Aku menghela napas, tak biasanya Hana bersikap seperti ini. Perempuan memang sulit dimengerti, tak terkecuali dengan Hana. Tak mau pusing aku dibuatnya, lebih baik tidur. Dua malam berturut - turut bertempur dengan Raya, cukup lelah juga. Kurang tidur, kurang istirahat. Aku merebahkan tubuh lelahku. Rasa kantuk sudah mendera, dalam sekejap jiwa ini terdekap lelap • Membuka sedikit kelopak mata, cahaya cukup terang menerobos lewat jendela. Tidak aku dapati Hana, saat aku bangun. Tidak seperti biasanya juga dia membangunkan aku sholat subuh. Ada apa dengan Hana, aneh sekali. Aku beringsut turun dari ranjang. Berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelahnya aku keluar kamar, menuju dapur untuk mengambil kopiku. Sesampainya di dapur nampak Hana yang sedang menghadap ke arah kompor, membelakangiku. Kopi tersedia seperti biasa, Hana sudah membuatnya. Mendengar aku datang, Hana menoleh. Ibu dari anak - anakku itu membalikkan badannya. "Hana sudah buatkan
Aku mendorong pintu kamar tamu, hingga terbuka lebar. Hana benar - benar sudah mempersiapkan kamarnya, seperti permintaanku. "Ini kamarmu sekarang," ucapku. Raya masih berdiri di ambang pintu. "Kalau kamar, Mas?" tanyanya kemudian. Aku meletakkan koper Raya di samping ranjang, dan berjalan mendekatinya. "Itu," tunjukku pada kamar yang aku tempati dengan Hana. Raya mengangguk. "Pasti lebih besar. Nggak papa, nasib jadi yang kedua." Raya menghela napas, lalu beranjak masuk ke kamar barunya. Mata Raya mengedar, langkah kaki membawanya ke arah jendela. Raya membuka jendela yang menghadap langsung ke taman kecil, yang berisi koleksi bunga milik Hana. "Suka berkebun juga istri Mas?" Raya mengamati bunga - bunga luar kamarnya. "Hana suka dengan bunga, suka memasak juga, masakannya enak." Raya langsung mendelik melihatku, apa ada yang salah? "Puji aja terus …. " Bibir sensual istri keduaku itu manyun, terlihat begitu seksi. Aku mendorong pintu dengan
Bahkan, aku lihat Hana makan, makanan yang sama persis dengan Raya. Dan, Hana terlihat baik - baik saja. Tuduhan Raya tak memiliki dasar. Bisa saja dia salah makan tadi siang sebelum berangkat kesini. "Gimana?" tanya Hana yang baru datang dengan segelas air putih dan sebuah bungkusan kecil "Masih di kamar mandi." Aku menjawab. "Ini obatnya?" tanyaku pada Hana sambil menunjuk bungkusan di tangannya. "Iya, tapi …." Hana tak meneruskan kalimatnya. "Tapi, kenapa?" Aku mengernyitkan dahi. "Ada efek sampingnya. Untuk sebagian orang bisa bikin gatel - gatel. Bentol seluruh badan. Tapi, nggak semua orang." Hana menjelaskan. Hana baru selesai menjelaskan, ketika Raya keluar. Wajahnya terlihat pucat. "Ini obatnya?" Raya langsung mengambil gelas dan bungkusan kecil ditangan Hana. "Tapi, Mbak itu ada efek sampi …." Hana belum selesai bicara Raya sudah menegaknya. Hana hanya terdiam melihat Raya, bahunya sedikit terangkat. Dia kemudian mengambil kemba
"Hana mau siapin, Abang Al dulu," ucap Hana kemudian. Aku hanya mengangguk dan membiarkannya berlalu. Anakku yang paling besar sudah TK kecil dan Luna juga sudah ikut Play Group. Aku bergegas ke kamar Raya, dia pasti marah padaku, karena aku membela Hana barusan. Tapi, tidak mungkin juga aku bisa membela Raya di depan Hana. Yang ada hanya akan menambah masalah saja."Raya," panggilku sesampainya kembali di kamar istri keduaku itu. "Mas jahat," tangisnya di sela tangannya yang terus menggaruk tubuhnya. "Sayang, jangan membuat Hana curiga." Alasanku. "Kita ke dokter," ucapku kemudian. "Nggak mau." Raya bersikukuh menolak. "Lihat dirimu, itu terlihat parah." Bekas garukannya semakin memerah, bahkan karena terlalu kencangnya dia menggaruk terlihat lecet. "Mas belikan saja, obat alergi di apotik," pinta Raya, lalu menyebutkan sebuah merk obat. Raya mengaku alergi dingin, badannya akan bentol - bentol kalau udara dingin. Karena itu mungkin reaksi obat sa
