"Hei, Narator," O memanggil suara dalam kepalanya dengan sebutan Narator. Bukan panggilan yang tepat, tapi ia tidak peduli. "Aku ada di mana sekarang?"
""Anda berada di Kota Magna."" Suara jantan dan macho itu tampak tidak keberatan dipanggil Narator. ""Anda serkarang berada di dalam katakomba (kuburan bawah tanah) di bawah kota.""
"Hoo, kuburan, ya." O mengelus jenggotnya yang sudah tak ada lagi, "Jadi aku terlahir kembali sebagai sebuah kerangka hidup di kuburan bawah kota."
O tidak protes meskipun terlahir kembali di dalam kubur. Ia sudah benar-benar menerima nasibnya. Sebaliknya ia justru menunjukkan ketertarikan. Ia sering mendengar tentang katakomba di negara PR dan negara IT yang justru menjadi tujuan wisata di dunia asalnya. Selama ini O hanya bisa mengalami katakomba lewat media internet. Ia pernah bermimpi suatu saat bisa mengunjungi katakomba itu sebagai turis. Sayangnya, gaji sebagai guru swasta yang bahkan tidak memungkinkan dirinya untuk berlibur ke seberang pulau di negaranya sendiri menjauhkannya dari mimpi itu. Hei, akan tetapi lihatlah sekarang. Ia berada di dalam sebuah katakomba yang asli, bukan tur virtual apalagi sekedar gambar-gambar yang ditemukannya dengan mesin pencari.
O tak sabar untuk melihat-lihat bagian lain dari katakomba itu. Akan tetapi, sebelum itu ia harus mempersiapkan segala sesuatunya dulu. Keberhasilan dalam permainan RPG selalu ditentukan dari persiapanmya, bukan? Apalagi, O merasa bahwa tak akan ada kehidupan ketiga jika ia mati di luar sana.
"Narator, tunjukkan statusku!"
""Baik, Tuan."" Beberapa detik kemudian, sebuah layar muncul dalam bidang pandang O.
Nama : O
Tingkat asimilasi : 0,1%Ras : makhluk kegelapanSpesies : Lich (tidak sempurna)Status : Lich (pemula)~Afinitas:
Netral ???Api ???Air ???Udara ???Tanah ???Kegelapan ???Cahaya ???~Scriptum: ???
~Kemampuan:
Terkunci
(Lihat daftar kemampuan)"Eeeh! Kenapa aku sudah jadi Lich?" O yang sedari tadi menahan diri untuk tidak reaktif, kini kembali protes atas nasibnya. "Padahal aku ingin jadi Death Knight, Ksatria Maut!"
Dalam permainan dan kisah-kisah yang pernah dialaminya, Lich adalah sejenis monster mayat hidup yang menguasai berbagai macam sihir, sementara Death Knight adalah monster mayat hidup yang punya keterampilan bertempur dengan kekuatan fisik yang unggul. O jauh lebih menyukai karakter-karakter petarung. Baginya, mengayunkan pedang dan menembakkan anak panah jauh lebih keren daripada merapal mantra panjang yang kedengaran menggelikan dan menghasilkan efek visual yang menyakiti mata.
""Lich punya keuntungan yang lebih besar, Tuan,"" Nada Narator terdengar seperti menyanggah pikiran O. ""Lich tidak akan mati meskipun tubuhnya hancur. Selama kristal intinya masih utuh, Lich akan hidup selamanya.""
Mendengar penjelasan itu, perhatian O kemudian teralih pada rongga dadanya. Di antara tulang dada dan rusuknya, sebuah kristal bening dengan bentuk tak beraturan melayang-layang di tengah-tengah. Ukurannya sangat kecil--hanya seukuran ibu jari. Ukurannya tidak sesuai seperti yang selama ini O lihat di film-film atau game. Barangkali itulah yang membuat spesiesnya punya embel-embel 'tidak sempurna'.
"Hoo, not bad..." Meski berkata begitu, O sebenarnya masih kecewa. Ia masih ingin menjadi Death Knight, terutama yang mengayunkan pedang besar sambil menunggang kuda yang juga berwujud kerangka.
"Oh, tidak ada sistem HP (health point) atau MP (magic point). Tidak ada poin statistik untuk menentukan tingkat kekuatan juga. Artinya kematianku ditentukan oleh tingkat kerusakan fisik dari kristal inti, sementara tingkat kekuatanku ditentukan secara kualitatif."
