Lucas dan Rohander saling bertukar pandang, masih tampak tidak percaya dengan sikap santai Agatha. Setelah kehebohan yang mereka alami, semua orang, mulai dari pengawal hingga pelayan, tampak lega sekaligus bingung. Mereka telah bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk, tetapi yang mereka dapatkan hanyalah Agatha yang kembali dengan es krim di tangannya.Rohander menghela napas panjang, menekan amarahnya yang perlahan mereda. “Agatha,” dia berbicara dengan nada yang tegas namun lembut, “kau benar-benar tidak bisa terus melakukan ini. Aku hampir—kami hampir kehilangan akal sehat kami.”Agatha melirik ke arah Rohander sambil menjilat es krimnya dengan perlahan. "Aku tidak bermaksud membuatmu cemas. Tapi aku tidak tahan terus berada di dalam ruangan. Hanya keluar sebentar tidak akan membunuhku, bukan?"Lucas, yang biasanya tak mudah terprovokasi, mulai menunjukkan tanda-tanda frustasi. “Kau harus mengerti, Agatha. Bukan hanya tentangmu. Kau punya banyak musuh yang mungkin mengincarmu
Setelah percakapan ringan itu, Agatha dengan santai melangkah masuk ke dalam mansion, meninggalkan Lucas dan Rohander di belakangnya. Keduanya saling bertukar pandang sejenak, berbagi keheningan yang penuh arti sebelum Lucas akhirnya angkat bicara.“Dia benar-benar berbeda, bukan?” kata Lucas dengan senyum kecil di wajahnya.Rohander mendengus, berjalan perlahan mengikuti langkah Agatha. “Dia seperti badai. Tidak bisa dihentikan, hanya bisa diterima.”Lucas mengangguk setuju, matanya masih menatap Agatha yang semakin jauh. “Aku belum pernah bertemu wanita seperti dia. Tapi...” Lucas terdiam sejenak, raut wajahnya berubah serius, “…kau tahu dia berbahaya. Bukan hanya bagi musuhnya, tapi juga bagi kita.”Rohander berhenti dan menatap Lucas dengan tajam. “Kau pikir aku tidak tahu? Setiap hari, aku harus menyeimbangkan antara keinginan melindunginya dan kenyataan bahwa dia bisa menghancurkan semuanya dalam sekejap. Tapi itulah Agatha.”Lucas menatap Rohander lebih lama sebelum akhirnya me
Malam itu, di tengah suasana mansion yang mulai tenang, Rohander duduk di depan perapian di ruang pribadi mereka. Agatha berdiri tak jauh, memandanginya dengan ekspresi penuh pemikiran. Keheningan di antara mereka terasa begitu dalam, namun di balik keheningan itu ada sesuatu yang tak terucap, sebuah perasaan yang mengikat keduanya lebih kuat dari sebelumnya.Agatha mendekat, duduk di sebelah Rohander, dan tanpa berkata apa-apa, dia meletakkan kepalanya di bahu pria itu. Rohander sedikit terkejut dengan keintiman itu, namun dia membiarkan dirinya tenggelam dalam kehadiran Agatha. Mereka sudah melewati begitu banyak hal—kejaran musuh, ancaman, dan pengkhianatan—namun dalam momen ini, kedekatan mereka terasa sangat nyata.“Kenapa kau tidak pernah memberitahuku?” bisik Agatha, suaranya lembut namun penuh makna.Rohander mengerutkan kening. “Memberitahumu apa?”Agatha menutup matanya, merasakan detak jantung Rohander di bawah kulitnya. “Tentang betapa kau peduli padaku. Aku tahu kau selal
