“Kita bisa menerima itu dengan baik, Teman. Mungkin benar, semakin luas lingkaran pertemanan kita, makan akan semakin palsu lah diri kita. Aku mengakui itu sebagai sebuah daya tarik tersendiri bagi para manusia yang merasa dirinya paling benar dan hebat. Tak ada sudut pandang beragam dalam dirinya untuk bisa menilai dan melihat kualitas hati dan pikiran orang lain. Padahal kemampuan psikologi semacam itu sangat menguntungkan bagi mereka yang sadar.”“Tidak semuanya menurutku. Sekedarnya saja jika memang sebagian para bocah itu merasa heran dengan kehidupan konvensional semacam itu. Mungkin baik jika diteruskan dengan modal semangat dan impian besar.”“Benar adanya, kita bisa memaksimalkan keunggulan itu sebagai peluang yang maksimal.”“Maksudmu, kau ingin membawaku kesana? Di mana tempat berkumpulnya para bocah cerdas penuh mimpi itu?”“Di suatu sudut desa yang dekat dengan pantai. Banyak pekerja lepas
Aku mengingat sebuah kisah yang pernah kubaca pada suatu malam yang dingin banyak semilir angin. Judulnya fiksi sebuah kampus. Aku rasa bisa menghibur teman di sebelahku untuk menutup cerita ini sampai beberapa halaman ke depan. Menari bila terlalu membahas itu dan rasanya sulit jika mengulangnya terus-menerus.Baiklah, kita kembali ke duniaku. Pada titik dimana semuanya belum wangi secara internal. Kita memungkin diri berkerumun di balik detik. Waktu itu berada dalam sebuah labirin kebingungan dan keputusasaan.Berusaha menemukan sahabatku yang hilang dan katanya sudah melewati banyak kenangan di setia lapisan langit bernama Room Nakama, seperti sedang menyiapkan pesanan kopi dari kedai di bumi yang lain, berukuran kecil, dan terhubung melalui sebuah ponsel alam semesta. Di sebuah kedai kecil itu, kami memadukan pertemuan berdasarkan pesana dalam percakapan di WhatsApp me
“Ya, dan sekarang kau masih ingin seperti ini selamanya? Berangkat sekarang pejuang pendidikan!”“Oh?”“Aku akan meneruskan kisahku yang tertunda. Hanya saja, kau akan berperan berbeda dan menjadi dosenku, Big Bos!”"Kita benar-benar akan menulis kisah kedua? Harusnya kita mengalami yang namanya dilema terlebih dulu. Bukankah cerita pertama, adalah rangkaian kejadian dan mimpi mengenaskan kita yang akhirnya tercapai sementara?""Kau berlebihan dalam memikirkannya semuanya. Cerita tak harus indah selamanya. Untuk bagian kedua, kita buat saja pelan-pelan mengenai masa-masa kita di Melbourne ini, Bee.""Jika hanya menceritakan rasa nyaman, orang-orang tak akan suka.""Bukankah mereka
Malam Rabu pukul 20.40, Detektif Bee melewati jalan yang ramai bersama rekannya Briella, yang adalah seorang hacker. Mereka berdua membeli dasi kupu-kupu yang dipesan khusus sebagai alat penyadap suara. Yah, mereka berdua adalah detektif terkenal di Moskow, Polandia. Kasus-kasus pembunuhan yang sering dimintai bantuan Inspektur Renji untuk ditangani, selalu berhasil dipecahkan oleh kolaborasi pikiran mereka berdua. Kita lihat saja, kali ini apakah mereka berdua akan berhasil lagi memecahkan salah satu kasus rumit, yang menjadi inti dari cerita ini. Nanti, kalian nilailah sendiri.“Berpikir adalah kuncinya. Modal terbesar yang sudah ditabung rapi di dalam saham logika mereka yang bernama otak. Bukan begitu, Detektif Bee?” suara Inspektur Renji dari kejauhan. “Otak dengan tampungan genius, yang dimana polisi tak mampu berada dalam sudut pandang pelaku.”“Ya, penilaian yang baik, Inspektur, aku harap kita tidak akan terlibat kasus yang sulit dan manipulatif, benar, kan, Briel?” Detektif