O memahami sistemnya dengan cepat. Tentu saja, profesinya sebagia seorang guru tidak mengikis pengalamannya menjadi seorang gamer. Di eaktu-waktu tertentu, O bahkan menyempatkan diri untuk bermain video game. Banyak orang mengira bermain video game adalah hal yang membuang waktu, padahal dengan bermain video game, seseorang bisa melatih daya kritis, strategi dan kemampuan pengambilan keputusan.
"Tunjukkan daftar kemampuan!"
""Baik, Tuan.""
Sebuah tampilan layar yang baru muncul. Dalam tampilan itu daftar kemampuan dalam warna abu-abu mengular sampai ke bawah.
~Daftar Kemampuan Sihir~
Sihir Ofensif
Sihir DefensifSihir SuporitfSihir Pemanggil(Lihat daftar sihir)Seperti yang sudah bisa diduga, seorang Lich memiliki banyak jenis sihir. Akan tetapi, O sama sekali tidak tertarik pada kemampuan sihir. Perhatiannya justru tersedot ke daftar kemampuan di halaman berikutnya.
~Daftar Seni Perang~
Seni Senjata
(Lihat daftar seni senjata)Teknik Bertarung
(Lihat daftar teknik)“Lihat daftar Seni Senjata!”
~Daftar Seni Senjata~
Tongkat (terkunci)Gada (terkunci)Perisai (terkunci)“….” O kehabisan kata-kata. Ia berharap akan menemukan teknik pedang di daftar itu. Ia membayangkan dirinya seperti kelas ksatria di game-game RPG yang bisa menciptakan sayatan udara dari ayunan pedangnya. “Ah, ya ampun. Cuma tiga jenis senjata. Senjata tumpul semua pula.”
Di lubuk hatinya, O masih berandai-andai menjadi Death Knight. Mungkin jurus-jurus lain bisa didapatkan nanti, pikir O. Ia sedang berusaha menghibur dirinya sendiri. Harapan O tergambar dari gestur telapak tangan yang mengepal, menciptakan bunyi-bunyi retak yang membuat ngilu.
“”Sihir punya kelebihan, Tuan. Seni Senjata membutuhkan aura, energi khusus yang hanya bisa dimiliki orang-orang dengan bakat tertentu. Sementara sihir bisa digunakan di mana saja selama ada mana, energi yang berada di mana saja di muka bumi Valandria ini.”" Narator meyakinkan O seakan-akan ia tahu apa yang sedang dipikirkan O.
“Meh.” O mengabaikan kata-kata Narator. Ia kemudian menyebarkan pandangannya sekali lagi ke sekeliling ruangan. Meskipun ada informasi yang belum ia buka, O tidak lagi tertarik dengan daftar kemampuan yang ia duga akan terus mengecewakannya. Hal berikutnya yang ia lakukan adalah mencari benda-benda yang bisa mendukungnya. Sebuah senjata misalnya, tentunya akan sangat membantu petualangannya.
“Kosong,” kata O setelah ia selesai mengedarkan pandangan. “Pasti mayat ini dulu orang susah dan miskin, ha ha ha!”
“”Um…””
“Eh, kau mengatakan sesuatu, Narator?”
“”Tidak, Tuan.””
“Baiklah.” Karena tak menemukan apapun selain lilin-lilin yang bergeming di sudut ruang, perhatian O kembali kepada peti matinya. Semiskin apapun, pasti ada sedikit harta benda yang dibawa mati, bukan? Meskipun hanya selembar baju kematian misalnya.
“Oho! Lihat apa yang kita temukan.” O menemukan sebuah tongkat kayu panjang. Bentuknya mirip seperti tongkat baseball tapi panjangnya melebihi tinggi tubuh O. “Apa ini? Pentungan panjang?”
“”Anda bisa memeriksanya dengan Sihir Identifikasi.””
O berpura-pura tidak mendengar Narator. Ia tidak tertarik soal sihir. Alih-alih menggunakan Sihir Identifikasi, O justru mengayunkan tongkat itu ke udara beberapa kali, lalu ke penutup peti mati.
BUKK! BUKK!! BUKKK!!!
“Hiyaa! Jurus Tongkat Pemukul Anjing!” O berteriak-teriak sambil membayangkan film-film pendekar favoritnya.
