"I-ibu? Ke-kenapa Ibu di sini?" tanya Gibran yang sangat terkejut dan gugup melihat keberadaan ibu mertuanya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau ibu mertuanya akan menyusulnya ke pinggir jalan tempat mobil Rindu terparkir. Padahal dari teras jaraknya jauh karena terdapat halaman yang lumayan luas."Kenapa Ibu di sini kamu bilang!?" hardik Bu Rasti. Wajah ibunda dari Dewi itu sudah merah padam, matanya menatap nyalang pada menantu yang selama ini ia pikir lelaki baik. Pasalnya dari gelagat Gibran Bu Rasti melihat ada sesuatu yang tidak beres."I-iya, Bu." Gibran salah tingkah tidak tahu harus berkata apa lagi. Dalam hati ia merutuki sikap keras kepala Rindu. Karena sebenarnya Gibran tidak mengizinkan Rindu menjemputnya di area rumah, tetapi istri barunya itu tidak mau mendengarkannya. "Kenapa dia di sini? Kenapa dia yang jemput kamu?" Bu Rasti mengintrogasi Gibran dengan tatapan tajam. Tidak akan ia biarkan menantunya itu sedikit pun berkelit darinya."I-itu, Bu ....""Jawab yang be
"Wi, ngapain kita ke sini?" tanya Gibran dengan panik saat tahu mobil yang Dewi kendarai menuju rumah ayah Dewi."Mas ...." Rindu pun kembali merengek. Ia juga tidak siap jika harus bertemu dengan Pak Wisnu. Terlebih dalam keadaan seperti sekarang ini.Dewi tidak memedulikan sama sekali rengekan Rindu maupun pertanyaan-pertanyaan dengan nada penuh ketakutan dari Gibran. Ia justru heran dan semakin penasaran dibuatnya."Apa Ayah enggak tahu pernikahan mereka?" batin Dewi. "Lalu siapa yang jadi wali nikahnya?"Banyak sekali pertanyaan bermunculan di kepala Dewi. Ia jadi teringat saat bertemu ayahnya di rumah sakit. Saat ia berkata untuk menjaga istri dan anaknya agar tidak menghancurkan pernikahan orang lain lagi, lelaki itu memang tampak bingung. Hanya saja saat itu Dewi memilih tidak peduli."Wi, mau apa kamu ke sini?" tanya Gibran lagi. "Udahlah, Wi. Jangan memperumit keadaan. Aku harus kerja juga," bujuk Gibran.Dewi sama sekali tidak merespon. Ia justru semakin tertantang untuk mem
"A-apa?" gumam Bu Rasti.Pak Wisnu menghela napas panjang. Dengan penuh penyesalan ia menoleh ke arah mantan istrinya. "Iya, Ras. Ternyata dia bukan anakku! Aku memang bodoh. Aku laki-laki paling bodoh di dunia! Aku menyia-nyiakan putriku sendiri dan membesarkan anak laki-laki lain," aku Pak Wisnu. Mata tua Pak Wisnu berkaca-kaca. Bu Rasti tersenyum getir. Ia ingat betul bagaimana laki-laki itu bersikeras menceraikannya. Mengancamnya segala rupa sehingga mau tidak mau ia mengalah dan meninggalkan rumah. Kini Bu Rasti melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Tuhan tidak tidur. Tuhan tidak pernah meninggalkan hamba yang teraniaya. Dan doa orang yang teraniaya itu benar-benar diijabah.Sebenarnya Bu Rasti tidak pernah mengangkat kedua tangannya untuk mendoakan keburukan bagi Pak Wisnu ataupun Asih, ia hanya ingin Tuhan membuat lelaki yang telah membuangnya itu menyesal. Menyesal atas apa yang dilakukan, seumur hidupnya. Karena itu jauh lebih menyakitkan dari apapun. Dan Tuhan menjawab d