Makanan sebanyak ini bagaimana Raya tak bisa melihatnya. Dan, aku cukup mengenal Hana. Semarah apapun dia, Hana tak akan tega membuat tamunya kelaparan."Mas, perutku sakit lagi. Tapi hanya mulas, sakit sekali." Raya muncul di belakangku. Aku menoleh ke arahnya, bibirnya nya masih bengkak, juga wajahnya. Kulit mulusnya terlihat lecet, sangat memprihatinkan. "Mungkin karena belum makan." Aku menjawab keluhannya."Istri Mas itu, yang mau bunuh aku pelan - pelan. Nggak kasih aku makan, ditinggal pergi gitu aja." Raya terlihat masih emosi, padahal tampak lemas sekali."Kamu nggak salah lihat? Hana sudah menyiapkan banyak makanan." Aku menunjuk meja makan, Raya berjalan mendekat dan dia menggeleng."Kok, bisa. Beneran Mas, tadi nggak ada apa - apa, sampai - sampai aku hanya minum air. Kulkas juga kosong nggak ada makanan." Raya bertahan dengan perkataannya.Oke, aku mencoba percaya, lalu berjalan ke kulkas. Aku buka lebar - lebar, ada buah, susu, bahkan ada puding
Kejadian semalam masih saja mengganggu pikiranku sampai sekarang, selain malu ada rasa bingung. Tak pernah aku mengalami seperti kejadian tadi malam sebelumnya. Dan itu rasanya sakit di kepala atas bawah. Kepalaku berdenyut nyeri, di tambah kemarahan Raya yang semalam aku abaikan. Kepalaku rasanya semakin sakit sekali. Belum lagi laporan yang silih berganti diminta oleh manajer area yang baru. Kenapa semua harus barengan seperti ini.Sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Arga, kepala bagian personalia muncul dari balik pintu."Siang, Pak." Arga mengucapkan salam."Siang, ada apa?" tanyaku sambil memijat kedua pelipis."Yang acara besok, berapa orang anggota keluarga Bapak, yang akan ikut?" tanya Arya, aku menyipitkan mata. Aku sampai lupa, besok ada acara family gathering yang akan diadakan di Pesona Resorts.Aku terdiam, semua mengajak anggota keluarganya. Karena memang acara ini dikhususkan untuk karyawan dan keluarganya. Tak mungkin aku mengajak Raya,
Aku tak ingin lebih lama melihat Hana bersama pria yang akhir - akhir ini membuatku repot dengan meminta banyak laporan itu. Segera aku berdiri dan menghampiri keduanya."Sayang," panggilku pada Hana. Tak perduli dia sedang bicara dengan siapa"Hai, Mas." Hana menoleh ke arahku dengan senyum terkembang."Oh, jadi Andrian suami kamu." Pria itu menyebut namaku."Pagi, Pak Bima. Maaf Arga tidak memberitahu kalau ada manajer area yang akan datang." Aku mengulurkan tangan, harus tetap bersikap manis meski aku tak suka."Memang nggak direncanakan, kebetulan pas aku ada acara di sini saja." Pria itu menyambut uluran tanganku."Saling kenal?" tanyaku kemudian."Hana adik kelas waktu SMA." Pria itu langsung menyahut."Mas tahu? Mas Bima Ini idolanya anak cewek pas SMA, kapten basket." Hana menepuk lengan pria itu, lantas keduanya tertawa bersama. Apanya yang lucu?"Nggak semua …." Bima menimpali ucapan Hana, pria itu melirik Hana. Aku tidak suka caranya menatap
"Hai, ini jagoan sama princess-nya? Siapa namanya?" Bima tersenyum menyapa kedua anakku, yang menyambut senyumnya."Iya, ini Abang Al, ini namanya dedek Luna." Hana memperkenalkan dua anak kami. "Salim dulu, sama Om Bima!"Al dan Luna turun dari kursi dan mendekat, kemudian salim pada Bima. Tampak bergantian Bima mengusap kepala kedua anakku. Fokusku pindah pada Hana yang sedari tadi mengulas senyumnya. "Abang mau makan apa? Luna juga apa? Bunda ambilkan." Tanpa sadar sambutan di depan telah selesai. Semua telah dipersilahkan mengambil makanan yang telah disediakan pihak resorts."Terserah Bunda," ucap Al."Sama." Luna ikut menimpali. "Tunggu di sini ya?!" Hana beranjak dari tempat duduknya. Dia tak bicara padaku sama sekali.Bima melihat ke arah Raya. Raya juga melihat ke arah pria itu, Raya menyungging senyumnya. Tangannya terulur, mau apa dia."Saya Raya." Raya memperkenalkan dirinya. "Oh, Bima." Bima menjawab sambil menerima uluran tangan Raya.
