Usai perhelatan tatap-menatap dalam video streaming berjamaah sebelumnya, aku tak bisa mengantisipasi pagi yang menghitam di Surabaya. Banyak suara-suara tak terdengar, bisikan tak tersalurkan, dan hati bisu. Aku adalah itu semua. Semua keresahan.
Segala keinginan sulit paling membingungkan. Manusia-manusia berwujud sahabat yang meggandeng perjalananku kian khawatir. Sebetulnya semua bagiku biasa saja. Aku percaya pada Bee sejak ratusan hari sebelum semuanya menjadi sulit.“Nata butuh kopi?” Bang Jo masuk menawarkan. Pintu kamarku memang terbuka sejak tadi malam. Semuanya tertidur di kamar yang sama, di kamar Bee. Di posisi terbaik mereka menjaga diriku sehat dan segar. Sepertinya tanpa diberitahu mereka semua menyadari kalau aku adalah inti dari perjalanan ini. Yah, perjalanan hati kala itu. Harusnya aku tak perlu pingsan dan membuang-buang waktu. Sejatinya aku harus mencicil waktu untuk bangkit lebih cepat. Namun hidup hari itu ada“Semalam kamu bisa pingsan emang habis maraton malam-malam kemana sih, Nat.”“Haha, enggak. Ini serius Bang Jo.”“Oke, baik.”“Aku keluar nyari angin. Terus...”“Angin kok dicari-cari, kurang kerjaan kamu Naat...Nat,” Bang Jo lagi-lagi memotong.”“Dahlah.”“Haha, lagian saya lihat kamu serius amat. Langsung ke intinya saja. Yuk bisa yuk.”“Kamar Bee ini beneran...kamarnya orang yang pernah meninggal di sini?”“Ha? Tahu dari siapa?”“Dari bapak-bapak tukang somay yang tadi malam aku temuin di pinggir jalan depan hotel,” kataku datar.“Hmmm.”“Bang Jo jawablah..” pintaku dengan selembut mungkin.“Bukan.”“Serius?"“Kalau cerita tukang somay itu memang benar sih, cuman...”“Apa? Katanya gak ada yang
Mungkin Bee sendiri yang memasukan lanjutan suratnya di atas lemari,” Cunnul menyimpulkan setelah kuberitahukan fakta sebelumnya. Kami saat itu sudah berada di dalam mobil Om Dedi. Kami sudah di Kota Solo melintasi Ngawi.“Tapi kenapa dibikin dua? Gak disobek atau dipotong gitu,” kata Wija.Wija mulai mencoba bersikap memahami apa yang terjadi dan sikapnya memang memperlihatkan kalau ia hanya perlu percaya dengan semua arah gerakku sejak kami meninggalkan Sulawesi.“Iya juga ya, isi yang bagian pertama juga belum sepenuhnya habis sampai memenuhi kertas,” kata Cunnul.“Kalian gak mau sarapan dulu?” Bang Jo bersaran. “100 meter dari sini ada warung yang nasi rawonya cap nampol,” Bang Jo menunjukan dua jempol tebalnya.“Batagor Bandung enak ya?”“Tumben, Nat?” Om Dedi menggapi keinginanku tadi.“Iya Om Deed, Batagor lebih sederhana dan bisa dibungkus... dimakan dalam perjalanan.”“Tuh,” Cunnul menunjuk ke luar kaca mobil yang melaju.“Ya udah berhenti bentar ya kita,” kata Om Dedi.Kami
Harusnya dia bisa menyampaikan titipan kata hati yang malu untuk diungkapkan jika ada. Bisa melalui Pitri, Via, ataupun aku. Dia malah tak melakukan satu pilihanpun dari sekian banyak keping yang tersedia.Aku jadi dibuat bingung oleh keberadaan Bee dan identitasnya hanya karena masalah mereka bedua. Room Nakama jadi sulit dan kian tertunda hanya karena mencari teka-teki aneh tak bermutu dari Bee yang mengirimiku pesan. Awalnya aku masih senang dengan petunjuk bulu babi. Lama-kelamaan...malah jadi kemana-mana. Tak karuan.Aku dibuat berpikir keras. Aku dibuat terjebak dalam permainanku sendiri. Penuh tanda tanya...apa, kenapa, siapa, dan di mana? Di mana Umi dan Bee sekarang? Siapa sebenarnya yang menciptakan permainan ini? Padahal awalnya aku lah orang utama sebagai pelaku utama yang mendeklarasikan permainan ini pada Bee demi tercipatnya Room Nakama di Bandung.“BBM naik ngene malah ngguyu ndoo... ndoo,” ucap bapak yang menjual Batagor. Bahasa Jawa yang artinya kurang lebih, “BBM na
