Kembali ke kehidupan kampus Laura di Turki. Sudah lama, entah sudah seberapa lama Laura dan Rafael belum bertemu. Jangankan bertemu, mereka hanya saling bertukar pesan untuk beberapa waktu, tidak setiap hari.
Padahal, sehari sebelum keberangkatan Laura ke Turki, mereka resmi pacaran. Tetapi malah di awali dengan hubunga jarak jauh, miris.Sekarang Laura sedang membenahi buku di mejanya, mata kuliah harian telah selesai dan saatnya kembali ke asrama."Ra, keluar bentar yuk?" Ajak Kinan, mungkin ia bosan terus-menerus melihat tampang dari asrama. Atau bisa jadi, ia cukup bosan dengan teman sekamarnya, Elnira.Ponsel Laura berdering, monitor menampilkan nama seseorang yang begitu spesial baginya."Kayaknnya gue belum bisa ikut, deh. Lo ajak Elnira aja."Kinan mendekati Laura, melihat nama dari orang yang sedang menelpon sahabatnya itu."Ah, pantesan. Ternyata mau telponan, cielah." Jahilnya."Apaan sih lo. Kayak gak pernah aja, deh.""Udah,Laura dan Alandra masih setia duduk di taman itu, menikmati mentari yang mulai tenggelam di cakrawala."Kabarnya China berhasil membuat matahari buatan, ya? "Laura mengangguk, "panasnya melebihi panas matahari aslinya. ""Gak kebayang efeknya kayak gimana, " Keluh Alandra.Lenggang, mereka sedang memikirkan kemungkinan yang akan terjadi jika matahari buatan China itu mengalami kesalahan teknis."Kalian, kayak ilmuan lagi gabut aja, bahas kayak gituan. "Suara itu, Laura mengenalnya. Kinan dan Faray datang mendekati mereka, membawakan minuman untuk keduanya."Udah dari kafe nya?" Laura bertanya."Udah, dong. "Kinan mencari tempat duduk yang nyaman. Mereka berempat melantai di taman, duduk bersila seakan sedang piknik."Gue pikir lo masih nelponan sama Rafael, Ra. "Laura hanya menggeleng, mengingat kembali per
Berselang 30 menit kemudian, dokter utama mengizinkan Laurel menjenguk pasien masih menutup matanya. Laurel tidak pernah menyangka bahwa Alya akan datang menemuinya sebagai pasien. Hatinya masih berdebar, tidak lupa pula Laurel memberitahu Dirma tentang kejadian hari itu."Harusnya kita bersantai di taman, Al. Kenapa kamu menemuiku dengan kondisi seperti ini?"Laurel mengenggam tangan Alya, air matanya menetes. Namun ia tidak ingin memperlihatkan kepada dunia tangisannya. Laurel menangis dalam diam, ia sungguh tidak bisa menghadapi kenyataan."Aku baik-baik aja, Rel. Jangan nangis, lelaki sejati nggak boleh nangis, lho."Mendengar suara itu, Laurel bersegera mendongakkan kepalanya. Gadis yang sedari tadi menutup mata perlahan-lahan mulai tersadar."Al, kamu nggak apa-apa? Apa yang sakit, biar aku panggilin dokter.""Kamu juga dok
Bandara penerbangan ramai dengan orang yang hilir mudik. Beberapa orang tampak sedang menunggu pesawat yang akan ditumpanginya, beberapa lagi sibuk mengurus administrasi. Kinan memapah Laura duduk di salah satu bangku tunggu sembari memperhatikan sekitarnya. "Nih, Ra. Minum dulu, wajah lo pucet banget." Kinan membuka sebotol air mineral. "Lo kenapa? Lo sakit?" "Tidak, mungkin kecapean aja." Timpalnya mengelak. Laura meminum air mineral itu, lalu menghela nafas berat. "Lo istirahat aja, gue bakal nelpon kak Rel." Kinan mengotak-atik ponselnya, menghubungi Laurel yang mungkin sedang sibuk di rumah sakit. "Kak Rel?" "Iya, Kinan. Ada apa?" Suara dari seberang telepon menyapanya."Aku sama Laura udah nyampe nih, di bandara. Kak Rel bisa jemput nggak? Soalnya Laura kayaknya sakit deh, kak." "Sakit? Kenapa? Sakit apa?" Mendengarkan Kinan, seketika ia panik. Untung saja ia sedang senggang. "Tidak tahu pasti sih, cuma katanya capek doang.""Yaudah, kamu tunggu disana ya? Jagaian Laura.
