Rohander hanya bisa menghela napas panjang, menatap Agatha dengan campuran kekhawatiran dan kelelahan. Ia mencoba menahan emosinya, namun jelas terlihat bahwa ia begitu peduli pada Agatha. Lucas berdiri di sampingnya, tatapannya tajam tetapi juga ada rasa lega di balik sikap dinginnya."Aku tidak tahu apakah aku harus marah atau lega," Rohander berkata sambil menyisir rambutnya dengan tangan, frustrasi. "Kau keluar begitu saja, tanpa memberitahu siapa pun. Kau tahu betapa bahayanya keadaan saat ini."Agatha menyeringai kecil, sedikit menggigit es krimnya sebelum menjawab dengan nada santai. "Aku hanya ingin sedikit keluar dari suasana tegang ini. Lagipula, aku bukan seseorang yang akan dengan mudah tertangkap, bukan?"Lucas tertawa kecil mendengar jawaban Agatha. "Kau selalu membuat kami bingung, Agatha. Seperti puzzle yang tak pernah selesai."Agatha menatap Lucas, senyumnya mengembang. "Mungkin karena aku menikmati melihat kalian berusaha keras mencoba memahaminya."Namun, di balik
Ketegangan di mansion terus meningkat seiring dengan ancaman yang semakin dekat. Rohander bergerak cepat, memastikan bahwa setiap sudut terlindungi dengan baik. Namun, di balik semua tindakan pencegahan itu, perasaan khawatir pada Agatha tak pernah hilang.Lucas, yang biasanya tenang dan dingin, kini terlihat gelisah. Tatapannya selalu tertuju pada Agatha, seakan tak ingin kehilangan jejaknya. Sesuatu yang selama ini ia coba sembunyikan mulai terlihat jelas—bahwa Agatha bukan hanya sekadar wanita misterius yang ia kagumi dari kejauhan. Ada ikatan yang lebih dalam, sesuatu yang bahkan Rohander pun mulai sadari."Agatha," Lucas akhirnya memecah keheningan saat mereka berdua berada di ruang kerja, "kau benar-benar tidak mengingat apa pun dari masa lalumu?"Agatha menatapnya, tatapan matanya bingung namun tetap tenang. "Aku sudah bilang, masa laluku hanyalah potongan-potongan kabur. Tidak ada yang penting untuk diingat."Lucas mendekat, suaranya terdengar lebih serius. "Bagaimana jika aku
Agatha menatap Lucas dengan tatapan penuh kecurigaan. Dia sudah terbiasa dengan permainan kata-kata, manipulasi, dan trik yang dimainkan oleh pria-pria berkuasa seperti Lucas dan Rohander. Namun, ada sesuatu dalam suara Lucas yang membuatnya berpikir bahwa kali ini dia berbicara dengan jujur, meskipun dia tidak mengerti apa maksud dari kata-katanya."Apa maksudmu lebih dari sekadar bagian dari masa lalumu?" Agatha menyipitkan mata, mencoba menembus tabir misteri yang mengelilingi Lucas. "Aku tidak pernah meminta apa pun darimu. Kau selalu datang mengganggu hidupku."Lucas mengangguk pelan, lalu berkata, "Aku tahu. Itu karena ada sesuatu yang harus kukatakan padamu, tapi aku tidak pernah tahu bagaimana caranya. Dan sekarang, dengan Rohander di sini, situasinya semakin rumit."Agatha tersenyum tipis, meskipun perasaannya bergejolak di dalam. "Situasi ini sudah rumit sejak awal, Lucas. Kau selalu membuat semuanya sulit."Lucas berhenti sejenak, menatap Agatha dengan serius. "Kau adalah b
