Meo mengerti dengan sangat cekatan. Ia muncul dan berlari memanggil kami berdua. Ia menggemaskan. Aku dan Pere lalu mengucapkan selamat datang dan mari kita pulang padanya. Pere langsung melesat lagi dengan kecepatan penuh. Keluar dari bumi keenam. Meo melihat bumi tempat ia tinggal itu dari atas langit, sambil perlahan-lahan akan tertidur di pangkuanku.
Kami pun tiba di bagian lapis langit yang memiliki pintu. Tak langsung terbuka. Pere melihat ke arahku dan meminta Meo untuk menempelkan telapak tangannya. Aku pun membangunkan Pere perlahan dan berkata pada kalau kita telah sampai usai. Ia reflek dan nampak memang mengerti apa yang harus dilakukan. Ia menempelkan telapak tangan kanannya.
Dan ya, pintu itu terbuka. Cahaya keluar dari pintu itu, Pere bergegas masuk. Kami pun disuguhi pemandangan yang luar biasa nan indah. Tak ada planet apapun di langit ke tujuh. Semuanya d
"Ah, tidak. Nanti juga kau akan mendengarnya langsung dari Beliau."Buu saat itu aku rasakan sedang bercampur perasaan senang dan sedih. Dia itu penyayang. Beliau aku rasa memang menanamkan sifat itu padanya. Terbukti dengan pada lote yang ia urus dengan tulus. Ada hal yang belum ingin ia katakan padaku.Itu haknya prerogatif yang Beliau berikan padanya kurasa. Ia bisa mengatakannya langsung dan tidak menahannya seperti saat aku masih berbicara padanya melalui ponsel langit.Ada sesuatu yang ia pikir kurang baik bagiku jika ia menyampaikannya. Tak sabar jadinya aku bertemu Beliau jika melihat sikap Buu yang demikian random. Aku memilih menghargainya, jadi aku tetap berusaha bersikap wajar dan biasa saja, seolah tidak ada rasa penasaran yang berlebihan dari warna ekpresiku."Baiklah, Nyet. Silahkan masuk. Sampaikan salam ku pada Beliau, bicaralah yang baik, dan tetap lah berusaha menjalani peran manusiamu di zaman penutup itu dengan jujur."Aku sema
Anak remaja melintasi sebuah kota mati yang sudah tak berpenghuni. Mereka tiada takutnya sama sekali. Hari ini rasanya sulit bagi salah satu dari mereka menemukan kebahagiaan yang sama seperti dulu. Orang tua mereka telah merantau entah kemana. Meninggalkan jejak yang sulit dihapus. Luka yang tak mudah dibumbui kasih sayang orang lain lagi.Hanya sahabat kecilnya saja yang melucu satu sama lain dan masih bisa untuk saling percaya. Mereka tidak sebatang, hanya sendiri dalam status berbeda. Tak ada kartu tanda penduduk yang melekat dalam status keseharian mereka.Lagipula, untuk apa? Mereka tak membutuhkan itu sama sekali. Jauh dari sudut dunia yang tak bisa dijangkau dan dianalisa. Meski perubahan selalu mereka dengar, tak lantas mengembalikan semua yang pernah hancur. Tapi tak mengapa, yang terpenting adalah... mereka bahagia. Aku mengamati itu sebagai seorang anak remaja yang telah melihat banyak sekali kematian.Rasanya aku pernah melintas beberapa lapis langit dan itu sangat menyen
“Kita bisa menerima itu dengan baik, Teman. Mungkin benar, semakin luas lingkaran pertemanan kita, makan akan semakin palsu lah diri kita. Aku mengakui itu sebagai sebuah daya tarik tersendiri bagi para manusia yang merasa dirinya paling benar dan hebat. Tak ada sudut pandang beragam dalam dirinya untuk bisa menilai dan melihat kualitas hati dan pikiran orang lain. Padahal kemampuan psikologi semacam itu sangat menguntungkan bagi mereka yang sadar.”“Tidak semuanya menurutku. Sekedarnya saja jika memang sebagian para bocah itu merasa heran dengan kehidupan konvensional semacam itu. Mungkin baik jika diteruskan dengan modal semangat dan impian besar.”“Benar adanya, kita bisa memaksimalkan keunggulan itu sebagai peluang yang maksimal.”“Maksudmu, kau ingin membawaku kesana? Di mana tempat berkumpulnya para bocah cerdas penuh mimpi itu?”“Di suatu sudut desa yang dekat dengan pantai. Banyak pekerja lepas