Saat malam semakin larut, keheningan di antara Agatha dan Rohander menjadi semakin dalam. Namun, di balik keheningan itu ada kekuatan yang tidak terlihat, sesuatu yang membuat mereka semakin terikat. Agatha mendekatkan diri pada Rohander, matanya terarah pada lanskap luar mansion yang gelap. Suasana malam yang tenang, seolah memberikan mereka ruang untuk berbagi perasaan tanpa kata-kata.Rohander memecah keheningan. “Aku tahu kau selalu merasa bisa mengatasi semuanya sendiri, Agatha. Tapi mulai sekarang, biarkan aku menjadi bagian dari setiap rencanamu.”Agatha menatap Rohander dengan lembut, meskipun senyumnya sedikit pahit. “Aku tidak ingin kau terluka karena aku. Kau tahu musuh kita bukan orang biasa.”Rohander mengangguk, tatapannya tidak pernah lepas dari Agatha. “Aku tahu risikonya. Tapi aku lebih memilih berada di sampingmu dan menghadapi semuanya bersama daripada membiarkanmu bertarung sendirian.”Ada sesuatu di nada bicara Rohander yang membuat dada Agatha terasa hangat. Ia t
Rohander hanya bisa menghela napas panjang, menatap Agatha dengan campuran kekhawatiran dan kelelahan. Ia mencoba menahan emosinya, namun jelas terlihat bahwa ia begitu peduli pada Agatha. Lucas berdiri di sampingnya, tatapannya tajam tetapi juga ada rasa lega di balik sikap dinginnya."Aku tidak tahu apakah aku harus marah atau lega," Rohander berkata sambil menyisir rambutnya dengan tangan, frustrasi. "Kau keluar begitu saja, tanpa memberitahu siapa pun. Kau tahu betapa bahayanya keadaan saat ini."Agatha menyeringai kecil, sedikit menggigit es krimnya sebelum menjawab dengan nada santai. "Aku hanya ingin sedikit keluar dari suasana tegang ini. Lagipula, aku bukan seseorang yang akan dengan mudah tertangkap, bukan?"Lucas tertawa kecil mendengar jawaban Agatha. "Kau selalu membuat kami bingung, Agatha. Seperti puzzle yang tak pernah selesai."Agatha menatap Lucas, senyumnya mengembang. "Mungkin karena aku menikmati melihat kalian berusaha keras mencoba memahaminya."Namun, di balik
Ketegangan di mansion terus meningkat seiring dengan ancaman yang semakin dekat. Rohander bergerak cepat, memastikan bahwa setiap sudut terlindungi dengan baik. Namun, di balik semua tindakan pencegahan itu, perasaan khawatir pada Agatha tak pernah hilang.Lucas, yang biasanya tenang dan dingin, kini terlihat gelisah. Tatapannya selalu tertuju pada Agatha, seakan tak ingin kehilangan jejaknya. Sesuatu yang selama ini ia coba sembunyikan mulai terlihat jelas—bahwa Agatha bukan hanya sekadar wanita misterius yang ia kagumi dari kejauhan. Ada ikatan yang lebih dalam, sesuatu yang bahkan Rohander pun mulai sadari."Agatha," Lucas akhirnya memecah keheningan saat mereka berdua berada di ruang kerja, "kau benar-benar tidak mengingat apa pun dari masa lalumu?"Agatha menatapnya, tatapan matanya bingung namun tetap tenang. "Aku sudah bilang, masa laluku hanyalah potongan-potongan kabur. Tidak ada yang penting untuk diingat."Lucas mendekat, suaranya terdengar lebih serius. "Bagaimana jika aku
Agatha menatap Lucas dengan tatapan penuh kecurigaan. Dia sudah terbiasa dengan permainan kata-kata, manipulasi, dan trik yang dimainkan oleh pria-pria berkuasa seperti Lucas dan Rohander. Namun, ada sesuatu dalam suara Lucas yang membuatnya berpikir bahwa kali ini dia berbicara dengan jujur, meskipun dia tidak mengerti apa maksud dari kata-katanya."Apa maksudmu lebih dari sekadar bagian dari masa lalumu?" Agatha menyipitkan mata, mencoba menembus tabir misteri yang mengelilingi Lucas. "Aku tidak pernah meminta apa pun darimu. Kau selalu datang mengganggu hidupku."Lucas mengangguk pelan, lalu berkata, "Aku tahu. Itu karena ada sesuatu yang harus kukatakan padamu, tapi aku tidak pernah tahu bagaimana caranya. Dan sekarang, dengan Rohander di sini, situasinya semakin rumit."Agatha tersenyum tipis, meskipun perasaannya bergejolak di dalam. "Situasi ini sudah rumit sejak awal, Lucas. Kau selalu membuat semuanya sulit."Lucas berhenti sejenak, menatap Agatha dengan serius. "Kau adalah b