Agatha menatap Lucas dengan tatapan penuh kecurigaan. Dia sudah terbiasa dengan permainan kata-kata, manipulasi, dan trik yang dimainkan oleh pria-pria berkuasa seperti Lucas dan Rohander. Namun, ada sesuatu dalam suara Lucas yang membuatnya berpikir bahwa kali ini dia berbicara dengan jujur, meskipun dia tidak mengerti apa maksud dari kata-katanya."Apa maksudmu lebih dari sekadar bagian dari masa lalumu?" Agatha menyipitkan mata, mencoba menembus tabir misteri yang mengelilingi Lucas. "Aku tidak pernah meminta apa pun darimu. Kau selalu datang mengganggu hidupku."Lucas mengangguk pelan, lalu berkata, "Aku tahu. Itu karena ada sesuatu yang harus kukatakan padamu, tapi aku tidak pernah tahu bagaimana caranya. Dan sekarang, dengan Rohander di sini, situasinya semakin rumit."Agatha tersenyum tipis, meskipun perasaannya bergejolak di dalam. "Situasi ini sudah rumit sejak awal, Lucas. Kau selalu membuat semuanya sulit."Lucas berhenti sejenak, menatap Agatha dengan serius. "Kau adalah b
Malam terasa semakin sunyi setelah kepergian Lucas, meninggalkan Rohander dan Agatha dalam diam yang menyesakkan. Agatha masih belum sepenuhnya mencerna informasi yang diterimanya. Lucas, pria yang selama ini mengganggu hidupnya, mengaku sebagai saudaranya? Bagaimana dia bisa mempercayai itu?Rohander berdiri di dekatnya, matanya masih menatap tajam ke arah pintu tempat Lucas menghilang. Dia tampak ingin mengatakan sesuatu, namun menahan diri. Akhirnya, Rohander memecah keheningan, suaranya dalam dan penuh perasaan."Agatha," dia memulai, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Aku tahu ini banyak yang harus kau hadapi sekarang. Tapi kau tidak perlu melakukannya sendirian."Agatha menunduk, pikirannya berputar-putar antara kemarahan, kebingungan, dan kelelahan. "Aku hanya... aku tidak tahu harus mempercayai siapa lagi. Lucas bilang dia saudaraku. Kau bilang kau akan melindungiku. Tapi kenyataannya? Hidupku tidak pernah terasa lebih kacau."Rohander mendekat, jemarinya menyentuh lengan A
Setelah kepergian Lucas, ruangan terasa sunyi meski ketegangan belum sepenuhnya hilang. Agatha menarik napas panjang, memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya berdiri dari kursinya. Dia merasa harus melangkah maju, tapi belum tahu ke arah mana.Rohander memperhatikan Agatha dengan cermat, ekspresinya sulit ditebak. "Apa yang sebenarnya ada di kepalamu, Agatha?" tanyanya pelan, tapi tajam.Agatha membuka matanya, tatapannya sekarang jauh lebih tenang. “Aku tidak bisa hanya menunggu dan membiarkan semuanya terjadi. Ini hidupku, Rohander. Lucas mungkin saudaraku, dan kau… kau bagian penting dari hidupku sekarang, tapi aku bukan milik siapa pun. Aku harus membuat keputusanku sendiri.”Rohander mendekat, menghentikan langkahnya tepat di depannya. Dia menatap Agatha dengan intensitas yang membuat jantung Agatha sedikit berdegup lebih kencang. "Dan keputusanku adalah melindungimu, apa pun yang terjadi. Apakah kau menyukai itu atau tidak."Agatha tertawa kecil, meski tidak ada humor dalam
Hari itu, mansion terasa sepi setelah serangan dari anak buah Lucas berhasil dipukul mundur. Namun, Rohander dan Agatha tahu ini hanya awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Lucas bukanlah tipe orang yang menyerah begitu saja. Dan konflik utama di antara mereka mulai terungkap dengan lebih jelas.Agatha berjalan di sisi Rohander, tatapannya penuh kecemasan yang ia sembunyikan dengan baik. Meski berhasil melawan serangan Lucas sebelumnya, perasaan gelisah menyelimuti pikirannya. Ia merasakan ada yang lebih dari sekadar pertarungan kekuasaan atau klaim keluarga. Ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang dimainkan."Kita tidak bisa terus seperti ini, Rohander," bisik Agatha, matanya menatap lurus ke depan. "Lucas tidak akan berhenti hanya karena kita berhasil menghentikan serangan pertama. Apa yang sebenarnya kau sembunyikan dariku?"Rohander menghela napas panjang, menghentikan langkahnya dan menatap Agatha dengan pandangan yang lebih serius dari biasanya. "Ada banyak hal yang kau belu
