"Ngapain kamu ke sini?" tanya Dewi dengan nada dingin kepada Gibran saat mereka berpapasan di lobi rumah sakit. Sore itu Dewi baru selesai meeting dan Gibran baru pulang dari kantor.
"Ngapain?" Gibran justru balik bertanya. "Ya jelas aku mau besuk Ibu, Wi.""Makasih buat perhatiannya. Tapi, enggak usah repot-repot! Dia bukan ibu mertua kamu lagi!""Wi, Ibu lagi sakit, enggak baik kita kayak gini. Gimana kalau sampai ibu tahu?""Dengarkan aku baik-baik, Mas Gibran!" Dewi menatap Gibran dengan tajam. "Pertama, bukan aku yang meminta perceraian kita, tapi kamu. Aku cuma menyetujui. Yang kedua, Rindu udah hamil anak kamu, terlepas pernikahan kalian sah atau enggak, itu bukan urusanku. Yang jelas, aku enggak mau punya suami yang sudah menghamili perempuan lain. Yang ketiga, aku enggak akan jadikan kondisi ibu yang sakit, sebagai alasan untuk menunda apalagi membatalkan perceraian kita!""Tapi, Wi, gimana kalau Ibu sampai tahu? Kondisinya pasti akan memburuk!""Kamu tenang aja, Mas. Tugasmu cuma satu. Tutup mulut kamu rapat-rapat! Itu aja. Enggak usah ikut pusing-pusing mikirin ibuku. Pikirin aja istri baru kamu yang lagi hamil. Biar lancar dan sehat sampai lahiran. Urusan Ibu, itu urusanku!""Tapi, Wi ....""Udah, kamu pergi aja! Enggak usah repot-repot buat besuk ibuku!""Wi ...."Tanpa memedulikan Gibran lagi, Dewi melanjutkan langkah menuju kamar dimana ibunya dirawat."Kesini sama siapa, Wi?" tanya Bu Rasti saat putri semata wayangnya masuk ke kamar rawatnya."Sendiri, Bu. Dewi selesai meeting langsung ke sini." Dewi mendekati ibunya dan mencium tangan wanita yang kini terbaring lemah itu. "Ibu udah makan?"Bu Rasti mengangguk. "Harusnya kamu pulang dulu, mandi, istirahat, baru ke sini.""Enggak apa-apa, Bu. Kasihan Mbak Marni belum siap-siap buat pulang." Dewi kemudian menyerahkan paper bag berisi makanan yang tadi ia beli saat di restoran."Mbak Marni makan dulu, habis itu aku antar pulang," titah Dewi."Saya pulang pakai angkot aja enggak apa-apa, Mbak. Kasihan ibu kalau ditinggal sendiri," tolak Marni."Gibran enggak ke sini, Wi?" tanya Bu Rasti."Mas Gibran lembur, Bu. Nanti aku minta tolong sama Wina buat jaga Ibu pas aku antar Mbak Marni." Dewi kembali menoleh ke arah Mbak Marni. "Ya udah, Mbak Marni makan dulu, aku telpon Wina dulu."Dewi langsung mengambil ponselnya di tas, kemudian menghubungi Wina."Win, aku mau minta tolong," ucap Dewi begitu Wina mengangkat teleponnya."Yes?""Kamu ke rumah sakit, ya! Terus tolong beliin aku baju ganti buat di sini.""Oke. Apalagi?""Sementara itu dulu.""Oke, habis mandi dan makan aku langsung ke situ.""Sip." Dewi langsung mematikan sambungan teleponnya.Dewi memang selalu berbicara langsung pada intinya. Tidak terbiasa berbasa-basi dengan siapapun. Sangat berbeda dengan Gibran yang pandai berbicara panjang kali lebar."Setelah Wina ke sini, aku antar Mbak Marni, ya?" ucap Dewi."Iya, Mbak. Makasih.""Ibu mau makan apa?" tawar Dewi pada ibunya.Bu Rasti menggeleng-gelengkan kepala."Ya udah, ibu istirahat dulu."Dewi langsung duduk di sofa, membuka tas kerjanya dan mengeluarkan laptop. Segera ia membuat laporan hasil meeting-nya hari ini dan menyelesaikan beberapa hal yang harus ia kerjakan.Bagi Dewi pekerjaan adalah segalanya. Dulu ia bahkan sudah bertekad untuk tidak akan menikah karena trauma atas pernikahan orang tuanya.Hidup susah bersama sang ibu yang