Agatha menatap Lucas dengan tatapan penuh kecurigaan. Dia sudah terbiasa dengan permainan kata-kata, manipulasi, dan trik yang dimainkan oleh pria-pria berkuasa seperti Lucas dan Rohander. Namun, ada sesuatu dalam suara Lucas yang membuatnya berpikir bahwa kali ini dia berbicara dengan jujur, meskipun dia tidak mengerti apa maksud dari kata-katanya."Apa maksudmu lebih dari sekadar bagian dari masa lalumu?" Agatha menyipitkan mata, mencoba menembus tabir misteri yang mengelilingi Lucas. "Aku tidak pernah meminta apa pun darimu. Kau selalu datang mengganggu hidupku."Lucas mengangguk pelan, lalu berkata, "Aku tahu. Itu karena ada sesuatu yang harus kukatakan padamu, tapi aku tidak pernah tahu bagaimana caranya. Dan sekarang, dengan Rohander di sini, situasinya semakin rumit."Agatha tersenyum tipis, meskipun perasaannya bergejolak di dalam. "Situasi ini sudah rumit sejak awal, Lucas. Kau selalu membuat semuanya sulit."Lucas berhenti sejenak, menatap Agatha dengan serius. "Kau adalah b
Agatha melangkah ke meja kerjanya dengan penuh ketenangan, menatap lukisan-lukisan yang ia rawat dengan penuh dedikasi. Setiap karya seni itu kini tampak lebih hidup baginya—seperti sebuah refleksi dari dirinya yang baru. Dia menyadari bahwa setiap goresan warna pada kanvas, setiap detail yang halus, menggambarkan perjalanan panjang yang telah ia lewati. Semua itu membawanya pada pemahaman bahwa ada keindahan dalam kesendirian, dalam kebebasan untuk memilih tanpa ada yang menahan.Sore itu, galeri terasa lebih tenang dari biasanya. Tidak ada lagi keributan atau konflik yang mengikatnya. Semua orang yang bekerja dengannya menghargai kedamaiannya, saling berbagi ide dan kreativitas. Agatha menyukai suasana itu, suasana di mana ia bisa berdiri sendiri tanpa harus takut atau khawatir.Tiba-tiba, pintu galeri terbuka, dan seorang wanita muda masuk dengan senyum ramah. Wajahnya asing bagi Agatha, tapi ada aura yang ramah dalam diri wanita itu. Agatha mengangkat pandangannya.“Selamat sore,
Beberapa minggu berlalu sejak pertemuannya dengan Lila, dan meskipun hidup Agatha mulai berjalan lebih lancar, sesuatu tetap terasa hilang. Ia masih merasa ada yang mengganjal di hatinya, seperti potongan teka-teki yang belum lengkap. Namun, ia berusaha mengabaikannya dan fokus pada pekerjaannya di galeri seni, yang kini menjadi tempat di mana ia merasa paling nyaman.Suatu pagi, saat Agatha sedang memeriksa beberapa karya seni baru yang akan dipamerkan, ponselnya bergetar. Ia menatap layar, membaca pesan yang baru masuk. Dari nomor yang tidak dikenalnya."Agatha, kamu baik-baik saja?"Seketika, detak jantungnya meningkat. Ada kegugupan yang tiba-tiba merayap dalam dirinya. Pesan itu terlalu familiar, dan sekaligus asing. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Agatha membalas pesan itu."Siapa ini?" tanya Agatha, mencoba menjaga ketenangannya.Tak lama setelah itu, pesan balasan masuk. "Rohander."Tubuh Agatha membeku. Ia terdiam sejenak, matanya menatap layar ponsel dengan napas yang te
