"Kardiomegali bukanlah penyakit, melainkan tanda dari penyakit tertentu. Mungkin terjadi akibat stress ringan, melemahnya otot jantung, penyakit arteri koroner, atau bahkan masalah pada katup jantung." Jelas dr. San yang menandakan bahwa rapat mereka telah di mulai.
Ruangan berukuran 5×6 cm dengan satu meja panjang tampak lenggang, para dokter yang sedang duduk memperhatikan catatan yang mereka bawa. Hampir semua yang hadir dalam rapat adalah dokter senior, hanya dua diantaranya yang merupakan dokter muda dan residen."Pasien mengalami gejala irama jantung abnormal, sesak nafas, pusing, dan nyeri dada." Laurel menambahkan, ia juga membaca laporan tentang kondisi pasien yang tidak lain adalah adiknya sendiri.Dr. San menampilkan hasil rontgen dada milik Laura di layar. "Ini adalah hasil rontgen pasien.""Ada masalah pada katup mitral dan tricuspid nya," Dr. Lay mem"Bunda yakin?" Lenda masih berdiri di tempatnya, menatap Indah dengan penuh selidik. "Sudah cukup banyak waktu yang aku kasih, Bun!" "T-tolong Bunda, please." Indah memelas, ia sungguh tidak siap jika nantinya semua akan kembali terulang ."Bagaimana jika aku tidak mau?" "Sekali ini saja, tolong beri Bunda kesempatan untuk membahagiakan Laura, nak!" Indah memegang tangan Lenda, ia terus memohon untuk hal yang sudah di sia-siakannya selama bertahun-tahun. "Sekali lagi?" Lenda bertanya, ia melepas genggaman tangan Indah. "Bunda sadar, gak? Sudah banyak kesempatan yang aku kasih untuk Bunda. Dan kini Bunda ingin kesempatan itu datang lagi?" Ia menghela nafas berat. "Lenda, sayang. Dengerin Bunda dulu, nak!"Lenda tidak menghiraukan perkataan Indah, ia terus melangkah mundur. Tampaknya Lenda sudah mau pergi, entah itu akan segera membawa Laura bersamanya, atau tidak.
Dr. San menatap Iswan dengan berat, seakan tidak sanggup memberi penjelasan kepada pria paruh baya tersebut. Kebetulan, saat ini dr. San tengah mempelajari kasus Laura, mencari celah kecil untuk menyelamatkan gadis itu. "Apa ... penyakitnya parah?" Iswan bertanya dengan segala keraguan dalam benaknya, seakan-akan tidak siap dengan penjelasan yang kelak akan ia terima. "Nampaknya, dokter Laurel belum menyampaikannya." Ucap dr. San sembari berusaha mengukir senyum walaupun nampak suram. "Laura ... dia menderita Kardiomegali. Juga terdapat beberapa komplikasi pada jantungnya." Dokter San memperlihatkan hasil rontgen kepada Iswan, lantas menjelaskan dengan teliti tentang masalah kesehatan Laura. "Dia pasti bisa ... sembuh, kan?" "Sejauh ini cara paling berpengaruh ialah transplantasi, Pak. Sudah lama saya mendaftarkan Laura dalam pencarian organ. Namun, hingga saat ini belum mendapatkan donor yang sesuai." Dr. San k
Kembali terbayang dalam benak Indah tentang senyuman Laura yang baru saja ia lihat. Senyuman yang begitu tulus. Rasanya, keinginan Laura seakan sudah tercapai. Ia hanya ingin mendengar kalimat itu dari mulut Indah, kalimat sayang yang sudah dinantikannya selama 14 tahun terakhir."Laura! Bangun, nak! Bangun!" Indah menggoyang goyangkan tubuh tidak bernyawa milik Laura, berharap keajaiban akan segera datang menyapa hati yang luka, mungkin sekaligus memperbaiki mental yang mulai meremuk."Jangan siksa Bunda seperti ini, Bunda ingin kamu kembali!""Cukup ya, tante!" Kinan menghempaskan tangan Indah dari tubuh Laura. Ia tahu, tidak seharusnya ia ikut campur dalam urusan keluarga Alibasyah. Tapi hati nuraninya tidak menerima hal tersebut."Apa tante belum puas, sudah buat hidup Laura menderita?"Jangankan menjawab pertanyaan Kinan, Indah lebih memilih bungkam dan terus menatap Laura. Ia tahu kesalahan yang di perbuatnya, Indah tahu jelas hal tersebut.Tapi a