membesarkannya seorang diri, membuat Dewi tumbuh menjadi perempuan mandiri dan tangguh. Ia selalu ingat pesan ibunya kalau jadi perempuan itu harus kuat, harus mandiri, agar tidak 100% bergantung kepada laki-laki.Bu Rasti berpesan demikian karena pengalaman hidup yang mengajarkannya. Dulu Bu Rasti seorang ibu rumah tangga yang hanya tahu dicukupi segala kebutuhannya oleh suami. Menjadi nyonya seorang kontraktor besar, membuat hidup Bu Rasti berkecukupan tanpa harus ikut bekerja.Namun, seiring berjalannya waktu semua berubah. Hidupnya yang tadinya bergelimang harta, menjadi tak punya apa-apa. Ia tersingkir oleh seorang wanita muda yang digandrungi oleh suaminya. Bu Rasti terusir dengan membawa pergi buah hatinya dengan bekal harga gono-gini yang tak seberapa.Itu sebabnya Bu Rasti selalu berpesan kepada Dewi agar menjadi perempuan yang mandiri. Namun, ternyata apa yang terjadi pada Dewi di luar dugaan Bu Rasti.Dewi, gadis pendiam itu menyimpan trauma besar dan mendalam atas perceraian orang tuanya. Dewi tidak mau menjalin hubungan asmara dengan laki-laki. Menganggap semua laki-laki sama seperti sang ayah yang mencampakkan istri dan juga anaknya. Dewi tidak mau menikah.Berkali-kali Bu Rasti berusaha menjodohkan Dewi dengan anak kenalannya, tak satu pun yang berhasil. Semua hanya satu kali kencan, setelahnya Dewi tidak mau bertemu lagi. Sampai Bu Rasti putus asa dan lelah sendiri. Ia pasrah dan hanya bisa melangitkan doa untuk putrinya tercinta. Hingga kabar kalau Dewi dekat dengan seorang laki-laki sampai di telinganya.Perjuangan Gibran dalam mendekati Dewi pun bukan sesuatu yang mudah. Dewi dengan segala luka dan traumanya, nyaris tidak memiliki rasa percaya kepada semua orang yang ditemuinya. Pintu hatinya tertutup rapat, nyaris tidak akan bisa terbuka. Hingga butuh waktu cukup lama bagi Gibran untuk bisa meyakinkannya. Tak hanya dalam hitungan bulan, tetapi tahun. Tiga tahun lebih, baru Gibran bisa berhasil meruntuhkan kerasnya pertahanan Dewi. Dewi mau menerima cintanya dan menikah dengannya.Bahkan saat itu Gibran harus mempertaruhkan pekerjaannya. Karena jika menikah dengan Dewi, maka salah satu di antara keduanya harus mutasi ke kantor cabang lain, atau keluar dari perusahaan. Sementara tidak akan mungkin bagi Dewi untuk melepas pekerjaannya. Jadi, mau tidak mau Gibranlah yang harus mengalah.Untungnya pada saat mereka menikah, kantor cabang baru yang lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka tengah dibangun. Sehingga Dewi meminta pada atasannya agar Gibran dimutasi ke kantor baru itu saja menunggu selesai pembangunannya. Karena Dewi merupakan karyawan yang masuk dalam perhitungan, maka permintaannya disetujui.Untuk sementara Gibran masih satu kantor dengan Dewi sampai kantor cabang baru siap beroperasi. Seharusnya akhir tahun ini Gibran menempati kantor barunya. Namun, pernikahan mereka malah kemungkinan besar berakhir.Menjelang maghrib Wina tiba di rumah sakit sembari membawakan pesanan Dewi. Dewi pun langsung mandi dan berganti pakaian. Setelahnya ia mengantar Marni ke rumah Bu Rasti. Karena Marni sudah Dewi pesankan shuttle, jadi Dewi langsung pamit. Ia pulang terlebih dahulu untuk mengambil keperluannya seperti charger, sikat gigi, skincare, dan lain sebagainya.Saat Dewi tiba di rumah, pintu rumah masih dalam keadaan terkunci. Begitu ia membuka pintu, ruangan luas