gibran malah memilih film itu? Wajar 'kan kalau aku berfikir yang tidak-tidak!"Saya tidak mau jadi Anast*sia Bapak!" pekikku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku. "I would never want to doing something like in his red room!" tambahku masih dalam mode berapi-api.Pak Gibran semakin terkekeh mendengar tanggapanku. Menurutnya, penolakanku itu terdengar seperti orasi emak-emak yang menolak kenaikan harga BBM."Saya hanya bercanda, Audrey!" gumam Pak Gibran yang masi
"Mungkin benar kata Kak Livy dan Aksa," gumam Pak Gibran. "I'm falling in love with you."DEGH!Hati apa kabar hati? Jantung apa kabar Jantung? Jangankan hati dan jantung, bahkan otak, paru, ginjal, dan usus dua belas jariku koprol mendengar kalimat cinta dari Pak Gibran barusan.Sambil terus menatap mataku lekat, jemari besar Pak Gibran mengusap pipiku dengan lembut. Perlahan sentuhannya bergerak ke arah bibirku. Mengusap bibirku dengan ibu jarinya.Aku hanya terdiam. Badanku rasanya layu. Lidahku rasanya kelu.Aku hanya bisa menatap wajah tampannya tanpa membalas apapun. Menikmati setiap gerakan jarinya di atas permukaan bibirku. Menikmati hangat hembusan nafasnya yang mulai terasa kembali menyapu area wajahku.Kami sudah semakin dekat ... sangat dekat ... dan akhirnya ... CUP! Bibir kami saling bersentuhan.Perlahan Pak Gibran melahap bibirku dengan lembut, mencicipi permukaaan bibirku dengan sangat hati-hati. Menciptakan rasa nyaman sekaligus penasaran dalam diriku. Membuatku spon
Tepat pukul 20.10 Kami tiba di rumah. Tampak mama sudah menunggu di meja makan dengan segala hidangan kesukaan Pak Gibran."Maaf Ma, Kami datang terlalu malam," sesalku seraya mencium pipi kanan dan kiri mama."Doesn,t matter," balas mama dengan senyum cantiknya. "Ayo, Kita mulai makan malam. Kasian lambung kalian! Maaf ya, Nak Gibran. Makanan dan tempatnya sederhana," tambah mama seraya mempersilahkan Pak Gibran duduk di sebelahku."Mas mau makan apa? Biar Aku ambilkan." Mas? Iya, Mas Gibran.Setelah aktivitas bercumbu yang yang cukup menggairahkan di mobil, Pak Gibran melarangku memanggilnya Bapak. Dia memintaku memanggilnya 'Mas Gibran'.Selain itu kami harus menggunakan kata 'aku' bukan 'saya'. Karena Mas Gibran merasa seperti sedang berbicara dengan karyawan atau rekan bisnisnya setiap kami saling menyebut diri kami dengan kata 'saya'.Mas Gibran juga mengganti panggilannya pada Mama Alin. Dengan nyaman CEO Adinata Group itu memanggil Mama Alin dengan panggilan 'mama'. Sontak me
Malam ini kami saling mengakui perasaan kami satu sama lain. Perasaan kagum yang berkembang menjadi rasa sayang dan perlahan bermetamorfosa menjadi rasa cinta. Entah sejak kapan perasaan ini mulai bermetamorfosa, yang aku tau hanya sejak awal pertemuan kami, aku memang sudah mengagumi seorang Gibran Maharsa Adinata."I can remember when I first saw you," ungkapku.Ya, aku akan selalu mengingat hari itu. Hari dimana aku bertemu Mas Gibran untuk pertama kalinya. Tepat di hari pertama aku menjadi guru les privat Gea dan Luna dua tahun lalu. Di hari itulah aku mulai mengagumi sosok tampan yang kini menjadi kekasih pertamaku sekaligus cinta pertamaku dan ciuman pertamaku.Sejak saat itu hanya sosoknya yang menjadi visual pria idamanku. Wajah tampan, tubuh maskulin, suara bariton, dan sikap beton yang terkesan sulit terjamah khas Mas Gibran selalu berhasil menghipnotisku. Walau aku sadar, ada perbedaan status sosial yang terlalu jauh diantara kami berdua. Aku selalu beranggapan, orang kaya