Pantai …Perjalan yang lumayan melelahkan terbayar dengan pemandangan pantai yang menakjubkan. Sebuah hotel yang langsung menghadap ke pantai Mas Bima pilihkan. Satu kamar deluxe dan satu vila sudah di pesan. Setelah menaruh barang bawaan semua langsung berlarian menuju ke pantai.Ini pengalaman baru untuk anak-anak pergi ke pantai. Dulu hanya mengisi liburan di dekat rumah saja. Tak ada cerita spesial di masa lalu tentang pantai. Sepertinya hari ini akan menjadi cerita spesial di waktu mendatang. Wajah-wajah ceria bersanding dengan birunya hamparan air laut. Kaki kecil mereka menapak tanpa alas di atas pasir. Ombak yang cukup tenang membuat anak-anak mulai berlarian menujunya tanpa rasa takut."Mama disini aja," ucap Mama memilih duduk di sebuah bangku yang menjadi bagian dari fasilitas hotel."Bima pesankan minum ya, Ma." Mas Bima yang masih berdiri di sampingku menawari mama minuman."Hana juga mau … es kelapa muda." Aku ikut menambahkan."Mama air dingin saja, jangan dingin-ding
"Tadi ketemu Raya di Swalayan depan, sepertinya dia bekerja disana," ceritaku pada Yola saat dia mengantar Kyla."Terus?""Ya … dia ketus gitu, masih bahas rumah. Terus nuduh aku sama Mas Bima selingkuh, sama bilang gara-gara aku sama Mas Bima Mas Andrian dipecat dari pekerjaannya.""Andrian dipecat?" tanya Yola."Kata Mas Bima enggak, cuma downgrade dan ditempatkan di Kalimantan," jelasku pada Yola."Kok Raya bilang dipecat?" tanya Yola bingung. Aku hanya mengangkat bahu kemudian menggeleng."Raya kerja di swalayan?" tanya Yola lagi."Iya." Aku mengangguk mengiyakan.Sesaat Yola terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. Bagaimana juga mereka adalah bagian dari masa laluku. Hal tentang mereka terkadang masih mengundang rasa ingin tahuku juga."Apa … itu hanya alasan Andrian aja, bilang dipecat, biar bisa jauh dari Raya. Kalau dah nggak ada kerjaan kan nggak ada duit, maleslah si Raya itu mungkin. Perkiraan aku aja sih," ucap Yola kemudian."Masak gitu? Tapi, bisa juga sih … entahlah.