ruang tamunya terlihat lengang. Tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang di dalamnya."Mas Gibran enggak pulang," gumam Dewi. Menyadari hal itu, ada bagian di dalam rongga dadanya yang berdenyut nyeri. Dadanya sesak. Ada sesuatu yang seperti tercabut paksa dari dalam sana. Sehingga meninggalkan bekas yang dalam dan menganga.Dewi memukul-mukul dadanya. "Kenapa sesesak ini?" Berkali-kali ia meraup udara dengan rakus. Hingga akhirnya satu per satu buliran bening berjatuhan dari pelupuk matanya.Kilas masa lalu kembali terbayang di depan mata Dewi. Bagaimana ia harus berjuang untuk bisa sekolah, mengejar beasiswa agar bisa terus kuliah. Karena pernah sebelum itu, pada saat Dewi SMA dan harus membayar uang gedung yang baginya dan sang ibu cukup besar, ia mendatangi rumah megah ayahnya.Namun, apa yang terjadi? Dewi bahkan tidak dipersilakan masuk sama sekali oleh sang ayah. Ia hanya dipersilakan duduk di kursi teras. Jangan ditanya apakah istri baru ayahnya keluar menemuinya, karena sudah pasti jawabannya tidak.Pada saat Pak Wisnu masuk, Dewi termenung memandangi rumah yang besarnya mungkin sekitar lima kali lipat dari rumah petak yang ditempatinya bersama sang ibu. Ada dua mobil mewah terparkir di halaman. Sementara ia dan ibunya kemana-mana menggunakan angkutan umum.Dulu Dewi berpikir, bukankah ada haknya di rumah besar itu? Meski ia dan sang ibu telah bertahun-tahun pergi dari sana, bukankah ia juga anak ayahnya? Anak yang seharusnya juga mendapatkan hak yang sama dengan anak ayahnya dari istri barunya? Sayangnya, Dewi tidak mendapatkan itu sama sekali. Ia seperti orang asing bagi sang ayah, bagi laki-laki yang seharusnya menjadi cinta pertamanya.Pak Wisnu, lelaki yang Dewi panggil ayah itu keluar dengan membawa dua air putih dalam kemasan gelas di tangan besarnya. Ia mengangsurkan satu untuk Dewi dan satu lagi ia minum sendiri. Lalu setelahnya, laki-laki yang duduk di kursi sebelah Dewi itu berkata, "Maaf, Wi, Ayah saat ini belum bisa ngasih kamu uang. Adik kamu juga sedang banyak butuh biaya. Kamu masuk sekolah lain saja yang biayanya lebih murah. Bukankah di sekolah negeri itu gratis?"Lalu Pak Wisnu mengangsurkan selembar uang lima puluh ribu rupiah ke depan Dewi. "Pulanglah naik taksi, bayar dengan ini!"Dewi hanya tertegun memandang wajah sang ayah. Tidak menerima ataupun menolak uang itu. Membiarkan tangan sang ayah terkatung di depannya. Baru saat terdengar deru mobil memasuki halaman luas rumah megah sang ayah, Dewi menoleh dan memandang mobil berwarna merah menyala itu. Tampak seorang gadis dengan usia seumuran dirinya turun dari dalamnya.Dewi tahu, gadis itu bernama Rindu. Ia pernah sekali dua kali bertemu. Putri sang ayah dengan istri barunya. Gadis beruntung yang mendapatkan segalanya dari laki-laki yang seharusnya juga memberikan segalanya untuknya. Laki-laki yang Dewi panggil dengan sebutan Ayah.Dewi memejamkan mata rapat-rapat. Dadanya semakin sesak saat mengingat itu semua."Kenapa harus Rindu, Mas? Kenapa harus Rindu? Kenapa harus anak dari perempuan yang telah merebut suami ibuku?"[Wi, di sini ada Mas Gibran. Dia minta agar aku pulang aja. Enggak enak aku jadinya. Aku pulang enggak apa-apa?] Dewi buru-buru membuka mukena begitu membaca pesan dari Wina."Keras kepala sekali Mas Gibran!" gumamnya dengan kesal. Dewi sampai tidak melipat dengan benar mukenanya, hanya menggulung-gulungnya bersama sajadah. Lalu ia membalas pesan Wina.