Sudah satu minggu aku menjadi kekasih Gibran Maharsa Adinata. Beberapa kali kami sempat menghabiskan waktu bersama, mulai dari sekedar makan siang, makan malam, bahkan menemaniku berbelanja kebutuhan Alina Gump dan menemani Oma Elma ke butik langganannya.Hari ini kami harus menghadiri pesta ulang tahun si centil Luna. Tepat pukul 11.10 WIB, tampak seorang pria berwajah tampan dengan gagahnya sudah menungguku di teras rumah. Kehadiran sosoknya tentu membuat senyumku mengembang sempurna. Dengan menggunakan dress peach yang konon kata Gea adalah pilihan si sosok tampan tersebut, akupun melenggang sok cantik ke arahnya."Maaf sudah membuat Mas menunggu," ujarku semanis mungkin."Doesn't matter," balasnya. Dia mengamatiku dari ujung rambut hingga ujung jempol kakiku. "Cantik sekali wanitaku," puji pria tampan yang pandangannya terpaku padaku itu.Cantik? Wanitaku? Haduh ... lumer lagi Audrey, Om!"Terima kasih, Mas Gibran Maharsa Gombal Adinata," balasku seraya tersenyum secerah cuaca har
Bagaimana bisa Mas Gibran membuat keputusan sepihak? Bisa-bisa dia terkena penalti karena pembatalan kerja samaku dengannya terkait skripsi si montok Clara! Eh, tapi 'kan kami gak ada perjanjian tertulis. Matilah aku! Uangnya harus aku kembalikan dong, huft!"Aku alihkan tugasmu," ujar Mas Gibran tiba-tiba."Dialihkan?""Jadilah asisten sekertarisku bulan depan! Kebetulan asistennya akan ditugaskan ke luar kota selama satu bulan," terang Mas Gibran. "Tentang skripsi Clara, sudah aku serahkan pada orang lain," tambahnya.Asisten Sekertaris? Akupun terdiam sejenak, mempertimbangkan peralihan tugas yang diberikan Mas Gibran. Setelah berpikir selama satu detik, sepuluh detik, lima puluh detik, dan ..."Em ... OK! Setelah ini aku akan transfer balik uang 100 juta yang sudah Mas kirim. Karena Aku rasa gaji seorang asiten sekertaris selama satu bulan tidak sebanyak itu.""Tidak perlu. Aku yang melanggar perjanjian Kita, jadi Kamu tidak perlu mengembalikan uang itu. Setelah ini bahkan Aku aka
"Suasananya nyaman sekali," pujiku seraya melihat sekeliling restoran mewah dengan interior bergaya Eropa ini."Setahun mejelang Papa meninggal, hampir setiap Sabtu, Almarhum Papa mengajak Kami sekeluarga makan siang di sini," ucap Mas Gibran. Pandangannya menyusuri sudut-sudut restoran ini. Mungkin dia teringat beberapa momen bersama papanya di tempat ini."Audrey ... " lirih Mas Gibran."Hem ... ""Terima kasih.""For what?" tanyaku kebingungan."For coming into my life."Uw ... manisnya Om Tampanku. Akupun membalas dengan senyum terbaikku seraya meremas lembut tangan Mas Gibran. Semoga gak hanya manis di awal ya, sampai nanti ngajak nikah, kawin, dan beranak-pinak tetap uwuuw ya Om Tampan, amin!Tak lama, makanan kami datang. Dengan ramah dan cekatan pelayan restoran ini menyajikan pesanan kami. Lebih tepatnya pesanan Mas Gibran. Karena setibanya di restoran ini aku sampaikan dengan jujur pada Mas Gibran bahwa ini pertama kalinya aku ke restoran mewah semacam ini. Nama-nama makana