Bee dan Umi membuatku mengingat mengingat sebuah lagu bertema perpisahan. Lagunya mengatakan semuanya hilang, tanpa sebab. Dan salah satu menghentikan lajunya di pertengahan jalan. Meski terluka, menangis, satu sisi tetap menerima. Bagaimana tidak mencoba menerima? Seperti Bee dan Umi, kedua sisi mesti memahami bahwa segala sebab memiliki alasan. Bahwa segala rasa memiliki bagian tersendiri untuk dibuatkan kotak bersama pintunya.Namun tentu hal yang mendadak selalu lebih menyakitkan karena yang bekerja adalah hati dan otak. Tak hanya hati. Tanpa pemberitahuan, kelenjar emosional akan bekerja lebih keras di otak. Dipaksa untuk mencari informasi untuk menarik sesuatu tak berpondasi. Diminta mencari ruang yang sudah tak lagi ada isinya.Dan kelenjar itu bingung harus memproduksi hasil dan kreasi rasa seperti apa agar sistem pikiran kembali normal. Tidak ada yang lebih hebat sakitnya dari lenyap. Tak ada yang lebih dahsyat pedihnya dari pergi tanpa pamit.“Mungkin dia kecapean usai mangg
Kami memang manusia aneh yang masih belajar cara bercita-cita. Yang lebih hebat adalah peliharaan. Kalian ingat Hitami? Cunnul sewaktu mampir ke rumahku, dia mengajak Bokapku mencari burung. Aku tidak ikut karena lebih suka kalau diajak ke laut seperti saat mencari bulu babi. Itu adalah kebiasaan kecil kami yang terbawa arus usia sampai umur sekarang.Jadi jangan heran, waktu Bee ngasih petunjuk bulu babi, Bee sebenarnya sudah mengenal kebiasaanku dan teman-temanku sejak kecil. Wija baru mengenal kebebasan saat masa SMA. Waktu Cunnul mencari burung bersama Bokap adalah masa saat aku dan Cunnul sepuluh tahun. Aku lebih tua dua bulan darinya. Hitami adalah burung yang dimaksudkan. Hasil tangkapan Cunnul dan Bokap.Jika bicara kebebasan yang dipelajari Wija, Wija adalah wanita kelahiran Palu asli yang menerima ajakan kemerdekaan hidup kami. Dia berbeda secara tampilan dan harga diri sosial. Wija anak orang kaya yang mau bermain dengan kami. Yah, sebelum akhirnya aku kaya juga. Tapi tipe
Kami saling mendukung dan Bee masuk juga dalam lingkaran persahabatan antara aku dan teman-teman baru lain seperti Pitri, Umi, Mbk Wisya, Ernes, Via, Beya dan Tifeb. Saat tiba hari di mana Cunnul dan Wija menyadari hawa kehidupanku yang lain, mereka memberi pertanyaan di kepala masing-masing secara tersirat, “Apa kau tak ingin mengajak kami juga?”Bee pun menjadi jembatan kami semua. Karena dialah aku bisa memiliki sahabat di luar propinsi seperti Via dan kawan-kawan. Mereka adalah sekawanan manusia bersuara merdu. Hanya Pitri dan Umi yang berbeda. Mereka manusia yang memilih peduli pada kesehatan mahluk lain. Pitri seorang Bidan di Bali sedangkan Umi adalah perawat di Makasar, Sulawesi Selatan, sama Propinsinya dengan aku, dan dua sahabat kecilku.Cunnul dan Wija meminta kunci untuk memasuki ruang persahabatan itu, dan jalan keluarnya adalah Bang Muis. Karena Bang Muis abangnya Via meski tinggal di Bandung dan kebetulan memiliki pekerjaan di Palu, akhirnya jadi kunci untuk Cunnul mas