Suasana tempat itu lenggang. Walaupun banyak orang yang berlalu lalang, tetap saja mereka hanya sibuk pada pekerjaan masing-masing. Alya menggulir layar ponselnya malas, ia sedang menunggu Laurel untuk sekedar bertemu sapa.Ponselnya berdering pertanda panggilan masuk, terpampang jelas di layar ponsel nomor tanpa tuan. Tidak ada nama disana."Kau sudah gila, ya!?"Amarahnya memuncak ketika menerima panggilan telepon tersebut. Bukan kata sapaan lagi yang menyambut indra pendengaran si penelpon, tapi kata yang terkesan kasar untuk sekedar awal pembicaraan."Kau ingin membunuhku!?""Eits, tenang nona Alya." Suara berat dari seberang sana menanggapi, "jika saya ingin membunuh anda, pasti dokter Laurel sudah berduka sekarang."Orang itu terkekeh, seakan menikmati permainan yang ia buat. Ekspresi wajah Alya terlihat masam, sepertinya ia tidak menyukai situasi seperti sekarang."Mengapa? Anda sudah takut?
Hilir mudik kenderaan terus menyambut indra pendengaran, membuat siapa saja yang mendengarnya akan merasa bosan. Setiap saat, hanya bunyi kenderaan yang terus terdengar. Mungkin, begitulah nasib orang yang tinggal dan menetap di kota."Rafael?"Suara seorang cewek memanggil nama Rafael, suara yang terdengar tidak begitu asing baginya. Rafael yang sedang membaca buku di taman kota menoleh ke arah suara, mencoba mencari tahu siapa gerangan yang memanggilnya.Terpisah tiga meter dari tempatnya duduk, seorang cewek dengan style berkelas berdiri sembari memperhatikan dirinya. Cewek itu menggunakan rok yang panjangnya bahkan tidak mencapai lutut, dengan atasan pakaian lengan panjang.Rambutnya tergerai rapi, nampak indah jika di pandang. Cewek itu tersenyum, lantas berjalan lebih dekat ke aeah Rafael yang bahkan masih mencoba mencari tahu siapa cewek tersebut."Eh, apa kabar?""Kita saling kenal, ya?" Rafael ber
Rafael duduk di kamarnya, cowok idaman para cewek itu menyandarkan diri di dinding. Mungkin melepaskan lelah setelah melewati hari tanpa gadis terkasihnya, Laura.Cowok itu menghembuskan nafas pelan, berusaha untuk melepaskan beberapa beban hidup melalui hembusan nafas tersebut. Rafael menatap lamat-lamat kamar yang lenggang, hanya ia sendiri yang berada di kamar mewah itu.Namun, apa gunanya berada di kamar mewah nanti sepi itu? Hanya menambah kesunyian di tengah kemewahan yang di nikmati seorang diri. Rafael meraih sebuah foto yang setia terletak di nakas yang berada beberapa sentimeter dari letak ranjangnya.Manik mata cowok itu memandang sendu foto yang kini berada dalam genggamannya, menatapnya dengan tatapan sedih. Dalam tatapan itu bercampur aduk berbagai macam emosi.Marah, sedih, kecewa, semua tergabung dalam tatapan sendu yang cowok itu tunjukkan.Pikirannya kembali ke masa di mana cowok remaja itu masih berusia belia. Ken
Suasana kediaman milik keluarga Alibasyah nampak lebih sepi dari biasanya. Rumah mewah itu menampakkan kesunyian yang terpampang jelas. Sejak Laura pergi ke Turki untuk melanjutkan pendidikan gadis itu, Laurel sangat kecewa karena harus berpisah dengan adik kesayangannya. Hal tersebut membuat cowok itu jarang menampakkan diri di rumah mewah tersebut. Biasanya, ruang makan selalu di selingi dengan canda tawa dari anggota keluarga Alibasyah yang hanya terhitung jari itu. Kini, kadang kala hanya ada Indah dan suaminya. Laurel sering beralasan karena jadwal pemeriksaan yang padat untuk menghindari cowok itu pulang ke rumah dan mengulas luka lama. "Kayaknya aku akan pulang sedikit lebih lama dari biasanya, kamu jangan sampai kecapean, ya?" Lelaki paruh baya yang menyandang status sebagai kepala keluarga Alibasyah sekaligus pemilik beberapa perusahaan besar lainnya membuka percakapan setelah kesunyian menerpa mereka beberapa saat yang lalu.