Sesekali aku melirik ke arah Tante Ziya. Sepertinya memang betul yang dikatakan Kak Livy, salah satu sosialita hits ibukota itu memang beberapa kali tertangkap sedang menatap tajam ke arahku.Dari awal kedatanganku, sebenarnya memang banyak pasang mata mengarahkan pandangannya ke diriku yang berjalan di samping Mas Gibran. Ya ... wajar sih! Secara gadis yang bisa menaklukkan hati Tuan Muda Adinata, hehehe.Namun tatapan orang-orang itu tidak intens seperti tante Ziya. Dan juga ... tidak seintimidasi tante sosialita itu.Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku bertemu dengan Tante Ziya. Sebelumnya aku pernah bertemu dengannya di saat ulang tahun Gea dan Luna tahun lalu. Selain itu juga di acara ulang tahun Oma Elma dan Bu Livy selama dua tahun terakhir. Namun sebelumnya dia tidak pernah menatapku setajam ini.Kenapa sih dia? Apa karena aku menggeser posisi keponakan kesayangannya?"Wah ... cantik sekali Tante Bule," terdengar suara Kak Dina yang berjalan ke arahku. Sontak akupun menat
Sebuah range rov*r hitam berhenti di lobby utama kantor pusat Adinata Group. Tampak seorang wanita cantik dengan kemeja satin berwarna hitam yang dipadukan dengan celana berwarna senada keluar dari mobil itu. Dia melenggang ke arah lift khusus para petinggi Adinata Group. "Selamat Pagi, Nona Gea," terdengar suara dari arah belakang Gea. Suara yang sangat dia hafal, suara yang sudah didengarnya sejak masih bayi. Suara bariton Sang CEO Adinata Group. "Selamat Pagi, Pak Gibran," balas Gea seraya menyunggingkan senyumnya. "Hari ini cantik banget sih ibu direktur pengembangan bisnis Adinata Group," terdengar suara yang juga tidak kalah familiar dengan suara Gibran. Ya ... siapa lagi kalau bukan, Audrey Liliana White, istri tercinta Gibran. "Cantikku setiap hari kali, Te," ujar Gea seraya menyelipkan beberapa anak rambutnya di belakang telinganya. "Tiap hari memang cantik, tapi hari ini cantik banget, bukan sekedar cantik seperti hari-hari yang lain," gumam Audrey seraya memindai penamp
"Bagas mau permen yang itu, Pa," ujar anak laki-laki 7 tahun yang sedang berada di gandengan Mas Gibran. Anak laki-laki tampan miniatur Mas Gibran itu adalah putra pertamaku dan Mas Gibran, Bagas Maharsa Adinata. "Gendong, Ma!" rengek seorang anak perempuan berusia 3 tahun. Anak perempuan cantik yang wajahnya juga sangat mirip dengan Mas Gibran itu adalah Ayara Maharsa Adinata, anak keduaku dan Mas Gibran. Kalau kata Mama Elma, dua anak kami itu hanya numpang 9 bulan di perutku. Karena wajah mereka berdua plek ketiplek dengan Mas Gibran. Aku hanya kebagian warna manik mata coklat mereka. Sedangkan bagian yang lainnya Gibran Maharsa Adinata banget! "Kita ke Michellia dulu ya. Kita belum mengucapkan selamat ulang tahun," ujarku pada Mas Gibran dan kedua anakku. Michellia adalah anak pertama Revan dan Mentari. Gadis cantik itu hari ini sedang merayakan ulang tahunnya yang ke 5. "Celamat ulang Tahun, Kak Icel," ucap Aya sambil menyerahkan kado yang sudah kami siapkan. "Ini kado dari