[Iya, Win. Enggak apa-apa. Makasih, ya, udah jagain ibuku.][Santai. Kalau ada butuh apa-apa, hubungi aku, yes?][Sip.]Dewi langsung bersiap dan menuju rumah sakit. Tiba di ruang rawat, tampak Gibran sedang menyuapi ibunya dan mata sang ibu terlihat berbinar menatap menantunya itu."Wi," panggil Bu Rasti saat melihat putrinya datang. "Udah makan?""Belum, Bu. Gampang nanti aja." Dewi berusaha tersenyum meski hatinya sangat tidak suka melihat keberadaan Gibran."Ini aku bawain ayam goreng dari warung langganan kamu, Wi," ucap Gibran. "Makan dulu, gih! Nanti kamu ikutan sakit, lagi."Muak sekali Dewi mendengar ucapan basa-basi seperti i
Dewi menatap wajah ibunya yang sedang terlelap. Wajah tua yang tampak damai meski gurat-gurat lelah bekas perjuangan untuk bertahan hidup membesarkan seorang putri seorang diri masih tergambar jelas di sana. Namun, Dewi tak melihat penderitaan pada garis wajah itu. Yang Dewi lihat justru wajah ibunya tampak tenang dan bahagia. Garis senyum terukir indah seperti hati pemiliknya."Apa sedamai itu, Bu?" bisik Dewi. "Melepas laki-laki bergelar suami yang tega mengkhianati? Dewi lihat, Ibu enggak menyesal sama sekali, walaupun ibu harus menempuh jalan yang enggak mudah untuk tetap berdiri."Dewi menghela napas panjang lalu mengambil jemari ibunya dan menciumnya dengan hati-hati. Cukup lama. Kemudian ia tempelkan ke kening. Seolah-olah Dewi sedang meminta kekuatan pada sang ibu."Dewi pasti juga akan sekuat Ibu," bisiknya lagi. "Berjanjilah untuk tetap berdiri di sisi Dewi, Bu. Apapun yang terjadi. Karena saat ini, hanya Ibu satu-satunya yang Dewi miliki. Ibu enggak boleh seperti mereka, pe
Di taman Bu Rasti banyak diam. Meski sudah bisa memaafkan dan menerima segala yang terjadi pada pernikahannya, tetapi tetap saja pertemuannya dengan sang mantan layaknya mengorek luka lama. Luka di hati Bu Rasti yang sebelumnya telah tertutup rapat, kini kembali tergores dan berdarah. Terlebih melihat wajah Pak Wisnu membuat Bu Rasti mengingat apa yang dulu dilakukan lelaki itu kepada Dewi, darah dagingnya sendiri. Rasanya kesakitan itu melebihi saat dirinya terusir dari rumah besar yang mereka bangun berdua.Bu Rasti masih ingat betul saat Dewi pulang dari rumah ayahnya dan menangis. Dewi tidak terima dengan sikap sang ayah. Terlebih ia melihat fasilitas yang dimiliki oleh Rindu."Aku juga anak ayah, kan, Bu?" tanya Dewi saat itu sembari menangis meraung-raung. "Aku anak kandung ayah, kan?"Saat itu Dewi kemudian menceritakan apa yang terjadi di rumah ayahnya. Apa yang Dewi lihat di sana dan apa yang dilakukan ayahnya kepadanya.Hati Bu Rasti tercabik-cabik mendengar itu. Tidak ada
Gibran meremas kuat kertas berisi surat tugas itu. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Dewi sudah mempersiapkan semua ini. Gibran tersenyum getir. Kini ia benar-benar sadar sedang berhadapan dengan siapa.Padahal saat tahu kalau Bu Rasti akan pulang ke rumahnya, Gibran membayangkan akan punya kesempatan untuk kembali berbaikan dengan Dewi. Ia bahkan sudah membayangkan akan melakukan apa saja agar Dewi bisa kembali jatuh dalam pelukannya. Karena saat ada Bu Rasti mau tidak mau ia dan Dewi harus bersikap seolah-olah di antara mereka tidak ada masalah apa-apa. Namun ternyata, Dewi justru sudah bertindak sejauh ini."Kalian lagi ada masalah apa, sih?" tanya Wina saat melihat Gibran semarah itu. "Enggak biasanya banget marahan sampai berhari-hari gini?"Gibran hanya tersenyum getir. Ia dan Dewi memang jarang sekali bertengkar. Dewi tidak begitu suka membesar-besarkan masalah. Sementara Gibran lebih sering mengalah jika harus mendebatkan sesuatu dengan Dewi. Karena sikap Dewi yang jarang s