Dentuman senjata bergema di sepanjang halaman mansion. Rohander berdiri di depan anak buahnya, tangannya kokoh menggenggam pistol sementara pandangannya tetap fokus pada Lucas di kejauhan. Asap tipis mengepul dari tembakan sebelumnya, membungkus udara dengan aroma mesiu yang tajam.Di balik tembok batu mansion, Agatha memeluk tubuhnya sendiri. Bukan karena takut, tapi karena desakan perasaan yang tak ia mengerti. Kedua tangannya sedikit gemetar saat ia meraba lehernya, di mana jejak luka tipis bekas peluru Lucas beberapa hari lalu masih samar terasa.Namun, alih-alih gentar, dia mendapati dirinya malah tersenyum. Bukan senyum kemenangan, melainkan senyum penuh kebingungan. Lucas menginginkannya? Bukan hanya sebagai adik yang hilang, tetapi karena sesuatu yang lebih besar. Apa maksudnya?Suara teriakan seseorang di luar membuyarkan pikirannya. Agatha mengintip dari balik jendela. Rohander berlutut di tengah halaman, berusaha menahan rasa sakit di bahunya yang terkena peluru. Darah mene
Agatha melangkah ke meja kerjanya dengan penuh ketenangan, menatap lukisan-lukisan yang ia rawat dengan penuh dedikasi. Setiap karya seni itu kini tampak lebih hidup baginya—seperti sebuah refleksi dari dirinya yang baru. Dia menyadari bahwa setiap goresan warna pada kanvas, setiap detail yang halus, menggambarkan perjalanan panjang yang telah ia lewati. Semua itu membawanya pada pemahaman bahwa ada keindahan dalam kesendirian, dalam kebebasan untuk memilih tanpa ada yang menahan.Sore itu, galeri terasa lebih tenang dari biasanya. Tidak ada lagi keributan atau konflik yang mengikatnya. Semua orang yang bekerja dengannya menghargai kedamaiannya, saling berbagi ide dan kreativitas. Agatha menyukai suasana itu, suasana di mana ia bisa berdiri sendiri tanpa harus takut atau khawatir.Tiba-tiba, pintu galeri terbuka, dan seorang wanita muda masuk dengan senyum ramah. Wajahnya asing bagi Agatha, tapi ada aura yang ramah dalam diri wanita itu. Agatha mengangkat pandangannya.“Selamat sore,
Beberapa minggu berlalu sejak pertemuannya dengan Lila, dan meskipun hidup Agatha mulai berjalan lebih lancar, sesuatu tetap terasa hilang. Ia masih merasa ada yang mengganjal di hatinya, seperti potongan teka-teki yang belum lengkap. Namun, ia berusaha mengabaikannya dan fokus pada pekerjaannya di galeri seni, yang kini menjadi tempat di mana ia merasa paling nyaman.Suatu pagi, saat Agatha sedang memeriksa beberapa karya seni baru yang akan dipamerkan, ponselnya bergetar. Ia menatap layar, membaca pesan yang baru masuk. Dari nomor yang tidak dikenalnya."Agatha, kamu baik-baik saja?"Seketika, detak jantungnya meningkat. Ada kegugupan yang tiba-tiba merayap dalam dirinya. Pesan itu terlalu familiar, dan sekaligus asing. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Agatha membalas pesan itu."Siapa ini?" tanya Agatha, mencoba menjaga ketenangannya.Tak lama setelah itu, pesan balasan masuk. "Rohander."Tubuh Agatha membeku. Ia terdiam sejenak, matanya menatap layar ponsel dengan napas yang te
