Di apartemennya yang luas, Sagara sedang duduk di meja makan, menghadap ke dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota. Pagi itu, ia mengenakan kaus putih sederhana yang terlihat kontras dengan interior apartemen yang modern. Di hadapannya, sepiring sandwich tuna dan secangkir kopi hitam mengepul, aroma pahitnya memenuhi udara. Sambil mengunyah perlahan, Sagara memandang layar laptopnya, mengecek email yang masuk. Jarinya bergerak cekatan di atas trackpad, membuka pesan-pesan yang berisi laporan, undangan, dan beberapa konfirmasi rapat. Tiba-tiba, dering telepon memecah keheningan. Ia meraih ponsel yang tergeletak di samping cangkir kopinya dan melihat nama yang tertera di layar. "Pagi, Ma," gumamnya pelan, lalu menjawab panggilan itu."Saga," suara lembut ibunya terdengar menyapa. "Kapan kamu akan mengenalkan Mama kepada kekasihmu?"Sagara mendesah, matanya menatap keluar jendela. Ia tahu percakapan ini akan menuju ke arah yang sama seperti minggu-minggu sebelumnya. “Ma, ak
Romeo melangkah cepat memasuki kantornya, jas hitamnya bergoyang mengikuti ritme langkahnya yang tegas. Di belakangnya, Yonas sibuk mencatat perintah yang dilemparkan bosnya itu tanpa henti.“Yonas, siapkan semua bahan untuk meeting. Pastikan semua laporan keuangan dan slide presentasi proyek sudah lengkap di meja dalam setengah jam ke depan,” perintah Romeo tanpa menoleh.“Baik, Tuan,” jawab Yonas singkat. Dengan langkah lebar, lelaki berwajah datar itu bergegas menuju ruang kerjanya untuk melaksanakan tugas.Sementara itu, Romeo membuka pintu ruangannya dan melempar jas ke sandaran kursi sebelum duduk. Ia mulai memeriksa dokumen di laptopnya, fokus sepenuhnya pada pekerjaan yang menumpuk. Namun, ketenangan itu segera terganggu oleh suara interkom yang berdering di mejanya.“Selamat pagi, Tuan Romeo, maaf mengganggu. Di luar ada Nona Diva. Dia memaksa ingin bertemu Anda, katanya ada keperluan penting,” ucap sang sekretaris terdengar hati-hati. “Apakah Anda bersedia menemuinya?”Romeo
Aira sedang merias diri di depan cermin, saat ia menerima pesan dari Diva. Senyum puas terbit di wajahnya. Foto-foto sudah didapatkan, dan segalanya berjalan sesuai rencana. Gadis itu beranjak dari tempat tidur dengan semangat, mengambil kunci mobil dan bergegas keluar dari kamar. Menuruni tangga menuju lantai satu, Aira mengenakan blus kasmir lembut berwarna peach dan celana panjang putih yang memancarkan kesan elegan. Rambutnya yang panjang digerai, melambai di setiap langkahnya.Di ruang tengah, ia bertemu dengan Nyonya Valerie, ibunya, yang sedang memeriksa bunga mawar segar dalam vas kristal. Nyonya Valerie tersenyum melihat putrinya yang tampak begitu ceria hari ini.“Mau bimbingan skripsi di kampus, Sayang?” tanya Nyonya Valerie, suaranya lembut tetapi penuh rasa ingin tahu.Aira berhenti sejenak, menatap ibunya dengan mata berbinar. “Aku akan ke kantor Kak Romeo, Ma. Diva baru saja memberitahu kalau dia berhasil menemui Kak Romeo.”Nyonya Valerie mengangkat alis, senyumnya me