Detektif Bee menoleh sedikit ke arah jendela yang pecah. Ada perasaan membaur yang mungkin jadi pencetus gerak hatinya. Ia mendekati area serpihan kaca. Mendongak keluar, matanya, melototi tanah luar rumah, dan menganggukkan kepala pelan seperti telah mengerti satu hal kecil. Satu hal mendasar yang hanya bisa keluar dari cahaya analisisnya.“Sebelumnya, kami memanggi Mrs. Key dari luar namun tak ada jawaban. Sinar alarm infraretnya pun masih bagus, tak ada kesalahan,” terang si petugas. “Kami bahkan sampai berteriak dan memberitahu Mrs. Key, kami akan membuka pintunya.“Lalu?” tanya Inspektur Renji.“Saat akan membuka pintu, Mrs. Key mendadak muncul dan berkata dia dari ruangannya. Bibi Keri saat itu pulang dan bertanya apa yang terjadi. Hal yang membuat kami kaget.”“Kehadiranku?” tanya Bibi Keri tak percaya. “Kalian terkejut dengan kehadiranku?”“Apa kau lupa Bibi? Mrs. Key saat itu sedang memakai masker dan kita sama-sama terkejut di depan pintu luar. Kebiasaan yang jarang terjadi
Detik berikutnya, udara berbeda dan lebih segar. Inspektur Renji meninggalkan Briella dan Bee yang pulas dan sejenak tak henti-hentinya berpikir semalaman. Bee sebelumnya meminta semuanya tidur saja.Bee mencari posisi Briella, ada hal yang ingin disampaikan. Cerita yang semestinya. Alasan yang harus dikaitkan. Semalaman memandangi jenazah Mrs. Key, Bee merasa ada yang janggal dengan wajah Mrs. Key. Penuh kerutan.“Seperti diracun,” gumam Briella.“Tidak, kemungkinan dari cara itu kecil,” Bee menyimpulkan singakt. “Jika hanya tetap terjaga dan tidak tidur, apakah kita bisa memikirkan cara agar pelaku terlihat unsur-unsur kecilnya? Briella tersenyum, memandangi punggung Bee yang tengah menatap ke luar jendela yang pecah. “Ada yang aneh bukan... dengan cara pecahnya kaca jendela itu? Itu hal yang jadi alasan kau berulang kali memandanginya saat semua orang masih berkumpul di sini."Ada apa? Apa ada hal yang perlu kau curigai dari pikiranku kali ini, Brilel?" Bee bertanya tiba-tiba, meny
“Ha, ha! Aku hanya bercanda, Tania,” kata Bee tanpa beban. Briella semringah sementara Tania entah kenapa seolah menganggap ucapan Bee sebelumnya adalah keseriusan, meskipun telah diberitahu seperti itu.Inspektur Renji mendadak hadir kembali. Hadir secara mengejutkan. Sebuah pergelaran kecil seperti akan keluar dari tubuh kekarnya.“Bagaimana hasil otopsinya, Detektif Renji?”“Yah, terukur, namun penuh pembodohan.”“Maksudnya?”“Ada bekas cekikan, namun juga ada bekas luka tembakan.”“Hmmm... benar-benar seperti dugaanku. Memang ada manipulasi situasi yang sengaja dibuat pelakunya. Aku rasa itu adalah dua hal yang sengaja ditinggalkan pelaku secara alami.”“Dilakukan setelah Mrs. Key meninggal, begitu, kan, maksudmu?” kata Briella.“Benar, tapi bisa juga ada perlawanan dari Mrs. Key dan akhirnya pelaku terpaksa menembaknya. Em, bagaimana dengan sidik jari di leher?”“Tidak ada,” jawab Inspektur Renji. “Semuanya hilang. Pelaku memang menghapusnya, atau ia memakai sarung tangan.”“Ha,
Detektif Bee melihat ke arah ruang kosong yang lain. Ia bertanya pada Tuan Modi, "Apa ada ruangan lainnya?"Tuan Modi hanya menjawab, "Ruangan apa yang Anda maksud, kan?"Detektif Bee tak langsung menjawab, ia malah menunjuk ke sisi lain gedung teleskop."Sudah mengerti?" kata Detektif Bee mengayunkan pertanyaannya pada semua orang. "Banyak retakan di sini. Retakannya tidak teratur.""Lalu apa hubungannya dengan kematian Mrs. Key?" Briella bertanya. "Jika ini adalah retakan alami, bisa jadi ini tercipta dari karatan. Ini seperti... ah, benar!"Orang-orang serempak teralihkan ke arah Briella."Pembunuhan terbaik selalu berupaya meninggalkan alibi yang masuk akal," lanjut Briella."Kami tidak mengerti, Opposite Briella. Inikah yang disebut dengan...""Ada pengalihan isu," jawab Briella memotong laju perkataan Inspektur Renji. "Apa itu yang ingin kau katakan, Bee?"Bee mengangguk, "Bisa jadi. Tetapi ini baru menjadi spekulasi saja. Tuan Modi, dimana kau kehilangan Mrs. Key pertama kali m
“Ya, dan sekarang kau masih ingin seperti ini selamanya? Berangkat sekarang pejuang pendidikan!”“Oh?”“Aku akan meneruskan kisahku yang tertunda. Hanya saja, kau akan berperan berbeda dan menjadi dosenku, Big Bos!”"Kita benar-benar akan menulis kisah kedua? Harusnya kita mengalami yang namanya dilema terlebih dulu. Bukankah cerita pertama, adalah rangkaian kejadian dan mimpi mengenaskan kita yang akhirnya tercapai sementara?""Kau berlebihan dalam memikirkannya semuanya. Cerita tak harus indah selamanya. Untuk bagian kedua, kita buat saja pelan-pelan mengenai masa-masa kita di Melbourne ini, Bee.""Jika hanya menceritakan rasa nyaman, orang-orang tak akan suka.""Bukankah mereka
