Tempat kos dimana Adri tinggal berada tidak jauh dengan sebuah SMP. Hari itu Adri dalam kondisi kurang sehat dan sudah mengajukan izin untuk tidak masuk. Kendati begitu sifat rajinnya membuat Adri tetap beraktifitas. Di teras ia sibuk menge-cat meja yang mulai kusam. Saat itu jam bubar sekolah dan rombongan demi rombongan siswa yang pulang sekolah melewati di depan Wisma Hijau.
Adri tidak pernah banyak memperhatikan ketika rombongan berseram putih – biru tua berbondong-bondong pulang. Namun kali ini beda. Ketika sudah semakin sedikit yang lewat karena hari semakin siang, sekelompok siswa berhenti di depan rumah. Ia sempat melihat mereka sekilas saja dan meneruskan pekerjaan sampai kemudian telinganya mendengarkan ketika terdengar teriakan salah seorang di antara mereka.
“Tinggalin aku!”
Teriakan itu disusul sebuah suara gadis lain yang meniru ucapannya namun dengan intonasi dibuat-buat.
“Thingghalin akyuuu. Hihihi....”
Ia melihati Adri. Tatap wajahnya yang tadi galak kini berubah memelas minta dikasihani. Tapi Adri juga sudah tiba di batas kesabaran. Ia mendekatkan wajah dan berbisik di telinganya. “Kamu berulah lagi, berikutnya nasib kamu akan seperti hape kamu. Paham?” Ia mengangguk. “Jangan sekali-kali membalas. Aku bisa lakukan lebih dari itu.” Itu jelas hanya semata-mata sebuah gertakan. Tapi sukses. Terbukti dari siswi pemimpin gang kini mengangguk-angguk cepat dengan jauh lebih meyakinkan. Sebuah gestur yang menunjukkan bahwa ia pasti akan mematuhi apa yang Adri mau. “Pergi kamu.” Siswi itu pergi. Setengah berlari tepatnya, yang kemudian diikuti rekan-rekan lainnya. Suasana kini sedikit sepi dimana hanya Adri dan siswi pertama yang ada. Tak ada percakapan di antara mereka. Gadis itu masih terlihat shocked dan tidak mengucap terima kasih atau apa pun. Sedikit berbeda dengan kebanyakan sekolah, Adri sempat melihat namanya di seragam yang dikenakan. Dewi. Adri tak mau menggunakan kesempata
“Hubungan lu dengan Ilham gimana?” Pertanyaan itu diajukan Dessy ketika mendapat kesempatan berbicara empat mata di satu sudut sekolah. Dan Fitri sepertinya tahu arah tujuan pertanyaan itu. “Kenapa ditanyain? Hubungan kami baik-baik aja atau nggak baik-baik aja apakah itu ada pengaruhnya sama elo, Des?” Dessy terdiam. “Ini ada kaitannya dengan pertemuan kita di mall dua hari lalu?” Fitri bertanya dengan tatapan tajam. “Waktu nonton Adri manggung di foodcourt mal, gitu?” “Kalo dibilang ada kaitannya, ya.” Fitri mengangguk-angguk. Ia lalu menyangkutkan rambut ke belakang telinga. “Gue udah nggak mood lagi sama Ilham.” “Putus?” “Putus sih nggak. Cuma vakum aja dulu. Break sampe sekian minggu ke depan.” “Terus, apa itu yang jadi alasan elo deketin Adri?” “Deketin Adri, iya. Dengan liat dia tampil di panggung, gue nilai tuh anak jadi s
“Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.”“Sok tau lu.”“Vokal kamu bagus. Dan akan lebih bagus lagi kalau…”“Kalau apa?”“Kalau nyanda menyanyi. Atau.... menyanyi bareng aku. Hehehe…”Melihat Dessy menanggapi dengan diam, ia menyambung lagi. “Jadi kapan kita nyanyi bareng?”Dessy menoleh kesana-kemari seperti hendak mencari sesuatu. “Untung di sekitar sini gak ada benda keras.”“For apa?”“Buat apa? Ya buat nyambit elo lah. Si bopung yang nggak ngehargai karya seni orang!”Adri terkikik dan sambil tangan bersedekap menyampaikan maaf dengan hormat. “Maaf. Tapi kamu dengar sendiri kan aku bertanya kapan nyanyi bareng. Itu artinya vokal kamu keren. Jadi,
Topik itu terasa tidak menarik dan Adri merasa perlu bertanya langsung pada gadis itu. “Ada apa nih kamu ke sini?” “Gue denger lu sakit.” “Hanya migrain. Sepertinya ini akibat perubahan cuaca.” “Karena gue denger elo migrain lah makanya gue dateng ke sini bawa obat buat lo. Sebetulnya ini adalah obat migrain ex tante gue. Dia beli dari Kanada, tapi dia udah nggak pake lagi. Daripada dibuang atau mubazir, gue pikir kasih ke elo aja. Apalagi kadaluarsanya tinggal seminggu lagi.” Adri memperhatikan beberapa pil dalam tube sangat kecil yang baru saja diletakkan gadis itu ke telapak tangannya. Bentuk kemasan yang elite membuatnya siap mengkonsumsi obat tadi. “Jadi ini buat aku?” “Iya.” “Makasiiiih.” “Cepat sembuh ya, Dri.” “OK, aku minum sehabis makan siang.” “Kalo gitu kenapa kita nggak makan siang samaan?” Adri tak menyangka dengan tawaran tak ter