Setelah rapat panjang bersama tim arsiteknya, Suri menghela napas panjang. Mereka baru saja membahas persiapan presentasi Jadera City yang akan diadakan dua hari lagi. Rasa lelah mulai menguasainya. Suri memijat pelipisnya perlahan, berharap bisa meluangkan waktu sejenak untuk bersantai. Namun, teleponnya berbunyi, memberi tanda bahwa ada pesan masuk.Mata Suri berbinar saat membaca pesan dari Raysa.[Suri, bagaimana kalau kita makan pizza? Aku tunggu di parkiran. Jangan lama-lama, ya!]Pesan itu ternyata cukup ampuh untuk mengusir penat yang dirasakan Suri. Senyum tipis menghiasi wajahnya saat ia membereskan meja kerja, lalu melangkah menuju basement.Ketika Suri tiba, Raysa sudah menunggu dengan mobilnya yang diparkir dekat pintu keluar. “Cepat sekali kamu datang!” Raysa terkekeh sambil melambaikan tangan. “Aku kira harus menunggu setengah jam lagi.”Suri tertawa kecil sambil masuk ke mobil. “Aku butuh pelarian setelah rapat panjang tadi. Kamu penyelamatku hari ini.”Mereka pun me
Ketika Sagara menekan tombol lift, Suri berhenti beberapa meter di belakangnya. Pria itu melirik sekilas, seolah menyadari bahwa Suri sengaja menjaga jarak. Senyum samar pun terbentuk di sudut bibir Sagara, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Tanpa bicara mereka masuk ke lift yang kosong, dan Sagara langsung menekan tombol ke lantai basement. Suasana terasa sunyi, hanya bunyi dengung mesin lift yang terdengar. Suri menundukkan kepala, menatap ujung sepatunya, sementara Sagara berdiri tegak dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jas. Setibanya di basement, Sagara melangkah lebih dulu. Ia melangkah menuju mobil mewahnya, yang terparkir di area khusus CEO. Suri tak menyangka bila Sagara ternyata mengemudikan mobil sendiri. Tanpa sopir, tanpa asisten. Melihat Sagara duduk di kursi kemudi, Suri buru-buru masuk dan menutup pintu dengan cepat. Ia tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan oleh pria di sampingnya. Sagara selalu tampak tenang, sulit dibaca, dan itu membuat Suri sedikit
Malu dan canggung, Suri lantas menundukkan kepala, berusaha menghindari tatapan Sagara. Kenapa ia harus datang bulan di waktu yang tidak tepat. Selang beberapa detik, Suri lalu memutuskan untuk mengembalikan jas tersebut.“Terima kasih, Pak, tapi jas ini ---” ucapnya pelan, hampir berbisik.Sagara tersenyum samar. “Pakai saja. Saya yakin kamu bisa mengembalikan jas saya dalam keadaan bersih.”Suri mengangguk kaku, masih merasa sungkan. Dengan cepat, ia menuju taksi yang sudah menunggunya di depan kafe. Namun, sebelum masuk ke taksi, Suri berbalik sambil membungkukkan badan kepada Sagara.“Sekali lagi, terima kasih, Pak. Saya akan segera mengembalikan jas Anda.”“Hati-hati di jalan,” balas Sagara tersenyum tipis.Taksi melaju pergi, membawa Suri meninggalkan kafe yang masih ramai dengan pengunjung. Dalam perjalanan, Suri menatap jas yang melingkari roknya. Wajahnya memerah setiap kali mengingat
Melihat sinar mata Romeo semakin menggelap, Suri membeku di tempat. Terlebih, dengan gerakan tiba-tiba, Romeo naik ke atas tempat tidur dan mengukung tubuhnya yang mungil. Udara di antara mereka terasa menyesakkan, seperti petir yang menggantung di langit sebelum badai.Denyut jantung Suri semakin cepat. Bibirnya terbuka seakan ingin menjawab, tetapi lidahnya kelu. Saat ini, ia tidak mungkin menghindar dari Romeo, tetapi ia juga bingung bagaimana harus menjelaskan."I-iya, aku makan malam dengan Pak Sagara," cicit Suri akhirnya mengaku, suaranya hampir tak terdengar.“Kenapa kamu berbohong? Lupa dengan perjanjian kita? Selama satu tahun, kita tidak boleh menjalin hubungan dengan yang lain," tanya Romeo dengan nada rendah, mirip suara geraman.Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Suri. Ia merasa terpojok di bawah intimidasi menakutkan dari sang suami. "A-aku tidak lupa, dan aku tidak bermaksud melanggarnya," kata Suri dengan suara bergetar. “Kami hanya makan malam untuk membahas
