Di ruang rapat utama Verdant Group, seluruh jajaran manajer dan dewan direksi telah duduk rapi, menunggu kedatangan pemimpin mereka. Presentasi dan laporan tahunan disiapkan dengan detail, dan para petinggi perusahaan nampak berbisik satu sama lain. Mereka membahas pencapaian luar biasa yang telah diraih perusahaan, di bawah kepemimpinan sang CEO muda.Jam digital di dinding menunjukkan pukul sembilan tepat, ketika pintu ruangan terbuka perlahan. Seorang pria tinggi dengan jas biru gelap melangkah masuk terlebih dahulu.Mateo, asisten pribadi sang CEO, memiliki perawakan tegap dengan rahang tegas. Matanya tajam seperti elang yang siap mengawasi segala situasi. Aura profesionalisme dan dedikasi terpancar dari setiap gerak-gerik lelaki itu.Tak berselang lama, sosok yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul.Jevandro Albantara, CEO Verdant Group, melangkah masuk. Jas abu-abu tua yang terjahit sempurna, mempertegas posturnya yang tinggi dan atletis. Rambut hitam tebal serta bentuk hidung yang
Setelah suapan terakhirnya, Liora meletakkan sumpit dengan anggun di tepi kotak makan siang, lalu menatap Jevandro dengan senyum lembut. "Aku harus pulang sekarang, nanti kita bertemu di butik, Sayang,” ujar Liora. “Sekalian, aku ingin mengatakan sesuatu yang penting."Jevandro mengangkat sebelah alis, mata hazelnya menyorot penuh rasa penasaran. "Apa itu?"Senyum manis terukir di wajah Liora. "Kalau kuberitahu sekarang, nanti tidak menarik lagi," balasnya sembari berjalan ke pintu. Wanita muda itu melambaikan tangan sebelum melangkah keluar dari ruang CEO, meninggalkan jejak wangi mawar yang khas. Begitu pintu tertutup, Jevandro menghela napas tipis, lalu kembali membenamkan diri dalam pekerjaan. Matanya menelusuri deretan angka dan laporan di layar komputer.Tak lama kemudian, suara ketukan terdengar di pintu ruangannya. "Masuk," kata Jevandro tanpa mengalihkan pandangan dari layar.Mateo, asistennya, masuk dengan langkah cepat. Melihat wajah lelaki itu sedikit tegang, Jevandro s
Di sebuah kamar yang diterangi cahaya siang, seorang gadis muda duduk dengan tenang, mengapit sebuah cello di antara pahanya. Ia bernama Serin.Dengan jemarinya yang lentik, Serin menggesek dawai-dawai cello itu penuh perasaan, menciptakan harmoni yang merasuk ke dalam setiap sudut ruangan. Nada-nada lembut dari lagu "The Sound of Silence" mengalun, membingkai keheningan siang dengan melodi yang sarat akan makna. Jari-jarinya menari di atas fingerboard, sementara busurnya bergerak naik turun, menekan dan menarik dengan ritme yang sempurna. Setiap gesekan memancarkan emosi mendalam, menciptakan resonansi yang menyimpan kesedihan tersembunyi. Matanya yang diselimuti kegelapan menatap lurus ke jendela, seolah melihat sesuatu yang tak dapat dijangkau oleh orang lain. Ia tidak membutuhkan penglihatan untuk memahami keindahan dunia, karena musik telah menjadi matanya. Musik adalah jendela jiwanya, satu-satunya cara ia dapat mengekspresikan emosi tanpa kata-kata.Namun, ketenangan itu teru
