"Laurel, dengerin bunda dulu, Rel." Indah menarik tangan Laurel agar tidak berada lebih jauh dari sebelumnya.
Keluarga itu kembali ke rumah setelah mengantarkan Laura. Laurel, ia tetap saja belum ikhlas dengan kepergian adiknya.
"Apa lagi, Bun? Sekarang bunda pasti senang, bukan?"
"Tidak, bukan seperti itu, Rel." Indah mencoba menyangkalnya.
"Lalu seperti apa, Bun? Seperti apa!?"
"Kamu ... Membentak, bunda?" Indah melepas genggaman tangannya, menatap Laurel dengan tatapan tidak percaya.
"Hanya karena anak sial itu, kamu membentak bunda, Laurel?" Lanjutnya.
"Anak sial kata bunda? Siapa? Laura?" Laurel mendecih kesal, ia tidak dapat mengendalikan dirinya lagi.
"Bunda tahu, nggak? Siapa
Indah sedang bersantai di ruang keluarga, seorang diri. Ia sedang sibuk menggulir layar ponsel, entah apa yang sedang ia lihat. Mungkin saja, sedang melihat berita terkini yang terjadi di dunia, seperti insiden gunung Semeru atau gunung Merapi. Seseorang mendekati Indah, menatapnya lembut. Orang itu adalah Lenda, putrinya yang telah meninggal beberapa tahun silam. "Bunda?" "Ada apa, sayang?" Indah bertanya. Menatap sejenak wajah Lenda, lalu kembali memalingkan wajahnya untuk melihat layar ponsel. "Apa ponsel itu begitu penting buat bunda?" "Kamu berpikiran seperti itu?" Ia balik bertanya. "Tampaknya memang seperti itu." Lenda memalingkan wajahnya, lalu berdiri membelakangi ibunya. "Kamu kenapa, nak? Kamu marah sama bunda?"Lenda tidak menjawab, ia beranjak begitu saja. Sementara Indah, ia bingung dengan pemikiran Lenda. Kemana a
"Saya mau kamu melakukannya dengan senatural mungkin, jangan sampai ada kesalahan. Paham?"Alya melirik sekitar, memperhatikan gerak-gerik Laurel. Ia tidak ingin Laurel tahu keberadaannya sekarang. Namun tampaknya, ia sedang dalam misi serius."Baik, mba Alya. Akan saya lakukan sesuai perintah mbak." Kata seseorang yang telah menerima perintah tersebut.Alya kembali ke tempat semula. Saat ini, Alya dan Laurel sedang berjalan-jalan. Mereka bersantai di akhir pekan, karena kebetulan jatah libur mereka bertepatan."Dari mana aja, yank?""Dari toilet tadi, ada apa? Kamu perlu sesuatu, yank?" Alya balik bertanya sesaat setelah merapikan posisi duduk dan sabuk pengamannya."Tidak ada apa-apa, kok."Laurel kembali mengemudikan mobilnya setelah menepi beberapa saat yang lalu. Entah sudah berapa lama mereka mengemudikan mobil tersebut. Tampaknya, Alya dan Laurel tidak mempunyai tujuan."Ki
Suasana meja makan yang terbilang cukup sepi, hanya ada dua orang di meja makan. Walaupun begitu, mereka tetap saja tergolong keluarga yang bahagia. Ayah dan anak yang saling melengkapi mampu menutup kekurangan yang ada. "Bagaimana pekerjaanmu, nak?" Dirma bertanya pada anaknya, mengisi kehampaan ruang makan tersebut. "Berkembang menuju arah yan lebih baik, Pah. Semuanya tampak baik." "Bagaimana dengan Laurel?" Alya terdiam, kegiatannya terhenti. Ia meletakkan sendok, menunduk dalam. "Kamu belum bisa mengikhlaskannya, Alya?" Dirma bertanya dengan nada lembut, sembari merapikan peralatan makan bekasnya. "Bagaimana aku bisa mengikhlaskannya, Pa? Bagaimana bisa?" "Sudah bertahun-tahun, kamu tidak harus terjebak di masa lalu, nak." Dirma tetap tenang, ia berusaha menjelaskan secara perlahan pada anak semata wayangnya. "Aku tidak bisa, pah. Tidak akan pernah bisa, maafkan aku." "Papa yakin, ibumu tidak ingin kamu sep
Laura sedang duduk santai sembari menikmati pemandangan indahnya ibu kota Turki, Istanbul. Mungkin saat ini Laura sedang tidak memiliki jadwal kuliah, atau mungkin juga sedang menunggu saatnya kuliah. Ponselnya berdering, monitor menampilkan nama seorang dokter."Halo?""Halo, dengan adik Laura, kan?" Suara dari seberang telepon menyambut hangat."Iya, saya Laura.""Kamu masih kenal saya kan?" Ia kenbali bertanya pada lawan bicaranya saat ini."Iya, dok. Saya masih kenal anda kok," Laura tertawa renyah, mana ada orang yang bisa melupakan secepat itu."Kamu tidak lupa dengan jadwal kontrol, Laura? Kamu sudah melewatiannya lebih dari 10 kali."Laura terdiam, benar saja, ia lupa kalau dirinya sendiri masih merupakan pasien pribadi dokter itu."Maaf, dokter. Saya tidak bisa," Laura mencoba untuk menjelaskannya secara perlahan, ia benar-benar lupa akan hal itu."Apa yang lebih penting dari kesehatan kamu?""Saya ... Tidak berada di Indone