"Pa, kenapa Papa enggak biarin aku hidup tenang?" Rindu terisak-isak. Ia tidak terima dengan apa yang Pak Wisnu katakan. "Aku dan Mama udah nerima Papa usir kami berdua seperti tikus. Tapi, tolong ... jangan hancurkan aku lagi dengan mengacaukan masa depanku ....""Kamu minta orang lain tidak mengacaukan masa depanmu?" hardik Bu Rasti. "Sementara apa yang kamu lakukan telah menghancurkan masa depan Dewita, putriku! Apa di rumah kamu tidak punya cermin?""Bu, Mas Gibran yang terus merayuku. Dia bilang sendiri kalau sudah enggak nyaman dengan Dewi. Dia bilang sendiri jenuh dengan pernikahannya apalagi dengan sikap Dewi yang seenaknya sendiri. Mas Gibran yang merayuku, Bu. Mas Gibran yang selalu bilang kalau dia lebih nyaman saat bersamaku. Kalau dia lebih punya gairah hidup saat bersamaku, bukan saat bersama Dewi. Bukan aku yang merayunya!" kilah Rindu."Bohong!" seru Gibran. "Bu, Wi, apa yang dia katakan bohong, Wi ....""Diam kamu, Gibran!" bentak Bu Rasti. Matanya menatap tajam pada
"Jangan kamu pikir dengan masuk dan memporak-porandakan sebuah pernikahan yang bahagia, hidup kalian akan bisa bahagia juga. Tidak akan!" tegas Bu Rasti pada Asuh. "Yang akan kalian dapat justru kehancuran melebihi sesuatu yang telah kalian hancurkan. Semua hanya soal waktu, dan aku selalu minta pada Tuhan untuk memberiku umur panjang untuk melihat itu."Sorot mata Asih meredup mengingat yang terjadi pada dirinya. Wanita yang telah ia renggut kebahagiaannya benar. Setelah menjadi istri Pak Wisnu, Asih tak pernah benar-benar bahagia. Meski ia memang menguasai harta Pak Wisnu, tetapi ia tidak benar-benar memilikinya. Terlebih hati Pak Wisnu. Meski raganya telah berhasil ia miliki seutuhnya. Namun, Asih tahu, raga itu kosong karena jiwanya turut pergi bersama Bu Rasti dan Dewi. Hanya saja lelaki itu pintar menyimpannya. Mungkin Pak Wisnu tidak ingin orang lain tahu, kalau keputusan yang telah ia ambil salah. Sehingga ia berusaha bersikap seolah-olah hidup bahagia."Ayo, Bu!" ajak Dewi p
Jika Dewi sedang sendiri dan berada di dalam kamarnya, tentu saat ini ia akan menangis sejadi-jadinya. Sakit. Dewi tidak bisa mengingkari rasa itu. Sangat sakit. Seseorang yang selama ini ia anggap sebagai suami, sebagai seorang laki-laki yang baik dan patut ia cintai, bahkan ia titipkan sebuah kepercayaan, tega menyatakan dirinya telah mati. Ya, telah mati. Mati!Dikhianati saja rasanya sudah sakit tiada terperi, kini Dewi harus melihat sendiri bahwa Gibran telah menyatakan dirinya mati. Segala pertanyaan yang tadi tersusun di kepalanya dengan rapi untuk ditujukan pada Pak Wiono, kini telah menguap dan tiada tersisa lagi. Dewi lumpuh dengan kenyataan yang baginya teramat menyakitkan."Pak, kami butuh ini semua sebagai bukti," ucap Bu Rasti mewakili sang putri. Melihat kondisi Dewi yang sangat syok membuat Bu Rasti berinisiatif untuk mengambil alih peran putrinya.Dewi merasa beruntung saat ini dirinya bersama sang ibu, karena jika tidak, ia mungkin tidak bisa berbuat apa-apa. Rasa s
"Dok, gimana putri saya?" tanya Bu Rasti begitu dokter selesai memeriksa Dewi."Sepertinya Bu Dewi kelelahan atau terlalu banyak pikiran, Bu, sehingga mengalami pendarahan. Tapi, beruntung janin Bu Dewi baik-baik saja."Penjelasan dokter sontak membuat Dewi terperangah. "Janin? Jadi saya ... hamil?"Dokter Hanung yang sebelumnya menghadap Bu Rasti langsung kembali menoleh ke arah Dewi. "Benar, Bu. Apa Bu Dewi belum mengetahuinya?"Dewi menggeleng lemah. Baginya saat ini bukan saat yang tepat untuk hamil. Apalagi hamil anak dari laki-laki seperti Gibran. "Enggak, enggak, ini enggak boleh terjadi," gumam Dewi."Dokter!" seru Dewi dengan panik."Iya, Bu?""Bisakah kandungan saya digugurkan saja sekarang?""Loh, Bu?""Wi!" tegur Bu Rasti sembari menggelengkan kepalanya dengan tegas."Dokter, kalau sudah selesai memeriksa putri saya, biarkan kami berbicara berdua!" pinta Bu Rasti."Baik, Bu. Setelah ini silakan diurus administrasinya, karena Bu Dewi harus rawat inap beberapa hari terlebih
