Masih di dalam restoran, suasana terasa begitu hangat. Hiasan dinding bergaya vintage dengan lampu-lampu yang temaram memberikan kesan romantis yang sempurna untuk pasangan yang sedang menikmati waktu bersama. Di sebuah meja dekat jendela, Edward dan Zuri, pasangan suami istri baru, tengah menikmati makan siang mereka. Wajah keduanya tampak bahagia, dengan senyum yang terus terukir di bibir masing-masing. Mereka berbicara dengan riang, tertawa kecil, dan kadang-kadang saling bertukar pandang penuh cinta.Namun, di sudut lain restoran itu, duduk seorang wanita yang memperhatikan mereka dengan tatapan tak lepas. Dia adalah Ranti, mantan pacar Edward. Ranti adalah wanita cantik dengan rambut panjang terurai dan mata yang tajam. Namun, hari itu, matanya tampak sendu, penuh dengan kesedihan yang sulit disembunyikan.Ketika Ranti pertama kali melihat Edward masuk ke dalam restoran bersama Zuri, hatinya seolah berhenti berdetak sejenak. Wajah Edward yang dulu begitu dicintainya kini tampak
Setelah selesai makan siang di sebuah restoran mewah, Edward pun mengajak Zuri untuk shopping ke sebuah mall. Sambil mengemudikan mobilnya, Edward sesekali melirik ke arah Zuri yang duduk di sebelahnya. Sang pria tampak gembira, sementara Zuri hanya bisa menatap keluar jendela, memikirkan kejutan apa lagi yang akan disiapkan oleh suaminya.Sesampainya di mall, Zuri mulai merasakan hal yang aneh. Tidak ada keramaian di dalam mall itu. Juga tidak ada suara riuh rendah para pengunjung, dan tidak ada aktivitas jual beli di sana. Mall besar itu tampak begitu sunyi. Zuri lalu memandang ke arah Edward dengan tatapan heran.“Kenapa tempat sepi sekali, Mas Edward? Apakah mall ini tutup?” tanya Zuri yang sedang terheran-heran.Edward tersenyum tipis, lalu memegang tangan Zuri dengan lembut. “Mall ini milikku, Sayang. Aku sengaja menutupnya untuk kita berdua. Aku ingin kamu merasa nyaman dan bebas memilih apa pun yang kamu suka tanpa terganggu oleh orang lain.”“Apa?” kagetnya.Zuri pun terdiam
Matahari sudah mulai terbenam ketika Edward dan Zuri keluar dari sebuah mall. Langit berubah warna menjadi jingga keemasan, menciptakan suasana yang hangat dan tenang. Namun, ketegangan di antara mereka terasa jelas. Zuri berjalan di samping Edward dengan langkah yang ragu-ragu, sedangkan Edward tampak tegas dan yakin dengan setiap langkah yang diambilnya. Sang pria dengan sigap membawa semua hasil belanjaan Zuri ke dalam mobil. Lalu dia pun berkata,"Aku antar kamu sampai ke apartemenmu," ucap Edward tiba-tiba, memecah keheningan yang tidak nyaman di antara mereka.Zuri menoleh dan menatapnya, ada sedikit kebingungan di matanya. "Tidak perlu, Mas. Aku bisa pulang sendiri," jawab Zuri mencoba terdengar tegas.“Apa? Kamu ingin pulang sendiri? Cih! Apakah kamu tidak sadar jika aku ini adalah suamimu? Kamu sekarang adalah seorang wanita yang telah bersuami! aku berhak tahu di mana kamu tinggal. Jadi aku tidak mau mendengar ada penolakan!" balas Edward dengan nada yang tak bisa ditawar.