Dengan tangan yang gemetar, Serin berusaha mengumpulkan pecahan guci yang berserakan di lantai. Ia bahkan meraba serpihan porselen itu, tak peduli bila ujung-ujungnya yang tajam menorehkan luka baru di telapak tangannya. Bagi Serin, rasa sakit tidak ada artinya dibandingkan dengan kepedihan yang ia rasakan.Sembari menyapu, pikiran Serin melayang ke tabungan yang ia miliki. Masih ada sedikit uang yang selama ini ia kumpulkan dari hasil bermain cello. Akan tetapi, jumlahnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan sepuluh juta yang harus ia bayarkan dalam waktu seminggu. Selain itu, ada tabungan peninggalan Rani untuk biaya sekolah Tristan. Serin tidak mungkin menggunakannya, tidak akan pernah. Ia harus memastikan Tristan mendapatkan pendidikan terbaik, meski hidup mereka dipenuhi keterbatasan.Serin menghela napas berat. Ia harus menemukan cara lain. Mungkin dengan membuat kue dan menjualnya? Ia cukup pandai dalam hal itu. Atau mungkin ia bisa memberikan les cello lebih sering kepada
Setelah menikmati masakan ibunya, Jeandra meletakkan sendok dengan perlahan. Wanita muda itu menyeka sudut bibirnya dengan serbet halus, sebelum menatap kedua orang tuanya."Papa, Mama, aku pamit kembali ke butik. Sebentar lagi, Liora akan datang untuk fitting gaun pengantin," ucap Jeandra, suaranya dipenuhi semangat dan dedikasi terhadap pekerjaannya.Suri, sang ibu, menatap putrinya dengan lembut. "Jam berapa nanti kamu pulang ke mansion, Sayang?"“Malam ini, aku akan menginap di apartemen, Ma. Aku harus menyelesaikan desain gaun pengantin pesanan Camila, putri walikota. Selain itu, ada lukisanku yang masih tertunda,” jawab Jeandra.Suri menghela napas pelan, lalu menyentuh tangan putrinya. "Jangan terlalu lelah, Sayang. Kesehatan lebih penting daripada pekerjaan.""Mama jangan khawatir. Aku tahu batasan diri."Jeandra bangkit berdiri, lalu mencium kedua pipi Suri dengan penuh kasih. Kemudian, ia beralih kepada sang ayah, Romeo, dan memeluknya erat sebelum melangkah pergi.Suri dan
Selesai fitting, Jeandra mengajak Liora ke ruang kerjanya, sebuah ruangan yang dikelilingi oleh rak penuh dengan buku mode, sketsa desain, serta beberapa lukisan yang menunggu sentuhan akhir.Di tengah ruangan itu, ada meja kayu mahoni dengan dua cangkir cokelat panas yang mengepul, menghadirkan aroma manis yang menenangkan. Jeandra dan Liora duduk berhadapan, menikmati waktu tenang setelah sesi fitting yang cukup menguras energi.Sayangnya, ketenangan itu tak bertahan lama. Bunyi dering ponsel memecah keheningan.Jeandra melirik layar dan melihat nama asistennya dari galeri seni, Samuel. Dengan alis sedikit berkerut, ia mengangkat panggilan itu."Samuel? Ada apa?" tanya Jeandra sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Suara di seberang terdengar ragu-ragu, bahkan sedikit gugup. "Maaf mengganggu, Jea, tapi ada masalah. Lukisan 'Aurora di Balik Kabut' yang dibeli oleh kantor Pradipta Group, telah dikembalikan oleh asisten CEO mereka, Pak Gavin."
