Flashback On (Menceritakan sebelum kejadian) Bara menghempaskan semua barang yang berada di atas meja kerja. Rasa amarah yang tertahankan membuatnya tidak bisa menahan emosi. Teringat akan ucapan Laila yang lebih membela Asyam ketimbang dirinya. Dan, teringat pula saat Laila menyuruhnya untuk pergi. "Laila... kenapa kau mencampakkan, Mas, hah?!"Prang!Prang!Prang! "Kenapa kau lebih memilih pebinor itu ketimbang aku Laila?! Apa kau tidak mengerti kalau aku ingin meminta maaf padamu dan meluruskan kesalah fahaman ini?" Nafas Bara memburu. Dirinya benar-benar emosi. Masih teringat jelas akan kemarahan Laila padanya. "Tidak! Kau akan tetap menjadi istri dari seorang Bara, Laila ... sampai kapanpun, kamu adalah istriku! Tidak akan kubiarkan seseorang mengambil dirimu dariku ..." Seringaian tipis tercekat jelas dalam bibir itu. Bara terkekeh kecil. "Lihat saja sayang ... lihat apa yang akan aku lakukan padamu ...," ujar Bara yang kembali berkutik dengan beberapa dokumen menyebalkan.
"Mas? Handuknya mana ih?!" teriak Laila yang masih setia di dalam kamar mandi. Dia berteriak agar Bara segera mengambilkan dirinya handuk. "Ambil aja sendiri," ledek Bara menghiraukan teriakan Laila. Bara tertawa, tawa menggelegar karena berhasil mengerjai sang istri. Bagaimana tidak marah? Selepas Bara yang ikut masuk untuk mandi bersama Laila, perempuan itu dengan malu-malu enggan membuka bajunya di hadapan sang suami. Berdiam diri di sudut tembok dengan muka merah. "Ayolah Laila, mas suami kamu juga, kan?" ujar Bara sembari membuka handuk yang melilit di pinggangnya. Dia menoleh kepada Laila yang masih sibuk membelakanginya. "Mana sih istri Mas Bara yang udah gak sabar main iya-iya an, hah? Setelah Mas mau, malah cuek gitu," ujar Bara masih sibuk dengan urusannya. Laila menggeleng. Dia membelakangi Bara karena benar-benar malu. Bukan apa-apa, hanya saja ... sumpah demi apapun! Untuk pertama kalinya Laila se-kamar mandi dengan seorang pria! Walau Laila mencintai Bara karena di
"Cieee yang bulan madu ... witwieeeww!!" Sebuah seruan yang heboh membuat yang lain ikut berseru heboh. "Bulan madunya jangan sampai gagal ya! Harus langsung jadi 5!" Laila melotot saat mendengar penuturan yang Dena lontarkan, mana blak-blakan lagi! "Sayang ... kalau 5 mah terlalu dikit, kalau mau 10 ronde 10 anak!!" Dena yang mendengar suaminya berkata langsung tertawa lepas. Ya. Masih ingat akan Dena? Sahabatnya Laila? Dan jangan lupakan ada Revan, Daniel, dan Bagas. Jay? Dia tidak ada di sini. Katanya masih nyari jodoh yang tak kunjung menampakkan diri. "Halah 10,dua aja kalian gagal mulu!" Suara Bara baru keluar selepas dari dapur. Dia berjalan sembari membawa beberapa camilan dan minuman ke ruang tamu. Di belakangnya Mbok Eka membantu membawakan camilan tersebut. Bara tertawa mengejek pada temannya ini. Yang mana dia sudah menikah dengan Dena satu tahun lalu. Jangan bertanya kapan? Karena Bara pun tidak tahu bagaimana caranya mereka bisa menjadi suami-istri sekarang. Dan un
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya ..." Mata Laila berbinar indah kala menatap pemandangan yang belum pernah ia lihat. Di mana ia dan sang suami sudah berada di Turki. Perjalanan dari Indonesia ke Turki membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Yang mana waktu antara Indonesia-Turki jauh berbeda. Yang mana mereka turun dari Bandara Turki tepat pukul 21.00. Perbedaan waktu yang cukup jauh bukan? Yah, jika di Indonesia mungkin hari ini jam satu pagi, tapi karena ini di Turki membuat jalanan kota ini masih nampak sangat ramai. Tidak hanya ramai, tapi ramai sekali. Bara tersenyum, raut kebinaran dari matanya pun tidak bisa terelakkan. Dia begitu takjub melihat negara yang baru kali ini ia lihat. "Biar Mas yang bawakan barangnya," ucap Bara sembari mengambil alih koper yang Laila pegang. "Gpp, Mas. Biar Laila aja.""Udah, kamu lebih baik diam aja. Bias Mas! "Baiklah."Bara mengambil barang-barang bawaan. Melihat sebuah taksi membuat keduanya langsung masuk dan melaju ke Hotel Aydinli. Katanya,