Lalu tak berapa lama setelah itu, Mirah masuk ke dalam unit apartemen sambil menenteng sekotak pizza.“Yuhu, Zuri. I’m coming!” ucapnya sambil mulai melangkah masuk.Namun tiba-tiba gadis itu kaget saat melihat Tuan Edward Kenneth dan Asistennya, Aksa sedang duduk manis di sofa ruang tamu.“Tu … Tuan Edward?” serunya tak menyangka.“Halo, Anda pasti Mirah kan?”“I … iya, Bos. Saya Mirah, sahabatnya, Zuri. Juga seorang karyawati yang bekerja di EK Corp,” ucap Mirah antusias.Edward lalu menatap tajam ke arah Aksa. Yang salah sangka mengira jika Zuri adalah Mirah. Sehingga membuat Edward kewalahan mencari tahu tentang gadis misterius itu.Seketika Asisten Aksa mengatupkan kedua tangannya di depan wajahnya pertanda permintaan maaf darinya karena salah mendapatkan informasi.Edward malah semakin menatap tajam ke arah Aksa, lalu berkata,“Jadi kamu dan Zuri tinggal di apartemen ini?”“Iya, tepat sekali, Bos. Aku dan Zuri adalah sahabat dekat. Kami sudah lama tinggal bersama di apartemen in
Hari mulai meredup, sinar matahari yang tadinya terik kini berubah menjadi jingga keemasan, mewarnai seluruh penjuru apartemen dengan cahaya yang hangat namun melankolis. Zuri masih duduk di sofa, tangannya terlihat gemetar saat memegang pena. Kertas perjanjian pernikahan yang tergeletak di hadapannya seolah-olah menatapnya dengan dingin. Setelah berjam-jam berdebat dengan dirinya sendiri, hati dan pikirannya yang terus berseteru, akhirnya Zuri menyerah. Dia menghela napas panjang, menarik udara dalam-dalam sebelum akhirnya menandatangani dokumen tersebut.“Sepertinya tidak ada jalan lain. Aku memang harus menandatangani surat perjanjian pernikahan ini,” ucapnya dalam hati.Mirah, sang sahabat yang duduk di sebelah Zuri juga ikut mendukungnya untuk segera menandatangani dokumen tersebut. Mengingat utang Zuri yang begitu besar jumlahnya kepada Edward, lelaki kaya raya itu.Sementara Edward, suaminya, duduk di hadapan istrinya, sambil memperhatikan setiap gerakan Zuri dengan tatapan ya
Tak berapa lama setelah itu, Asisten Aksa dan Mirah kembali ke apartemen. Keduanya dapat melihat jika Zuri dan Edward sedang asyik menonton televisi.Pria itu pun segera berkata,“Baiklah, Mirah. Karena hari telah semakin larut saatnya kami akan berpamitan. Terima kasih sudah menerima saya dengan baik di sini.”“Siap, Bos. Pintu apartemen ini selalu terbuka lebar untuk Anda. Apalagi Anda adalah suami dari sahabat saya,” sahut Mirah sambil tersenyum.“Ha-ha-ha. Tepat sekali Mirah!” ucap Edward.Lalu pria kaya raya itu berkata lagi, “Oh ya, satu hal lagi, Mirah. Mulai besok Zuri akan berpindah tempat tinggal di apartemen milikku,” seru Edward santai.Mendengar perkataan pria itu, Zuri menatap tak percaya atas permintaan suaminya.“Siap, Bos. Memang sudah sewajarnya jika Zuri tinggal bersama Anda, karena kalian telah sah menjadi pasangan suami dan istri,” sahut Mirah santai.Bagaimana Mirah tidak mengatakan hal itu, sebelumnya Asisten Aksa telah mewanti-wanti dirinya untuk mendukung sem
Edward dan Zuri baru saja menyelesaikan pencarian mereka untuk cincin pernikahan yang sempurna. Setelah berkeliling beberapa toko perhiasan, mereka akhirnya menemukan cincin yang diinginkan sepasang cincin emas putih dengan ukiran halus yang melambangkan keabadian cinta mereka. Edward merasa lega dan bahagia melihat senyum di wajah Zuri saat menggenggam kotak cincin tersebut.Edward lalu berkata, "Bagaimana, Sayang? Apakah kamu suka cincinnya?"“Suka sekali, Mas Edward. Ini sempurna. Terima kasih ya, Mas!” sahut Zuri senang."Tentu, Sayang. Apapun akan kulakukan untukmu. Sekarang, bagaimana kalau kita makan siang di tempat spesial?" tawar Edward kepada istrinya."Memangnya kita mau makan siang di mana, Mas?" ujar Zuri penasaran."He-he-he. Aku punya kejutan untukmu, Cintaku. Ikuti saja, ya." sahut Edward sambil tersenyum manis ke arah istrinya.“Ok deh, Mas.” Mobil mereka pun mulai melaju menuju ke sebuah restoran berbintang Michelin yang terkenal dengan hidangan western-nya yang ad