Dua tahun berlalu sejak Agatha terakhir kali meninggalkan dunia yang pernah ia kenal—dunia yang penuh dengan ancaman, kontrol, dan ketakutan. Hidupnya kini jauh berbeda, meskipun tidak sempurna, namun jauh lebih damai daripada yang ia bayangkan sebelumnya. Di luar jendela apartemennya, cahaya pagi menembus perlahan melalui tirai tipis, membawa kehangatan yang menenangkan.Agatha berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terlihat lebih tenang, meski ada jejak kelelahan yang masih tersisa di matanya. Ia merapikan rambutnya dengan cepat, mencoba menutupinya, dan berpikir sejenak. Setiap hari sejak meninggalkan Rohander, ia merasa seolah hidupnya mulai terbentuk kembali, walaupun dengan jalan yang sulit.Ia menghela napas, membuka pintu apartemennya, dan merasakan udara pagi yang segar. Melangkah keluar, Agatha menyapa tetangga yang lewat dengan senyum kecil. Kehidupan barunya di kota kecil ini terasa seperti sebuah pelarian, namun juga sebuah kesempatan untuk meraih kedamaian yang s
Rohander berdiri di tengah ruangannya, tubuhnya terdiam sejenak sebelum meledak dalam kemarahan yang tak terkontrol. Mata merahnya menatap ke arah dokumen-dokumen yang berserakan di meja, namun pikirannya benar-benar terfokus pada satu hal: Agatha.Dia telah menghilang. Dengan bantuan dari para pelayan dan dokter yang dianggapnya sebagai sekutu, Agatha berhasil kabur. Dan Rohander merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Sakitnya bukan hanya karena kehilangan, tapi karena dia merasa dikhianati."Bodoh!" teriak Rohander, menghempaskan kursi ke dinding dengan amarah yang membakar. "Tidak mungkin dia lari begitu saja! Tidak mungkin!"Beberapa anak buahnya yang berdiri di sampingnya langsung mundur, takut melihat amarah yang begitu dalam di mata Rohander. Mereka tahu bahwa pria ini, yang biasa terlihat dingin dan terkontrol, sekarang berada di luar kendali.Salah satu orang yang lebih berani melangkah maju. "Tuan, kami sudah memeriksa segala jalur pelarian yang mungkin. Mereka sudah j
Rohander berdiri terpaku, seolah dunia di sekitarnya berhenti berputar. Setiap kata Agatha, setiap keputusan yang ia ambil, seolah menusuk hatinya lebih dalam. Namun, yang paling membuatnya hancur adalah kenyataan bahwa dia tahu Agatha benar—bahwa dia telah kehilangan semua kepercayaan yang ada.Tak ada lagi yang bisa dia lakukan. Tangan Rohander mengepal erat, wajahnya terdistorsi oleh campuran amarah, rasa sakit, dan penyesalan. Namun, meskipun begitu, dia tetap tidak bergerak. Agatha sudah membuat pilihannya, dan ini adalah akibat dari semua yang telah dia lakukan.Di sisi lain, Agatha yang sedang melangkah menuju pesawat, matanya terfokus ke depan, namun hatinya berdebar kencang. Setiap detik terasa begitu berat, tetapi ia tahu bahwa ia harus melangkah maju, bahwa ia tidak bisa mundur lagi. Keputusan ini, meski sulit, adalah langkah yang tak terelakkan untuk kebebasannya.Saat ia melangkah memasuki pesawat, beberapa perawat dan dokter yang telah mengikutinya ikut naik, dan begitu
Agatha melangkah dengan hati-hati, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk berjalan menuju kebebasan yang begitu dekat namun penuh bahaya. Di balik langkahnya yang penuh keteguhan, ada perasaan bergejolak di dalam dada. Keputusan ini bukan hanya tentang melarikan diri dari Rohander—ini adalah tentang kebebasan, tentang menghentikan siklus yang sudah terlalu lama mengikatnya.Di lorong rumah sakit yang sunyi itu, para perawat yang semula cemas kini bergerak lebih cepat, menyiapkan barang-barang mereka dengan ketegangan yang bisa dirasakan di udara. Mereka tahu betul bahwa jika mereka terlambat atau salah langkah, konsekuensinya bisa sangat fatal. Agatha mempercepat langkahnya, berusaha mengatasi rasa lelah dan pusing yang mulai menguasainya.Sampai di pintu keluar, Agatha berhenti sejenak, menatap ke luar jendela yang menghadap ke parkiran. Di sana, kendaraan telah siap menunggu. Mobil yang akan membawa mereka keluar dari kehidupan yang selama ini mengikat mereka. Saat itu, matanya me