"I-ibu? Ke-kenapa Ibu di sini?" tanya Gibran yang sangat terkejut dan gugup melihat keberadaan ibu mertuanya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau ibu mertuanya akan menyusulnya ke pinggir jalan tempat mobil Rindu terparkir. Padahal dari teras jaraknya jauh karena terdapat halaman yang lumayan luas."Kenapa Ibu di sini kamu bilang!?" hardik Bu Rasti. Wajah ibunda dari Dewi itu sudah merah padam, matanya menatap nyalang pada menantu yang selama ini ia pikir lelaki baik. Pasalnya dari gelagat Gibran Bu Rasti melihat ada sesuatu yang tidak beres."I-iya, Bu." Gibran salah tingkah tidak tahu harus berkata apa lagi. Dalam hati ia merutuki sikap keras kepala Rindu. Karena sebenarnya Gibran tidak mengizinkan Rindu menjemputnya di area rumah, tetapi istri barunya itu tidak mau mendengarkannya. "Kenapa dia di sini? Kenapa dia yang jemput kamu?" Bu Rasti mengintrogasi Gibran dengan tatapan tajam. Tidak akan ia biarkan menantunya itu sedikit pun berkelit darinya."I-itu, Bu ....""Jawab yang be
"Wi, ngapain kita ke sini?" tanya Gibran dengan panik saat tahu mobil yang Dewi kendarai menuju rumah ayah Dewi."Mas ...." Rindu pun kembali merengek. Ia juga tidak siap jika harus bertemu dengan Pak Wisnu. Terlebih dalam keadaan seperti sekarang ini.Dewi tidak memedulikan sama sekali rengekan Rindu maupun pertanyaan-pertanyaan dengan nada penuh ketakutan dari Gibran. Ia justru heran dan semakin penasaran dibuatnya."Apa Ayah enggak tahu pernikahan mereka?" batin Dewi. "Lalu siapa yang jadi wali nikahnya?"Banyak sekali pertanyaan bermunculan di kepala Dewi. Ia jadi teringat saat bertemu ayahnya di rumah sakit. Saat ia berkata untuk menjaga istri dan anaknya agar tidak menghancurkan pernikahan orang lain lagi, lelaki itu memang tampak bingung. Hanya saja saat itu Dewi memilih tidak peduli."Wi, mau apa kamu ke sini?" tanya Gibran lagi. "Udahlah, Wi. Jangan memperumit keadaan. Aku harus kerja juga," bujuk Gibran.Dewi sama sekali tidak merespon. Ia justru semakin tertantang untuk mem
"A-apa?" gumam Bu Rasti.Pak Wisnu menghela napas panjang. Dengan penuh penyesalan ia menoleh ke arah mantan istrinya. "Iya, Ras. Ternyata dia bukan anakku! Aku memang bodoh. Aku laki-laki paling bodoh di dunia! Aku menyia-nyiakan putriku sendiri dan membesarkan anak laki-laki lain," aku Pak Wisnu. Mata tua Pak Wisnu berkaca-kaca. Bu Rasti tersenyum getir. Ia ingat betul bagaimana laki-laki itu bersikeras menceraikannya. Mengancamnya segala rupa sehingga mau tidak mau ia mengalah dan meninggalkan rumah. Kini Bu Rasti melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Tuhan tidak tidur. Tuhan tidak pernah meninggalkan hamba yang teraniaya. Dan doa orang yang teraniaya itu benar-benar diijabah.Sebenarnya Bu Rasti tidak pernah mengangkat kedua tangannya untuk mendoakan keburukan bagi Pak Wisnu ataupun Asih, ia hanya ingin Tuhan membuat lelaki yang telah membuangnya itu menyesal. Menyesal atas apa yang dilakukan, seumur hidupnya. Karena itu jauh lebih menyakitkan dari apapun. Dan Tuhan menjawab d