Setelah selesai berziarah, Edward dan Zuri kembali menuju Jakarta. Aksa, asisten pribadi Edward, dengan setia menyetir mobil mereka. Langit yang cerah di Karawang mulai berubah menjadi senja saat mereka meninggalkan San Diego Memorial Park. Langit biru perlahan berwarna oranye kemerahan, menciptakan suasana tenang dan damai di dalam mobil.Edward duduk di kursi belakang, terlihat diam dengan mata tertutup. Raut wajahnya menunjukkan betapa dalam perasaannya saat ini. Mengunjungi makam ayahnya dan menyematkan cincin pernikahan di sana merupakan momen yang sangat emosional baginya. Dia butuh waktu untuk menetralisir perasaannya yang campur aduk antara haru, bahagia, dan kerinduan.“Ayah … aku sangat merindukanmu,” gumamnya sedih dalam hatinya.Zuri, sang istri duduk di sebelahnya, memperhatikan suaminya dengan penuh kasih. Gadis itu bisa merasakan betapa besar cinta Edward kepada ayahnya. Zuri pun memilih untuk tidak mengganggu Edward, membiarkan suaminya tenggelam dalam pikirannya sendi
Zuri terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, wajahnya terlihat pucat akan tetapi tampak lebih tenang setelah beberapa jam dirawat di UGD. Setelah dipastikan kondisinya stabil, tim dokter memutuskan untuk memindahkannya ke ruang perawatan yang berada di lantai atas. Keadaannya mungkin sudah lebih baik, namun kekhawatiran masih menggelayuti wajah setiap orang yang menunggunya di luar.Bunda Ayu, Opa Bram, Jemy, Mirah, dan Bobby sudah menanti dengan penuh harap di depan pintu ruang perawatan. Ketika perawat memberitahu bahwa mereka diperbolehkan masuk, Bunda Ayu segera melangkah masuk, diikuti oleh yang lainnya. Dengan langkah tergesa, Bunda Ayu menghampiri menantu kesayangannya yang masih terbaring di ranjang, sambil menggenggam erat tangan Zuri."Zuri, syukurlah kamu baik-baik saja, Nak," ucap Bunda Ayu dengan suara penuh kelegaan. “Bunda sangat khawatir tadi.”Zuri tersenyum lemah, akan tetapi senyum itu cukup untuk menenangkan hati Bunda Ayu. "Terima kasih, Bunda. Saya juga ber
Jemy melangkah cepat di tepian Pantai Ancol, langkah-langkahnya teratur namun tegang. Dia memeluk tubuh Zuri yang pingsan dengan erat, tubuh perempuan itu terasa ringan di pelukannya, akan tetapi beban yang dirasakan Jemy di hatinya jauh lebih berat. Pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran. Untungnya Tadi, sebelum dia menggendong Zuri, dia sempat menelepon Bobby, yang juga merupakan sepupu Edward, yang baru saja selesai mengikuti rapat penting di gedung yang sama yang ada di area Pantai Ancol."Bobby, aku sudah menemukan keberadaan Zuri. Tapi dia sedang pingsan! Sekarang aku sedang menggendongnya, cepat siapkan mobil di parkiran. Kita harus segera ke rumah sakit!" Suara Jemy terdengar panik di telepon.Tanpa banyak bicara, Bobby langsung bergegas menuju parkiran dan menyiapkan mobilnya.Sesampai di parkiran, Bobby melihat Jemy datang dengan langkah cepat, Zuri berada dalam gendongannya. Bobby segera membuka pintu penumpang yang ada di belakang, memberikan ruang bagi Jemy untuk memasuk