Kami melintasi Kota Pelajar. Yogyakarta. Aku ingat pertemuan kedua dengan Warda di Kota ini sebelum satu kos di Jakarta. Waktu itu ada acara pertemuan para Likeers dari streamer dan konten kreator. Itu adalah hari usai pertemuan terakhir di multi room bersama yang lain. Ketika usai dari acara, aku pamit pada Warda. Aku tak ingin langsung pulang karena mencari inspirasi tentang Room Nakama adalah kesempatan yang tak bisa disia-siakan.Waktu itu, pagi, aku sedang makan gado-gado di sebuah warung kecil. Di depanku ada John Josseph Massawe, sahabat keritingku yang adalah seorang Master Leksikografi lulusan Universite de Lorraine. Ia adalah penulis novel yang berjudul LO. Aku sudah membacanya di aplikasi Noveltoon. Ia juga makan gado-gado.Sering dekat dengan Ben menyetrum John untuk bisa berbahasa Indonesia meski gagal untuk urusan aksen layaknya wisatwan mancanegara yang seri
“Kita kembali saja dulu ke negaramu, nanti kuberitahu,” kata John mantap pada Ben. “Permintaanku agar kau mencari jawaban nasionalisme itu hanya supaya rasa cinta tanah air itu tumbuh lagi dalam kalbumu. Jawaban itu bukan yang utama. Yang terpenting pintu nasionalismemu tercuat kembali. Bahkan meskipun kau bekerja di negerinya Natalie, Ben, bukan berarti membuatmu melupakan rahim negara yang telah melahirkanmu. Jika kau ingin menyerah, lakukan di negerimu sendiri. Itu lebih terhormat daripada berputus harapan di negeri orang. Harusnya mengejar angin impian setinggi angkasa tak membodohimu untuk melupakan negerimu sendiri, Ben. Itu Parismu! Bukankah kau bekerja jauh-jauh dan menghasilkan ide bisnis kemari adalah untuk membangun negerimu menjadi jauh lebih spektakuler?” Dan udara saat itu lebih dingin daripada medan kutub utara. "Parisku, ya..." “Tentu, Parismu, Tanzaniaku, dan Indonesianya Natalie!” kata John meninggi. “Aku rasa bukan itu akar masalahnya.” “Oh?” aku menganga kecil.
Aku menyampaikan bukan apa yang kuanalisakan. Aku menyampaikan semua kerangka hatiku terhadap PBB. Seperti ucapanku pada Sir Yadin, aku lebih suka menjadi pengamat daripada pendebat.Aku bahkan hanya menyampaikan empat poin dari tujuh poin yang ada di benak pikiranku. Padahal waktu masihlah setia menungguku selesai berargumen. Namun aku memilih menyimpan sisanya untuk sebuah niat yang abstrak.“Jika kita bicara perdamaian, maka kita tidak perlu bicara senjata! Bagiku, perdamaian di dunia ini hanyalah ilusi. Tidak akan pernah ada perdamaian karena manusia tidak akan pernah bisa saling memahami satu sama lain. Sejarah telah mengatakan itu semua,” bukaku menahan kegugupan.“Jika Anda berargumen lima anggota tetap PBB tidak boleh dihapuskan dengan alasan senjata yang kuat, maka pernyataanku tentang perdamaian sebelumnya itu benar. Semua negara hanya memposisikan diri layaknya boneka-boneka manis yang saling memeluk. Sementara di balik itu ada peran
“Bee, kau tak lihat kesusahanku?”“Iya Pak, aku bantu!” responku seraya tersenyum miring. “Kambing ini akan melahirkan daun-daun muda paracendekia juga Pak?”“Ah, kau ini membahas apa? Kau tak tahu kita akan melakukan karantina untuk mahasiswa-mahasiswi terpilih?"“Lomba apa?”“Ini untuk persiapan lomba debat di Bali yang aku ceritakan pada kau waktu itu!”“Oh, iya. Baiklah. Lalu?”“Kau juga harus ikut.”“Tapi Bahasa Inggrisku kurang manjur sebagai alat perdebatan. Akan lebih berfungsi jika digunakan merangkai puisi dan cerita pendek, Pak!”