"Pa, kenapa Papa enggak biarin aku hidup tenang?" Rindu terisak-isak. Ia tidak terima dengan apa yang Pak Wisnu katakan. "Aku dan Mama udah nerima Papa usir kami berdua seperti tikus. Tapi, tolong ... jangan hancurkan aku lagi dengan mengacaukan masa depanku ....""Kamu minta orang lain tidak mengacaukan masa depanmu?" hardik Bu Rasti. "Sementara apa yang kamu lakukan telah menghancurkan masa depan Dewita, putriku! Apa di rumah kamu tidak punya cermin?""Bu, Mas Gibran yang terus merayuku. Dia bilang sendiri kalau sudah enggak nyaman dengan Dewi. Dia bilang sendiri jenuh dengan pernikahannya apalagi dengan sikap Dewi yang seenaknya sendiri. Mas Gibran yang merayuku, Bu. Mas Gibran yang selalu bilang kalau dia lebih nyaman saat bersamaku. Kalau dia lebih punya gairah hidup saat bersamaku, bukan saat bersama Dewi. Bukan aku yang merayunya!" kilah Rindu."Bohong!" seru Gibran. "Bu, Wi, apa yang dia katakan bohong, Wi ....""Diam kamu, Gibran!" bentak Bu Rasti. Matanya menatap tajam pada
Gibran terpaku menatap gundukan tanah bertabur bunga di depannya. Ia masih tidak percaya kalau Rindu telah meninggalkannya untuk selamanya. Padahal ia baru saja menggantung harapan kalau Rindu akan pulih kembali bersamaan dengan terbangunnya dia dari koma. Ternyata ia salah. Rindu terbangun hanya untuk melihat dunia untuk terakhir kalinya dan memastikan kalau Dewi sudah memaafkannya.Gibran menghela napas panjang, kemudian berkata dalam hati. "Pergilah, Rin! Pergilah dengan tenang! Dewi udah maafin kamu dan aku akan merawat Fathan dengan baik. Kamu tenang aja. Berkumpullah lagi dengan mamamu! Aku tahu, kamu pasti sangat merindukannya, kan? Sampai kamu pergi secepat ini."Lagi, Gibran menghela napas panjang. Dadanya terlalu sesak saat berusaha menerima kalau dirinya sudah tidak akan bisa melihat sosok Rindu lagi. "Pergilah, Rin! Aku ... ikhlas." Gibran mengusap matanya yang basah. "Makasih udah hadir dalam hidupku. Meski yang kita lewati ternyata seperti ini. Tapi aku yakin, mulai sek
Gibran tertawa sumbang mendengar candaan Andan. Sementara Adnan tertawa lepas karena benar-benar bersyukur Gibran telah melepas Dewi dan kini wanita yang dulu begitu susah ia taklukan, bisa menjadi istrinya."Ya udah, Bran. Kami pamit dulu, ya? Anak-anak udah nunggu di rumah. Kamu yang semangat, ya! Semoga istri kamu bisa segera pulih," pamit Adnan."I-iya." Gibran tergagap karena merasa tertohok dengan salah satu kata yang terlontar dari mulut Adnan. "Anak-anak?" tanya Gibran dalam hati. "Jadi selain Cantika ada anak lain lagi? Apa itu artinya Dewi dan Pak Adnan udah punya anak juga?"Hawa panas menjalari dada Gibran. Meski Dewi sudah bukan istrinya lagi, tetapi tetap saja ia merasa cemburu. Ia masih belum sepenuhnya rela dengan kenyataan yang ada. Karena sejak bertemu kembali dengan Dewi di klinik, apalagi dengan kehadiran Dewi ke rumahnya hari ini, ia masih menaruh harapan besar untuk bisa kembali dengan mantan istrinya itu. Namun ternyata, harapan tinggal harapan. Dewi sudah menj