Selesai sarapan aku mempersiapkan semua keperluan untuk anak-anak dan juga diriku serta Mas Bima. Meski hanya tiga hari, bawaan kami sudah seperti orang yang akan pindahan saja. Maklum kami memang membawa pasukan bocil. Bahkan mereka membawa serta juga sekontainer kecil mainan."Mas … Hana mau swalayan depan, ada yang perlu Hana beli." Aku menghampiri Mas Bima yang sedang memasukkan barang-barang ke dalam mobil."Mas antar," ucap Mas Bima kemudian."Enggak usah … kan deket.""Aku ada juga yang mau dibeli," balas Mas Bima kemudian. Entah alasan atau memang ada keperluan aku tak tau. Lagian bukan hal yang perlu dipikirkan. Apapun itu intinya Mas Bima ingin pergi bersamaku. Aku langsung masuk ke dalam mobil begitu juga Mas Bima. Sebuah swalayan yang ada di dekat jalan masuk perumahan menjadi tujuan kami.Toko swalayan ini memang tidak terlalu besar. Tapi, cukup lengkap dan juga tidak jauh dari rumah. Keadaan tidak terlalu ramai saat aku dan Mas Bima masuk. Seorang karyawan yang duduk di
"Sayang … bangun."Ciuman bertubi-tubi aku rasakan meski belum sepenuhnya sadar. Pelan aku paksakan untuk membuka mata yang serasa dilem ini. Tampak Mas Bima yang tepat berada di atas wajahku sedang tersenyum. Ketika kesadaran hampir hilang kembali karena kantuk yang teramat berat, sebuah tarikan menyasar ke hidungku."Sayang … bangun, sudah adzan subuh." Aku kembali memaksa untuk membuka mata. Perasaaan baru saja aku tertidur, tau-tau sudah pagi. Iyah benar saja, seingatku aku tidur hampir jam tiga pagi. Harusnya aku yang bangun duluan tapi, justru Mas Bima yang terlebih dulu bangun. Bahkan dia terlihat sudah segar dan aroma wangi sabun menguar dari tubuhnya.Meski mengantuk aku memaksakan diri untuk bangun. Mas Bima menarik tanganku, sesaat aku masih terduduk di atas ranjang. Melebarkan mataku dan menunggu kesadaranku penuh."Mau digendong pa sekalian dimandiin?" Mas Bima mengangkat alis dengan senyum lebar di bibirnya. Aku hanya nyengir dan bergerak turun dari ranjang kemudian be
Baru saja dipikirkan sudah menjadi kenyataan, aku dan Mas Bima saling pandang dan kemudian sama-sama tertawa mendengar teriakan para bocil itu. Anak-anak benar-benar datang dan mengetuk pintu kamar."Dah … yuk, paling sudah ditungguin sama yang lain," ucapku kemudian."Iya." Mas Bima mengiyakan, tapi, dia malah memajukan kembali wajahnya dan menaut kembali bibirku."Mas, ada anak-anak." Aku mendorong tubuh Mas Bima pelan. "Iya," balas Mas Bima dengan tatapan sendu. Wajah Mas Bima mendekat, memangkas kembali jarak yang ada. Membungkam lembut saat aku hendak bicara. Aku kembali mendorong dada bidang pria yang tadi pagi sudah sah menjadi suamiku itu. Hanya saja sama sekali tak ada pergerakan. Diluar anak-anak masih terus gaduh memanggilku dan Mas Bima."I love you," ucap Mas Bima setelah melepaskan tautannya. Kening kami beradu, pelan Mas Bima menggesekkan hidung mancungnya di hidungku. Dadaku bergetar, wajahku menghangat, rasanya … entahlah susah untuk aku gambarkan. Sebuah kecupan