Lenggang, hanya beberapa bunyi mendesing dari kenderaan yang sesekali lewat di jalanan itu. Tempat yang sunyi, tetapi damai untuk seseorang yang bisa saja mempunyai beban pikiran. Setidaknya, tempat itu jauh dari hiruk dan pikuknya dunia.Cowok dengan potongan rambut comma layaknya cowok Korea itu duduk termenung sembari menatap kosong hamparan danau yang membentang indah. Entah apa yang sedang menganggu pikirannya, cowok itu hanya terus menatap kosong ke arah danau. Bahkan, ia tidak menyadari kehadiran orang lain di dekatnya."Sepertinya kamu sedang dalam masalah, Rafael. Kamu bisa berbagi masalahnya denganku, kamu tahu? Aku pendengar sejati, loh." Cewek dengan rambut yang di sanggul itu menatap Rafael sejenak sebelum akhirnya ikut menatap danau.Suara itu membuyarkan lamunan Rafael, membuatnya kembali pada kenyataan dan tersadar bahwa ada orang lain di sekitarnya. Untuk sedetik berlalu, Rafael di buat terkejut karena kehadiran yang terkesan tiba-tiba, atau mungkinkah i
"Gimana kabar lo di sana?" Tanya seorang cowok dengan perawakan tinggi itu, ia meletakkan benda pipih berteknologi di telinganya, "Semuanya lancar, kan?" Tanyanya kemudian."He'em, gue baik." Jawabnya sekilas sebelum melanjutkan kalimatnya, "Vc ya, gue pen tau lo lagi ngapain sekarang."Akbar mangut-mangut, mengiyakan permintaan sang pujaan hati. Ia menekan ikon video call di layar ponselnya. Tidak berselang lama, monitor ponsel menampilkan sosok seorang gadis dengan rambut di kuncir kuda, berjalan santai di selasar gedung."Di mana, beb?" Cowok yang kerap di sapa Akbar memulai obrolan video tersebut, "sama Laura?"Kinan hanya mengangguk, lantas menggeser ponselnya hingga kamera menangkap sosok gadis yang sedang asik mengotak atik benda pipih berteknologi tinggi tersebut. "Habis kuliah nih, mau balik asrama.""Rafael mana, Bar?" Laura mendekatkan diri pada Kinan, ikut bergabung dalam obrolan kedua pasangan jarak jauh itu. "Dia sibuk, kah?""Rafael?" Kal
Nyonya besar keluarga Alibasyah itu memasuki ruangan seorang dokter yang tidak lain adalah putranya sendiri, Laurel. Wanita paruh baya tersebut melihat perubahan raut wajah penghuni ruangan, seperti nampak tidak ingin di kunjungi olehnya.Wanita paruh baya yang tidak lain adalah Indah, berjalan perlahan ke arah Laurel, lantas mendudukkan dirinya di kursi yang biasa di duduki oleh tamu yang berkunjung ke ruang kerja sang dokter. "Apa ... kamu tidak senang melihat Bunda berkunjung, Nak?"Laurel menatap sekilas, lantas mengalihkan pandangannya, berharap bahwa perasaan gundahnya pun ikut teralihkan, "Bunda ngapain di sini?" Ujarnya datar tanpa menunjukkan raut wajah apapun."Ah, Bunda hanya ingin melihat kamu saja," Indah menatap lekat manik mata Laurel, berusaha membaca isi pikiran yang lawan bicaranya. "Rasanya sudah lama Bunda tidak melihat kamu, rasanya ada yang hilang. Kamu sudah sangat jarang pulang ke rumah, Rel.""Belakangan ini aku cukup sibuk, Bun. Maaf," Laure