Kembali ke kehidupan kampus Laura di Turki. Sudah lama, entah sudah seberapa lama Laura dan Rafael belum bertemu. Jangankan bertemu, mereka hanya saling bertukar pesan untuk beberapa waktu, tidak setiap hari.Padahal, sehari sebelum keberangkatan Laura ke Turki, mereka resmi pacaran. Tetapi malah di awali dengan hubunga jarak jauh, miris.Sekarang Laura sedang membenahi buku di mejanya, mata kuliah harian telah selesai dan saatnya kembali ke asrama."Ra, keluar bentar yuk?" Ajak Kinan, mungkin ia bosan terus-menerus melihat tampang dari asrama. Atau bisa jadi, ia cukup bosan dengan teman sekamarnya, Elnira.Ponsel Laura berdering, monitor menampilkan nama seseorang yang begitu spesial baginya."Kayaknnya gue belum bisa ikut, deh. Lo ajak Elnira aja."Kinan mendekati Laura, melihat nama dari orang yang sedang menelpon sahabatnya itu."Ah, pantesan. Ternyata mau telponan, cielah." Jahilnya."Apaan sih lo. Kayak gak pernah aja, deh.""Udah,
Laura dan Alandra masih setia duduk di taman itu, menikmati mentari yang mulai tenggelam di cakrawala."Kabarnya China berhasil membuat matahari buatan, ya? "Laura mengangguk, "panasnya melebihi panas matahari aslinya. ""Gak kebayang efeknya kayak gimana, " Keluh Alandra.Lenggang, mereka sedang memikirkan kemungkinan yang akan terjadi jika matahari buatan China itu mengalami kesalahan teknis."Kalian, kayak ilmuan lagi gabut aja, bahas kayak gituan. "Suara itu, Laura mengenalnya. Kinan dan Faray datang mendekati mereka, membawakan minuman untuk keduanya."Udah dari kafe nya?" Laura bertanya."Udah, dong. "Kinan mencari tempat duduk yang nyaman. Mereka berempat melantai di taman, duduk bersila seakan sedang piknik."Gue pikir lo masih nelponan sama Rafael, Ra. "Laura hanya menggeleng, mengingat kembali per
Berselang 30 menit kemudian, dokter utama mengizinkan Laurel menjenguk pasien masih menutup matanya. Laurel tidak pernah menyangka bahwa Alya akan datang menemuinya sebagai pasien. Hatinya masih berdebar, tidak lupa pula Laurel memberitahu Dirma tentang kejadian hari itu."Harusnya kita bersantai di taman, Al. Kenapa kamu menemuiku dengan kondisi seperti ini?"Laurel mengenggam tangan Alya, air matanya menetes. Namun ia tidak ingin memperlihatkan kepada dunia tangisannya. Laurel menangis dalam diam, ia sungguh tidak bisa menghadapi kenyataan."Aku baik-baik aja, Rel. Jangan nangis, lelaki sejati nggak boleh nangis, lho."Mendengar suara itu, Laurel bersegera mendongakkan kepalanya. Gadis yang sedari tadi menutup mata perlahan-lahan mulai tersadar."Al, kamu nggak apa-apa? Apa yang sakit, biar aku panggilin dokter.""Kamu juga dok
Bandara penerbangan ramai dengan orang yang hilir mudik. Beberapa orang tampak sedang menunggu pesawat yang akan ditumpanginya, beberapa lagi sibuk mengurus administrasi. Kinan memapah Laura duduk di salah satu bangku tunggu sembari memperhatikan sekitarnya. "Nih, Ra. Minum dulu, wajah lo pucet banget." Kinan membuka sebotol air mineral. "Lo kenapa? Lo sakit?" "Tidak, mungkin kecapean aja." Timpalnya mengelak. Laura meminum air mineral itu, lalu menghela nafas berat. "Lo istirahat aja, gue bakal nelpon kak Rel." Kinan mengotak-atik ponselnya, menghubungi Laurel yang mungkin sedang sibuk di rumah sakit. "Kak Rel?" "Iya, Kinan. Ada apa?" Suara dari seberang telepon menyapanya."Aku sama Laura udah nyampe nih, di bandara. Kak Rel bisa jemput nggak? Soalnya Laura kayaknya sakit deh, kak." "Sakit? Kenapa? Sakit apa?" Mendengarkan Kinan, seketika ia panik. Untung saja ia sedang senggang. "Tidak tahu pasti sih, cuma katanya capek doang.""Yaudah, kamu tunggu disana ya? Jagaian Laura.