Sehabis ashar Dewi dan Bu Rasti tiba di rumah. Dewi langsung Bu Rasti papah ke kamarnya. Setelahnya Dewi menelepon orang yang biasa ia mintai tolong untuk mengurus rumah beberapa hari sekali. Ia tidak mau ibunya kecapaian."Ibu istirahat dulu aja, habis ini Mbak Sumi ke sini buat beres-beres," ucap Dewi."Ya udah, Ibu di kamar depan, ya? Kalau kamu butuh apa-apa panggil Ibu aja!""Iya, Bu."Benar saja tak sampai setengah jam, wanita yang biasa mengurus rumah Dewi saat Dewi membutuhkan itu datang. Dengan cekatan Mbak Sumi memilah baju-baju kotor milik Dewi dan ibunya untuk dicuci. Tak lupa juga ia membersihkan rumah yang sudah beberapa hari ini kosong."Bu, kemarin Mbak Gina ke sini, aku liat dia berdiri di gerbang depan," adu Mbak Sumi."Iya," sahut Dewi. Ia bingung harus berkata apa. Adik iparnya itu kemarin memang menelepon tetapi tidak Dewi angkat dan pesannya pun Dewi abaikan. "Udah telpon Bu Dewi, ya?""Udah kemarin."Mbak Sumi tak banyak bicara lagi. Wanita itu kemudian menyapu
Gibran terpaku menatap gundukan tanah bertabur bunga di depannya. Ia masih tidak percaya kalau Rindu telah meninggalkannya untuk selamanya. Padahal ia baru saja menggantung harapan kalau Rindu akan pulih kembali bersamaan dengan terbangunnya dia dari koma. Ternyata ia salah. Rindu terbangun hanya untuk melihat dunia untuk terakhir kalinya dan memastikan kalau Dewi sudah memaafkannya.Gibran menghela napas panjang, kemudian berkata dalam hati. "Pergilah, Rin! Pergilah dengan tenang! Dewi udah maafin kamu dan aku akan merawat Fathan dengan baik. Kamu tenang aja. Berkumpullah lagi dengan mamamu! Aku tahu, kamu pasti sangat merindukannya, kan? Sampai kamu pergi secepat ini."Lagi, Gibran menghela napas panjang. Dadanya terlalu sesak saat berusaha menerima kalau dirinya sudah tidak akan bisa melihat sosok Rindu lagi. "Pergilah, Rin! Aku ... ikhlas." Gibran mengusap matanya yang basah. "Makasih udah hadir dalam hidupku. Meski yang kita lewati ternyata seperti ini. Tapi aku yakin, mulai sek
Gibran tertawa sumbang mendengar candaan Andan. Sementara Adnan tertawa lepas karena benar-benar bersyukur Gibran telah melepas Dewi dan kini wanita yang dulu begitu susah ia taklukan, bisa menjadi istrinya."Ya udah, Bran. Kami pamit dulu, ya? Anak-anak udah nunggu di rumah. Kamu yang semangat, ya! Semoga istri kamu bisa segera pulih," pamit Adnan."I-iya." Gibran tergagap karena merasa tertohok dengan salah satu kata yang terlontar dari mulut Adnan. "Anak-anak?" tanya Gibran dalam hati. "Jadi selain Cantika ada anak lain lagi? Apa itu artinya Dewi dan Pak Adnan udah punya anak juga?"Hawa panas menjalari dada Gibran. Meski Dewi sudah bukan istrinya lagi, tetapi tetap saja ia merasa cemburu. Ia masih belum sepenuhnya rela dengan kenyataan yang ada. Karena sejak bertemu kembali dengan Dewi di klinik, apalagi dengan kehadiran Dewi ke rumahnya hari ini, ia masih menaruh harapan besar untuk bisa kembali dengan mantan istrinya itu. Namun ternyata, harapan tinggal harapan. Dewi sudah menj