Beberapa kali Dewi mengulang ucapannya, tetapi Rindu tak merespon sama sekali. Sudah lebih dari setengah jam. Dewi sampai diambilkan kursi plastik untuk duduk oleh Bu Santi. Sebenarnya Dewi berpikir mungkin Rindu akan bereaksi kalau dirinya menyentuhnya. Namun, entah mengapa masih ada tembok besar yang belum bisa Dewi runtuhkan untuk sampai di level mau menyentuh Rindu. Sampai akhirnya Bu Santi meminta Dewi dengan penuh harap. Dewi akhirnya mengangguk setuju. Disentuhnya jemari Rindu yang tinggal tulang dilapisi kulit tipis. Jemari yang terasa kaku dan dingin. Setelah meremas-remasnya dengan perlahan dengan kedua tangannya, Dewi kemudian kembali berkata, "Rindu, kamu ingin ketemu sama aku, kan? Ini aku Dewi. Aku udah di sini. Ayo, buka mata kamu!"Beberapa saat masih tidak ada respon. Sampai Dewi terus mengulanginya sembari menepuk-nepuk lembut punggung tangan Rindu. Dan akhirnya buliran bening mulai mengalir dari ujung mata Rindu."Rindu, ayo buka mata kamu!" titah Dewi. Namun, ha
Seperti janji Dewi, setelah shalat ashar Dewi pergi ke alamat rumah Gibran. Karena belum pernah ke daerah tersebut, ia memilih menggunakan taksi online. Begitu tiba dan turun dari taksi, Dewi tertegun menatap rumah kontrakan Gibran. Bangunan semipermanen itu terlihat sudah cukup tua. Dinding bagian bawah terbuat dari tembok permanen kemudian setengahnya menggunakan papan kayu dengan cat putih yang sudah pudar dan mengelupas dimana-mana.Dari tempat Dewi berdiri, ia bisa melihat warung kelontong milik Gibran. Bukan seperti warung kelontong kebanyakan karena bisa dilihat dengan jelas kalau ruangan tersebut tidak cukup terisi barang-barang dagangan. Hanya sedikit sekali barang dagangan mereka. Dewi benar-benar tidak tega melihatnya. Kehidupannya dengan kehidupan mantan semuanya itu seperti siang dan malam.Tak mau berlama-lama berdiri di pinggir jalan, Dewi kemudian melangkah menuju teras rumah Gibran. Ia mengetuk pintu yang setengah terbuka dan mengucap salam. Tak butuh waktu lama hingg
Langkah Dewi terhenti mendengar permintaan Gibran. Sungguh, ia sudah tidak ingin lagi berurusan apapun dengan masa lalunya. Wanita bermata jernih itu kemudian menoleh. "Maaf, aku udah enggak mau berurusan apapun dengan kalian. Aku udah memaafkan kalian jauh sebelum kalian minta maaf."Gibran langsung berdiri di depan Dewi. "Aku mohon, Wi! Lima tahun, hanya nama kamu yang Rindu sebut. Dia bahkan enggak sekalipun menyebut namaku, Fathan, atau siapapun! Tapi, nama kamu selalu keluar dari mulutnya. Aku yakin, Wi, aku yakin sekali kalau dia ingin ketemu kamu. Rindu pasti ingin minta maaf sama kamu secara langsung. Kamu mungkin udah maafin kami, tapi kami belum meminta maaf sama kamu. Aku mohon, Wi ....""Maaf, aku enggak bisa," tolak Dewi dengan wajah datar."Wi, kamu lihat ini dulu! Setelah itu, apapun keputusan kamu, aku enggak akan protes lagi." Gibran merogoh ponsel di saku celana, kemudian membuka kunci layar dan memutar sebuah video. "Lihat ini, Wi!" titahnya sembari menyerahkan pon
Dewi pun membeku melihat lelaki yang kini sedang menatapnya tak percaya. Dadanya bergemuruh, ia ingin menghilang bersama Cantika saat itu juga. Dewi benar-benar belum siap mempertemukan Cantika dengan Gibran. Apalagi mengenalkan keduanya sebagai bapak dan anak. Tanpa memedulikan apapun lagi, Dewi langsung menggendong Cantika dan membawanya keluar dari ruangan itu."Wi! Dewi! Tunggu!" seru Gibran yang masih memangku Fathan. Fathan yang terkejut dengan teriakan ayahnya pun beringsut duduk. "Ada apa, Yah?" tanya anak itu kebingungan.Sementara Gibran celingukan karena menjadi pusat perhatian semua orang yang sedang mengantre di ruangan itu."Fathan, kamu tunggu di sini, ya! Ayah mau ketemu orang di luar sebentar."Fathan tak mengangguk ataupun menggeleng karena anak itu masih kebingungan melihat sikap ayahnya.Tanpa memedulikan respon Fathan, Gibran bergegas keluar mengejar Dewi."Wi! Tunggu!" panggil Gibran saat melihat Dewi sedang membantu Cantika naik ke jok mobil.Karena tidak bisa