“”…””
“Baiklah. Sepertinya pentungan ini cukup," kata O sambil mengambil langkah menuju pintu kayu yang masih tertutup. Pintu itu tidak terkunci, tapi sebuah mekanisme knop memungkinkan agar pintu itu tidak akan terbuka dengan sendirinya.
KLIK
O memutar knop itu dan membuka pintu ruangan. Ia berharap dapat segera menemukan jalur keluar ke permukaan. Ia membayangkan sebuah tangga menuju permukaan kuburan; menuju suasana yang tidak sempit dan temaram. Dan tentunya, O menantikan petualangannya menjelajahi tempat-tempat menakjubkan seperti dalam cerita-cerita fantasi yang pernah dibaca atau ditontonnya. Akan tetapi, saat pintu terbuka lebar, hanya sebuah lorong temaram yang menyambut O. Di ujung lorong itu, seonggok siluet hitam bergerak-gerak di lantai…
Siluet itu tiba-tiba saja berdiri tegap, dan segera berlari ke arah O!
~Bersambung~
Bayangkan kalian sedang tertidur pulas di kamar kalian yang nyaman dan tertutup. Saat itu sudah larut malam dan cahaya satu-satunya adalah lampu tidur kalian yang berpendar, menambah kenyamanan tidur kalian. Lalu, kalian terbangun karena suara seseorang terdengar dari ruangan lain. Kalian penasaran dan dengan berhati-hati membuka pintu kamar; mengintip lewat celah pintu dengan harapan sumber suara itu adalah kekasih kalian. Namun saat pintu sudah terbuka setengahnya, kalian baru teringat bahwa kalian sudah menjomblo selama bertahun-tahun dan kalian tinggal sendirian di rumah itu. Lalu pemilik suara itu menyadari kalian yang mengintip dari kamar tidur dan menyergap kalian...Apakah kalian akan ketakutan? Tentu saja, atau setidaknya kalian akan kaget bukan kepalang. Begitulah yang dirasakan O saat siluet di ujung lorong itu berlari ke arahnya dengan suara yang jelas-jelas bukan berasal dari manusia atau hewan."Aaaaah!" O berteriak sekencang-kencangnya saat siluet itu berjarak dua langk
O menghentikan semua pergerakannya dan berpura-pura mati (meskipun secara teknis ia sudah mati). Mayat hidup merayap ini pasti bergerak kemari karena suara-suara berisik dari pergumulannya beberapa waktu lalu.O berusaha menemukan jalan keluar dalam keadaan dan waktu yang sempit. Lawan mengepungnya dari depan dan belakang. Sementara senjatanya masih jauh dan lagi, O tidak tahu pasti apa yang dapat ia lakukan dengan senjata itu dengan keadaan tubuh terpisah seperti itu.""Peringatan bahaya! Betis kiri Anda telah patah. Tingkat kerusakan semakin tinggi. Perhitungan tingkat asimilasi yang digunakan untuk mengembalikan kondisi: 0,03%."" O tidak punya waktu lagi. Bertindak sekarang atau mati sia-sia. Jika ia melawan dan tetap mati, setidaknya ia sudah mencoba, bukan?O mengumpulkan semua informasi yang ia dapatkan sejauh ini. Pertama, mayat-mayat hidup ini mengincarnya, akan tetapi tidak bisa membedakan bagian yang vital. Hal ini terbukit ketika mayat hidup yang pertama kali O jumpai tida
GrAh! GRrggh!Suara-suara merintih merambat dari balik kegelapan di ujung lorong. Di balik kegelapan itu, masih ada ruangan atau apapun itu yang pastinya menampung mayat-mayat hidup yang lain. Bunyi-bunyi berisik beberapa waktu lalu pasti mengusik mayat-mayat hidup itu dan memancing mereka ke sini. O beruntung karena tidak ada mayat hidup yang berlari dan tempatnya sekarang berdiri sangat gelap karena tidak terjangkau cahaya pelita.“Sebaiknya kita mundur. Susun ulang strategi.” O menyuarakan isi pikirannya, sebuah kebiasaan baru yang tidak disadarinya.O bergegas untuk kembali ke ruangan tempat ia hidup kembali. Selain untuk mengamankan diri, ada sesuatu yang ingin diperiksanya, yaitu keahlian menggunakan senjata tongkat yang tidak dia miliki di kehidupan sebelumnya.“Narator, tampilkan daftar kemampuan!”O membuka halaman ketiga dari daftar itu. Ia menemukan jawaban dari dugaannya.~Daftar Kemampuan Pasif~Penguasaan Sihir (Lv.1)Penguasaan Tongkat (Lv.1)Penguasaan Gada (terkunci)