Sungguh hari yang benar-benar melelahkan untuk jiwa dan raga. Aku dan Mas Bima yang mengurus segalanya. Keluarga Rima tinggal diluar kota, satu kota denganku dan Mas Bima. Dan ternyata mereka berdua tidak mengatakan kejadian ini pada keluarganya yang lain. Pantas saja mereka hanya berdua menunggui bayi itu.Suami Rima juga tidak terlihat sama sekali. Padahal memurut Ibu Rima dia sudah memberi tahu pada menantunya. Tapi, pria itu tidak menampakkan batang hidungnya. Berdasarkan keputusan keluarga. Bayi itu tidak dimakamkan disini, melainkan dibawa pulang ke kota Ibunya.Sekarang masih menunggu Ambulance yang tengah dipersiapkan oleh pihak rumah sakit untuk membawa pulang jenazah. Sedari tadi Mas Bima tak melepas genggamannya padaku. Aku tau itu hanya cara Mas Bima agar Rima tak mendekat padanya. Aku sampai mengabaikan keluarga di rumah. Padahal hari ini hari pernikahan kami, dan waktunya berkumpul dengan keluarga merayakan pernikahan ini. Baru menjelang magrib semuanya selesai. ••
"Ada Bu Rima datang." Bi Nur muncul di belakang anak-anak yang masih bergerombol."Bi, anak-anak bawa ke kamar atas saja," ucap Mas Bima. "Bim … " Ibu muncul dari belakang Bi Nur yang baru saja akan beranjak."Iya, Bu."Ibu sesaat terdiam sambil melihat anak-anak yang pergi bersama dengan Bi Nur. Setelah anak-anak menaiki tangga Ibu baru mendekat ke Mas Bima."Anak Rima harus operasi secepatnya, atau nyawanya tidak akan tertolong." Ibu bercerita dengan suara pelan. Mas Bima masih terdiam, tidak menjawab apapun."Mereka membutuhkan uang untuk operasi segera. Mereka berniat meminjam pada kita," cerita Ibu lagi.Aku hanya menyimak apa yang Ibu ceritakan, tentang kondisi Rima sekarang. Melihat Ibu yang masih begitu memikirkan Rima dan keluarganya, aku merasa hubungan keluarga ini bukan sekedar teman."Keluarga kita punya hutang budi pada keluarga mereka. Tapi, bukan hanya karena itu, Ibu kasihan melihat mereka. Kasihan pada bayi itu, ibu tidak tega." Kembali Ibu berbicara.Mas Bima melih
"Oh, mau sama Papa ya. Em … nanti kalau Papa Luna sudah nggak sibuk, pasti diajak jalan-jalan. Sekarang sama Papa Bima dulu ya?! Besok Papa Bima ajak semuanya ke pantai gimana?" Mas Bima merayu Luna yang masih manyun."Main pasir?" tanya Luna kemudian."Iyah … main pasir, Luna suka?" tanya Mas Bima kemudian."Suka …." Gadis kecilku itu tersenyum lebar, "Sama Abang Al, sama Abang El, sama Kak Kyla juga ya," ucapnya lagi."Boleh … papa Bima ajak semuanya. Tapi, Luna janji nggak boleh sedih-sedih. Harus senyum yang manis, mana papa Bima lihat senyumnya." Mendengar permintaan Mas Bima Luna tersenyum manis dan memeluk Papa Bimanya.Aku menggigit bibir melihat ketulusan dan kasih sayang yang Mas Bima berikan. "Cium dulu," ucap Mas Bima kemudian."Eh … keliru," Aku kaget saat sebuah kecupan mendarat di pipiku. Luna malah tertawa melihatnya."Hem … dasar modus, ntar dilihat yang lain," ucapku pelan. Untung semua terlihat sibuk sendiri-sendiri."Biarin … kan dah boleh. Ibadah …." Aku hanya nye
"Tanpa diminta pasti Hana lakukan." Aku menjawab pelan setelah mulai bisa mengatur hatiku."Mereka tanggung jawabku sekarang. Biarkan aku yang mengurus mereka." Mas Bima ikut menimpali."Aku percaya kamu bisa melakukannya. Tapi, hanya hal itu yang sekarang bisa aku lakukan. Biarkan aku melakukan tugas dan kewajibanku sebagai seorang ayah," pinta Mas Andrian kemudian."Tolong jaga mereka, bahagiakan mereka." Mas Andrian mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Mas Bima. "Mereka akan bahagia bersamaku, tak perlu kwatir." Mas Bima kembali meyakinkan Mas Andrian."Mas selalu berdoa untukmu dan anak-anak," ucap Mas Andrian yang berjalan mendekat dan berdiri tepat di depanku."Jangan menangis, ini hari bahagiamu. Tak seharusnya aku datang, tapi, aku harus pergi sebentar lagi. Aku harus berpamitan pada kalian bukan." Mas Andrian memintaku tak menangis tapi, dia sendiri menangis. Begitu tak terduga segala hal yang menjadi takdir hidup setiap manusia. Sepasang anak manusia ini dulu