Suri menggeliat pelan di atas tempat tidur, mencoba mengabaikan bunyi alarm yang terus-menerus berdenging dari ponselnya. Tubuhnya masih terlalu berat untuk digerakkan dan perutnya masih terasa sedikit kram. Ia melirik ke arah Romeo yang masih tertidur pulas di sisinya. Wajahnya tampak tenang, hampir seperti anak kecil saat terlelap. Posisi mereka berhadapan, membuat Suri bisa melihat dengan jelas lekuk hidungnya yang tegas dan garis rahangnya yang maskulin.Suri menarik napas dalam, lalu perlahan menggoyangkan lengan Romeo. Namun, pria itu hanya bergumam tidak jelas tanpa membuka mata. Suri mengernyit dan kembali memanggil namanya, kali ini sambil menggoyang lengannya sedikit lebih keras. “Romeo, bangun. Sudah pagi.”Beberapa kali mencoba, pria itu tetap tak bergerak. Matanya masih terpejam seolah dunia luar tak ada artinya baginya. Suri menghela napas. Mungkin Romeo enggan bangun akibat terlalu lelah bekerja, ditambah dengan kesalahpahaman di antara mereka semalam. Dia melirik ja
Mobil berwarna silver melaju dengan tenang di sepanjang jalanan kota. Suri duduk di dalamnya, tepat di samping Nyonya Miranda, sementara Bi Ranti duduk di kursi depan bersama sopir. Sejak tadi, Suri hanya diam, meremas jemarinya yang terasa dingin dan kaku. Di dalam sana, hati Suri berdebar tak karuan. Napasnya terdengar lebih berat, seolah rongga dadanya menahan beban yang begitu besar. Sesekali, Suri melempar pandangan ke jendela, berharap kegugupan itu segera menghilang. Nyonya Miranda, yang sedari tadi mengamati Suri, akhirnya memecah keheningan. "Suri, makanan seperti apa yang kamu sukai?" tanyanya dengan suara lembut penuh wibawa.Suri tersentak kecil, lalu buru-buru menjawab, "Saya suka makanan berkuah, termasuk olahan ikan seperti sup ikan, steak ikan, atau ikan panggang." Ia berusaha tersenyum meski masih diliputi rasa cemas. "Biasanya, saya memasak sendiri agar lebih sehat."Nyonya Miranda mengangguk pelan. "Bagus, jika seorang wanita menyukai kegiatan memasak artinya ia
Romeo membuka pintu rumah dengan tenang, sedangkan Suri berdiri di belakangnya. Pandangan Suri langsung tertuju pada mobil mewah berwarna perak yang terparkir di halaman. Siluet seseorang tampak samar dari balik kaca jendela. Hanya beberapa detik berselang, sopir segera turun dan berjalan ke sisi kiri mobil, sementara seorang wanita paruh baya, Bi Ranti, dengan cekatan membuka pintu di sisi kanan.Dari dalam mobil, keluarlah seorang wanita dengan dagu terangkat dan tatapan yang penuh superioritas. Nyonya Valerie berdiri angkuh, menyapu pandangannya ke sekeliling halaman dengan ekspresi meremehkan. Bibirnya sedikit mencibir, seolah rumah ini adalah tempat yang tak layak dikunjungi. Suri, yang melihatnya, menahan napas. Ia sudah menduga ibu mertuanya tidak akan memberikan sambutan yang hangat. Namun, sebelum ada yang sempat berbicara, pintu mobil lainnya terbuka, dan sosok anggun muncul dari dalamnya.Nyonya Miranda melangkah turun dengan gerakan yang penuh wibawa. Rambutnya disanggul