Mata Liora yang bening melebar, sementara alisnya sedikit terangkat, menunjukkan betapa ia sulit memahami pemikiran calon adik iparnya itu. Ia bahkan tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat, untuk menanggapi rencana gila yang baru saja diutarakan Jeandra."Bagaimana caramu mengubah penampilan? Kamu tidak mungkin bisa menyembunyikan kecantikanmu begitu saja, Jea,” tanya Liora, suaranya terdengar setengah heran, setengah cemasJeandra hanya tersenyum kecil, bibirnya melengkung penuh percaya diri. "Liora, aku tahu cara membuat seorang pengantin tampak lebih cantik di hari pernikahannya," ucapnya santai, lalu menambahkan dengan nada sedikit jahil, "Tentu saja, aku juga tahu bagaimana caranya membuat wanita menjadi lebih buruk dari aslinya—termasuk diriku sendiri." Jevandro yang sejak tadi menyimak percakapan itu, menggelengkan kepala dengan ekspresi geli bercampur tak percaya."Adikku yang cantik rela mengubah dirinya menjadi jelek, hanya demi membalas Kenan?" tanyanya, sedikit mele
"Berapa lama kamu akan pergi?" tanya Jevandro penuh kewaspadaan.Liora menggigit bibirnya sejenak sebelum menjawab, "Empat hari. Aku akan menempuh perjalanan melalui jalur darat, jadi aku butuh waktu lebih lama di perjalanan." Jevandro menghela napas panjang, menatap Liora dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ia tahu bahwa ini adalah bagian dari kehidupan sang tunangan, bagian dari impian dan perjuangannya. Namun, empat hari terasa begitu lama, terutama karena ia sudah terbiasa memiliki Liora. "Aku mengerti," jawab Jevandro, meskipun ada nada enggan yang terselip dalam suaranya. "Tapi, perjalanan darat cukup melelahkan, Baby. Kenapa tidak naik pesawat saja?" "Aku ingin menikmati perjalanan ini, Jevan,” balas Liora sembari mengusap punggung tangan Jevandro dengan penuh kasih sayang. “Ini adalah kesempatan bagiku untuk bertatap muka dengan orang-orang yang akan bekerja sama denganku. Aku ingin mendengar cerita mereka, memahami kesulitan yang mereka hadapi secara langsung." Je
Langkah-langkah ringan terdengar menuruni tangga spiral di tengah mansion. Suri, mengenakan gaun rumah dan syal tipis di bahunya, turun dengan anggun sambil menoleh ke arah dapur. Ada sedikit garis khawatir di ujung matanya—sebuah kebiasaan yang tak bisa dihapuskan oleh waktu, terlebih saat menyangkut anak-anaknya.“Tini, makan malamnya sudah siap?” tanya Suri kepada salah satu pelayan. “Iya, Nyonya. Tinggal disajikan,” jawab sang pelayan sambil membungkuk sopan.Suri mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke ruang kerja untuk mencari keberadaan Romeo.“Sayang, ayo makan malam dulu!”Pintu ruang kerja terbuka. Romeo menoleh dan membalas, “Baik, Sayang. Kami segera ke sana.”Ia pun berdiri dan menepuk bahu Jevandro ringan. “Ayo, Nak. Waktunya makan malam.”Jevandro bangkit, masih dalam diam, tetapi wajahnya tampak lebih ringan daripada saat ia datang tadi.Ketika mereka keluar dari ruang kerja, pandangan Suri jatuh pada sosok putra sulungnya. Wajah itu kini tumbuh menjadi dewasa, t
Langkah-langkah ringan terdengar menuruni tangga spiral di tengah mansion. Suri, mengenakan gaun rumah dan syal tipis di bahunya, turun dengan anggun sambil menoleh ke arah dapur. Ada sedikit garis khawatir di ujung matanya—sebuah kebiasaan yang tak bisa dihapuskan oleh waktu, terlebih saat menyangkut anak-anaknya.“Tini, makan malamnya sudah siap?” tanya Suri kepada salah satu pelayan. “Iya, Nyonya. Tinggal disajikan,” jawab sang pelayan sambil membungkuk sopan.Suri mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke ruang kerja untuk mencari keberadaan Romeo.“Sayang, ayo makan malam dulu!”Pintu ruang kerja terbuka. Romeo menoleh dan membalas, “Baik, Sayang. Kami segera ke sana.”Ia pun berdiri dan menepuk bahu Jevandro ringan. “Ayo, Nak. Waktunya makan malam.”Jevandro bangkit, masih dalam diam, tetapi wajahnya tampak lebih ringan daripada saat ia datang tadi.Ketika mereka keluar dari ruang kerja, pandangan Suri jatuh pada sosok putra sulungnya. Wajah itu kini tumbuh menjadi dewasa, t