Aku mengingat sebuah kisah yang pernah kubaca pada suatu malam yang dingin banyak semilir angin. Judulnya fiksi sebuah kampus. Aku rasa bisa menghibur teman di sebelahku untuk menutup cerita ini sampai beberapa halaman ke depan. Menari bila terlalu membahas itu dan rasanya sulit jika mengulangnya terus-menerus.Baiklah, kita kembali ke duniaku. Pada titik dimana semuanya belum wangi secara internal. Kita memungkin diri berkerumun di balik detik. Waktu itu berada dalam sebuah labirin kebingungan dan keputusasaan.Berusaha menemukan sahabatku yang hilang dan katanya sudah melewati banyak kenangan di setia lapisan langit bernama Room Nakama, seperti sedang menyiapkan pesanan kopi dari kedai di bumi yang lain, berukuran kecil, dan terhubung melalui sebuah ponsel alam semesta. Di sebuah kedai kecil itu, kami memadukan pertemuan berdasarkan pesana dalam percakapan di WhatsApp me
“Ya, dan sekarang kau masih ingin seperti ini selamanya? Berangkat sekarang pejuang pendidikan!”“Oh?”“Aku akan meneruskan kisahku yang tertunda. Hanya saja, kau akan berperan berbeda dan menjadi dosenku, Big Bos!”"Kita benar-benar akan menulis kisah kedua? Harusnya kita mengalami yang namanya dilema terlebih dulu. Bukankah cerita pertama, adalah rangkaian kejadian dan mimpi mengenaskan kita yang akhirnya tercapai sementara?""Kau berlebihan dalam memikirkannya semuanya. Cerita tak harus indah selamanya. Untuk bagian kedua, kita buat saja pelan-pelan mengenai masa-masa kita di Melbourne ini, Bee.""Jika hanya menceritakan rasa nyaman, orang-orang tak akan suka.""Bukankah mereka
"Benar, kita harus menemukan dia, Mus.""Ini cukup sulit jika harus melakukan sesuatu du kali.""Melakukan sesuatu dua kali?""Begini, " Mus bangkit dari kursinya. "Kita akan mencari Hajar atau mencari ponsel letak ponselnya?"Mus menyentak logikaku hanya dengan pikiran sederhana begitu. Aku merasa kalau diriku sangatlah bodoh. Mus benar."Mus, kau benar sekali. Ya ampun, betapa bodohnya aku. Jika kita menuju lokasi ponsel itu pun, Hajar tetap tak akan kita temukan. Aku tak bisa membayangkan betapa kebingungannya dia.""Itu memang benar. Tetapi tak sepenuhnya salah juga, Bee. Maksudku, dengan adanya informasi lokasi ponsel itu, kita jadi punya fokus tempat mencari Hajar. Tak mungkin kota tempat ponselnya terjatuh, d
"Astaga, kau baru saja jadi master pendidikan, sekarang malah berjuang di jalanan, kya...!""Hum, hubungannya apa coba?""Sekarang coba telepon lagi ke nomor Hajar yang dipegang sama pria tadi," Mus spontan kembali berubah seserius sebelumnya."Aku tak yakin lah.""Lah?""Apa kita tidak duduk dulu sebelum naik trem?""Iya sih, kalau teruskan cukup jauh, kita akan menyia-nyiakan trem gratis.""Tepian Yarra River?""Aku tak suka bersepeda?""Kau jangan membawa jiwa-jiwa ketika kita masih di Indo, yang suka gengsi naik sepeda di jalanan umum.""Tak gengsi, Bee."