Setibanya di rumah sakit, aku diminta berbaring di bed periksa pasien. Segera Bidan Lely, Bidan senior yang bertugas hari itu melakukan pemeriksaan dalam."Sudah ada pembukaan, tapi masih buka 3. Saya laporakan ke dr Tomi dulu, Ibu Audrey," ujar Bidan Lely.Menurut Om Tomi walau masih pembukaan 3, aku lebih baik menunggu di rumah sakit saja, menempati kamar VVIP yang memang sudah dipesankan Shabina. Walau anak pertama biasanya proses pembukaan akan lebih lama, tapi setidaknya aku dan suamiku bisa lebih tenang. Apalagi gelombang-gelombang cinta dari bayiku semakin sering aku rasakan."Sakit ya, Sayang?" tanya Mas Gibran seraya mengusap puncak kepalaku."Ya sakitlah, Mas! Sakit banget malah!" ketusku. Lagian pakai acara tanya sakit atau tidak! Ya pasti sakitlah, namanya juga kontraksi mau melahirkan.Mas Gibran hanya menghela nafas. Dia terus mengusap pinggangku dengan sabar. Walau terkadang omelan-omelan keluar dari mulutku.Tak lama, ruang rawat inap yang aku tempati mulai ramai. Kare
2 Tahun BerselangSore ini aku sedang berada di pesta ulang tahun Mama Elma. Tahun ini mama mertuaku itu memilih merayakan ulang tahunnya hanya dengan sebuah perayaan sederhana. Sehingga kami hanya mengadakan sebuah pesta kebun sederhana di halaman belakang rumah mewah keluarga Adinata. Hanya keluarga, kerabat, dan sahabat dekat Mama Elma yang diundang."Pasti Tante capek, ya? Ayo, duduk sini!" ujar Gea seraya menggeser kursinya untukku. Akupun mengikuti permintaannya, duduk manis dengan perut yang sudah sangat membuncit."Wah ... perut Tante makin membesar. Ini gak mungkin meledak 'kan, Tante?" Luna menatap perutku ngeri-ngeri sedap."Ya gak mungkin, sayang," timpal Kak Livy yang kebetulan juga duduk di meja yang sama dengan Kami."Gak mungkin? Perut ibu hamil itu elastis berarti ya, Ma?" tanya Luna penasaran.Kak Livy menganggukan kepalanya. Kakak iparku itu kemudian menjelaskan pada anak bungsunya bahwa atas kebesaran Tuhan, perut seorang wanita memang didesign untuk bisa menjadi r
"Selamat pagi, istriku," suara bariton Mas Gibran menyapa pagiku di hari pertama aku resmi menjadi Nyonya Gibran Maharsa Adinata.Ah ... gini ya rasanya sudah menikah. Bangun tidur sudah ada yang menyapa dengan mesra. Indah sekali rasanya awal hari kita."Shalat shubuh dulu, Sayang!" bisik Mas Gibran dengan mesra. Aku yang masih berusaha mengumpulkan nyawa, hanya menggeliat-liat manja di bahu atletisnya."Memangnya jam berapa sekarang?" tanyaku ogah-ogahan."Ini sudah jam 6 pagi. Perutku juga sudah keroncongan. Semalaman energiku habis memanjakan istriku," seloroh Mas Gibran.Hash! Memanjakan istri? Bukannya aku yang malah memanjakan dia? Sampai-sampai aku kelelahan seperti ini!Sepanjang malam Mas Gibran terus saja menyatukan jiwa raga kami. Meminta lagi dan lagi jatahnya sebagai seorang suami. Kakiku saja kini terasa sulit untuk digerakkan. Kedua pangkal pahaku terasa sangat perih. Belum lagi warna-warna kemerahan di sekujur tubuhku. Peta-peta kemerahan karya suami tercintaku ini ad
Jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Aku dan Mas Gibran sudah berada di salah satu kamar hotel tempat acara akad nikah dan resepsi kami digelar. Mas Gibran sengaja meminta Tian menyiapkan kamar president suite untuk kami berdua malam ini. Menurut Mas Gibran pasti Kami akan kelelahan jika harus pulang ke rumah setelah serangkaian acara dari pagi hingga malam."Akhirnya bisa selonjoran juga," gumam Mas Gibran yang baru saja mendaratkan tubuhnya di ranjang. Sedangkan aku masih direpotkan dengan rambut landakku.Ampun deh ya, ini rambut kayaknya harus aku keramasi 5x baru bisa kembali normal. Padahal aku sudah meminta model rambut sesimple mungkin. Tapi tetap saja rambutku penuh hairspray seperti ini.Akupun bergegas ke kamar mandi. Memulai sesi keramas dengan menggunakan shampoo khusus yang disiapkan Kak Livy. Kata Kakak iparku, shampoo ini adalah shampoo khusus rambut landak et causa penggunaan hairspray. Shampoo andalan para pengantin baru!Ya ... semoga saja shampoo ini benar-benar memb