Selesai melakukan tugasnya, Jeandra segera menarik tangannya, seolah takut berada terlalu lama dalam lingkar keintiman yang tidak ia harapkan. Ia melangkah mundur, menghindari tatapan Kenan yang kini telah berbalik dan mulai mengenakan kembali kaos polo putihnya.“Saya tidak mau makan malam bersama Bapak,” tolak Jeandra tegas. “Saya lebih suka makan sendiri.”Kenan menatapnya sebentar, wajahnya tak menunjukkan perubahan apa pun. Pria itu hanya mengangguk, nyaris tanpa emosi. “Baiklah,” sahutnya ringan. "Kalau begitu, saya pulang sekarang.”Kenan menenteng tasnya, lalu menoleh sejenak sebelum melangkah ke pintu. “Jangan lupa, besok masuk kantor seperti biasa. Kamu tetap sekretaris saya, dan besok ada meeting penting. Datanglah tepat waktu.”“Ya, ya,” jawab Jeandra malas, mengibaskan tangannya tanpa menoleh.Dengan cepat, ia berjalan mendahului Kenan ke depan pintu apartemen. Sesampainya di sana, Jeandra berdiri dengan punggung lurus dan kepala sedikit menoleh ke samping. Tanpa ragu,
Kenan lantas duduk bersandar di sofa empuk ruang tengah apartemen Jeandra, seolah ruangan itu telah lama menjadi miliknya. Cahaya temaram lampu gantung menciptakan siluet tegas di wajah tampannya yang selalu tenang dan sulit ditebak. Matanya menatap Jeandra sekilas, sebelum merogoh tas kerja kulit hitam yang ia bawa sejak tadi.Dengan gerakan terukur, Kenan mengeluarkan map dokumen berwarna gading lalu meletakkan di atas meja kaca di hadapannya.“Ini,” ucapnya seraya mendorong map itu ke arah Jeandra. “Draft perjanjian dari pengacara saya. Kami sudah berdiskusi cukup panjang tadi siang.”Jeandra menatap benda itu dengan kening berkerut, enggan menyentuhnya.“Dalam perjanjian ini,” lanjut Kenan tenang, “disepakati bahwa pernikahan kita akan tetap dijalankan selama enam bulan ke depan, demi menjaga nama baik keluarga saya, dan nama baik kamu juga. Setelah itu, saya akan memberimu satu milyar sebagai kompensasi perceraian.”Jeandra membelalak. “Enam bulan?” Sorot matanya menatap Kenan se
Langit nampak cerah ketika Jeandra tiba di butiknya, setelah hampir satu minggu tak menampakkan diri. Kedatangannya disambut dengan wajah-wajah penuh rindu dari para staf dan asistennya. Wangi lembut bunga peony yang menjadi ciri khas interior butik itu menguar di udara, memberikan rasa tenteram yang sudah lama tidak ia rasakan. Untuk sejenak, Jeandra merasa seperti pulang ke rumah kedua.“Bu Jeandra! Akhirnya datang juga,” seru Clara, asistennya yang setia, sembari menghampiri dengan antusias. Pegawai-pegawai lain ikut menyapa dan beberapa bahkan secara spontan memberikan pelukan ringan. “Kami pikir Anda tidak akan kembali dalam waktu dekat,” tambahnya dengan senyum lebar.Jeandra tertawa kecil. “Aku rindu tempat ini, tapi belum bisa datang setiap hari. Masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di luar."Suasana hangat itu mendadak bertambah ramai, saat seorang wanita melangkah keluar dari ruang rias. Ia adalah Melina Pertiwi, calon pengantin dari keluarga pengusaha ternama yang s