Dua tahun berlalu sejak Agatha terakhir kali meninggalkan dunia yang pernah ia kenal—dunia yang penuh dengan ancaman, kontrol, dan ketakutan. Hidupnya kini jauh berbeda, meskipun tidak sempurna, namun jauh lebih damai daripada yang ia bayangkan sebelumnya. Di luar jendela apartemennya, cahaya pagi menembus perlahan melalui tirai tipis, membawa kehangatan yang menenangkan.Agatha berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terlihat lebih tenang, meski ada jejak kelelahan yang masih tersisa di matanya. Ia merapikan rambutnya dengan cepat, mencoba menutupinya, dan berpikir sejenak. Setiap hari sejak meninggalkan Rohander, ia merasa seolah hidupnya mulai terbentuk kembali, walaupun dengan jalan yang sulit.Ia menghela napas, membuka pintu apartemennya, dan merasakan udara pagi yang segar. Melangkah keluar, Agatha menyapa tetangga yang lewat dengan senyum kecil. Kehidupan barunya di kota kecil ini terasa seperti sebuah pelarian, namun juga sebuah kesempatan untuk meraih kedamaian yang s
Rohander berdiri di tengah ruangannya, tubuhnya terdiam sejenak sebelum meledak dalam kemarahan yang tak terkontrol. Mata merahnya menatap ke arah dokumen-dokumen yang berserakan di meja, namun pikirannya benar-benar terfokus pada satu hal: Agatha.Dia telah menghilang. Dengan bantuan dari para pelayan dan dokter yang dianggapnya sebagai sekutu, Agatha berhasil kabur. Dan Rohander merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Sakitnya bukan hanya karena kehilangan, tapi karena dia merasa dikhianati."Bodoh!" teriak Rohander, menghempaskan kursi ke dinding dengan amarah yang membakar. "Tidak mungkin dia lari begitu saja! Tidak mungkin!"Beberapa anak buahnya yang berdiri di sampingnya langsung mundur, takut melihat amarah yang begitu dalam di mata Rohander. Mereka tahu bahwa pria ini, yang biasa terlihat dingin dan terkontrol, sekarang berada di luar kendali.Salah satu orang yang lebih berani melangkah maju. "Tuan, kami sudah memeriksa segala jalur pelarian yang mungkin. Mereka sudah j
Rohander berdiri terpaku, seolah dunia di sekitarnya berhenti berputar. Setiap kata Agatha, setiap keputusan yang ia ambil, seolah menusuk hatinya lebih dalam. Namun, yang paling membuatnya hancur adalah kenyataan bahwa dia tahu Agatha benar—bahwa dia telah kehilangan semua kepercayaan yang ada.Tak ada lagi yang bisa dia lakukan. Tangan Rohander mengepal erat, wajahnya terdistorsi oleh campuran amarah, rasa sakit, dan penyesalan. Namun, meskipun begitu, dia tetap tidak bergerak. Agatha sudah membuat pilihannya, dan ini adalah akibat dari semua yang telah dia lakukan.Di sisi lain, Agatha yang sedang melangkah menuju pesawat, matanya terfokus ke depan, namun hatinya berdebar kencang. Setiap detik terasa begitu berat, tetapi ia tahu bahwa ia harus melangkah maju, bahwa ia tidak bisa mundur lagi. Keputusan ini, meski sulit, adalah langkah yang tak terelakkan untuk kebebasannya.Saat ia melangkah memasuki pesawat, beberapa perawat dan dokter yang telah mengikutinya ikut naik, dan begitu
Agatha melangkah dengan hati-hati, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk berjalan menuju kebebasan yang begitu dekat namun penuh bahaya. Di balik langkahnya yang penuh keteguhan, ada perasaan bergejolak di dalam dada. Keputusan ini bukan hanya tentang melarikan diri dari Rohander—ini adalah tentang kebebasan, tentang menghentikan siklus yang sudah terlalu lama mengikatnya.Di lorong rumah sakit yang sunyi itu, para perawat yang semula cemas kini bergerak lebih cepat, menyiapkan barang-barang mereka dengan ketegangan yang bisa dirasakan di udara. Mereka tahu betul bahwa jika mereka terlambat atau salah langkah, konsekuensinya bisa sangat fatal. Agatha mempercepat langkahnya, berusaha mengatasi rasa lelah dan pusing yang mulai menguasainya.Sampai di pintu keluar, Agatha berhenti sejenak, menatap ke luar jendela yang menghadap ke parkiran. Di sana, kendaraan telah siap menunggu. Mobil yang akan membawa mereka keluar dari kehidupan yang selama ini mengikat mereka. Saat itu, matanya me