Rohander mendekat perlahan, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Agatha yang tampak gemetar di atas seprai putih itu. Namun, sebelum jemarinya sempat menyentuh kulitnya, Agatha menarik tangannya dengan gerakan tiba-tiba, dan menatapnya tajam, matanya basah oleh air mata.“Jangan sentuh aku, Rohander,” suaranya rendah, bergetar dengan ancaman yang membuatnya terhenti seketika. Tangan Rohander menggantung di udara, lalu ia menariknya kembali, telapak tangannya mengepal dengan frustrasi yang tak bisa ia kendalikan.“Agatha… aku hanya ingin melindungimu,” kata Rohander, suaranya terdengar penuh kepasrahan. Ia memandang Agatha dengan harapan, mencoba membujuknya, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang tampak hampa, tidak lagi meyakinkan. Setiap kata yang ia ucapkan terasa memuakkan, seperti berulang-ulang menggumamkan mantra yang sama, selalu “melindungimu,” “menjagamu,” “demi kebaikanmu.” Agatha mengerutkan kening, bibirnya gemetar menahan amarah dan luka yang begitu dalam. I
Cahaya lembut menembus kelopak mata Agatha, mengusik tidurnya yang gelisah. Perlahan, ia membuka matanya, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya di kamar yang terasa asing. Seketika itu juga, wajah Rohander muncul dalam pandangannya, dingin dan penuh amarah, berdiri tegak di samping tempat tidurnya.“Kau akhirnya bangun juga,” kata Rohander, suaranya tajam, seperti belati yang menusuk tanpa ampun.Agatha masih terlalu lemah untuk merespons dengan lantang, tapi tatapannya tak kalah sengit. Ia mencoba duduk, namun kepalanya masih terasa berat. Rohander tidak menawarkan bantuan, malah menatapnya dengan ekspresi penuh kekecewaan.“Sepertinya tidur panjangmu tidak membuatmu jadi lebih bijak,” lanjutnya. “Apa kau tahu apa yang sudah kau lakukan pada dirimu sendiri, Agatha?”Agatha mengerutkan kening, merasa muak dengan nada suara dingin itu. "Aku tidak perlu ceramah darimu, Rohander," jawabnya pelan namun tajam, menatap lurus ke arahnya. “Lagipula, aku hanya mengambil pil itu karena... kar
Ruangan VVIP rumah sakit itu sunyi, hanya terdengar suara mesin-mesin yang memonitor kondisi Agatha, yang tidur dengan wajah pucat dan lelah di atas ranjang. Di sampingnya, Rohander duduk terdiam, tatapannya terpaku pada wajah Agatha yang terlihat tenang dalam tidurnya, meski seluruh tubuhnya dikelilingi berbagai alat medis. Raut wajahnya, yang biasanya dingin dan penuh kendali, kini dipenuhi kegelisahan dan ketakutan yang dalam.Rohander menggenggam tangan Agatha erat, seakan takut ia akan menghilang begitu saja jika ia melepaskannya. "Agatha..." bisiknya, suaranya parau, nyaris tersendat. "Aku tidak pernah membayangkan ini akan sejauh ini… aku tidak pernah berpikir aku bisa merasa setakut ini. Kehilangan kamu… itu adalah mimpi buruk yang tak ingin aku hadapi."Matanya memerah, dan tanpa bisa ia kendalikan, air mata mulai menetes di pipinya, perlahan-lahan. Tangannya bergetar, tapi tetap mencengkeram tangan Agatha dengan kuat. Selama ini, ia selalu merasa bahwa ia adalah pusat kendal