Meski sempat nyaris menolak dengan halus, Serin akhirnya menganggukkan kepala ketika Suri kembali mengajaknya makan siang. Ia mengikuti langkah Suri dan Jeandra menuju ruang makan keluarga dengan ragu-ragu. Kesadaran bahwa dirinya sedang berdiri di ambang perubahan besar—membuat hatinya berdebar.Selama makan siang, Serin lebih banyak menunduk dan menyentuh makanan di piringnya tanpa benar-benar mengecap rasanya. Namun, suasana akrab di meja makan membuat dada Serin terasa hangat. Sudah lama sekali ia tak merasakan atmosfer kekeluargaan seperti ini—sejak kepergian kedua orangtuanya.Terlebih, keramahan Jeandra yang sering menyelipkan obrolan ringan, serta perhatian halus dari Suri membuat Serin mulai merasa diterima, walau ia masih takut untuk terlalu banyak bicara. Ia lebih suka mendengar, mencatat dalam benaknya bagaimana sebuah keluarga yang sesungguhnya saling berinteraksi.Selesai makan siang, Serin kembali berdiri dengan sopan, lalu membungkukkan tubuh sedikit.“Terima kasih ban
Mendengar pengakuan dari bibir Serin, Jeandra nyaris tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Tatapan gadis itu memang tampak tulus, tetapi Jeandra mampu membaca lebih dalam dari sekadar kilau bening di bola mata seseorang. Ada yang disembunyikan, ada rasa yang terlalu ganjil untuk sekadar disebut cinta dalam waktu sesingkat itu. Dengan gerakan spontan, Jeandra memutar tubuh Serin agar menghadap ke arahnya. Kedua tangan Jeandra memegang bahu ramping Serin dengan kehangatan yang menguatkan, seperti seorang kakak yang sedang mencoba memahami keputusan adiknya.“Tatap mataku, Serin,” tukas Jeandra. “Jawab aku dengan jujur… apakah kamu sungguh-sungguh mencintai Jevan? Atau, kamu mengatakan semua ini atas suruhan seseorang?”Serin terdiam beberapa detik. Matanya membeku dalam kecamuk batin yang tak terucap. Di hadapannya, Jeandra menanti dengan penuh kesungguhan, seolah tak rela satu keping kebohongan pun bersembunyi.Serin tahu, Jeandra menuduhnya menyembunyikan kebenaran.
Kalimat menenangkan yang diucapkan oleh Suri dan Romeo membuat suasana di ruangan itu terasa berbeda. Serin tak lagi merasa berada di ruang penghakiman, melainkan berada di tempat di mana ia bebas bersuara —tanpa prasangka, tanpa syarat.Sembari menggigit bibirnya, Serin mengangguk perlahan. Suara lirihnya keluar seperti bisikan dari jiwa yang selama ini terkunci rapat.“Terima kasih… telah menerima saya di sini.”Tak berselang lama, pelayan datang untuk menyajikan minuman, membuat keheningan sejenak mengendap di antara mereka. Suri menyesap teh di hadapannya, seakan ingin memberi jeda sebelum pertanyaan berikutnya dilontarkan.Tatapannya yang lembut terarah kembali menyentuh wajah Serin, mencoba menyelami rahasia yang tersimpan di balik sorot mata gadis itu.Pada akhirnya, Suri mulai mengajukan pertanyaan yang sejak semalam mengganjal di hatinya.“Serin,” panggilnya tenang. “Benarkah sekarang kamu bekerja sebagai karyawan magang di bagian call center?” “Iya, Tante, sebelumnya saya m
Serin menunduk dalam-dalam. Air matanya hampir menetes, tetapi ia segera menahannya. Ia harus kuat. Ia tidak boleh gentar. Karena satu langkah saja yang salah, maka bukan hanya pekerjaannya yang akan lenyap, tapi juga martabat yang selama ini ia pertahankan dengan segenap tenaga.Seiring roda mobil yang menggesek halus permukaan aspal, denting waktu seakan melambat di telinga Serin. Keringat dingin mulai menggenang di dahinya, membasahi kulit tipis yang pucat pasi. Telapak tangannya lembap, menggigil oleh gugup yang tak mampu ia redam. Bola matanya menatap kosong ke jendela yang menampilkan dunia asing—megah dan berkelas—yang terasa begitu jauh dari kehidupannya sehari-hari. Ia tidak tahu di mana letak mansion keluarga Albantara. Bahkan, membayangkan wujudnya pun ia tidak berani.Namun satu hal yang ia yakini, rumah itu pasti tidak seperti rumah—melainkan seperti istana para raja.Serin memejamkan mata sejenak, bagaikan seorang tawanan yang hendak dibawa menuju ruang sidang. Ia tak