Di dalam kamarnya yang beraroma vanila, Aira bersandar pada bantal empuk. Ponselnya menempel di telinga, suaranya lembut tetapi terdengar gelisah. Di ujung telepon, Ivan kembali merengek, suaranya penuh keluhan."Baby, kapan aku bisa beli apartemen ini? Kata pemiliknya, bulan depan apartemen ini tidak akan disewakan lagi, karena akan dijual." Suara Ivan terdengar merajuk, seolah menuntut jawaban yang bisa segera meredakan kegelisahannya.Aira menghela napas pelan. "Aku belum punya kesempatan bicara pada Kak Romeo. Lagi pula, nenekku baru saja kembali dari luar negeri dan sedang di mansion. Aku harus fokus padanya dulu."Sejenak, tidak ada suara dari Ivan. Namun, tidak lama kemudian, ia kembali bersuara dengan nada penuh siasat. "Justru bagus kalau nenekmu ada di sana,” kata Ivan antusias. “Kamu bisa minta ke Beliau untuk menjual saham itu supaya kamu bisa membuka usaha butik. Nenekmu pasti lebih mudah dibujuk daripada Romeo yang sifatnya keras kepala."Aira terdiam, mempertimbangkan
Nyonya Miranda mengangkat alisnya, tampak terkejut. Dengan suara bergetar seakan menahan rasa sakit, Nyonya Valerie melanjutkan ucapannya."Suri mempengaruhi Romeo untuk menjauh dari kami, Ma. Dia meminta Romeo memutuskan semua hubungan dengan saya dan Aira. Bahkan, Romeo tidak pernah datang lagi ke mansion."Wajah Nyonya Miranda mengeras. Ia menatap Nyonya Valerie dengan pandangan penuh penilaian. Sepertinya, wanita tua itu sedang menimbang-nimbang kebenaran ucapan sang menantu.“Kenapa kamu tidak mengundang Romeo dan istrinya kemari?”Nyonya Valerie kemudian memegang dadanya, seolah tidak sanggup menahan rasa malu dan sedih."Saya sudah mencoba, Ma, tapi mereka tidak mau datang. Romeo juga tidak memperbolehkan saya berkunjung ke kantornya.”Nyonya Miranda menggenggam tongkatnya lebih erat, tampak berpikir dalam-dalam. Matanya menatap lurus ke depan, seperti menimbang langkah apa yang harus diambil selanjutnya. "Padahal aku sangat rindu pada Romeo ...." gumamnya lirih. "Aku menyesal
Sepulang kantor, Suri mengirimkan pesan kepada Romeo bahwa dia akan berbelanja sebentar dengan Raysa. Usai mendapat izin dari sang suami, Suri pun pergi bersama Raysa ke salah satu pusat perbelanjaan. Raysa menarik lengan Suri dengan semangat, menyeretnya masuk ke dalam toko lingerie yang didekorasi dengan nuansa merah muda. Aroma wangi vanila menyambut keduanya, membuat suasana menjadi lebih intim. “Ray, untuk apa ke sini?” protes Suri malu-malu.“Kamu mau membuat Romeo bahagia, ‘kan? Ini salah satu caranya,” pungkas Raysa tidak memberi kesempatan kepada Suri untuk protes.Seorang pegawai toko dengan senyum ramah menyambut mereka. Matanya segera tertuju pada Suri yang tampak canggung di balik bahu Raysa.“Selamat datang, ada yang bisa kami bantu?”“Kami mencari lingerie yang cocok untuk teman saya ini,” kata Raysa tanpa ragu, sambil menunjuk Suri yang langsung memerah wajahnya. “Yang sesuai dengan kulitnya yang putih dan lembut.”Pegawai toko mengangguk dengan profesionalisme yang
Mansion keluarga Albantara dipenuhi dengan kesibukan yang tidak biasa. Para pelayan bergegas ke sana kemari, membersihkan setiap sudut ruangan hingga bersinar. Derap langkah kaki mereka menggema di koridor, membawa alat-alat kebersihan dan kain pel ke setiap sudut rumah.Di lantai bawah, kamar utama menjadi perhatian khusus. Tempat tidur dengan sprei putih bersih dirapikan, bantal-bantal dihias dengan sarung bermotif elegan, dan bunga segar diletakkan di atas meja kecil dekat jendela. Bau lemon dari semprotan pengharum ruangan menyebar, memberikan kesan segar dan bersih. Tepat jam makan siang, Diva tiba di mansion dengan membawa sekotak besar makanan kesukaan Nyonya Valerie. Langkahnya ringan saat ia berjalan melewati ruang tamu yang megah, tetapi matanya segera menangkap pemandangan yang tidak biasa. Seorang pelayan sedang menyusun vas kristal di ruang makan, sementara yang lain dengan cekatan menyusun gelas-gelas di atas meja. “Di man