Beberapa saat yang lalu,Angin pantai Ancol berhembus lembut, membawa aroma asin laut yang memenuhi area itu. Zuri berjalan dengan langkah pelan, menyusuri garis pantai. Hatinya terasa berat, penuh dengan kekesalan yang belum juga hilang setelah pertengkarannya dengan Edward, suaminya. Kata-kata tajam dari Edward tadi, masih terngiang-ngiang di telinganya, membuatnya sulit untuk menenangkan diri.Dia berhenti sejenak, menatap riak kecil yang menggulung di permukaan air. Pasir halus di bawah kakinya terasa dingin dan menenangkan, namun rasa sakit di hatinya tetap tidak berkurang. Edward jarang sekali marah, tapi kali ini, pertengkaran mereka begitu hebat hingga Zuri memutuskan untuk menjauh sementara waktu.Dia tak ingin kembali ke apartemen yang terasa begitu sempit dengan ketegangan.Perempuan cantik itu semakin kesal kepada Edward karena sang suami tidak mau mendengarkan penjelasannya sedikitpun.Bahkan Edward malah pergi meninggalkannya di apartemen sendiri. Hal itu semakin membuat
Di sebuah apartemen,Sore yang cerah perlahan berubah menjadi kelabu di langit Jakarta ketika Ranti, seorang wanita karier yang sukses, baru saja tiba di apartemennya. Setelah melalui hari yang panjang dan melelahkan di kantor, Ranti berharap bisa menemukan ketenangan di rumahnya. Namun, langkah cepatnya begitu memasuki apartemen seolah menggambarkan keresahan yang sejak tadi melanda pikirannya. Ada hal lain yang jauh lebih penting mengisi benaknya saat ini yaitu tentang sepupunya, Tari.Tari sejak beberapa bulan yang lalu tinggal bersamanya di apartemen ini. Setelah sebelumnya sang sepupu dirawat di sebuah rumah sakit jiwa di salah satu sudut Kota Jakarta.Tari mengalami gangguan jiwa saat Edward, mantan kekasih dari sang sepupu memutuskan hubungan dengannya. Hal tersebutlah yang membuat Ranti ingin membalaskan dendam Tari terhadap Edward, yang juga merupakan mantan kekasih pengusaha sukses itu.Namun sayangnya, Ranti yang awalnya hanya ingin memainkan perasaan Edward. Malah benar-b
Kedatangan Bunda Ayu,Nyonya Rahayu Kenneth, dengan gaun hijau lumutnya yang menambah wibawanya, turun dari mobil mewahnya di depan kediaman megah Opa Bram. Tangannya menggenggam tas kulit elegan, sementara langkahnya mantap memasuki halaman yang asri, dipenuhi oleh pepohonan tua dan bunga-bunga yang tertata rapi. Sejak suaminya meninggal, Opa Bram, ayah mertuanya, menjadi salah satu tumpuan hidupnya dalam menghadapi berbagai situasi. Dia merasa perlu bertemu dengannya hari ini.Begitu pintu besar kayu jati terbuka lebar, Asisten Geri, pria berwajah dingin yang selalu setia melayani Opa Bram, menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat pagi, Nyonya Rahayu,” sapa Asisten Geri dengan sopan, membungkukkan badannya sedikit. “Opa Bram sudah menunggu Anda di ruang kerjanya, Nyonya.”“Terima kasih, Asisten Geri,” jawab Nyonya Rahayu. Namun, sebelum sempat melangkah lebih jauh, telinganya menangkap suara keras yang berasal dari lantai dua.Suara itu sangat dikenalnya, suara putranya, Edward
Di jalanan Kota Jakarta,“Sial! Sial! Sial!” gerutu Edward sambil memukul-mukul keras setir mobil.Pasalnya pria itu masih saja terjebak kemacetan Kota Jakarta yang begitu hakiki. “Kenapa mesti sekarang, macetnya?” kesalnya lagi.Amarah semakin memuncak di dalam dirinya. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena jalanan memang sedang macet-macetnya. Pria tampan itu hanya bisa sabar untuk saat ini.Setelah beberapa saat dalam perjalanan, akhirnya dia sampai juga. Edward pun melangkah cepat dan keluar dari mobilnya begitu sampai di depan rumah besar milik Opa Bram. Udara pagi yang sejuk tak mampu meredakan amarah yang membara di dadanya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Edward langsung masuk melalui pintu depan, yang dibiarkan terbuka oleh asisten pribadi kakeknya, Geri.Asisten Geri terlihat sedang sibuk dengan beberapa orang mekanik yang sedang mengurusi koleksi mobil milik sang kakek. Tanpa menunggu lama lagi, Edward pun menanyakan keberadaan Opa Bram kepada sang asisten."Asisten