Rohander mendekat perlahan, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Agatha yang tampak gemetar di atas seprai putih itu. Namun, sebelum jemarinya sempat menyentuh kulitnya, Agatha menarik tangannya dengan gerakan tiba-tiba, dan menatapnya tajam, matanya basah oleh air mata.“Jangan sentuh aku, Rohander,” suaranya rendah, bergetar dengan ancaman yang membuatnya terhenti seketika. Tangan Rohander menggantung di udara, lalu ia menariknya kembali, telapak tangannya mengepal dengan frustrasi yang tak bisa ia kendalikan.“Agatha… aku hanya ingin melindungimu,” kata Rohander, suaranya terdengar penuh kepasrahan. Ia memandang Agatha dengan harapan, mencoba membujuknya, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang tampak hampa, tidak lagi meyakinkan. Setiap kata yang ia ucapkan terasa memuakkan, seperti berulang-ulang menggumamkan mantra yang sama, selalu “melindungimu,” “menjagamu,” “demi kebaikanmu.” Agatha mengerutkan kening, bibirnya gemetar menahan amarah dan luka yang begitu dalam. I
Cahaya lembut menembus kelopak mata Agatha, mengusik tidurnya yang gelisah. Perlahan, ia membuka matanya, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya di kamar yang terasa asing. Seketika itu juga, wajah Rohander muncul dalam pandangannya, dingin dan penuh amarah, berdiri tegak di samping tempat tidurnya.“Kau akhirnya bangun juga,” kata Rohander, suaranya tajam, seperti belati yang menusuk tanpa ampun.Agatha masih terlalu lemah untuk merespons dengan lantang, tapi tatapannya tak kalah sengit. Ia mencoba duduk, namun kepalanya masih terasa berat. Rohander tidak menawarkan bantuan, malah menatapnya dengan ekspresi penuh kekecewaan.“Sepertinya tidur panjangmu tidak membuatmu jadi lebih bijak,” lanjutnya. “Apa kau tahu apa yang sudah kau lakukan pada dirimu sendiri, Agatha?”Agatha mengerutkan kening, merasa muak dengan nada suara dingin itu. "Aku tidak perlu ceramah darimu, Rohander," jawabnya pelan namun tajam, menatap lurus ke arahnya. “Lagipula, aku hanya mengambil pil itu karena... kar
Ruangan VVIP rumah sakit itu sunyi, hanya terdengar suara mesin-mesin yang memonitor kondisi Agatha, yang tidur dengan wajah pucat dan lelah di atas ranjang. Di sampingnya, Rohander duduk terdiam, tatapannya terpaku pada wajah Agatha yang terlihat tenang dalam tidurnya, meski seluruh tubuhnya dikelilingi berbagai alat medis. Raut wajahnya, yang biasanya dingin dan penuh kendali, kini dipenuhi kegelisahan dan ketakutan yang dalam.Rohander menggenggam tangan Agatha erat, seakan takut ia akan menghilang begitu saja jika ia melepaskannya. "Agatha..." bisiknya, suaranya parau, nyaris tersendat. "Aku tidak pernah membayangkan ini akan sejauh ini… aku tidak pernah berpikir aku bisa merasa setakut ini. Kehilangan kamu… itu adalah mimpi buruk yang tak ingin aku hadapi."Matanya memerah, dan tanpa bisa ia kendalikan, air mata mulai menetes di pipinya, perlahan-lahan. Tangannya bergetar, tapi tetap mencengkeram tangan Agatha dengan kuat. Selama ini, ia selalu merasa bahwa ia adalah pusat kendal