“Iya, baiklah. Thank you, mr … atas tumpangan berharganya.”“Oh? Maksudnya?”“Hem … tidak. Bukan apa-apa,” balasnya senyum. Ia lalu masuk ke asrama puteri.Dan aku kembali merencanakan sisa impianku yang belum kelar. Picolo akan menjadi tangan kananku untuk bisa meraih langit Melbourne. Aku tak bermaksud mempermainkan kejantanan Picolo. Aku ingin dia menjadi seperti halnya Mus yang dulu. Nama mereka juga sama.Ya, tidak ada pertemuan tanpa maksud. Selalu ada alasan di balik semua wujud perpisahan. Dan gadis berjilbab zebra tadi, akan menjadi loncatan asmara yang menghadirkan relikul pilihan bertubi-tubi dalam hidupku. Aku harus memilih antara bertemu dengan impianku atau menggarisbawahi drama asrama picisan bersamanya.
Kertas bertuliskan Macquarie di atas dinding asrama sudah terlihat lagi lima bulan kemudian. Sebulan kemudian yang kumaksud adalah di bulan Agustus ketika burung-burung camar menyapu udara kotor secara gamblang di langi-langit pagi. Aku menerima kabar perpisahan spektakuler pagi-pagi. Namun hatiku berhijrah ke arah ruang alasan pencabutan kertas putih itu.Pencabutan itu menyisakan kesendirian bagi gambar Melbourne dan deretan impianku bersama Mus. Tak ada lagi orang ketiga. Di antara baris mimpi tertulis itu, hanya impian-impian kecil seperti memiliki laptop, handphone, sahabat, keterampilan pendukung, dan lainnya yang terwujud.Lantas masih banyak target-target kecil dan satu impian besar belum bisa diberi tanda. Dan impian terbesar itu kau tahu sendiri, berjumpa dengannya di Melbourne.Andai aku cekatan dalam menafsirkan maksud, mungkin mudah bagiku menebak esensi Mus berjumpa denganku di Melbourne atau Sidney sementara ia berada di negeri tetangga. Jika kau lebih paham dariku, kau
“Mr melamunkan apa?”“Big Bos?”Picolo dan Zoro tersentuh.“Aku tidak apa-apa. Hanya tiba-tiba tersengat masa lalu.”“Itu filosofi?” tanya Harry Potter yang telah bangun.“Big Bos selalu penuh dengan gramatikal pemikiran baru,” puji Takiya yang ternyata telinganya semakin hidup.Itu adalah tahun permulaan aku merasakan rasanya namaku dipanggil dengan awalan ‘mr’. Aku juga merasa tua dan jiwa pemuda seolah-olah tertimbun kepingan-kepingan polos penasaran mereka. Dan itu berlaku setiap waktu. Untungnya sebutan ‘Amak Toak’ milik Bang Ari tidak bereinkarnasi padaku sebagai pengganti beliau.Namun diskusi aneh itu tak berlanjut. Waktu perkuliahan menggunting kesempatan dari pertanyaan bodoh kami keluar. Meski semua anggota ‘6 Kelana’ mengambil program studi Bahasa Inggris, tidak menutup batang otak kami untuk mendiskusikan hal-hal lain. Ya, mesk
Aku juga pernah mendapat ingatan dari sekuel Room Nakama, tentang kisah seorang yang sudah meninggal. Ia adalah pendiri Room Nakama dan merangkum kisah tawa dan lara. Saat itu, Bee yang dirindukan Natalie memiliki kisah masanya sendiri bersama teman-temannya yang dulu.Dia adalah belahan kisah dari ingatanku. Aku dan sahabatku bernama Mus serta beberapa penggal memori yang dulu.Mimpi terjauh di atas kerak bumi yang mesti kugali sedalam mungkin, timbul