Aku mengingat sebuah kisah yang pernah kubaca pada suatu malam yang dingin banyak semilir angin. Judulnya fiksi sebuah kampus. Aku rasa bisa menghibur teman di sebelahku untuk menutup cerita ini sampai beberapa halaman ke depan. Menari bila terlalu membahas itu dan rasanya sulit jika mengulangnya terus-menerus.Baiklah, kita kembali ke duniaku. Pada titik dimana semuanya belum wangi secara internal. Kita memungkin diri berkerumun di balik detik. Waktu itu berada dalam sebuah labirin kebingungan dan keputusasaan.Berusaha menemukan sahabatku yang hilang dan katanya sudah melewati banyak kenangan di setia lapisan langit bernama Room Nakama, seperti sedang menyiapkan pesanan kopi dari kedai di bumi yang lain, berukuran kecil, dan terhubung melalui sebuah ponsel alam semesta. Di sebuah kedai kecil itu, kami memadukan pertemuan berdasarkan pesana dalam percakapan di WhatsApp me
“Kita bisa menerima itu dengan baik, Teman. Mungkin benar, semakin luas lingkaran pertemanan kita, makan akan semakin palsu lah diri kita. Aku mengakui itu sebagai sebuah daya tarik tersendiri bagi para manusia yang merasa dirinya paling benar dan hebat. Tak ada sudut pandang beragam dalam dirinya untuk bisa menilai dan melihat kualitas hati dan pikiran orang lain. Padahal kemampuan psikologi semacam itu sangat menguntungkan bagi mereka yang sadar.”“Tidak semuanya menurutku. Sekedarnya saja jika memang sebagian para bocah itu merasa heran dengan kehidupan konvensional semacam itu. Mungkin baik jika diteruskan dengan modal semangat dan impian besar.”“Benar adanya, kita bisa memaksimalkan keunggulan itu sebagai peluang yang maksimal.”“Maksudmu, kau ingin membawaku kesana? Di mana tempat berkumpulnya para bocah cerdas penuh mimpi itu?”“Di suatu sudut desa yang dekat dengan pantai. Banyak pekerja lepas
Anak remaja melintasi sebuah kota mati yang sudah tak berpenghuni. Mereka tiada takutnya sama sekali. Hari ini rasanya sulit bagi salah satu dari mereka menemukan kebahagiaan yang sama seperti dulu. Orang tua mereka telah merantau entah kemana. Meninggalkan jejak yang sulit dihapus. Luka yang tak mudah dibumbui kasih sayang orang lain lagi.Hanya sahabat kecilnya saja yang melucu satu sama lain dan masih bisa untuk saling percaya. Mereka tidak sebatang, hanya sendiri dalam status berbeda. Tak ada kartu tanda penduduk yang melekat dalam status keseharian mereka.Lagipula, untuk apa? Mereka tak membutuhkan itu sama sekali. Jauh dari sudut dunia yang tak bisa dijangkau dan dianalisa. Meski perubahan selalu mereka dengar, tak lantas mengembalikan semua yang pernah hancur. Tapi tak mengapa, yang terpenting adalah... mereka bahagia. Aku mengamati itu sebagai seorang anak remaja yang telah melihat banyak sekali kematian.Rasanya aku pernah melintas beberapa lapis langit dan itu sangat menyen
"Ah, tidak. Nanti juga kau akan mendengarnya langsung dari Beliau."Buu saat itu aku rasakan sedang bercampur perasaan senang dan sedih. Dia itu penyayang. Beliau aku rasa memang menanamkan sifat itu padanya. Terbukti dengan pada lote yang ia urus dengan tulus. Ada hal yang belum ingin ia katakan padaku.Itu haknya prerogatif yang Beliau berikan padanya kurasa. Ia bisa mengatakannya langsung dan tidak menahannya seperti saat aku masih berbicara padanya melalui ponsel langit.Ada sesuatu yang ia pikir kurang baik bagiku jika ia menyampaikannya. Tak sabar jadinya aku bertemu Beliau jika melihat sikap Buu yang demikian random. Aku memilih menghargainya, jadi aku tetap berusaha bersikap wajar dan biasa saja, seolah tidak ada rasa penasaran yang berlebihan dari warna ekpresiku."Baiklah, Nyet. Silahkan masuk. Sampaikan salam ku pada Beliau, bicaralah yang baik, dan tetap lah berusaha menjalani peran manusiamu di zaman penutup itu dengan jujur."Aku sema