Laila menghela nafas pelan. Dia duduk di tepi ranjang dengan jantung yang deg-deg an. Bagaimana tidak deg-degan, selepas makan Bara berlalu pergi tanpa mengatakan apapun. Entah ke mana, yang pasti Bara pergi setelah makan itu selesai.Dan sekarang Laila harus menunggu sang suami pulang. Apalagi teringat akan Bara yang sudah menginginkan dirinya malam ini. Hal yang jelas membuat Laila deg-degan. Berpikir bahwa haruskah malam ini keduanya melakukan hubungan suami-istri? Apakah malam ini keduanya akan memadu kasih? Tiba-tiba pipi Laila memanas. Memikirkannya saja sudah membuatnya panas-dingin. Tapi, jikapun tidak ... bukankah selama ini inilah yang ia harapkan? Memadu kasih hingga terciptanya sang buah hati? Bukankah ini yang Laila harapkan setelah bertahun-tahun lamanya? Masa dirinya masih belum siap? Tidak! Laila menggeleng. Malam ini harus menjadi malam paling indah untuk keduanya. Terutama untuk Bara, suaminya! Laila beranjak berdiri. Beringusut menuju lemari yang sebelumnya dia
"Eugh ..." Laila melenguh dalam tidurnya. Matanya merem-melek dengan gerakan pelan. Hingga, kala mata itu terbuka sebuah senyuman terbit di bibir Laila. Wajah suaminya. Ya, di depannya Bara masih tertidur pulas dengan dengkuran yang amat halus. Refleks Laila semakin memeluk Bara dari depan. Mengingat kejadian malam itu membuat Laila merasa lega. Sangat. Walau terasa sakit tapi, dia juga menikmatinya. Pelan, Bara ikut membuka mata. Menarik Laila agar lebih dekat dengannya. Dikecupnya kening Laila dengan begitu lembut. Yang kemudian mengusap lembut rambut sang istri. "Terima kasih ya sayang?" ucap Bara dengan terus menerus mencium kening Laila. Tubuh yang masih polos itu saling melekat hangat. Laila tersenyum. "Makasih juga Mas. Akhirnya, akhirnya Mas Bara nebang Laila," ucapnya parau. Namun, dengan tiba-tiba Bara menarik Laila yang malah sudah menangis. "Hey? Sayang, kenapa nangis?" Dengan sigap Bara menghapus air mata Laila yang jatuh menetes. "Udah, jangan nangis. Harusnya kita
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tidak terasa, usia kandungan Laila sudah naik 8 bulan. Pemeriksaan rutin mingguan sering dilakukan, demi sang bayi yang ingin sehat, apapun akan Bara dan Laila lakukan."Assalamu'alaikum?" Bara baru masuk ke dalam. Laila yang tengah makan buah apel di atas karpet langsung menjawab panggilan sang suami. "Wa'alaikumussalam," jawabnya. Bara tersenyum kala melihat sang istri tengah lesehan di atas karpet. Dengan segera dia ikut lesehan di atas karpet dengan menjatuhkan kepalanya di atas kaki Laila yang diselonjorkan. Sebelum itu Laila mencium punggung tangan Bara yang habis pulang kerja. "Enggak biasanya pulang siang, Mas?" tanya Laila masih sibuk mengupas apel. Sedang Bara sudah mencium perut Laila yang sudah membesar itu."Mas rindu kamu, emang enggak boleh?"Laila terkekeh, "boleh dong sayang, apa sih yang enggak boleh buat kamu? Kamu ngidam aneh aja Laila lakuin!" sindirnya dengan sehalus mungkin. Namun, sang empu malah tertawa mendeng
Makin besar perut Laila makin besar pula harapan yang selalu Laila nantikan. Ya, akan kelahiran bayi ini yang mungkin sebulan lagi. Kini Laila tengah duduk bersantai di depan TV. Semakin hari dirinya hanya berdiam diri di tempat. Jik tidak paling hanya membereskan rumah dengan menyapu lantai, membantu Mbok Eka. Tidak banyak, namun cukup membuat keringat Laila bercucuran. Kata Uminya hal seperti ini baik untuk Ibu hamil. Karena dengan begitu akan memperlancar dalam melahirkan. Dan tentu, setiap pagi Laila selalu jalan pagi bersama Bara. Hal itu pun katanya memudahkan dalam lahiran.Rumah kini sepi. Bara yang tengah bekerja, Mbok Eka yang pergi berbelanja, dan Pak Imron yang katanya istrinya tengah sakit. Menjadikan dia harus pulang untuk menjenguk. "Ya Allah bosan ..," keluh Laila. Menjadi Ibu hamil terasa serba salah. Duduk begini pegal, duduk begitu sakit, mau duduk seperti apapun rasanya benar-benar tidak nyaman. Derrrtt DerrtttSuara dering ponsel terdengar membuat atensi Laila