Kalian mungkin bertanya-tanya. Bagaimana mungkin O, seorang (mantan) guru yang tugasnya mendidik generasi bangsa, terus menerus mengumpat. Pada awalnya, O tidak seperti itu. Ia termasuk orang polos luar dalam, bahkan sampai ke tutur katanya. Hanya saja, waktu dan keadaan mengubahnya. Di kehidupan O sebelumnya, masyarakat cenderung tidak bisa membedakan antara polos dan baik; orang baik terlalu sering diasosiasikan dengan kepolosan, keikhlasan, dan kesabaran. Dengan kata lain, orang baik seringkali menjadi orang yang tidak melawan; orang lemah dan tidak berdaya. O menyadari itu beberapa tahun terakhir karirnya (juga hidupnya). Maka, ia melawan. Ia menolak menjadi pihak yang selalu salah, yang selalu berkorban, dan yang selalu merelakan. Ketika orang-orang melakukan gaslighting, O akan membalasnya dengan mengumpat. Tentu saja dengan gaya yang anggun seperti penggunaan ironi dan satir. Bagaimanapun, O tetap harus menjaga citra seorang guru, bukan?Namun, tak ada siapa-siapa di sini. Tak
O mulai membuka pintu dengan tangannya yang gemetaran. Seandainya ia punya kelenjar keringat, sekujur tubuhnya pasti akan basah sekarang. Suara menggeram dari balik pintu merambati udara, terpantul di tembok-tembok ruangan yang terbuat dari tanah keras dan padat.Kalian pernah pergi ke taman safari dan menyaksikan dari mobil safari kalian seekor singa jantan meraung? O pernah mengalaminya. Teralis besi dan kaca tebal mobil safari yang menjamin keamanannya tidak bisa mencegah raungan sang singa menggetarkan nyalinya. Kali inipun demikian. Suara yang merambat dari balik pintu itu seperti auman seekor singa, bahkan lebih menyeramkan dari yang bisa diingat O.Di balik pintu itu, O menemukan sebuah lorong yang besar. Lorong ini persis seperti lorong pertama yang dimasukinya setelah hidup kembali sebagai seorang Lich. O berpikir, jika setiap area dibuat dengan arsitektur yang serupa seperti ini, keberadaan peta mungkin tidak akan banyak membantunya.O melanjutkan langkahnya. Jika arsitektur
Suara mengaum itu benar-benar berasal dari seekor monster buas. Bayangan O tentang seekor singa jantan menjadi kenyataan, bahkan berkali-kali lipat. Monster dalam ruangan itu berwujud singa putih dan memiliki sepasang sayap yang sewarna. Ukuran monster itu sangat besar sehingga ruangan yang sangat luas itu hampir penuh. Yang lebih menakutkan lagi, monster itu tidak dalam kondisi benar-benar hidup...Sebagian daging di tubuh monster itu sudah luruh, memperlihatkan tulang yang putih pucat. Bahkan organ-organ monster itu terburai keluar; ususnya mengular ke lantai; paru-paru yang kempis menjuntai; lambungnya yang sobek meneteskan cairan asam yang membuat tanah keras mengepulkan asap. Sebelah sayapnya patah dan menggantung, sementara sayap yang satunya lagi hanya memiliki sedikit kulit dan beberapa helai bulu panjang. Sebagian wajah monster itu juga luruh. Matanya yang kuning keemasan berputar liar seperti pernak-pernik googly eyes. Di dahi monster itu, sebuah lingkaran sihir berwarna ung