"Sangat tidak ramah membandingkan sahabat-sahabatnu dengan cara seperti itu, Bee.""Jadi, aku salah sekarang?""Tidak, bukan itu maksudku. Lihat ke sana!"Mus memerintahkan pikiranku memandang arah kiri. Sebuah keramaian yang langka terlihat menarik untuk didekati."Apa kau ingin kesana?" aku mencoba membaca pikiran Mus."Aku hanya ingin kau mengangankan keramaian itu sebagai situasi, dimana Rumah Hijau kita di negeri Tambora, telah ramai dan dipenuhi para intelektual muda. Tak seperti saat kita masih kusut dan hanya melihat kerangka-kerangka bangunan kampus fiksi."Perkataan itu memberi ruang baru di bilik hatiku. Aku memang sebetulnya ingin pulang. Berkunjung ke kampus fiksi, menyalami tangan Pak Iwan, Sir Batak, Mrs Pink, Bunda Iga, dan pahlawan-pahlawan di balik layarku yang lainnya."Bukankah itu sebuah brosur yang dicari Hajar?" Mus merubah arah pandanganku seketika. "Tak ada yang lebih baik sebagai petunjuk, selain daripada bro
Aku menyampaikan bukan apa yang kuanalisakan. Aku menyampaikan semua kerangka hatiku terhadap PBB. Seperti ucapanku pada Sir Yadin, aku lebih suka menjadi pengamat daripada pendebat.Aku bahkan hanya menyampaikan empat poin dari tujuh poin yang ada di benak pikiranku. Padahal waktu masihlah setia menungguku selesai berargumen. Namun aku memilih menyimpan sisanya untuk sebuah niat yang abstrak.“Jika kita bicara perdamaian, maka kita tidak perlu bicara senjata! Bagiku, perdamaian di dunia ini hanyalah ilusi. Tidak akan pernah ada perdamaian karena manusia tidak akan pernah bisa saling memahami satu sama lain. Sejarah telah mengatakan itu semua,” bukaku menahan kegugupan.“Jika Anda berargumen lima anggota tetap PBB tidak boleh dihapuskan dengan alasan senjata yang kuat, maka pernyataanku tentang perdamaian sebelumnya itu benar. Semua negara hanya memposisikan diri layaknya boneka-boneka manis yang saling memeluk. Sementara di balik itu ada peran
“Bee, kau tak lihat kesusahanku?”“Iya Pak, aku bantu!” responku seraya tersenyum miring. “Kambing ini akan melahirkan daun-daun muda paracendekia juga Pak?”“Ah, kau ini membahas apa? Kau tak tahu kita akan melakukan karantina untuk mahasiswa-mahasiswi terpilih?"“Lomba apa?”“Ini untuk persiapan lomba debat di Bali yang aku ceritakan pada kau waktu itu!”“Oh, iya. Baiklah. Lalu?”“Kau juga harus ikut.”“Tapi Bahasa Inggrisku kurang manjur sebagai alat perdebatan. Akan lebih berfungsi jika digunakan merangkai puisi dan cerita pendek, Pak!”
“Iya, baiklah. Thank you, mr … atas tumpangan berharganya.”“Oh? Maksudnya?”“Hem … tidak. Bukan apa-apa,” balasnya senyum. Ia lalu masuk ke asrama puteri.Dan aku kembali merencanakan sisa impianku yang belum kelar. Picolo akan menjadi tangan kananku untuk bisa meraih langit Melbourne. Aku tak bermaksud mempermainkan kejantanan Picolo. Aku ingin dia menjadi seperti halnya Mus yang dulu. Nama mereka juga sama.Ya, tidak ada pertemuan tanpa maksud. Selalu ada alasan di balik semua wujud perpisahan. Dan gadis berjilbab zebra tadi, akan menjadi loncatan asmara yang menghadirkan relikul pilihan bertubi-tubi dalam hidupku. Aku harus memilih antara bertemu dengan impianku atau menggarisbawahi drama asrama picisan bersamanya.
Kertas bertuliskan Macquarie di atas dinding asrama sudah terlihat lagi lima bulan kemudian. Sebulan kemudian yang kumaksud adalah di bulan Agustus ketika burung-burung camar menyapu udara kotor secara gamblang di langi-langit pagi. Aku menerima kabar perpisahan spektakuler pagi-pagi. Namun hatiku berhijrah ke arah ruang alasan pencabutan kertas putih itu.Pencabutan itu menyisakan kesendirian bagi gambar Melbourne dan deretan impianku bersama Mus. Tak ada lagi orang ketiga. Di antara baris mimpi tertulis itu, hanya impian-impian kecil seperti memiliki laptop, handphone, sahabat, keterampilan pendukung, dan lainnya yang terwujud.Lantas masih banyak target-target kecil dan satu impian besar belum bisa diberi tanda. Dan impian terbesar itu kau tahu sendiri, berjumpa dengannya di Melbourne.Andai aku cekatan dalam menafsirkan maksud, mungkin mudah bagiku menebak esensi Mus berjumpa denganku di Melbourne atau Sidney sementara ia berada di negeri tetangga. Jika kau lebih paham dariku, kau