Beberapa kali Dewi mengulang ucapannya, tetapi Rindu tak merespon sama sekali. Sudah lebih dari setengah jam. Dewi sampai diambilkan kursi plastik untuk duduk oleh Bu Santi. Sebenarnya Dewi berpikir mungkin Rindu akan bereaksi kalau dirinya menyentuhnya. Namun, entah mengapa masih ada tembok besar yang belum bisa Dewi runtuhkan untuk sampai di level mau menyentuh Rindu. Sampai akhirnya Bu Santi meminta Dewi dengan penuh harap. Dewi akhirnya mengangguk setuju. Disentuhnya jemari Rindu yang tinggal tulang dilapisi kulit tipis. Jemari yang terasa kaku dan dingin. Setelah meremas-remasnya dengan perlahan dengan kedua tangannya, Dewi kemudian kembali berkata, "Rindu, kamu ingin ketemu sama aku, kan? Ini aku Dewi. Aku udah di sini. Ayo, buka mata kamu!"Beberapa saat masih tidak ada respon. Sampai Dewi terus mengulanginya sembari menepuk-nepuk lembut punggung tangan Rindu. Dan akhirnya buliran bening mulai mengalir dari ujung mata Rindu."Rindu, ayo buka mata kamu!" titah Dewi. Namun, ha
Seperti janji Dewi, setelah shalat ashar Dewi pergi ke alamat rumah Gibran. Karena belum pernah ke daerah tersebut, ia memilih menggunakan taksi online. Begitu tiba dan turun dari taksi, Dewi tertegun menatap rumah kontrakan Gibran. Bangunan semipermanen itu terlihat sudah cukup tua. Dinding bagian bawah terbuat dari tembok permanen kemudian setengahnya menggunakan papan kayu dengan cat putih yang sudah pudar dan mengelupas dimana-mana.Dari tempat Dewi berdiri, ia bisa melihat warung kelontong milik Gibran. Bukan seperti warung kelontong kebanyakan karena bisa dilihat dengan jelas kalau ruangan tersebut tidak cukup terisi barang-barang dagangan. Hanya sedikit sekali barang dagangan mereka. Dewi benar-benar tidak tega melihatnya. Kehidupannya dengan kehidupan mantan semuanya itu seperti siang dan malam.Tak mau berlama-lama berdiri di pinggir jalan, Dewi kemudian melangkah menuju teras rumah Gibran. Ia mengetuk pintu yang setengah terbuka dan mengucap salam. Tak butuh waktu lama hingg
Langkah Dewi terhenti mendengar permintaan Gibran. Sungguh, ia sudah tidak ingin lagi berurusan apapun dengan masa lalunya. Wanita bermata jernih itu kemudian menoleh. "Maaf, aku udah enggak mau berurusan apapun dengan kalian. Aku udah memaafkan kalian jauh sebelum kalian minta maaf."Gibran langsung berdiri di depan Dewi. "Aku mohon, Wi! Lima tahun, hanya nama kamu yang Rindu sebut. Dia bahkan enggak sekalipun menyebut namaku, Fathan, atau siapapun! Tapi, nama kamu selalu keluar dari mulutnya. Aku yakin, Wi, aku yakin sekali kalau dia ingin ketemu kamu. Rindu pasti ingin minta maaf sama kamu secara langsung. Kamu mungkin udah maafin kami, tapi kami belum meminta maaf sama kamu. Aku mohon, Wi ....""Maaf, aku enggak bisa," tolak Dewi dengan wajah datar."Wi, kamu lihat ini dulu! Setelah itu, apapun keputusan kamu, aku enggak akan protes lagi." Gibran merogoh ponsel di saku celana, kemudian membuka kunci layar dan memutar sebuah video. "Lihat ini, Wi!" titahnya sembari menyerahkan pon
Dewi pun membeku melihat lelaki yang kini sedang menatapnya tak percaya. Dadanya bergemuruh, ia ingin menghilang bersama Cantika saat itu juga. Dewi benar-benar belum siap mempertemukan Cantika dengan Gibran. Apalagi mengenalkan keduanya sebagai bapak dan anak. Tanpa memedulikan apapun lagi, Dewi langsung menggendong Cantika dan membawanya keluar dari ruangan itu."Wi! Dewi! Tunggu!" seru Gibran yang masih memangku Fathan. Fathan yang terkejut dengan teriakan ayahnya pun beringsut duduk. "Ada apa, Yah?" tanya anak itu kebingungan.Sementara Gibran celingukan karena menjadi pusat perhatian semua orang yang sedang mengantre di ruangan itu."Fathan, kamu tunggu di sini, ya! Ayah mau ketemu orang di luar sebentar."Fathan tak mengangguk ataupun menggeleng karena anak itu masih kebingungan melihat sikap ayahnya.Tanpa memedulikan respon Fathan, Gibran bergegas keluar mengejar Dewi."Wi! Tunggu!" panggil Gibran saat melihat Dewi sedang membantu Cantika naik ke jok mobil.Karena tidak bisa