"Mbak Dewi baik, Mas. Tadi dia bilang di sini karena ada urusan kerjaan. Aku enggak sempat ngobrol banyak, soalnya dia harus meeting. Jadi aku cuma tanya soal kehamilannya.""Kamu enggak ketemu Cantika?" tanya Gibran dengan kecewa. Ia sangat berharap kalau Gina memiliki memotret Cantika seperti saat memotret Dewi.Gina menggeleng dengan penuh penyesalan. Ia tidak tega melihat harapan yang begitu besar terpancar dari sorot mata kakaknya. "Aku cuma ketemu Mbak Dewi, Mas."Gibran menghela napas panjang. "Kamu enggak tanya dia tinggal di mana?"Gina menggeleng lemah. "Mbak Dewi langsung pergi. Aku enggak sempat tanya.""Ya udah, Gin. Seenggaknya aku udah tau kalau anakku udah lahir. Makasih, ya!""Mas Gibran ke sini cuma mau tanya ini?"Gibran menatap Gina beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan itu. "Rindu ... berkali-kali menyebut-nyebut nama Dewi, Dek. Mas dan Ibu pikir, dengan membawa Dewi untuk ketemu Rindu, mungkin akan membuat Rindu bisa membuka mata lagi. Tapi ... gimana Mas mau
Setelah menutup telepon dari Gibran, Gina melihat kembali foto Dewi yang ia ambil secara diam-diam sebelum menyapa mantan istri kakaknya itu. Perintah Gibran untuk mencari tahu kabar bayi yang dikandung Dewi, membuat Gina tersadar kalau tadi ia lupa memperhatikan perut Dewi. Melihat perut Dewi yang sudah rata, napas Gina tercekat."Mbak Dewi sudah melahirkan?" gumamnya.Gina langsung menoleh ke arah dimana Dewi pergi. Gadis berambut panjang itu berlari kecil berusaha mengejar ibu dari keponakannya sembari terus bergumam, "Mbak Dewi, Mbak Dewi, jangan pergi dulu, aku mohon! Please, aku mohon, jangan pergi dulu!"Cukup jauh Gina berlari sampai akhirnya matanya berhasil menangkap sosok yang sedang ia cari.Dewi tampak baru saja meninggalkan kasir."Mbak Dewi! Tunggu!" seru Gina tanpa memedulikan orang-orang di sekitarnya. Ia hanya tidak mau sampai kehilangan jejak Dewi lagi.Dewi yang mendengar panggilan Gina, berhenti sejenak, lalu kembali melangkah. Ia sudah tidak ingin lagi berurusan
"Mbak Dewi!"Dewi yang sedang fokus memilih belanjaan menoleh dan sangat terkejut melihat siapa yang memanggilnya. "Gina?" pekiknya melihat adik dari mantan suaminya berjalan mendekatinya. "Gimana kabar?" Dewi langsung memeluk lalu memegangi kedua bahu Gina dan menatap mantan adik iparnya itu."Baik, Mbak. Mbak Dewi sendiri gimana kabarnya?""Alhamdulillah, baik, Gin. Kamu ...." Dewi menggantung ucapannya karena bingung harus menggunakan kalimat yang seperti apa untuk bertanya mengapa Gina ada di kota tempat tinggalnya saat ini."Aku sekarang kerja di deket sini, Mbak," sambung Gina, ia mengerti apa yang hendak Dewi tanyakan."Oh, jadi sekarang kamu tinggal di sini? Sudah lama?""Lumayan, Mbak. Rumah ibu kan, udah dijual. Jadi ... ya ... aku ngekos sambil kerja."Dewi mengernyit."Iya, Mbak. Rumah ibu dijual untuk bayar biaya rumah sakit si Rindu. Pas Rindu melahirkan dia koma sampai sekarang belum sadar. Bayinya juga ada kelainan jantung dan harus operasi saat itu. Jadi ya ... gimana