Setelah Edward pergi dengan langkah cepat dan marah dari apartemen, Zuri hanya bisa menatap pintu yang baru saja tertutup keras dengan perasaan campur aduk. Air mata yang dari tadi dia tahan kini mulai mengalir perlahan. Dia mengambil napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dia tahu Edward marah besar karena dokumen penting milik Opa Bram, namun Zuri merasa tidak adil karena sang suami tidak mau mendengarkan penjelasannya."Kenapa Mas Edward gak mau dengar aku dulu?" gumam Zuri pelan, sambil mengusap wajahnya yang mulai memerah karena menangis.Dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk terus menangis. Zuri sadar, jika dirinya perlu menenangkan diri, terutama karena dia harus menjaga kesehatannya, bukan hanya untuk dirinya sendiri akan tetapi juga untuk bayi yang sedang tumbuh di dalam rahimnya. Perlahan, Zuri menurunkan tangan dan mengusap lembut perutnya yang masih datar, sambil tersenyum kecil.“Maaf, Sayang. Mommy janji akan jaga kamu baik-baik," bisiknya lembut.Setelah meras
Beberapa saat yang lalu,Edward berjalan mondar-mandir di ruang tamu apartemen mereka yang luas dan mewah. Matanya tak henti-hentinya menatap setumpuk dokumen di tangannya, wajahnya memerah karena emosi yang semakin memuncak. Di hadapannya, Zuri, istrinya, berdiri dengan tatapan penuh kecemasan. Air mata menggenang di matanya, sementara tangannya gemetar mencoba meraih lengan Edward.“Mas Edward, please. Dengarkan aku dulu. Aku ingin menjelaskan semuanya.” Zuri berusaha bicara, tapi suaranya terdengar seperti pecahan kaca yang sia-sia di hadapan dinding emosi yang dibangun oleh suaminya.Tanpa menjawab, Edward menghempaskan tumpukan dokumen itu ke atas meja dengan kasar, membuat suara keras yang menggema di seluruh ruangan. Dokumen-dokumen itu berserakan, beberapa halaman terlempar ke lantai, memperlihatkan judul-judul mencolok tentang “Misi Rahasia.” Ada cap tebal di pojok kanan atas yang bertuliskan: KONFIDENSIAL. Edward mendekatkan tangannya ke wajah, mengusap pelipisnya dengan ge
Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan dari bandara Internasional Soekarno-Hatta, Edward akhirnya tiba di apartemen tempat tinggalnya bersama sang istri, Zuri. Dia baru saja kembali dari perjalanan dinas luar kota selama tiga hari lamanya.Berjuta kerinduan untuk Zuri tercipta sempurna di dalam hati Edward. Ingin rasanya secepatnya dia memeluk istrinya dan melepaskan segala penat dan lelahnya selama berada di luar kota.Sebagai seorang CEO EK Corp, hari-harinya dipenuhi dengan rapat, strategi, dan tekanan besar. Namun, saat ini, pikirannya tertuju hanya pada satu hal yaitu bertemu Zuri, istrinya yang selalu menjadi tempatnya bersandar setelah hari yang panjang. Edward menarik napas dalam-dalam dan memijit pelipisnya, mencoba meredakan rasa capeknya.Edward pun menekan kata sandi apartemen, pintu segera terbuka, dan dia pun mulai melangkah masuk. Pria tampan itu merasa lega bisa kembali ke rumah. Edward pun mulai memanggil nama istrinya,“Zuri, aku pulang,” serunya sambil melepas