“Adri,” bisik Dessy dengan tatapan tajam. Dengan jari telunjuk ia memberi isyarat agar Adri juga mencondongkan wajah ke arah dirinya. “Sini!” Mendapat isyarat itu, wajah Adri memerah kembali. Ia melihat kiri-kanan dengan gugup. “Sekarang?” “Iya,” jawab Dessy sedikit jutek. “Mumpung lagi sepi.” Glk. Adri menelan ludah. Tak mau mengecewakan Dessy, rasa ingin tahu yang besar, suasana yang mendukung, semua berkolaborasi menciptakan senyawa baru bernama kenekadan super ekstra dalam dirinya. Lalu dengan kenekadan tiada tara paling gila yang ia pernah lakukan seumur hidup itu ia mengikuti apa yang Dessy mau. Badannya sedikit terangkat dari kursi yang diduduki lalu meniru tindakan Dessy dengan ia pun ikut mencondongkan wajah. Saat jaraknya begitu dekat dan makin dekat hingga kurang dari sejengkal dari wajah Dessy, Adri yang tak tahan lalu menutup mata sekaligus memonyongkan mulut semaju yang ia bisa. Jaraknya pun kini semakin dekat…. Semakin de
Dari mulanya merasa aneh, sekarang Dessy jadi merasa lucu melihat benda itu. Ia memencet sekali lagi dan kembali tertawa mendengar bunyi yang dihasilkan. “Kenapa beliin aku beginian sih?” tanyanya disela tawa. “Ada usulankah apa yang harus kubeli untuk gadis sekaya dirimu?” Adri balik bertanya. “Maaf, aku selalu ingin memberi sesuatu untuk kamu tapi selalu juga bingung apa yang harus aku beli karena kamu sepertinya punya semua.” “Terus apa menurutmu ini cocok dikasih ke aku?” “Entah,” Adri terlihat bingung dan canggung. “Kupikir Bebi bisa bikin kamu senang.” “Bebi?” “Itu nama yang kuberikan untuk si bebek karet ini,” jawabnya cepat. “Biar pun murah meriah, mudah-mudahan Bebi bisa bikin kamu senang saat menemani kamu di bathtub. Bebi itu spesial.” “Apa spesialnya? Toh ada ratusan bebek karet yang dijual sekaligus kan?” “Aku udah coba. Hanya Bebi yang bisa bunyi
Tak ada jawaban terlontar dari mulut Dessy. Yang jelas tak lama kemudian terdengar suara Adri. Pria itu mengaduh-aduh kesakitan akibat tubuhnya gencar dicubiti Dessy yang gemas karena ulah dan ucapannya. Dessy tak peduli ulahnya dilihati tamu-tamu restoran yang ada di sekitar. Baginya Adri itu begitu menggemaskan sehingga pantas dijahili seperti tadi. * Adri mungkin tetap katrok, kampungan, norak, kurang luwes bergaul dengan pergaulan di kota besar Jakarta. Namun demikian, sikap demikian dalam hal tertentu ternyata bisa mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Di tempat kosnya ia jadi diterima oleh banyak orang yang menganggap sikap katrok tadi sebagai hal yang unik dan lucu. Efeknya, semua itu membuat ia jadi tahu banyak hal. Dari Waluyo ia belajar dan memahami hal terkait farmasi. Dari penghuni lain ia juga mendapat banyak ilmu. Mulai dari sekedar cara mengemudi mobil, memahami digital illustration, praktek pembuatan website, dan bahkan i
Adri yakin pak Herry sebetulnya pasti ingin menegur dirinya karena masih saja bermain gitar di saat ia sudah mau beristirahat di kamarnya. Namun melihat ada Tante Sonya, pikirannya berubah. Ia tidak lagi memusingkan Adri dan malah jadi banyak mengobrol dengan wanita itu yang kemudian melayani obrolannya. “Eh pak Herry. Sori, tidurnya keganggu suara gitar ya?” “Oh nggaaaak!” “Bener?” “Iya, nggak apa-apa. Aku udah kebiasa dengar suara gitar begini. Iya kan, Dri?” Berlagak pilon, Adri menjawab jujur. “Bukannya tadi pak Herry minta aku nggak main gitar?” Dengan muka memerah pak Herry membantah. “Nggak! Siapa bilang?” “Bapak tadi dua kali ngelarang aku.” “Ah kamu itu. Kamu salah paham,” katanya keras kepala. “Terus, Bapak ngapain ke kamar aku kalo tujuannya bukan untuk negor?” Tidak tahu malu. Orang itu mengabaikan Adri dan malah mengajak mengobrol T