Malam harinya, resepsi pernikahan kami digelar. Masih di tempat yang sama namun dengan konsep acara yang berbeda.Pada akad nikah, kami menginginkan acara yang sakral dan hanya dihadiri keluarga dan sahabat. Sedangkan pada resepsi pernikahan, kesan mewah, megah, dan meriah sangat tampak di konsep acara.Selain itu tamu undangan yang hadir juga jauh lebih banyak pada acara resepsi malam ini. Jika pada akad nikah hanya dihadiri keluarga, kerabat, dan sahabat, pada resepsi malam ini tamu yang hadir datang dari berbagai kalangan. Mulai dari kalangan pengusaha kelas atas negeri ini, para sosialita teman-teman Mama Elma, sampai beberapa selebriti terkenal.Astaga, Kak Livy benar-benar all out dalam mempersiapkan acara resepsi malam ini.Aku dan Mas Gibran bak ratu dan raja dalam semalam. Gaun nerwarna bronze yang aku gunakan dipadukan dengan tiara di atas kepalaku, membuatku tampil seperti ratu di buku dongeng yang biasa aku baca semasa kecil dulu. Apalagi di sampingku berdiri seorang pria
Akhirnya hari yang ditunggu tiba. Hari pernikahanku dengan Om Tampanku, Gibran Maharsa Adinata.Pukul 05.30 Kami sudah berada di salah satu hotel keluarga Adinata. Di ballroom hotel inilah pernikahan kami akan digelar. Dimulai dengan akad nikah di pagi hari, kemudian dilanjutkan dengan resepsi di malam hari.Sejak pukul 06.00 pagi tadi, seorang makeup artis ternama ibukota sudah memoles wajah blasteranku. Menurutnya butuh waktu sekitar 2 jam untuk makeup dan hairdo. Sedangkan akad nikah sendiri dimulai pukul 08.00 wib dengan ijab qabul harus terlaksana pada pukul 08.30 wib.Setelah makeup dan tatanan rambut selesai dikerjakan, aku mulai dibantu untuk memakai kebaya cantik yang sudah dibuatkan khusus untukku oleh mama mertua Kak Livy."Cantik sekali!" puji Shabina dan Mentari yang sudah siap menjadi pengiringku menuju meja akad."Iya, cantik sekali Kamu, Audrey!" puji mama mertua Kak Livy."Berkat makeup dan hairdo kak Bonita, ditambah baju buatan Tante yang luar biasa indah," balasku
Malam sudah larut. Mas Gibran tadi juga sudah mengabari bahwa dia hendak pulang dari rumah sakit. Dia menugaskan Theo, salah satu bodyguardnya yang lain untuk menemani Clara. Sedangkan Jay diminta kembali ke rumahku untuk menjagaku dan Mama.Ada kelegaan di hatiku ketika tau Mas Gibran sudah pulang dari rumah sakit. To be honest aku tidak rela Mas Gibran kembali bertemu Clara, apalagi tidak ada aku di sampingnya. Tapi ya mau gimana lagi? Mas Gibran tadi sudah berjanji akan menyusul Clara ke Rumah Sakit, sedangkan aku tidak mungkin ikut ke sana.Selain untuk melihat kondisi Aurora, Mas Gibran ke rumah sakit juga untuk memperingati Clara. Kalau dia kembali nekat, Mas Gibran sudah tidak akan lagi memaafkannya. Ini sudah ketiga kalinya Clara hendak mencelakaiku. Rasanya sudah lebih dari cukup memberi kesempatan pada penyanyi cantik itu.Namun untuk memberi efek jera, Mas Gibran tetap akan memberi hukuman pada Clara. Memang bukan melaporkan ke pihak berwajib, tapi Mas Gibran akan menyampai