Romeo menelan ludah, wajahnya berubah muram. “Apakah ini berarti … saya tidak punya harapan untuk memiliki anak?” tanyanya dengan suara serak.Dokter Fani menggeleng pelan. “Bukan berarti tidak bisa, Tuan Romeo. Tapi, peluangnya lebih kecil dibandingkan dengan pria yang memiliki parameter sperma normal. Masih ada berbagai langkah yang bisa kita ambil.”Suri menoleh ke arah Romeo. Melihat gurat kesedihan di wajah suaminya, ia segera menggenggam tangan Romeo dengan erat. Mata mereka bertemu, dan Suri memberikan tatapan penuh kasih sayang. “Kita pasti bisa melewati ini bersama,” bisiknya lembut.Dokter Fani melanjutkan penjelasannya. “Ada beberapa opsi terapi yang bisa kita coba. Pertama, kita bisa mulai dengan perubahan gaya hidup, seperti pola makan sehat, olahraga rutin, dan menghindari stres berlebihan. Selain itu, suplemen tertentu yang mengandung zinc dan vitamin E dapat membantu meningkatkan kualitas sperma.”Romeo mengangguk pelan, meskipun raut wajahnya masih tegang. “Apakah ad
Tiga hari berlalu begitu cepat sejak Suri dan Romeo melakukan tes kesuburan. Pagi itu, suasana di rumah mereka tampak biasa saja, tetapi tidak bagi Suri. Di dalam hatinya, ia merasa ada gelombang kecemasan yang sulit dijelaskan. Sebuah ketakutan kecil menyelinap di pikirannya—bagaimana jika hasilnya tidak sesuai harapan? Bagaimana jika ia tidak bisa menjadi seorang ibu? Sambil melamun, Suri berdiri di dapur, menyiapkan sarapan. Ia menuang telur kocok yang sudah diberi bumbu, lalu menuangkannya ke dalam wajan panas untuk membuat omelet.Selama proses memasak, pikiran Suri masih melayang ke hasil tes yang akan mereka ambil hari ini. Dalam lamunannya, Suri bahkan tidak menyadari bau gosong mulai tercium di seluruh dapur. Romeo, yang baru saja selesai berpakaian, langsung mencium aroma yang tidak biasa. Dengan langkah cepat, ia menuju dapur dan langsung mematikan kompor. “Suri, kamu kenapa?” tanyanya sambil memindahkan wajan dari atas api. Suri menoleh, wajahnya tampak bersalah. “
Usai meninjau proyek pembangunan kota mandiri, Suri, Sagara, dan dua arsitek senior kembali ke kantor Pradipta Group. Suasana di mobil dipenuhi obrolan ringan. Sebelum turun dari mobil, Sagara menoleh ke arah Suri untuk mengingatkan tentang makan malam. “Suri, ingatkan tim kita nanti jam lima tepat ke basement. Kita akan berangkat bersama ke restoran Kanaya Garden.”Suri mengangguk patuh. “Baik, Pak Sagara. Kami akan berkumpul tepat waktu,” jawabnya dengan nada profesional.Begitu tiba di ruang divisi arsitek, Suri langsung mengingatkan timnya. Kemudian, ia pergi ke toilet untuk mengganti pakaian dengan blus berwarna jingga dan celana panjang hitam yang memberikan kesan nyaman. Selesai berganti pakaian, Suri melanjutkan pekerjaannya hingga waktu menunjukkan pukul lima.Ketika semua orang telah bersiap, Suri memimpin timnya turun ke basement. Di sana, mereka bersiap menaiki mobil kantor yang telah disediakan. Namun, Sagara tiba-tiba menghampiri Suri.“Ikut mobil saya saja, Suri. Mobil