Dengan perasaan hancur, Aletta mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Hatinya panas, seakan ada baja panas yang tengah di redam di dalamnya. Gadis itu tidak bisa mengendalikan emosi yang kian membesar, menciptakan luka yang kelak menggangu pikiran.Matanya terasa panas hingga beberapa bulir bening berhasil meloloskan diri dari pelupuk mata yang indah itu. Pandangan Aletta mulai memburam akibat hambatan dari bulir bening tersebut, ia memutuskan untuk membawa mobilnya ke tempat yang sepi untuk menghindari kecelakaan beruntun yang berpotensi terjadi.Mobilnya mulai melambat kala memasuki jalanan hutan yang jarang di lalui penduduk lokal. Gadis dengan rambut yang di sanggul itu menepikan mobilnya, lantas menunduk ke arah setir mobil.Tangisnya tidak dapat ia sembunyikan lagi. Bulir-bulir bening itu berdesakan seakan tidak sabar untuk keluar dari pelupuk mata, hingga menciptakan lembab di area mata indahnya. Gadis itu menumpahkan segala tangis yang terdenga
Lenggang, hanya beberapa bunyi mendesing dari kenderaan yang sesekali lewat di jalanan itu. Tempat yang sunyi, tetapi damai untuk seseorang yang bisa saja mempunyai beban pikiran. Setidaknya, tempat itu jauh dari hiruk dan pikuknya dunia.Cowok dengan potongan rambut comma layaknya cowok Korea itu duduk termenung sembari menatap kosong hamparan danau yang membentang indah. Entah apa yang sedang menganggu pikirannya, cowok itu hanya terus menatap kosong ke arah danau. Bahkan, ia tidak menyadari kehadiran orang lain di dekatnya."Sepertinya kamu sedang dalam masalah, Rafael. Kamu bisa berbagi masalahnya denganku, kamu tahu? Aku pendengar sejati, loh." Cewek dengan rambut yang di sanggul itu menatap Rafael sejenak sebelum akhirnya ikut menatap danau.Suara itu membuyarkan lamunan Rafael, membuatnya kembali pada kenyataan dan tersadar bahwa ada orang lain di sekitarnya. Untuk sedetik berlalu, Rafael di buat terkejut karena kehadiran yang terkesan tiba-tiba, atau mungkinkah i
Suasana kediaman milik keluarga Alibasyah nampak lebih sepi dari biasanya. Rumah mewah itu menampakkan kesunyian yang terpampang jelas. Sejak Laura pergi ke Turki untuk melanjutkan pendidikan gadis itu, Laurel sangat kecewa karena harus berpisah dengan adik kesayangannya. Hal tersebut membuat cowok itu jarang menampakkan diri di rumah mewah tersebut. Biasanya, ruang makan selalu di selingi dengan canda tawa dari anggota keluarga Alibasyah yang hanya terhitung jari itu. Kini, kadang kala hanya ada Indah dan suaminya. Laurel sering beralasan karena jadwal pemeriksaan yang padat untuk menghindari cowok itu pulang ke rumah dan mengulas luka lama. "Kayaknya aku akan pulang sedikit lebih lama dari biasanya, kamu jangan sampai kecapean, ya?" Lelaki paruh baya yang menyandang status sebagai kepala keluarga Alibasyah sekaligus pemilik beberapa perusahaan besar lainnya membuka percakapan setelah kesunyian menerpa mereka beberapa saat yang lalu.