O panik setengah mati. Ia berusaha melepaskan diri dari kurungan yang diciptakan dirinya sendiri, sementara itu lingkaran sihir di bawahnya semakin terang sekan-akan hendak meledak. “Aaaah! Tunggu! Tunggu! Gencatan senjata!”O berhasil keluar dari kerangkeng batu dan berlari ke arah pintu. Namun, lingkaran itu tidak diam di tempat, tapi mengikuti langkahnya…“Siaaaaaaaaal! Ini tidak adil!”Cahaya dari lingkaran sihir itu semakin terang, menambah-nambah ketegangan dan kepanikan O. Dalam keadaan itu, O teringat akan ide gilanya: memisahkan kristal inti dari tubuhnya.Tangan O yang masih utuh merogoh ke dalam rusuknya yang berlubang dan meraih kristal intinya yang masih sebesar ibu jari. Ia melemparkan kristal intinya ke arah pintu, sementara tubuhnya berbalik arah dan berlari ke arah monster itu.“Persetan dengan misi penyelamatan! Aku tidak ingin mati lagi!” O menerjang sang monster, tepatnya ke arah kepala tempat lingkaran sihir berwaran ungu kehitaman berpendar. Jika sihir suci ini b
Puluhan pasang bintik merah di langit-langit gua bergerak bersamaam seperti satu koloni lebah yang menyerbu. O segera kabur ke luar ruangan dan menutup pintu. BRUK!BRUK!BRUK!Pintu itu dihantam beruntun. O tidak mengetahui makhluk macam apa yang sedang mengincarnya saat itu. Ia menghitung sampai sampai sepuluh setelah meminta Narator untuk menampilkan formula sihir tanah dan api.“...Sembilan. Sepuluh!” O menyeru diri sendiri dan berlari ka arah lorong sempit tanpa menengok ke belakang.“Lapis!” O merapal mantra tepat setelah ia keluar dari lorong sempit. Tiga buah stalakmit menghujam dan menjadi semacam gerbang yang menutup lorong. Tak bisa dipungkiri, sihir itu dan potensinya sebagai blokade sudah menjadi andalan O.Puluhan makhluk bersayap yang mengejar O tersangkut di gerbang stalakmit dan kini penampakannya terlihat dengan jelas. Beberapa cukup cerdas untuk menemukan celah, akan tetapi sihir O lebih cepat.“Ignis!” O menembakkan bola api dari ujung telunjuknya. Akan tetapi, satu
O mengira bahwa budaya di Valandria tidak berbed jauh dengan budaya Eropa Abad Pertengahan. Namun setelah sesaat mengamati isi ruang tamu, yang barangkali ruangan terbesar, dalam wastu tua itu, perkiraannya tidak begitu tepat.Dalam ruang tamu itu, satu set kursi dan meja tamu tertata melingkar di atas permadani persegi yang membentang dan menutupi lebih dari separuh luasan lantai. Tepat di atas kursi-kursi itu menggantung lampu hias yang terbuat dari kaca, yang mana setiap potongan kaca menyebarkan cahaya dari Lilin-lilin Ahadi yang betengger dalam kandelabra di berbagai tempat. Di sisi ruangan terdapat banyak lemari mewah yang kosong dan rak-rak berisi tumpukan buku usang. Sebuah jam rusak berdiri kaku di seberang ruangan, seolah-olah waktu membeku."Menarik," komentar O. Lalu berbalik menatap Azia yang baru saja menutup pintu. Matanya sempat melihat hibir Azia melngkung tersenyum, lalu segera kembali datar. "Kenapa kau tersenyum begitu, Tante?" Azia menggeleng. "Saya hanya senang,
O memasuki wastu yang berdiri tak jauh dari kataokmba Keluarga Cultio. Dari penampakan luarnya, wastu itu masih berdiri kokoh meskipun lapisan temboknya terkelupas di sana-sini. Bingkai-bingkai jendela dan ambang pintu yang terbuat dari kayu juga masih utuh, bahkan masih menyisakan sedikit cat dan pernis. Semak belukar merimbun di halamannya, menyisakan sedikit saja jalur menuju pintu utama.O menyusuri jalur sempit di antara semak itu. Dari kondisi dedaunan yang merunduk dan patah-patah, tampaknya jalur itu baru saja dilalui oleh seseorang ... seseorang atau sesuatu?O mendadak jadi curiga. Langkahnya terhenti, begitu juga langkah Mithra yang mengekor di belakangnya. Si lelaki misterius berjubah hitam menggantung lemah di punggung Mithra."Kita pergi, Kawan ... atau sebaiknya aku bakar saja rumah mewah ini beserta apapun yang ada di dalamnya?" kata O pada Mithra yang kemudian membalas dengan geraman singkat.O mengangkat tangan kirinya. Hanya tersisa 3 jari di tangan itu, karena keli