“Mr melamunkan apa?”“Big Bos?”Picolo dan Zoro tersentuh.“Aku tidak apa-apa. Hanya tiba-tiba tersengat masa lalu.”“Itu filosofi?” tanya Harry Potter yang telah bangun.“Big Bos selalu penuh dengan gramatikal pemikiran baru,” puji Takiya yang ternyata telinganya semakin hidup.Itu adalah tahun permulaan aku merasakan rasanya namaku dipanggil dengan awalan ‘mr’. Aku juga merasa tua dan jiwa pemuda seolah-olah tertimbun kepingan-kepingan polos penasaran mereka. Dan itu berlaku setiap waktu. Untungnya sebutan ‘Amak Toak’ milik Bang Ari tidak bereinkarnasi padaku sebagai pengganti beliau.Namun diskusi aneh itu tak berlanjut. Waktu perkuliahan menggunting kesempatan dari pertanyaan bodoh kami keluar. Meski semua anggota ‘6 Kelana’ mengambil program studi Bahasa Inggris, tidak menutup batang otak kami untuk mendiskusikan hal-hal lain. Ya, mesk
Aku juga pernah mendapat ingatan dari sekuel Room Nakama, tentang kisah seorang yang sudah meninggal. Ia adalah pendiri Room Nakama dan merangkum kisah tawa dan lara. Saat itu, Bee yang dirindukan Natalie memiliki kisah masanya sendiri bersama teman-temannya yang dulu.Dia adalah belahan kisah dari ingatanku. Aku dan sahabatku bernama Mus serta beberapa penggal memori yang dulu.Mimpi terjauh di atas kerak bumi yang mesti kugali sedalam mungkin, timbul liar di baris-baris cerita selanjutnya. Namun sekali lagi, mimpi bertemu dengan Mus di Melbourne masih jauh. Ah! Mungkin kau belum paham lantaran kita masih sampai permulaan. Aku harap kau tahan dengan apapun bentuk pelapisan diri dan perjuangan harapan yang kulakukan nanti.Dan mimpi kejauhan yang kumaksud akan dimulai di pertengahan cerita. Genre-nya tragedi, berlumur asmara, dan kalian tetap mesti bersabar untuk air mata yang kujalani.Dan keringat harga diriku berbuah manis, meski mahasiswa baru yang hadir di angkatan setelahku itu
Sejatinya memang benar, Mus dan Hajar merencanakan pertemuan ini dengan cara yang cukup menyiksa kejiwaanku. Sebab Mus, Hajar, dan para anggota Enam Kelana, detik itu tersenyum ke arahku tanpa merasa berdosa.Aku sedih tapi sangat bahagia. Tak ada kamus tebal manapun yang sanggup mengartikan kebahagiaan sekaligus kesedihanku kala itu. Aku menerjang derita dan tawa tertahan yang seirama. Mereka semua pun menertawakan kelemahan diriku, yang gagal menebak pikiran Mus dan semua permainan itu.Selepas itu, pemandangan baru tercipta di langit Sidney. Aku akhirnya bisa menyaksikan Picolo dan Mus, dua orang dengan nama asli yang sama, berada dalam satu ranah pertemuan paling konyol se-muka bumi Australia. Takiya, Zoro, Wolf, Snoopy, dan Harry Potter juga rela meninggalkan rutinitas formal yang mereka demi menjemputku."Aku berandai-andai bisa mengejutkan kalian semua dengan kepulanganku. Tetapi, yang terjadi malah ...""Kau sehat-sehat saja, Big Bos kebanggaan ka
Di sini aku semakin curiga.Kakek Hwang memutar balik punggung Mus, saat kami turun dari trem. Gerakan itu adalah tanda beliau meminta Mus, menuntun sebuah keputusan. Sebenarnya aku tidak mengerti. Seakan ada yang keduanya sembunyikan dariku.Tetapi bagaimana mungkin? Sebuah perencanaan sandiawara memerlukan tidak hanya sekali pertemuan. Sementara Mus dan Kakek Hwang baru kali itu bertemu dengan kami.Entah kenapa jiwa detektifku kumat. Aku yang sempat berangan-angan menjadi seorang polisi seperti pada cerita Room Nakama, akhirnya pada suatu titik nantinya, memilih meninggalkan Mus dan Hajar sementara. Saat terakhir aku kembali ke Sidney, aku hanya mengerjakan tugas-tugas duniawi dari Professor kesayanganku.Memegangi tingkat depresi secara pribadi di antara gang-gang sempit di dalam ruh pikira
"Hm, mengenai itu ... jawabannya mudah sekali, Bee.""Apa, Mus?""Ia pasti melihat WhatsApp story Hajar. Entah tulisan Hajar itu berisi dirinya yang ingin menemukan kita, atau keadaan dirinya yang baru saja berada di Australi. Seorang yang melihat ponsel orang lain dengan bahasa percakapan asing, pasti langsung mengerti jika seseorang itu berasal dari negara yang berbeda. Apalagi melihat permulaan identitas nomornya.”"+62!""Ya, lantas juga pria itu menghubungi nomormu, karena kemungkin besar nomormu berada di posisi paling atas ... sebagai seorang yang dominan dihubungi oleh Hajar sebagai si pemilik ponsel. Apa aku benar?'"Kau sangat benar, Mus. Tepat dan sangat cerdas.""Haha, dan kau masih khawatir lagi?"