"Kardiomegali bukanlah penyakit, melainkan tanda dari penyakit tertentu. Mungkin terjadi akibat stress ringan, melemahnya otot jantung, penyakit arteri koroner, atau bahkan masalah pada katup jantung." Jelas dr. San yang menandakan bahwa rapat mereka telah di mulai.Ruangan berukuran 5×6 cm dengan satu meja panjang tampak lenggang, para dokter yang sedang duduk memperhatikan catatan yang mereka bawa. Hampir semua yang hadir dalam rapat adalah dokter senior, hanya dua diantaranya yang merupakan dokter muda dan residen."Pasien mengalami gejala irama jantung abnormal, sesak nafas, pusing, dan nyeri dada." Laurel menambahkan, ia juga membaca laporan tentang kondisi pasien yang tidak lain adalah adiknya sendiri.Dr. San menampilkan hasil rontgen dada milik Laura di layar. "Ini adalah hasil rontgen pasien.""Ada masalah pada katup mitral dan tricuspid nya," Dr. Lay mem
"Bunda yakin?" Lenda masih berdiri di tempatnya, menatap Indah dengan penuh selidik. "Sudah cukup banyak waktu yang aku kasih, Bun!" "T-tolong Bunda, please." Indah memelas, ia sungguh tidak siap jika nantinya semua akan kembali terulang ."Bagaimana jika aku tidak mau?" "Sekali ini saja, tolong beri Bunda kesempatan untuk membahagiakan Laura, nak!" Indah memegang tangan Lenda, ia terus memohon untuk hal yang sudah di sia-siakannya selama bertahun-tahun. "Sekali lagi?" Lenda bertanya, ia melepas genggaman tangan Indah. "Bunda sadar, gak? Sudah banyak kesempatan yang aku kasih untuk Bunda. Dan kini Bunda ingin kesempatan itu datang lagi?" Ia menghela nafas berat. "Lenda, sayang. Dengerin Bunda dulu, nak!"Lenda tidak menghiraukan perkataan Indah, ia terus melangkah mundur. Tampaknya Lenda sudah mau pergi, entah itu akan segera membawa Laura bersamanya, atau tidak.
Dr. San menatap Iswan dengan berat, seakan tidak sanggup memberi penjelasan kepada pria paruh baya tersebut. Kebetulan, saat ini dr. San tengah mempelajari kasus Laura, mencari celah kecil untuk menyelamatkan gadis itu. "Apa ... penyakitnya parah?" Iswan bertanya dengan segala keraguan dalam benaknya, seakan-akan tidak siap dengan penjelasan yang kelak akan ia terima. "Nampaknya, dokter Laurel belum menyampaikannya." Ucap dr. San sembari berusaha mengukir senyum walaupun nampak suram. "Laura ... dia menderita Kardiomegali. Juga terdapat beberapa komplikasi pada jantungnya." Dokter San memperlihatkan hasil rontgen kepada Iswan, lantas menjelaskan dengan teliti tentang masalah kesehatan Laura. "Dia pasti bisa ... sembuh, kan?" "Sejauh ini cara paling berpengaruh ialah transplantasi, Pak. Sudah lama saya mendaftarkan Laura dalam pencarian organ. Namun, hingga saat ini belum mendapatkan donor yang sesuai." Dr. San k
Kembali terbayang dalam benak Indah tentang senyuman Laura yang baru saja ia lihat. Senyuman yang begitu tulus. Rasanya, keinginan Laura seakan sudah tercapai. Ia hanya ingin mendengar kalimat itu dari mulut Indah, kalimat sayang yang sudah dinantikannya selama 14 tahun terakhir."Laura! Bangun, nak! Bangun!" Indah menggoyang goyangkan tubuh tidak bernyawa milik Laura, berharap keajaiban akan segera datang menyapa hati yang luka, mungkin sekaligus memperbaiki mental yang mulai meremuk."Jangan siksa Bunda seperti ini, Bunda ingin kamu kembali!""Cukup ya, tante!" Kinan menghempaskan tangan Indah dari tubuh Laura. Ia tahu, tidak seharusnya ia ikut campur dalam urusan keluarga Alibasyah. Tapi hati nuraninya tidak menerima hal tersebut."Apa tante belum puas, sudah buat hidup Laura menderita?"Jangankan menjawab pertanyaan Kinan, Indah lebih memilih bungkam dan terus menatap Laura. Ia tahu kesalahan yang di perbuatnya, Indah tahu jelas hal tersebut.Tapi a
Suasana tempat itu lenggang. Walaupun banyak orang yang berlalu lalang, tetap saja mereka hanya sibuk pada pekerjaan masing-masing. Alya menggulir layar ponselnya malas, ia sedang menunggu Laurel untuk sekedar bertemu sapa.Ponselnya berdering pertanda panggilan masuk, terpampang jelas di layar ponsel nomor tanpa tuan. Tidak ada nama disana."Kau sudah gila, ya!?"Amarahnya memuncak ketika menerima panggilan telepon tersebut. Bukan kata sapaan lagi yang menyambut indra pendengaran si penelpon, tapi kata yang terkesan kasar untuk sekedar awal pembicaraan."Kau ingin membunuhku!?""Eits, tenang nona Alya." Suara berat dari seberang sana menanggapi, "jika saya ingin membunuh anda, pasti dokter Laurel sudah berduka sekarang."Orang itu terkekeh, seakan menikmati permainan yang ia buat. Ekspresi wajah Alya terlihat masam, sepertinya ia tidak menyukai situasi seperti sekarang."Mengapa? Anda sudah takut?