O tidak perlu berpikir keras tentang cara agar ia bisa selamat dari penerjunan bebas itu. Di bawah sana, setitik cahaya hijau berkerlip seperti bintang kecil. Cahaya itu berasal dari Mithra, atau lebih tepatnya, dari sihir angin beliung hewan (?) suci itu.Angin kencang menerpa O, meliuk-liuk dan berputar di sekitar tubuhnya. O menari bersama angin itu di udara, berputar dan meluncur dalam lintasan spiral. Seperti seekor burung walet, O menunggangi angin itu dengan anggun. Kedua lengannya merentang serupa sayap, dan saat ketinggiannya hanya beberapa meter saja di atas permukaan tanah, O menggulung tubuhnya.Satu gulungan, dua gulungan. Lalu O menegakkan tubuhnya secara vertikal, persis seperti atlet loncat selam indah. Ia tidak perlu repot memikirkan tempat mendaratnya karena Mithra sudah siap menangkapnya. Dan ...."Hup!" seru O dengan nada penuh kepuasan dan kebanggaan. Ia mendarat di punggung Mithra yang empuk. Jika ia sedang mengikuti sebuah perlombaan atletik, lompatannya barusan
Cockatrice itu mengepakkan sayap, terbang semakin tinggi dan tinggi. Setiap kali si Demon menyemburkan asam atau melemparkan bola api, si Cockatrice berkelit dengan elok. Tubuh besarnya sama sekali tidak mengurangi kegesitan makhluk itu di udara."Hoeek!" O memuntahkan suara (karena ia tidak punya lambung, apalagi isinya). Manuver si Cockatrice di udara membuat pandangan O berputar-putar. Saat itu, ia telah berhasil mencapai punggung si Cockatrice dan duduk di sana. Kemampuan pasif: Keahlian Menunggang membuatnya pantat O bisa menempel dengan baik di bulu-bulu Cockatrice yang sekeras lempeng batu.""Anda baik-baik saja, Tuan O?"" Narator memastikan keadaan O."Menurutmu bagaimana?" balas O, lalu mengeluarkan bunyi-bunyian muntah lagi.Akan tetapi, meskipun mengeluarkan bunyi-bunyi sebagai pertanda tidak baik-baik saja, nyatanya akal O masih sangat encer. Hal itu dibuktikan dengan tiga lingkaran sihir yang menyala-nyala di telapak dan di depan dadanya.O menggunakan tiga sihir berbeda
"Narator, tunjukkan formula sihir medan yang itu ... Sihir Badai!" O setengah berteriak. Dalam suaranya tercampur rasa girang dan waswas. Girang karena ia akan menggunakan sihir baru dan was was karena dirinya tak merasa lebih baik setelah menggunakan Sihir Air Bah sebelum ini.""Anda yakin, Tuan O?""balas Narator, ""Berdasarkan analisis saya, mental Anda masih merasakan imbas penggunaan sihir medan sebelumnya.""Narator benar. Sejujurnya, tengkorak O masih berdenyut-denyut. Sejauh ini tidak begitu terasa karena ia masih terbawa suasana pertempuran."Kau benar," balas O, "Tapi pilihan apa lagi yang aku punya?"O hanya bisa terus berputar-putar di tanah lapang itu. Jika ia masuk ke permukiman, gerakannya akan terhambat dan musuh segera menangkapnya. Jika ia membut perlindungan, katakanlah dengan Sihir Perisai Batu, maka ia akan jadi sasaran empuk sihir Inferna yang luar biasa daya hancurny itu. Lalu, bagaimana dengan Sihir Sanctus, sihir elemen cahaya yang dapat memberinya sayap untuk t