"Mbak Dewi baik, Mas. Tadi dia bilang di sini karena ada urusan kerjaan. Aku enggak sempat ngobrol banyak, soalnya dia harus meeting. Jadi aku cuma tanya soal kehamilannya.""Kamu enggak ketemu Cantika?" tanya Gibran dengan kecewa. Ia sangat berharap kalau Gina memiliki memotret Cantika seperti saat memotret Dewi.Gina menggeleng dengan penuh penyesalan. Ia tidak tega melihat harapan yang begitu besar terpancar dari sorot mata kakaknya. "Aku cuma ketemu Mbak Dewi, Mas."Gibran menghela napas panjang. "Kamu enggak tanya dia tinggal di mana?"Gina menggeleng lemah. "Mbak Dewi langsung pergi. Aku enggak sempat tanya.""Ya udah, Gin. Seenggaknya aku udah tau kalau anakku udah lahir. Makasih, ya!""Mas Gibran ke sini cuma mau tanya ini?"Gibran menatap Gina beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan itu. "Rindu ... berkali-kali menyebut-nyebut nama Dewi, Dek. Mas dan Ibu pikir, dengan membawa Dewi untuk ketemu Rindu, mungkin akan membuat Rindu bisa membuka mata lagi. Tapi ... gimana Mas mau
Setelah menutup telepon dari Gibran, Gina melihat kembali foto Dewi yang ia ambil secara diam-diam sebelum menyapa mantan istri kakaknya itu. Perintah Gibran untuk mencari tahu kabar bayi yang dikandung Dewi, membuat Gina tersadar kalau tadi ia lupa memperhatikan perut Dewi. Melihat perut Dewi yang sudah rata, napas Gina tercekat."Mbak Dewi sudah melahirkan?" gumamnya.Gina langsung menoleh ke arah dimana Dewi pergi. Gadis berambut panjang itu berlari kecil berusaha mengejar ibu dari keponakannya sembari terus bergumam, "Mbak Dewi, Mbak Dewi, jangan pergi dulu, aku mohon! Please, aku mohon, jangan pergi dulu!"Cukup jauh Gina berlari sampai akhirnya matanya berhasil menangkap sosok yang sedang ia cari.Dewi tampak baru saja meninggalkan kasir."Mbak Dewi! Tunggu!" seru Gina tanpa memedulikan orang-orang di sekitarnya. Ia hanya tidak mau sampai kehilangan jejak Dewi lagi.Dewi yang mendengar panggilan Gina, berhenti sejenak, lalu kembali melangkah. Ia sudah tidak ingin lagi berurusan
"Mbak Dewi!"Dewi yang sedang fokus memilih belanjaan menoleh dan sangat terkejut melihat siapa yang memanggilnya. "Gina?" pekiknya melihat adik dari mantan suaminya berjalan mendekatinya. "Gimana kabar?" Dewi langsung memeluk lalu memegangi kedua bahu Gina dan menatap mantan adik iparnya itu."Baik, Mbak. Mbak Dewi sendiri gimana kabarnya?""Alhamdulillah, baik, Gin. Kamu ...." Dewi menggantung ucapannya karena bingung harus menggunakan kalimat yang seperti apa untuk bertanya mengapa Gina ada di kota tempat tinggalnya saat ini."Aku sekarang kerja di deket sini, Mbak," sambung Gina, ia mengerti apa yang hendak Dewi tanyakan."Oh, jadi sekarang kamu tinggal di sini? Sudah lama?""Lumayan, Mbak. Rumah ibu kan, udah dijual. Jadi ... ya ... aku ngekos sambil kerja."Dewi mengernyit."Iya, Mbak. Rumah ibu dijual untuk bayar biaya rumah sakit si Rindu. Pas Rindu melahirkan dia koma sampai sekarang belum sadar. Bayinya juga ada kelainan jantung dan harus operasi saat itu. Jadi ya ... gimana