liar di baris-baris cerita selanjutnya. Namun sekali lagi, mimpi bertemu dengan Mus di Melbourne masih jauh. Ah! Mungkin kau belum paham lantaran kita masih sampai permulaan. Aku harap kau tahan dengan apapun bentuk pelapisan diri dan perjuangan harapan yang kulakukan nanti.Dan mimpi kejauhan yang kumaksud akan dimulai di pertengahan cerita. Genre-nya tragedi, berlumur asmara, dan kalian tetap mesti bersabar untuk air mata yang kujalani.Dan keringat harga diriku berbuah manis, meski mahasiswa baru yang hadir di angkatan setelahku itu
Sejatinya memang benar, Mus dan Hajar merencanakan pertemuan ini dengan cara yang cukup menyiksa kejiwaanku. Sebab Mus, Hajar, dan para anggota Enam Kelana, detik itu tersenyum ke arahku tanpa merasa berdosa.Aku sedih tapi sangat bahagia. Tak ada kamus tebal manapun yang sanggup mengartikan kebahagiaan sekaligus kesedihanku kala itu. Aku menerjang derita dan tawa tertahan yang seirama. Mereka semua pun menertawakan kelemahan diriku, yang gagal menebak pikiran Mus dan semua permainan itu.Selepas itu, pemandangan baru tercipta di langit Sidney. Aku akhirnya bisa menyaksikan Picolo dan Mus, dua orang dengan nama asli yang sama, berada dalam satu ranah pertemuan paling konyol se-muka bumi Australia. Takiya, Zoro, Wolf, Snoopy, dan Harry Potter juga rela meninggalkan rutinitas formal yang mereka demi menjemputku."Aku berandai-andai bisa mengejutkan kalian semua dengan kepulanganku. Tetapi, yang terjadi malah ...""Kau sehat-sehat saja, Big Bos kebanggaan ka
Di sini aku semakin curiga.Kakek Hwang memutar balik punggung Mus, saat kami turun dari trem. Gerakan itu adalah tanda beliau meminta Mus, menuntun sebuah keputusan. Sebenarnya aku tidak mengerti. Seakan ada yang keduanya sembunyikan dariku.Tetapi bagaimana mungkin? Sebuah perencanaan sandiawara memerlukan tidak hanya sekali pertemuan. Sementara Mus dan Kakek Hwang baru kali itu bertemu dengan kami.Entah kenapa jiwa detektifku kumat. Aku yang sempat berangan-angan menjadi seorang polisi seperti pada cerita Room Nakama, akhirnya pada suatu titik nantinya, memilih meninggalkan Mus dan Hajar sementara. Saat terakhir aku kembali ke Sidney, aku hanya mengerjakan tugas-tugas duniawi dari Professor kesayanganku.Memegangi tingkat depresi secara pribadi di antara gang-gang sempit di dalam ruh pikira
"Hm, mengenai itu ... jawabannya mudah sekali, Bee.""Apa, Mus?""Ia pasti melihat WhatsApp story Hajar. Entah tulisan Hajar itu berisi dirinya yang ingin menemukan kita, atau keadaan dirinya yang baru saja berada di Australi. Seorang yang melihat ponsel orang lain dengan bahasa percakapan asing, pasti langsung mengerti jika seseorang itu berasal dari negara yang berbeda. Apalagi melihat permulaan identitas nomornya.”"+62!""Ya, lantas juga pria itu menghubungi nomormu, karena kemungkin besar nomormu berada di posisi paling atas ... sebagai seorang yang dominan dihubungi oleh Hajar sebagai si pemilik ponsel. Apa aku benar?'"Kau sangat benar, Mus. Tepat dan sangat cerdas.""Haha, dan kau masih khawatir lagi?"