Meo mengerti dengan sangat cekatan. Ia muncul dan berlari memanggil kami berdua. Ia menggemaskan. Aku dan Pere lalu mengucapkan selamat datang dan mari kita pulang padanya. Pere langsung melesat lagi dengan kecepatan penuh. Keluar dari bumi keenam. Meo melihat bumi tempat ia tinggal itu dari atas langit, sambil perlahan-lahan akan tertidur di pangkuanku.Kami pun tiba di bagian lapis langit yang memiliki pintu. Tak langsung terbuka. Pere melihat ke arahku dan meminta Meo untuk menempelkan telapak tangannya. Aku pun membangunkan Pere perlahan dan berkata pada kalau kita telah sampai usai. Ia reflek dan nampak memang mengerti apa yang harus dilakukan. Ia menempelkan telapak tangan kanannya.Dan ya, pintu itu terbuka. Cahaya keluar dari pintu itu, Pere bergegas masuk. Kami pun disuguhi pemandangan yang luar biasa nan indah. Tak ada planet apapun di langit ke tujuh. Semuanya d
"Jangan biarkan hal itu merenggutmu. Kita perlu punya akses ke ruang berpikir kita sendiri. Dengarkan aku baik-baik soal ini. Rima setiap semesta dan kisah hidup di dalamnya tak pernah habis. Itu lah alasanmu bisa melihat masa lalu yang rumit itu dalam waktu bersamaan. Bahkan bila jantung berhenti, roh bertabur di dalam perkataan yang pernah dicatat oleh para malaikat.""Apa kita akan bertemu lagi? Aku rasa iya. Namun dalam seri hidup yang berbeda. Film kisah nyata yang lain rasanya. Segalanya ada pada diri kita yang Beliau titipkan. Bahkan bila aku menganggap kita tak akan pernah pergi. Tidak tahu kapan dan di mana. Di bagian bumi dan semesta ke berapa. Mungkin nanti aku jadi pebisnis kaya raya."Pere tertawa kecil. Itu adalah susunan yang bagus dari suatu profesi. Aku tidak mau sembarang mengeluarkan kantukku yang terakhir. Juga tidak ingin asal mengucap. Akan selalu kutunggu, Pere yang baik dan penurut pada Beliau. Semoga aku tidak terperanjat dalam dosa yang buruk.
Kami turun di kota yang tak biasa. Menarik. Menumbuhkan kepercayaan diri luar biasa. Sesekali kami bersemangat dengan cara berbeda sambil memandangi semua yang bisa dinikmati oleh mata. Ada baiknya rencana kami dalam menemukan Meo berjalan dengan baik dan sehat.Jika Pere kenapa-napa karena terpaksa turun ke bawah permukaan, aku tidak tahu harus menjelaskan apa pada Buu nantinya. Jika sulit bagiku untuk menganalisa kemungkinan posisi Pere, maka tak ada jalan lain selain terbang dan melihat dari atas lagi. Saat melewati permukaan Bumi keenam aku sudah berganti peran kepada yang utama, yaitu Monyet baik.Tapi jika diperlukan, aku akan kembali menggunakan tubuh Kecoa itu. Seekor Monyet berjalan di tengah keramaian kota yang penuh manusia sangat lah tidak baik. Bahkan jika memungkinkan, semua yang terjadi harusnya bisa lebih baik untuk di jalani. Meo kemungkinan ada di sekitar
Jalan yang begitu sulit itu terdeteksi rapuh, tak memadai untuk terus-menerus bagiku terlalu berharap pada kemampuan Pere. Tapi dia beda, ada kemampuan di luar nalar mahluk hidup yang Beliau hadirkan padanya. Diciptakan khusus untuknya. Kedua kakiku berat rasanya. Bulu-bulunya serasa akan beterbangan namun untungnya akarnya masih kuat, tertanam di dalam pori-pori kulit.Bahkan saat betisku terasa gatal, aku tidak punya waktu untuk sekedar menggaruknya. Dikarenakan kecepatan Pere berkali lipat dari sebelumnya. Ini adalah mode penuhnya.Aku juga tidak ingin mengatakan apapun dulu sehingga menggangu fokusnya melawan gravitasi. .Perkara beda zaman dan beda bahasanya, membuatku sadar betapa indahnya keadaan yang diciptakan dengan cahaya. Memang apa yang aku katakan pada Pere juga menjadi cermin kehidupan. Tidak cuma sebagian atau sebelah saja. Sesuatu yang saling berdekatan. Sangat rapat. Sesuatu di di dalam diri kita sendiri.Ketika seseorang lebih suka deng