Rafael duduk di kamarnya, cowok idaman para cewek itu menyandarkan diri di dinding. Mungkin melepaskan lelah setelah melewati hari tanpa gadis terkasihnya, Laura.Cowok itu menghembuskan nafas pelan, berusaha untuk melepaskan beberapa beban hidup melalui hembusan nafas tersebut. Rafael menatap lamat-lamat kamar yang lenggang, hanya ia sendiri yang berada di kamar mewah itu.Namun, apa gunanya berada di kamar mewah nanti sepi itu? Hanya menambah kesunyian di tengah kemewahan yang di nikmati seorang diri. Rafael meraih sebuah foto yang setia terletak di nakas yang berada beberapa sentimeter dari letak ranjangnya.Manik mata cowok itu memandang sendu foto yang kini berada dalam genggamannya, menatapnya dengan tatapan sedih. Dalam tatapan itu bercampur aduk berbagai macam emosi.Marah, sedih, kecewa, semua tergabung dalam tatapan sendu yang cowok itu tunjukkan.Pikirannya kembali ke masa di mana cowok remaja itu masih berusia belia. Ken
Hilir mudik kenderaan terus menyambut indra pendengaran, membuat siapa saja yang mendengarnya akan merasa bosan. Setiap saat, hanya bunyi kenderaan yang terus terdengar. Mungkin, begitulah nasib orang yang tinggal dan menetap di kota."Rafael?"Suara seorang cewek memanggil nama Rafael, suara yang terdengar tidak begitu asing baginya. Rafael yang sedang membaca buku di taman kota menoleh ke arah suara, mencoba mencari tahu siapa gerangan yang memanggilnya.Terpisah tiga meter dari tempatnya duduk, seorang cewek dengan style berkelas berdiri sembari memperhatikan dirinya. Cewek itu menggunakan rok yang panjangnya bahkan tidak mencapai lutut, dengan atasan pakaian lengan panjang.Rambutnya tergerai rapi, nampak indah jika di pandang. Cewek itu tersenyum, lantas berjalan lebih dekat ke aeah Rafael yang bahkan masih mencoba mencari tahu siapa cewek tersebut."Eh, apa kabar?""Kita saling kenal, ya?" Rafael ber
Suasana tempat itu lenggang. Walaupun banyak orang yang berlalu lalang, tetap saja mereka hanya sibuk pada pekerjaan masing-masing. Alya menggulir layar ponselnya malas, ia sedang menunggu Laurel untuk sekedar bertemu sapa.Ponselnya berdering pertanda panggilan masuk, terpampang jelas di layar ponsel nomor tanpa tuan. Tidak ada nama disana."Kau sudah gila, ya!?"Amarahnya memuncak ketika menerima panggilan telepon tersebut. Bukan kata sapaan lagi yang menyambut indra pendengaran si penelpon, tapi kata yang terkesan kasar untuk sekedar awal pembicaraan."Kau ingin membunuhku!?""Eits, tenang nona Alya." Suara berat dari seberang sana menanggapi, "jika saya ingin membunuh anda, pasti dokter Laurel sudah berduka sekarang."Orang itu terkekeh, seakan menikmati permainan yang ia buat. Ekspresi wajah Alya terlihat masam, sepertinya ia tidak menyukai situasi seperti sekarang."Mengapa? Anda sudah takut?
Kembali terbayang dalam benak Indah tentang senyuman Laura yang baru saja ia lihat. Senyuman yang begitu tulus. Rasanya, keinginan Laura seakan sudah tercapai. Ia hanya ingin mendengar kalimat itu dari mulut Indah, kalimat sayang yang sudah dinantikannya selama 14 tahun terakhir."Laura! Bangun, nak! Bangun!" Indah menggoyang goyangkan tubuh tidak bernyawa milik Laura, berharap keajaiban akan segera datang menyapa hati yang luka, mungkin sekaligus memperbaiki mental yang mulai meremuk."Jangan siksa Bunda seperti ini, Bunda ingin kamu kembali!""Cukup ya, tante!" Kinan menghempaskan tangan Indah dari tubuh Laura. Ia tahu, tidak seharusnya ia ikut campur dalam urusan keluarga Alibasyah. Tapi hati nuraninya tidak menerima hal tersebut."Apa tante belum puas, sudah buat hidup Laura menderita?"Jangankan menjawab pertanyaan Kinan, Indah lebih memilih bungkam dan terus menatap Laura. Ia tahu kesalahan yang di perbuatnya, Indah tahu jelas hal tersebut.Tapi a