Mithra berlari secepat yang ia bisa melintasi tanah lapang yang membentang sejauh mata memandang. Meskipun sudah menggunakan Sihir Perisai Angin yang dapat menambah kecepatan gerak, Mithra masih kewalahan karena harus membawa penumpang tambahan. Mengingat tubuh Mithra sekarang hanya berupa kerangka dan sepasang sayapnya sudah dicopot ... apalagi, monster hitam raksasa yang mengejar di belakang tak henti-hentinya menyemburkan muntahan bola-bola asam.Monster raksasa yang mengejar O berukuran sangat besar dengan tinggi nyaris 10 meter dan lebar bahu mencapai 3 meter lebih sedikit. Seluruh tubuh monster itu kekar dan berwarna hitam mengilat, seperti atlet binaraga yang mengenakan pakaian silikon di seluruh tubuh.Sepasang kakinya berwujud setengah manusia, setengah kuda; paha besar menjorok ke depan dan betis memanjang ke belakang serupa huruf z dengan kuku-kuku keratin yang terbelah dua. Tubuhnya persis seperti tubuh manusia, kecuali bagian dada yang berjumlah ganda (ya, ada empat puting
Plaga tersenyum puas mengagumi sihirnya yang indah: sebuah menara api yang menjulang ke langit, dengan lidah-lidah api berbentuk tangan yang mencengkram siapapun dan apapun mejadi arang. Udara panas di sekitar melenyapkan kelembaban, membuat tanah rekah dan rumput-rumput di sekitar mengering seperti dihadapkan dengan terik belasan matahari.Sang Demon menikmati tiap detik dari momen apresiasi itu, dan bahkan membuat sebait syair yang mendeskripsikan keindahannya. Ia begitu menyukai sihir, dan itulah alasan bagi Demon sekuat dirinya melayani Master Malus.Malus bukan sekedar tuan bagi Plaga. Bagi sang Demon, Malus adalah seorang Muse, sumber inspirasinya. Apalagi, dari Keempat Tungkai, hanya dirinyalah yang menggunakan sihir sebagai senjata utama. Mars, sang Dullahan, jelas-jelas tidak tahu apapun soal merapal sihir. Fames, sang Harpy, memiliki sihir elemen angin dan kegelapan yang sangat beragam, tapi sayangnya, otak burung Fames tidak mencukupi syarat untuk mengoptimalkan sihir-sihir
"Mua, ha, ha, ha!" tawa O pecah, menggema di udara. Di telinga orang yang tidak mengenal O, tawa itu mungkin terdengar lebih mengerikan dari teriakan seorang Banshee ... Sementara itu, belasan Banshee di kejauhan terendam lumpur tanpa pernah tahu siapa yang menyerang mereka. "" ... "" Narator tidak bisa berkata-kata lagi. O tidak menepati perkataannya untuk berhati-hati saat menggunakn Mana. Namun, di luar itu, Narator sebenarnya mengagumi kemampuan belajar O yang luar biasa. "Grauur!"Mithra menggeram dengan nada imut. Kerangka kucing itu menari-nari di bawah hujan lumpur, meloncat dan berguling sampai tulang putihnya menjadi hitam semua. Seperti O, ia terlihat girang dengan adanya lautan lumpur yang meledak dari perut bumi secara tiba-tiba. "Ugh! Kepalaku sedikit pusing ..."""Anda terlalu banyak menggunakan Mana, Tuan."""Hmm, aku pikir dengan menjadi Lich, kapasitasku meningkat drastis," sanggah O. Ia tidak ingin disalahkan.""Beruntung tidak ada musuh lagi di sini ...""Grrr!
O mengayunkan sabit besarnya dengan anggun. Seperti baling-baling mesin penghalus bumbu, O menebas semua mayat hidup yang merangsek ke arahnya. Tak cukup, O membuat standar tinggi, yaitu sabetan sabitnnya harus mengenai leher atau bagian kepala.SLASH! SLASH!Kepala melayang. Wajah jelek terbagi dua. Leher putus. Tubuh-tubuh mayat hidup itu bergeletakan ke tanah tanpa kepala. Sebagian mencair menjadi Nyx seluruhnya, sebagian lagi tidak menjadi apapun, tapi Nyx tetap merembes dari tubuhnya.Sabit O terus berputar dan berputar. Kepala berterbangan. Nyx berceceran. Kabut hitam mengudara dan berkumpul di kristal inti yang berada dalam rongga dada O. Kemampuan berpikir O memungkinkan semua itu terjadi secara bersamaan.Akhirnya, setelah beberapa menit berputar-putar, jumlah mayat hidup di tanah lapang itu tinggal segelintir saja."Fyuuh! Kenapa banyak sekali mayat hidup di sini?" seru O, "Apa sedang ada arisan?"O berjalan santai di antara potongan-potongan tubuh dan genangan Nyx. Sayangn